Percobaan dan permulaan pelaksanaan dalam R KUHP

16 Pe de ata e ge ai ak a pe ulaa pelaksa aa sesu gguh a e upaka pe soala yang sangat pelik. Hal ini diawali dari perdebatan mengenai apakah apakah yang dimaksud dari pelaksa aa itu e upaka pelaksa aa da i iat atau pelaksa aa da i kejahata . Jawaban mengenai persoalan inipun bisa menjadi relatif karena akan bergantung pada teori pe o aa a g ela dasi a. Pa a pe ga ut teo i pe o aa su jektif e a da g percobaan melakukan kejahatan perlu dipidana karena adanya niat jahat dari pelakunya akan e pe dapat ah a pelaksa aa e upaka pelaksa aa da i iat , sehi gga isa meliputi segala bentuk perbuatan persiapan untuk melakukan kejahatan. Sementara para penganut teori pe o aa o jektif e a da g pe o aa elakuka kejahata pe lu dipida a ka e a perbuatannya membahayakan suatu kepentingan hukum tertentu memandang pelaksanaan sebagai pelaksanaan dari kejahatan. Perdebatan tentunya belum berakhir, karena masih dipe luka ada a kejelasa atasa te ta g apa a g di aksud de ga pelaksa aa kejahata .

3.2. Percobaan dan permulaan pelaksanaan dalam R KUHP

Dalam Paragraf 4 Pasal 18 RUU KUHP yang selengkapnya berbunyai sebagai berikut: Percobaan Pasal 18 1 Percobaan melakukan tindak pidana dipidana, jika pembuat telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena semata-mata atas kehendaknya sendiri. 2 Permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terjadi jika: a. perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditujukan untuk terjadinya tindak pidana; b. perbuatan yang dilakukan langsung mendekati atau berpotensi menimbulkan tindak pidana yang dituju; dan c. pembuat telah melakukan perbuatan melawan hukum Dalam rumusan tersebut, khususnya mengenai bentuktahapan, tindak pidana yang berupa percobaan ketentuan yang diatur tidak hanya mengenai unsur-unsur kapan dapat dipidananya pe o aa tetapi diatu juga te ta g atasa pe uata pelaksa aa , asalah pe s o aa tidak mampu, masalah pengunduran diri secara sukarela ruchtritt dan tindakan penyesalan tatiger reue. 24 Perbuatan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendaknya, hal ini bermakna bahwa pembuat Undang-Undang bermaksud untuk memberikan kesempatan kepada pelaku untuk secara sukarela mengurungkan atau membatalkan perbuatannya. Hal ini dilakukan dengan e gap esiasi sikap pe gu du a di i se a a suka ela de ga tidak e gkualifikasi pe uata yang tidak selesai semata- ata ka e a kehe dak pelaku se agai tidak e e uhi suatu pe uata pe o aa a g dapat dipidana. Perbedaan antara apa yang dirumuskan dalam Pasal 53 KUHP dengan Pasal 18 R KUHP, pada pokoknya adalah R KUHP secara cukup lengkap menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan pe ulaa pelaksa aa . Hal de ikia dapat dilihat da i sisi positif yaitu setidaknya 24 Ba da …hal 17 menjelaskan tentang teori percobaan yang digunakan dan lebih memberikan jaminan akan ada a kepastia huku . Pe ge tia pe ulaa pelaksa aa , telah di e ika s a at-syarat yang harus dipenuhi secara kumulatif meliputi: a. pelaksanaan dari niat, b. langsung tertuju pada tindak pidana, dan c. merupakan perbuatan melawan hukum. Syarat pertama, tentang pelaksanaan dari niat pada dasarnya tidak berbeda dengan apa yang telah diatur dalam Pasal 53 KUHP mengenai adanya persyaratan te ta g iat . “ a at kedua, merupakan syarat yang menegaskan bahwa pelaksanaan niat itu harus merupakan pelaksanaan dari suatu kejahatan dan bukan semata-mata merupakan pelaksanaan dari niat yang masih dala tahapa pe uata pe siapa . De ga de ikia terlihat digunakannya teori percobaan objektif oleh penyusun R KUHP. Syarat ketiga, tampaknya telah menambahkan syarat dari pe ulaa pelaksa aa dika e aka e s a atka ah a pe uata a g e upaka pe ulaa pelaksa aa itu ha us e upaka pe uata yang melawan hukum. Makna dari s a at i i aka e ga tu g pada apa a g di aksud de ga ela a huku . Bila ela a hukum dimaknai bahwa perbuatan yang harus bertentangan dengan peraturan perundang- u da ga , aka hal i i e ak a e pe se pit ak a pe ulaa pelaksa aa khusus a ila di a di gka de ga ak a pe ulaa pelaksa aa se agai a a diatu dala Pasal 53 KUHP. Na u de ikia ila kita e ak ai ela a huku se agai tidak ha a ila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetapi cukup bila bertentangan hukum yang hidup dalam masyarakat, maka persyaratan melawan hukum dimaksud tidaklah berbeda dengan apa yang dimaksud dalam Pasal KUHP, ahka telah e egaska ak a pe ulaa pelaksa aa a g sela a i i ha alah e upaka doktrin. Pe soala a adalah ah a ‘ KUHP tidak e egaska ak a ela a huku se agai a a dimaksud dalam Pasal 18 ayat 2. Berkaitan dengan hal ini, Penjelasan Pasal 18 ayat 2 R KUHP mengatur bahwa: Suatu perbuatan dinilai merupakan permulaan pelaksanaan, jika: a. secara subyektif, dilihat dari niat pembuat tindak pidana tidak diragukan lagi bahwa perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mewujudkan tindak pidana. b. secara obyektif, apa yang telah dilakukan sudah mendekati dengan tindak pidana yang dituju. Atau dengan kata lain, sudah mampu atau mengandung potensi mewujudkan tindak pidana tersebut; dan c. perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum; Pe jelasa hu uf a g e e utka ah a pe uata a g dilakuka e upakan perbuatan a g e te ta ga de ga huku , e pu ai te de si ah a a g di aksud de ga e te ta ga de ga huku adalah e te ta ga de ga u da g-undang. Bila suatu pe ulaa pelaksa aa dis a atka ha us e upaka pe uata a g telah ela gga suatu peraturan perundang-undangan, maka dikhawatirkan hanya tersedia ruang yang sangat sempit untuk dapat menjerat para pelaku tindak pidana yang tidak selesai, terlebih lagi dalam suatu delik percobaan yang tertangguh, dalam arti perbuatan yang dilakukan pelaku tidak selesai. Dalam suatu delik percobaan selesai, hal ini mungkin tidak menimbulkan persoalan, karena dalam hal ini pelaku telah menyelesaikan keseluruhan perbuatan. 18 Keadaan semacam ini akan memberikan kesulitan tersendiri bagi aparat penegak hukum, khususnya para penyidik dalam menangkap para pelaku tindak pidana, karena dalam operasi penangkapan sedemikian harus selalu menunggu diselesaikannya tindak pidana oleh pelaku atau menunggu hingga pelaku melanggar suatu ketentuan hukum. Bila kita menelusuri apa yang dirumuskan dalam Pasal 18 ayat 2 R KUHP, maka kita dapat menemukan bahwa sesungguhnya perumusan tersebut berasal dari pemikiran Prof. Moeljatno SH, di mana te lah e etapka tiga s a at e kaita de ga pe ulaa pelaksa aa : a. Secara objektif apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik yang dituju. Atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut. b. Secara subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi, bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu, ditujukan atau diarahkan pada delik tertentu. c. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum. 25 Syarat yang ditetapkan Prof. Moeljatno tersebut di atas, jelas merupakan sumber inspirasi dari penyusun R KUHP sebagaimana terlihat dalam penjelasaan Pasal 18 ayat 2 R KUHP. Prof. Moeljat o e ataka de ga ela a huku se agai salah satu s a at dala permulaan pelaksa aa . Pa da ga P of. Moeljat o sesu gguh a e upaka suatu jala te gah da i dua pa da ga ekst e a g e tolak elaka g, aitu pa da ga a g e dasa ka pada aja a pe o aa a g e sifat su jektif da aja a pe o aa a g e sifat o jektif . Be kaita de ga hal i i, P of. Moeljat o e ataka : Kedua-duanya metode baik yang objektif maupun yang subjektif, kalau dipakai secara murni scherp genomen akan membawa pada ketidakadilan. Dalam pandangan subjektif hubungan kausal ditarik terlalu jauh.Orang sudah dipidana padahal hubungan antara perbuatannya dan akibat yang dilarang masih terlalu jauh. Menurut objectiveleer yang konsekuen sebaliknya akan dibebaskan dari pidana orang-orang yang sifat berbahayanya telah ternyata dalam perbuatannya, seperti dalam arrest poging tot brand stichting. Karenanya jelaslah bahwa hanya pendirian yang tengah-tengah yang dapat e e i jala a g e uaska . 26 Pe ataa di atas, te asuk ketidaksetujua a te hadap putusa H.‘ Eindhovense Brandstichtings Arrest arrest percobaan pembakaran rumah di Eindhoven menunjukan bahwa a g di aksud ela a huku te se ut uka lah se ata-mata sebagai bertentangan dengan undang-undang. Dalam arrest tersebut di atas, Hooge Raad telah membatalkan putusan- putusa Hofs He toge os h, da e ataka ah a a g di aksud de ga pe ulaa pelaksa aa ha alah pe uata a g e u ut uku a pe gala a , ta pa a pu ta ga le ih la jut da i pelaku aka e ua a pada pe aka a . 27 Kesimpulan mengenai pengertian ela a huku se agai s a at dala pe ulaa pelaksa aa te se ut di atas se aki dikuatkan bila kita melihat pernyataannya sebagaimana dikutip secara lengkap di bawah ini: 25 Moeljatno, Hukum Pidana Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 28-29. 26 Ibid, hal. 40-41. 27 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undnag-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 292. 19 Dala hal tidak ada atu a huku te tulis u tuk e e tuka apakah pe uata terdakwa bersifat melawan hukum atau tidak antara lain dalam delik-delik culpoos di situ pula diperlukan penentuan perbuatan melawan hukum. Meskipun ukuran melawan hukum itu tidak relatif dan tergantung kepada orang hakim yang menentukannya, namun harus diakui bahwa itu pekerjaan yang tidak mudah.Untuk menentukan di mana persis letaknya garis pemisah antara yang tidak melawan hukum dan yang melawan hukum, baik niat terdakwa maupun perbuatan yang dilakukan mempunyai pengaruh timbal balik, menurut keadaannya tiap-tiap perkara.Yang dimaksud ialah bahwa adakalanya perbuatan lahir karena sudah sangat dekatnya pada delik tertentu, memberi pengaruh untuk adanya sifat melawan hukum.Adakalanya juga perbuatan lahir yang tampaknya tidak melawan hukum karena masih jauhnya dengan delik yang dituju, dari adanya niat untuk itu yang dibuktikan dengan adanya keadaan-keadaan tertentu lalu e jadi e sifat ela a huku . 28 De ga de ikia jelas ah a apa a g di aksud oleh P of. Moeljat o de ga ela a huku se agai salah satu s a at pe ulaa pelaksa aa , a g ke udia e gi spi asi penyusun R KUHP, yaitu bukan semata-mata sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan perundang-undangan. Hal semacam ini kiranya perlu untuk ditegaskan setidaknya dalam penjelasan Pasal 18 ayat 2 R KUHP untuk menghindari adanya tafsir yang sempit bahwa pe ge tia ela a huku te se ut se ata-mata sebagai perbuatan yang telah bertentangan dengan perundang-undangan. Tafsir semacam ini dapat menimbulkan sempitnya ruang untuk menjerat pelaku percobaan kejahatan.

3.3. Pemidanaan Percobaan