Perumusan yang Samar Pasal Karet yang dapat Merampas Hak Asasi Manusia Meneruskan Jargon Orde Baru

62 Pada intinya Pasal 219 tersebut melarang menyebarkan ajaran komunismeMarxisme- Leninisme. Tetapi tidak semua penyebaran ajaran komunismeMarxisme-Leninisme dilarang, yang dilarang adalah pe e a a a g: i ela a huku , ii di depa u u , iii de ga aksud e gu ah atau e gga ti Pa asila se agai dasa ega a . Tiga u su i ilah a g harus dipenuhi agar Pasal tersebut dapat bekerja. Tanpa tiga unsur tersebut secara akumulatif, maka seseorang tidak dapat dijatuhi pidana penjara maksimal tujuh tahun. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan KomunismeMarxisme-Leninisme adalah paham atau ajaran Karl Mark yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, dan lain-lain, mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang e te ta ga de ga falsafah Pa asila. Selanjutnya, Pasal 220 merupakan pelengkap Pasal 219, Pasal ini secara tegas melarang mendirikan organisasi, mengadakan hubungan, atau memberikan bantuan pada organisasi yang berasaskan KomunismeMarxisme-Leninisme dengan maksud mengubah dasar negara. Sebaliknya, hubungan dengan organisasi tersebut tidak dilarang jika tidak dengan maksud mengubah dasar negara. Sementara itu, peniadaan dan Penggantian Ideologi Pancasila diatur dalam Pasal 221, yang secara umum, Pasal i i ela a g e ataka kei gi a e gga tika atau e iadaka Pa asila. “eseo a g a u dapat dipida a pe ja a pali g la a tahu jika e ataka keingin a itu dilakuka : i se a a ela a huku , ii di uka u u , iii e i ulka kerusuhan dalam masyarakat atau kerugian harta benda. Dengan demikian, Pasal tersebut merupakan rumusan delik materiil. Selanjutnya, ayat 2 merupakan pemberatan pidana jika perbuatan tersebut menimbulkan matinya orang.

2.3. Perumusan yang Samar

Terdapat perumusan yang samar-samar mengenai perbuatan yang dilarang. Tidak jelas perbuatan apa yang dilarang, apakah perbuatan menyebarkan ajaran KomunismeMarxisme- Leninisme atau perbuatan yang menggantikan atau mengubah Pancasila. Misalnya, bunyi Pasal a at a g e elipka kata se a a ela a huku e a ah ketidakjelasa Pasal . Apa a g di aksud de ga ela a huku dala Pasal tersebut. Dengan kata lain, perbuatan mengembangkan ajaran KomunismeMarxisme-Leninisme yang bagaimana yang tidak disebut melawan hukum? Lagi pula, dalam penjelasannya tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai kalimat tersebut. Kemudian, ajaran KomunismeMarxisme-Leninisme yang bagian mana yang dilarang? Apakah setiap bagian ajaran KomunismeMarxisme-Leninisme adalah dilarang? Dengan demikian, bunyi Pasal 219 masih multiinterpretasi serta tidak jelas sehingga ia masih menyimpang dari prinsip lex scripta dalam merumuskan tindak pidana.

2.4. Pasal Karet yang dapat Merampas Hak Asasi Manusia

Bunyi Pasal ‘ KUHP a g di u uska tidak se a a ketat dapat e jadi Pasal ka et a g dapat digunakan secara membabi buta dan membuka diri terhadap berbagai interpretasi. Apalagi Pasal tersebut tidak merinci dengan baik, ajaran KomunismeMarxisme-Leninisme yang bagaimana yang dilarang. Perumusan yang demikian sangat rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia. 63

2.5. Meneruskan Jargon Orde Baru

Pelarangan mengembangkan ajaran Komunismemarxisme-Leninisme maupun pendirian organisasi yang berasaskan ajaran tersebut tidak lain merupakan jargon bagi orde baru untuk menghantam lawan-lawan politik orde baru dan juga untuk menumpas pihak-pihak yang menentang kebijakannya. Dalam praktiknya, jargon dan stigmaisasi sebagai komunis yang anti- Pancasila kerap digunakan untuk memperlancar kebijakan-kebijakan Soeharto yang sebagian besar bertujuan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa akibat jargon tersebut. Memunculkan kembali larangan mengembangkan ajaran Komunismemarxisme-Leninisme maupun mendirikan organisasi yang berbasis ajaran tersebut tidak lain merupakan suatu usaha untuk meneruskan kembali jargon-jargon orde baru. Padahal dalam konteks sekarang, di bawah pemerintahan reformasi, Indonesia mencoba untuk menata kehidupan bernegara yang lebih demokratis. Sehingga larangan tersebut mustinya tidak lagi dipakai karena meneruskan watak- watak otoritarianisme orde baru yang bertentangan dengan demokrasi. Pasal tersebut dapat dipakai secara semena-mena apalagi dengan perumusan yang sangat ambigu. Ujungnya adalah pelanggaran hak asasi manusia.

2.6. Rekomendasi