Perubahan Asas Pidana Denda dalam RKUHP

54 Selain itu, penyebab dihapusnya pidana kurungan juga disebabkan oleh misi yang ingin dibawa oleh RKUHP itu sendiri. Satu dari beberapa pembaharuan yang ingin dibawa oleh RKUHP adalah dengan menghapuskan BUKU ke-3 dari KUHP tentang pelanggaran dan memasukkan pidana yang masih relevan kedalam BUKU ke-2. Dengan kata lain, dalam RKUHP nantinya tidak ada lagi klasifikasi pelanggaran atau kejahatan, istilah yang digunakan nantinya adalah satu, yaitu Tindak Pidana saja. Kendati mengidentikkan pelanggaran dengan sanksi kurungan tidaklah relevan, 83 harus diakui pemahaman akademisi dan praktisi hukum di Indonesia masih erat dalam mengaitkan tindak pidana pelanggaran dengan pidana kurungan. Implikasinya, jika wacana pengahapusan pelanggaran dilakukan maka secara tidak langsung akan menghapuskan juga pidana kurungan. Alasa e ikut a dihapuska a Pida a Ku u ga da i ‘KUHP adalah aki at dituduh a Pidana Kurungan menjadi penyebab tidak efektifnya pidana denda. Seringkali terpidana lebih e ilih pida a ku u ga da ipada e a a pida a de da e uat pe e i tah ge a terhadap pidana kurungan. Karena pidana denda yang seharusnya masuk kedalam kas negara malah beralih menjadi cost yang harus dikeluarkan negara untuk membiayai terpidana didalam sel. Padahal jika dikaji lebih dalam, penyebab tidak efektifnya pidana denda adalah tidak seimbangnya antara jumlah pidana denda dengan pidana kurungan sebagai pidana pengganti. Sebagai contoh penulis mengambil tindak pidana yang diatur dalam Pasal 111 UU 35 tahun 2009 tentang narkotika. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa pidana denda yang dijatuhkan adalah minimum800 juta dan maksimum8 milyar. Begitu besarnya pidana denda yang dijatuhkan membuat akal sehat siapapun justru lebih memilih pidana kurungan yang hanya 6-8 bulan dibanding membayar pidana denda sekurang-kurangya 800 juta. Belum lagi jika terpidana sudah menjalani beberapa tahun pidana penjara, pidana kurungan 6 – 8 bulan tentu tidak akan berdampak apapun. Alih-alih mengefektifkan pidana kurungan, RKUHP malah mencoba menghidupkan kembali pidana tutupan yang sudah lama ditinggalkan dalam penerapan sanksi pidana di Indonesia.Pidana tutupan sejatinya tidak terdapat dalam KUHP yang disusun oleh pemerintah kolonial belanda Wetboek van Strafrecht, namun berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan dimasukkan kedalam pidana pokok yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP. Pidana tutupan bertujuan sebagai bentuk pemidanaan terhadap kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati Pasal 2 UU 20 Tahun 1946. Jika kita mengambil contoh penerapan pidana tutupan lebih diterapkan kepada tahanan politik atau lain sebagainya. Akan tetapi dengan kondisi Indonesia dan dunia yang sudah dapat dikatakan stabil apakah pemidaan yang demikian masih dapat berlaku efektif?

5.3. Perubahan Asas Pidana Denda dalam RKUHP

Jika pidana kurungan dihapuskan dari RKUHP, lantas bagaimanakah RKUHP mengatur dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda? Ketentuan tersebut diatur dalam Paragraf 6 tentang Pelaksanaan Pidana denda Pasal 84. Asas yang dianut adalah bersifat imperatif, dimana terpidana tidak lagi memiliki pilihan selain untuk membayar denda. Hal ini termanifestasi dengan ketentuan jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda maka baik harta bendanya maupun pendapatannya akan dirampas untuk dijadikan sebagai pembayaran pidana 83 Mengigat terdapat beberapa tindak pidana yang diatur dalam Buku 2 KUHP mengancam dengan sanksi pidana kurungan. 55 denda Pasal 84 ayat 2 RKUHP. Sedangkan jika harta terpidana sudah tidak ada lagi untuk dirampas, maka diganti dengan pidana kerja sosial atau pidana pengawasan atau pidana penjara. Akan tetapi, pidana sosial dan pidana pengawasan hanya dapat dikenakan pada ancaman pidana denda yang dijatuhkan dibawah Kategori I Pasal 85 ayat 1 RKUHP. Sedangkan untuk pidana denda yang dikenakan diatas kategori I alternatif pemidanaan yang dijatuhkan hanya pidana penjara Pasal 86 ayat 1 RKUHP. Lama ancaman pidana penjara pengganti-pun berbeda anatar dua golongan tersebut. Untuk pidana denda yang dijatuhkan dibawah kategori I lama pidana penjara pengganti yang dijatuhkan paling singkat 1 bulan dan paling lama 1 tahun dengan ketentuan dapat diperpanjang menjadi 1 tahun 4 bulan jika ada pemberatan Pasal 85 ayat 2 c RKUHP. Sedangkan untuk golongan pidana denda yang dijatuhkan diatas kategori I, penjara pengganti yang dijatuhkan minimal 1 tahun dan maksimal adalah sesuai dengan ancaman pidana penjara sebagai pidana pokok dalam tindak pidana bersangkutan. Ringkasnya, perbandingan pengaturan pidana pengganti dari pidana denda dari masing-masing KUHP dan RKUHP, maka dapat dilihat tabel berikut: KUHP RKUHP Dibawah Golongan 1 Diatas Golongan 1 Jika terpidana tidak mampu membayar denda Terpidana dapat memilih pidana pengganti Kurungan Dikenakan perampasan terhadap harta benda terpidana, jika tidak mencukupi baru dikenakan pidana pengganti Bentuk sanksi pengganti pidana denda Pidana Kurungan Pidana Penjara atau Pengawasan atau Kerja Sosial Pidana penjara Lama sanksi pengganti pidana denda Maksimum 6 bulan, dan dapat diperberat 8 bulan. Pidana kerja Sosial minimum 7 jam, maksimum 240 jam bagi terpidana usia 18 tahun keatas dan 120 jam bagi terpidana usia dibawah 18 tahun. Pasal 88 ayat 4 RKUHP Pidana Pengawasan minimum 1 bulan, maksimum 1 tahun. Pidana Penjara minimum 1 bulan, maksimum 1 tahun dan dapat di perberat 1 tahun 4 bulan. Minimum 1 tahun, maksimum sesuai dengan ancaman pidana penjara pokok tindak pidana bersangkutan Tabel 2 : Perbedaan ketentuan sanksi alternatif pidana denda dalam KUHP dan RKUHP 56 Jika dibandingkan dengan KUHP yang saat ini berlaku, dapat dikatakan penerapan pidana denda dalam RKUHP jauh lebih represif. Niat baik pembuat undang-undang yang ingin mengefektifkan pidana denda dengan menerapkan pidana perampasan jika terpidana tidak membayar denda, memang harus diapresiasi. Jika konsep yang demikian memang diterapkan, justru mengubah orientasi pidana denda yang semula sebagai alat pemberian penderitaan, menjadi seolah-olah ajang bagi negara untuk meraup keuntungan dari rakyatnya. Belum lagi dampak negatif yang ditimbulkan akibat dikenakannya pidana perampasan, justru akan memiskinkan terpidana dengan cara yang sangat tidak proporsional. Hal ini disebabkan tidak adanya nilai ekonomis yang pasti atas barang terpidana yang dirampas. Sebuah barang yang dirampas dan dilelang sudah barang tentu tidak memiliki nilai harga yang sama pada saat terpidana membeli barang tersebut. Implikasinya,cost yang dikeluarkan oleh terpidana justru akan semakin lebih besar dari yang seharusnya ia bayar. Tidak sampai disana, penerapan pidana penjara jika terpidana sudah tidak memiliki aset yang memungkinkan untuk dirampas terbilang sangat kejam.Hal ini dikarenakan dibukanya kemungkinan seoarang terpidana menjalani hukuman pidana penjara hingga 40 tahun jika ia tidak membayar denda. Memang RKUHP sudah membuat sistem yang memungkinkan pidana penjara bukanlah pilihan utama dalam hal mengganti pidana denda, ada pidana pengawasan dan juga pidana kerja sosial. Akan tetapi, hal tersebut hanya berlaku terhadap pidana denda dibawah kategori I. Faktanya hanya 1 84 dari 131 tindak pidana yang diatur dalam Buku 2 RKUHP yang diancam dengan kategori 1. 85 Dengan kondisi yang demikian, pidana kerja sosial dan pe ga asa sudah a a g te tu ha a e jadi e tuk pe ida aa paja ga a g sa gat disangsikan penerapannya. Mekanisme pengaturan pidana denda yang demikian tampak seperti mengadopsi pidana uang pengganti dalam tindak pidana korupsi. Asas yang dibawa cenderung sama, dimana uang pengganti yang dijatuhkan kepada terpidana diterapkan secara imperatif dimana harta benda terpidana akan dirampas untuk dijadikan pembayaran jika menolak untuk membayar. Mengenai alternatif pemidanaan yang dibawa pun sama, yakni menggunakan pidana penjara. Tidak sampai disana, lama pidana penjara pengganti yang diterapkan pun sama. 86 Bukan berarti penulis tidak sepakat dengan asas yang dibawa didalam pidana uang pengganti dalam perkara korupsi, akan tetapi perlu kita ingat bahwa tujuan utama uang pengganti bukanlah sebagai bentuk penderitaan, melainkan upaya untuk mengembalikan aset negara yang hilang. Hal yang serupa serta-merta tidak dapat diaplikasikan kepada pidana denda yang tujuannya sudah berbeda jauh dengan pidana uang pengganti. Lain cerita jika kita berbicara dalam hal subjek tindak pidana yang dikenakan sanksi denda adalah Korporasi. Konsep perampasan aset dalam hal Korporasi tidak mampu membayar denda masih relevan untuk diterapkan. Sebab, Korporasi adalah subjek hukum yang tidak dapat dikenakan pidana badan. Sehingga, perampasan aset merupakan jalan satu-satunya sebagai perwujudan supremasi hukum terkait pelaksanaan hukuman denda. 84 Tindak pidana ini adalah Pasal 482 pada RKUHP atau Pasal 283 pada KUHP. 85 Hasil penelitian yang dilakukan oleh LeIP dengan cara melakukan perbandingan terhadap tindak pidana yang sebelumnya diatur dalam KUHP kemudian dimasukkan kembali kedalam RKUHP, sehingga tindak pidana yang sama sekali baru tidak dimasukkan kedalam penghitungan disini. 86 Lihat Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung No.5Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi. 57

5.4. Permasalahan yang Timbul dalam Penyusunan Peraturan Daerah