5.6. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Tabel 16 memperlihatkan nilai PCR dan DRCR dari usahatani jagung berdasarkan analisis PAM dan sebagai pembanding diperlihatkan juga nilai PCR
dan DRCR dari usahatani padi di Kabupaten Bolaang Mongondow. Tabel 16. Hasil Perhitungan Private Cost Ratio dan Domestic Resource Cost
Ratio Usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow
No. Usahatani Private Cost Ratio
PCR Domestic Resource
Cost Ratio DRCR
1. Jagung 0.97
0.65 2. Padi
0.69 0.68
Nilai PCR usahatani jagung seperti pada Tabel 16 tersebut, menunjukkan bahwa usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow selang satu tahun
terakhir dikategorikan sedikit memiliki keunggulan kompetitif karena nilai PCR 1. Jika dibandingkan dengan nilai PCR usahatani padi maka dapat dikemukakan
bahwa usahatani padi di Kabupaten Bolaang Mongondow lebih kompetitif dibanding usahatani jagung. Dengan kata lain, untuk meningkatkan nilai tambah
output sebesar satu satuan pada harga privat maka usahatani padi di Kabupaten Bolaang Mongondow hanya memerlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar
0.69 atau kurang dari satu satuan. Memang jika dibandingkan dengan nilai PCR usahatani jagung juga berada pada posisi kurang dari satu satuan, yaitu 0.97
namun masih lebih besar memerlukan tambahan biaya faktor domestik dibandingkan pada usahatani padi.
Dengan nilai PCR yang hanya 0.97 maka usahatani jagung memiliki kemampuan terbatas dalam membiayai faktor domestik. Atau dengan kata lain
bahwa terdapat kecenderungan pembengkakan biaya produksi atau tidak
tertutupnya biaya produksi jika harga output pada tingkat harga privat jatuh turun. Sehingga disarankan agar pemerintah dapat memberikan kebijakan
proteksi output dengan mensubsidi harga output domestik sehingga mendongkrak naiknya harga output domestik dibanding harga efisiensinya harga dunia.
Berhubungan dengan hal tersebut, berdasarkan hasil perhitungan output transfer pada Lampiran 5 diperoleh hasil sebesar Rp. –3 016 041.83 yang menunjukkan
bahwa petani sebagai produsen menerima harga output lebih rendah dari harga dunia yang pada tahun 2008 berada pada kisaran Rp. 2 600 sampai dengan 2 900
per kg lihat pembahasan lebih lanjut pada sub bab 5.7.1 .
Hal ini sesuai dengan data hasil wawancara di lapangan yang menunjukkan bahwa harga jual tertinggi
produk jagung petani di lokasi penelitian pada satu tahun terakhir dua musim tanam hanya rata-rata Rp. 2 138 per kg dan terendah Rp. 1 455 per kg atau
berada pada kisaran Rp. 1 000 sampai dengan 2 300 per kg. Nilai DRCR usahatani jagung sebesar 0.65 Tabel 15 menunjukkan
bahwa usahatani ini memiliki keunggulan komparatif. Nilai tersebut berarti bahwa untuk memproduksi jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow hanya
membutuhkan biaya sumberdaya domestik sebesar 65 persen terhadap biaya impor yang dibutuhkan. Dengan kata lain, setiap US 1.00 yang dibutuhkan
untuk mengimpor produk tersebut, hanya membutuhkan biaya domestik sebesar US 0.65, artinya untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka komoditas jagung
sebaiknya di produksi sendiri di Bolaang Mongondow dan tidak perlu didatangkan atau diimpor dari daerah atau negara lain. Demikian halnya dengan
usahatani padi yang memiliki nilai DRC sebesar 0.68, artinya bahwa untuk memproduksi padi beras di Kabupaten Bolaang Mongondow hanya
membutuhkan biaya sumberdaya domestik sebesar 68 persen atau cukup menghemat devisa jika memproduksinya di wilayah tersebut dibanding
mengimpornya. Sebagai komoditas kompetitor utama jagung di Kabupaten Bolaang
Mongondow terlihat bahwa komoditas padi lebih memiliki daya saing dibanding jagung. Hal ini tidak mengherankan karena tanaman padi merupakan tanaman
pangan utama yang keberadaannya sudah sejak lama diperhatikan dan dipacu produksi serta dikontrol harganya oleh pemerintah, dimana secara nasional sejak
dimulainya program Pra Bimas tahun 1952 dan di Propinsi Sulawesi Utara sendiri sejak adanya program transmigrasi dari Pulau Jawa dan Bali pada awal 1970-an.
Hasil penelitian BPTP Sulut pada tahun 1999 menunjukkan bahwa komoditi jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow memiliki nilai DRCR
sebesar 0.53. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow telah
mengalami penurunan keunggulan komparatif. Diduga hal ini terjadi karena faktor sumberdaya lahan yang semakin berkurang akibat konversi lahan, kenaikan harga-
harga input tradable dan faktor domestik serta tidak menentunya harga jual jagung hasil panen petani. Kurangnya proteksi pemerintah terhadap hasil jagung
petani, semakin memperparah kondisi usahatani jagung di Bolaang Mongondow khususnya dan Sulawesi Utara pada umumnya. Akibat yang sangat jelas terlihat
pada produksi jagung Sulut yang tidak bisa memenuhi ketentuan kuantitas stok dan kontuinitasnya, dimana para buyers menargetkan pembelian hingga 2000 ton
sampai tahun 2009, namun belum mampu dipenuhi sehingga jagung Sulut tidak diminati buyers, hal ini jelas sangat mempengaruhi pada tingkat daya saing
komoditi jagung Sulawesi Utara http:www.news.roll.co.idkomoditas23274- komoditi-jagung-kurang-diminati-buyershtml, 2009.
Khadijah 2002 mengemukakan bahwa produk pertanian Indonesia masih kalah bersaing dari sisi harga dibanding dengan negara lain. Di negara-negara
barat sistem pertanian sudah sangat efisien dengan produktivitas yang tinggi sehingga mampu menjual dengan harga murah. Sedangkan Indonesia
produktivitasnya masih rendah. Dengan adanya Pajak Pertambahan Nilai PPN pada produk pertanian maka harga produk pertanian akan bertambah mahal yang
mengakibatkan daya saing produk tersebut semakin menurun. Ketika daya saing produk menjadi rendah maka yang dihadapi bukan saja pasar internasional, tetapi
juga pasar lokal yang diserbu produk impor. Bisa dibayangkan dampak buruknya adalah stagnasi pertanian lokal. Ketika pertanian dalam negeri sudah tidak
berdaya maka akan terjadi ketergantungan terhadap produk pertanian impor. Hasil kajian Khadijah 2002 tersebut ternyata relevan dengan kenyataan
di Bolaang Mongondow. Berdasarkan temuan di lapangan menunjukkan bahwa pemberlakuan pajak retribusi komoditi pertanian oleh pemerintah Kabupaten
justru menurunkan tingkat daya saing komoditi jagung Bolmong lihat Tabel 18 halaman 76. Harga jual jagung di tingkat petani menjadi rendah, dimana pada
Musim Tanam MT I tahun 2008 rata-rata petani masih bisa merasakan harga sampai Rp. 2 300 per kg, namun pada MT II rata-rata harga jual hanya berkisar
Rp. 1 400 – 2 000 per kg. Di lain pihak para pedagang kemudian menjual hasil panen petani tersebut dengan harga tinggi. Diperoleh informasi bahwa harga
jagung di pasar tradisional saja pada Bulan Pebruari 2009 rata-rata sudah sebesar Rp. 2 500 per kg.
Berdasarkan hal tersebut, maka sangat perlu bagi pemerintah daerah merumuskan kebijakan yang lebih operasional sehingga dapat mengangkat
kembali tingkat daya saing jagung di Bolaang Mongondow. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain :
1. Menghilangkan atau mengurangi distorsi pasar baik pada pasar input maupun
pada pasar output, seperti pajak retribusi komoditi, mengontrol harga pembelian, dan lain-lain.
2. Mengefektifkan program-program penelitian yang bersifat terapan untuk
inovasi teknologi usahatani sehingga langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh para petani serta terjangkau dengan anggaran usahatani yang dimiliki petani.
3. Menyediakan sarana dan prasarana yang dapat meningkatkan aksesibilitas
sentra-sentra produksi terhadap pasar input maupun output, seperti pembentukan pasar lelang komoditi yang bersifat berkesinambungan.
5.7. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah