responden. Pengamatan dilakukan di tingkat Rumahtangga Tani RTT. Penentuan petani sampel dilakukan menurut kriteria acak sederhana. Sedangkan
untuk informan kunci seperti Penyuluh Pertanian Lapangan PPL, aparat desa, dan tokoh masyarakat ditentukan secara sengaja purposive dengan maksud
untuk mempermudah perolehan informasi yang lebih mendalam dan terarah. Dalam penelitian ini menitikberatkan pengamatan dan pengambilan data
pada kegiatan usahatani jagung, disamping itu sebagai pembanding digali pula informasi mengenai usahatani lain yang juga dilakukan di lahan petani yang
bersangkutan.
4.4. Metode Analisis
Dalam penelitian ini menggunakan Policy Analysis Matrix PAM atau Matriks Analisis Kebijakan. Dimana dalam PAM dapat diketahui besaran rasio
keunggulan komparatif DRCR dan kompetitif PCR serta dampak dari kebijakan, singkatnya perhitungan dapat dilakukan secara menyeluruh serta
sistematis output merupakan keuntungan privat dan sosial, efisiensi serta besaran insentif intervensi pemerintah pada produsen, konsumen dan pedagang
pengumpul. Metode analisis PAM tidak hanya digunakan untuk mengukur keunggulan
komparatif keuntungan sosial tapi juga mengukur dampak intervensi pemerintah pada suatu aktivitas ekonomi dalam hal ini usahatani jagung dan padi. Policy
Analisis Matrix juga dapat digunakan untuk menganalisis kegiatan usahatani
sebagai suatu sistem, termasuk di dalamnya pasca panen, pengolahan dan pemasaran.
Tahapan penggunaan metode PAM dalam penelitian ini adalah: 1.
Identifikasi input dan output secara lengkap dari usahatani jagung dan padi 2.
Menentukan harga bayangan dari input dan output usahatani jagung dan padi 3.
Memisahkan unsur biaya ke dalam kelompok tradable dan domestik 4.
Menghitung penerimaan usahatani jagung dan padi 5.
Menghitung dan menganalisis berbagai indikator keunggulan komparatif dan kompetitif berdasarkan Tabel PAM.
Nilai pada masing-masing sel dalam Tabel PAM untuk usahatani jagung dan padi dihitung dalam periode satu siklus produksi dua musim tanam dalam
setahun. Dari data tersebut selanjutnya dianalisis berbagai indikator sebagai berikut:
A. Analisis Keuntungan
1.
Private Profitability : D = A – B + C. Keuntungan privat merupakan
indikator keunggulan kompetitif dari sistem komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Apabila
D 0, berarti sistem komoditi itu memperoleh profit di atas normal. Hal ini memberikan implikasi bahwa komoditi itu mampu melakukan ekspansi,
kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditi alternatif yang lebih menguntungkan.
2.
Social Profitability : H = E – F + G. Keuntungan sosial merupakan
indikator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditi pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan yang efisien, apabila
H 0. Sebaliknya, bila H 0, berarti komoditi itu tidak mampu bersaing tanpa bantuan atau intervensi dari pemerintah.
B. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
1. Domestic Resource Cost Ratio
DRCR = GE – F. Nilai DRCR merupakan indikator kemampuan sistem komoditi membiayai faktor
domestik pada harga sosial. Jika DRCR 1 maka sistem komoditi tidak mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Sehingga
memboroskan sumberdaya domestik yang langka. Sebaliknya jika DRCR 1 dan atau lebih kecil lagi, maka sistem komoditi makin efisien dan
memiliki daya saing tinggi keunggulan komparatif serta mampu hidup atau berkembang tanpa bantuan dan intervensi pemerintah disamping
memiliki peluang ekspor yang lebih besar. 2.
Private Cost Ratio PCR = CA – B. Nilai PCR menjelaskan berapa
banyak sistem komoditi dapat menghasilkan untuk membayar faktor domestik dan tetap dalam kondisi kompetitif. Sehingga suatu usahatani
komoditi akan lebih kompetitif jika nilai D 0 atau nilai C harga privat faktor domestik A – B. Keuntungan maksimal akan diperoleh dengan
cara meminimumkan biaya faktor domestik. Apabila PCR 1 dan atau nilainya lebih kecil, maka artinya sistem produksi suatu usahatani mampu
membiayai faktor domestiknya pada harga privat dan kemampuannya semakin meningkat atau memiliki keunggulan kompetitif.
C. Dampak Kebijakan Pemerintah
a. Kebijakan Output
1.
Output Transfer : OT I = A-E : Transfer output merupakan selisih antara
penerimaan yang dihitung atas harga finansial private dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga bayangan atau sosial. Nilai OT
menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah yang dapat diterapkan pada output sehingga membuat harga output privat dan sosial berbeda. Jika nilai
OT 0 menunjukkan adanya transfer dari masyarakat konsumen terhadap produsen, demikian juga sebaliknya. Dalam pengertian masyarakat membeli
dan produsen menerima dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang seharusnya, begitu sebaliknya jika OT 0 negatif.
2.
Nominal Protection Coefficient on Output : NPCO = AE : merupakan rasio
penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan indikasi dari
transfer output. NPCO menunjukkan dampak kebijakan kegagalan pasar yang tidak dikoreksi oleh kebijakan efisiensi yang menyebabkan divergensi
antara harga privat dan sosial terhadap harga output. Kebijakan bersifat protektif terhadap output jika nilai NPCO 1 atau dengan kata lain
pemerintah menaikkan harga output di pasar domestik di atas harga efisiensinya harga dunia, dan sebaliknya kebijakan bersifat disinsentif jika
NPCO 1. b. Kebijakan Input
1.
Input Transfer : IT J = B – F : Transfer input adalah selisih antara biaya
input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Nilai IT menunjukkan adanya kebijakan
pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Jika nilai IT 0 positif, menunjukkan adanya transfer dari petani produsen kepada produsen input
tradable , demikian juga sebaliknya, atau dengan kata lain menunjukkan
besarnya transfer insentif dari produsen ke pemerintah melalui penerapan kebijakan tarif impor.
2.
Nominal Protection Coefficient on Input : NPCI = BF : indikator yang
menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input pertanian domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI 1,
berarti ada kebijakan subsidi terhadap input tradable, dimana hal ini dapat pula menunjukkan adanya hambatan ekspor input, sehingga proses produksi
dilakukan dengan menggunakan input dalam negeri. Sebaliknya jika NPCI 1 artinya pemerintah menaikkan harga input tradable di pasar domestik
diatas harga efisiensinya. Hal ini membawa implikasi sektor yang menggunakan harga input tersebut dirugikan dengan tingginya harga beli
input produksi.
3.
Factor Transfer : FT K = C – G : Transfer faktor merupakan nilai yang
menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak
diperdagangkan. Nilai FT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah terhadap produsen dan konsumen yang berbeda dengan kebijakan pada
input tradable . Intervensi pemerintah untuk input domestik dilakukan dalam
bentuk kebijakan subsidi positif dan negatif. Jika nilai FT 0 atau positif, artinya terdapat transfer dari petani produsen kepada produsen input non
tradable , atau dengan kata lain terdapat kebijakan pemerintah yang
melindungi produsen faktor domestik dengan pemberian subsidi positif, demikian juga sebaliknya, jika negatif atau FT 0 maka kebijakan lebih
berpihak pada petani.
c. Kebijakan Input-Output
1.
Effective Protection Coefficient : EPC = A-BE-F : yaitu indikator yang
menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input tradable. Kebijakan masih bersifat protektif jika nilai EPC 1 atau dengan kata lain
pemerintah menaikkan harga output atau input yang diperdagangkan diatas harga efisiensinya. Semakin besar nilai EPC berarti semakin tinggi tingkat
proteksi pemerintah terhadap komoditi pertanian domestik. Sebaliknya jika nilai EPC 1 maka kebijakan pemerintah tersebut tidak berjalan efektif.
2.
Net Transfer : NT L = D – H : Transfer bersih merupakan selisih antara
keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai NT 0, menunjukkan tambahan surplus produsen
yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output, demikian juga sebaliknya.
3.
Profitability Coefficient : PC = DH : Koefisien keuntungan adalah
perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. PC merupakan indikator yang lebih
lengkap dibandingkan EPC, yang menunjukkan dampak insentif transfer dari semua kebijakan harga output, input dan faktor domestik, sehingga
merupakan proteksi dari net policy transfer. Jika PC 0, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen.
Sebaliknya jika nilai PC 1 menunjukkan kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dibandingkan tanpa adanya
kebijakan. Artinya produsen harus mengeluarkan sejumlah dana kepada masyarakat konsumen.
4.
Subsidy Ratio to Producer : SRP = LE atau D-HE : indikator yang
menunjukkan proporsi penerimaan pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi atau pajak digunakan sebagai pengganti kebijakan. SRP
memungkinkan membuat perbandingan antara besarnya subsidi perekonomian bagi sistem komoditi pertanian. Apabila nilai SRP 0
negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari
opportunity cost , demikian pula sebaliknya.
4.5. Metode Penentuan Harga Bayangan