242
Bagian Ke 19 Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika
Bab tentang narkotika yang diatur dalam RKUHP merupakan satu dari sekian pengaturan tindak pidana lain yang diatur diluar KUHP dan dimasukan kedalam RKUHP dengan cara kodifikasi, namun
sayangnya pengaturan pengkodifikasian tersebut tidak mampu dirumuskan dengan baik bahkan menimbulkan berbagai persoalan diantaranya:
20.19. Pemberian Judul dalam BAB
Tindak pidana narkotika dan psikotropika yang diatur dalam Pasal 507 sampai dengan Pasal 534 masuk kedalam BAB XVII mengenai TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN
PSIKOTROPIKA, pemberian judul Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika seolah-olah ketentuan ini hanya akan mengatur mengenai penyalahguna saja namun tidak kepada adanya praktik
perdagangan gelap padahal RKUHP mengatur mengenai pedagangan gelap. Berbeda dengan RKUHP yang tidak mengatur secara jelas mengenai apa itu penyalahgunan, Pasal 1 angka 15 UU Narkotika
memberikan penjelasan mengenai penyalahguna yakni orang yang menggunakan narkotika secara melawan hukum atau tanpak hak untuk diri sendiri. Berdasarkan ketentuan tersebut maka akan
memudahkan aparat penegak hukum dalam melihat ruang lingkup pengaturan pidana. Apalagi berdasarkan ketentuan Pasal 35 UU Narkotika, peredaran narkotika tidak termasuk pada
penyalahgunaan narkotika. Mengacu pada ketentuan Pasal tersebut, maka peredaran gelap narkotika dapat diartikan sebagai tindakankegiatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 UU
Narkotika namun tidak dijalankan sesuai dengan prosedur atau tatacara yang diatur dalam UU Narkotika
296
. Berdasarkan teknik pemenuhan kebutuhan narkotika secara illegal dibagi peranan pihak pihak sebagai berikut :
1.
Produsen
Pihak yang dapat memproduksi narkotika harus industri farmasi yang mendapatkan izin dari kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan. Badan Pengawas obat
dan makanan melakukan pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi narkotika.
297
2.
Pihak yang Melakukan Penyimpanan Narkotika
Untuk kebutuhan kesehatan dan ilmu pengetahuan, narkotika yang diproduksi dapat disimpan. Penyimpanan narkotika hanya dapat dilakukan oleh industry farmasi,
pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuan.
3.
Importir dan Eksportir Narkotika
Importir dan eksportir narkotika hanya dapat dilakukan oleh satu lembaga industri farmasi besar yang mendapat izin dari kementerian.
4.
Pihak yang Melakukan Transito Narkotika
Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di wilayah negara Republik Indonesia yang terdapat kantor kepabeaan
dengan atau tanpa berganti sarana angkutan.
296
UU Narkotika mengatur tatacara peredaran narkotika yakni dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 52
297
Pasal 11 UU Narkotika
243
5.
Penyaluran Narkotika
Penyaluran dilakukan dari Industri narkotika kepada tempat penyimpanan narkotika.
298
6.
Penyerahan Narkotika
Narkotika dari tempat penyimpanan dapat diserahkan kepada pengguna atau pihak yang membantu pengguna narkotika
299
‘ua g li gkup pe alahgu a de ga pe eda a a kotika se agai upa a pe e a tasa
kejahatan narkotika memiliki kualifikasi dan gradasi yang berbeda yang tentunya juga akan menjadi pembedaan dari negara serta aparat penegak hukum dalam memberikan kebijakan pemidanaannya
antara satu sama lain. Politik kebijakan narkotika Indonesia dalam UU Narkotika memberikan batasan yang tegas antara memberantas peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika
de ga menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika
300
. Dengan kata lain, pemberian judul yang tepat dalam suatu bab yang mengatur tindak pidana akan mempertegas arah politik hukum negara dalam upaya memberantas suatu kejahatan
yang mana dalam Bab Narkotika di RKUHP seolah-olah mempersempit lingkup politik hukum pidana negara untuk memberantas tindak pidana narkotika yang hanya memfokuskan kepada
penyalahguna namun tindak ke praktik perdagangan gelap.
20.20. Ketidakjelasan Penggunan Istilah