dapat dihilangkan karena keduanya saling memperkuat. Jika salah satu kebijakan tersebut dihapus, apalagi keduanya, maka dikhawatirkan akan menyebabkan
usahatani padi hancur sehingga tingkat ketergantungan Indonesia pada pasar dunia yang tipis akan makin besar. Kebijakan tarif saja atau kebijakan nontarif saja
tampaknya tidak cukup untuk melindungi pertanian padi nasional. Apalagi dengan penerapan kesepakatan WTO saat ini yang mengharuskan
setiap negara anggota untuk membuka pasar yang berdampak pada terjadinya fenomena banjir impor import surge. Ironisnya justru banjir impor terjadi pada
produk-produk bahan pangan, sehingga hal ini dapat merupakan suatu indikator ancaman faktor ancaman terhadap keberlanjutan ketahanan pangan nasional.
Dampak jangka panjangnya adalah ketergantungan pada bahan pangan impor atau anjloknya kemandirian pangan Simatupang, 2004.
5.7.2. Kebijakan Input
Secara keseluruhan hasil perhitungan Input Transfer IT, Nominal Protection Coefficient on Output
NPCO dan Factor Transfer FT pada Tabel 19 menunjukkan adanya kebijakan yang bersifat protektif terhadap produsen input
tradable dan faktor domestik non tradable baik pada usahatani jagung maupun
usahatani padi. Bentuk kebijakan tersebut biasanya diwujudkan lewat pemberian subsidi insentif baik terhadap proses produksi maupun terhadap produk akhir.
Hal ini sebenarnya dilakukan dengan harapan agar para petani sebagai pengguna konsumen dapat menerima harga input yang lebih rendah sehingga dapat
menekan biaya produksi usahataninya, namun kenyataan di lapangan jauh berbeda dengan harapan dan sasaran dari program kebijakan ini.
Berdasarkan hasil IT usahatani jagung dan padi pada Tabel 19 menunjukkan nilai yang negatif. Artinya bahwa secara implisit terdapat subsidi
terhadap input tradable dalam hal ini pupuk yang harus disediakan pemerintah setiap tahunnya. Pengertian lain bahwa terdapat transfer insentif dari produsen
pupuk ke petani. Sedangkan NPCI yang merupakan rasio untuk mengukur tingkat input transfer menunjukkan bahwa karena adanya subsidi terutama pada pupuk
maka total biaya input sebesar 64 persen dari biaya seharusnya untuk usahatani jagung dan 62 persen untuk usahatani padi, yaitu jika subsidi ditiadakan.
Tabel 19. Input Transfer, Nominal Protection Coeficient on Input dan Factor Transfer
Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow
Usahatani IT NPCI FT Jagung
Rp. -1 219 818.82 0.64
Rp. 1 030 788.26 Padi
Rp. -785 522.96 0.62
Rp. 1 306 012.31
Nilai FT pada Tabel 19 menunjukkan bahwa secara implisit subsidi yang harus disediakan terhadap faktor domestik tenaga kerja, modal dan lahan pada
dua musim tanam sebesar Rp. 1 030 788.26 untuk usahatani jagung dan Rp. 1 306 012.31 untuk usahatani padi.
Kondisi yang penulis temukan di lapangan, menunjukkan bahwa para petani setempat umumnya hanya menggunakan dua jenis pupuk dalam
usahataninya yaitu urea dan phonska. Kedua pupuk ini merupakan pupuk bersubsidi dengan Harga Eceran Tertinggi Pemerintah HET sampai ke Lini IV
kecamatan masing-masing sebesar Rp. 1 200 per dan Rp. 1 750 per kg. Namun pada kenyataannya harga pupuk bersubsidi di lokasi penelitian justru lebih mahal
dibandingkan HET. Untuk lebih memperjelas hal ini, Tabel 20 memperlihatkan harga jual pupuk yang berlaku pada lima lokasi penelitian di wilayah Kabupaten
Bolaang Mongondow. Tabel
20. Rata-Rata Harga Beli Pupuk “Bersubsidi” pada Lima Lokasi
Penelitian di Kabupaten Bolaang Mongondow No. Jenis
Pupuk Harga Pupuk di Lokasi Penelitian Rpkg
Poigar Bolaang Bolaang
Timur Lolayan Lolak
1. Urea
1 463 1 373
1 571 1 433
1 592 2.
Phonska 2 641
2 306 2 890
2 181 2 583
Fenomena tersebut jelas memperlihatkan tidak operasionalnya kebijakan subsidi pupuk yang diterapkan pemerintah selama ini. Oleh karena itu, perlu
adanya alternatif kebijakan untuk mengatasi hal ini, misalnya dengan pengalihan subsidi dari subsidi gas untuk proses produksi pupuk menjadi subsidi distribusi
atau transportasi ke petani yang bisa menekan biaya transportasi dan bisa berakibat langsung pada stabilisasi harga pupuk di tingkat petani.
Darwis dan Nurmanaf 2004 dalam kajiannya mengemukakan bahwa beberapa kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan pemerintah menyangkut
masalah pupuk di tingkat usahatani, yaitu: 1 rasionalisasi penggunaan pupuk di tingkat petani, 2 rekomendasi pupuk berdasarkan atas analisis tanah spesifik
lokasi, 3 peningkatan efektivitas penggunaan pupuk anorganik yang dikomplemen dengan pemanfaatan pupuk organik, 4 perbaikan pelaksanaan
standarisasi dan sertifikasi pupuk, dan 5 pelaksanaan kebijakan ekspor dan impor pupuk yang kondusif bagi kontinuitas dan harga pupuk di tingkat petani.
Menyangkut masalah subsidi pupuk, Syafa’at et al. 2007 dalam kajiannya mengemukakan bahwa terdapat kekuatan dan kelemahan subsidi pupuk
langsung ke produsen pupuk ataupun ke petani. Dikemukakan bahwa kekuatan modus subsidi langsung ke produsen pupuk, yaitu:
1. Pengelolaan subsidi relatif mudah. Hal ini karena pemerintah hanya perlu
berhubungan dengan beberapa produsen pupuk saja, yaitu Pupuk Iskandar Muda PIM, Pupuk Sriwijaya PUSRI, Pupuk Kujang Cikampek PKC,
Petro Kimia Gresik PKG, dan Pupuk Kalimantan Timur PKT 2.
Tidak diperlukan identifikasi petani penerima subsidi. Hal ini karena pengecer resmi lini IV dapat menjual pupuk bersubsidi kepada siapa saja baik petani
yang berhak maupun bukan. Namun sesuai kondisi lapangan pada saat penelitian, hal ini justru menjadi kelemahan modus subsidi langsung ke
produsen. Sebab hal ini mengakibatkan kelangkaan pupuk atau naiknya harga pupuk di tingkat petani. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
umumnya petani membeli pupuk pada toko atau pedagang pengumpul desa dengan harga tinggi, artinya pupuk bersubsidi justru dijual ke pedagang
pengumpul karena terdapat kebebasan distributor di lini IV tingkat kecamatan untuk menjual pupuk bersubsidi kepada siapapun.
3. Efektivitas dalam meningkatkan daya beli petani untuk membeli pupuk relatif
tinggi. Hal ini berlaku dengan syarat apabila efektivitas HET terjamin. Adapun kelemahan subsidi harga pupuk langsung ke produsen pupuk menurut
Syafa’at et al. 2007, yaitu: 1.
Harga pupuk terasa relatif murah. Hal ini karena Harga Eceran Tertinggi HET jauh lebih rendah daripada harga pasar bebas. Akibatnya, petani
cenderung melebihi dosis dalam penggunaan pupuk. Namun dalam penelitian ini menunjukkan bahwa harga pupuk di tingkat petani lebih mahal daripada
HET pemerintah. Artinya ada kelemahan dalam pola distribusi pupuk, entah di lini I – II ataukah di lini III – IV. Malahan sebagian petani terpaksa tidak
memupuk lahan pertaniannya karena ketiadaan biaya untuk membeli pupuk dan kalaupun ada kemampuan membeli pupuk, jumlah pupuk yang tersedia
justru terbatas, sehingga pemupukan dilakukan tidak sesuai anjuran pemupukan berimbang.
2. Terjadi dualisme pasar pupuk domestik, yaitu pasar pupuk dengan harga
bersubsidi dan pasar pupuk dengan harga tidak bersubsidi. Hal ini membuka peluang terjadinya aliran pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non subsidi
yang memicu terjadinya langka pasok. Selanjutnya
Syafa’at et al.
2007 mengemukakan terdapat pula kekuatan dan kelemahan jika subsidi harga pupuk diberikan langsung ke petani, yaitu:
Kekuatan : 1.
Harga pupuk terasa relatif mahal. Hal ini karena harga pupuk yang dibayar petani adalah harga pasar bebas. Akibatnya, petani cenderung tidak overdosis
dalam penggunaan pupuk. 2.
Dualisme pasar pupuk domestik, yaitu pasar pupuk dengan harga bersubsidi dan pasar pupuk dengan harga tidak bersubsidi, tidak terjadi. Hal ini karena
hanya ada satu harga pupuk yang berlaku di pasar yaitu harga pasar itu sendiri. Dalam hubungan ini petani penerima subsidi membeli pupuk dengan harga
pasar. 3.
Ketepatan subsidi mencapai sasaran adalah relatif tinggi. Hal ini karena petani penerima subsidi telah melalui seleksi dengan sejumlah kriteria tertentu.
Potensi mark-up dana subsidi adalah relatif sulit. Hal ini karena besarnya dana
subsidi yang dapat di-claim oleh produsen pupuk harus sesuai dengan jumlah kupon voucher yang telah digunakan untuk membeli pupuk bersubsidi
tingkat pengecer resmi. Kelemahan :
1. Pengelolaan subsidi adalah relatif sulit. Hal ini karena pemerintah perlu
berhubungan dengan puluhan juta petani. 2.
Diperlukan identifikasi petani penerima subsidi. Hal ini sudah barang tentu membutuhkan dana yang tidak kecil khususnya pada tahun pertama
diterapkannya modus bersangkutan. 3.
Dibutuhkan dana relatif besar untuk mencetak dan mendistribusikan kupon voucher. Dana ini harus tersedia setiap tahun selama modus tersebut
diterapkan. 4.
Potensi konflik antara petani dan petugas lapangan relatif tinggi. Hal ini karena walaupun petani penerima subsidi telah melalui seleksi dengan kriteria
tertentu namun tetap terbuka peluang ada petani yang tidak menerima subsidi meskipun mereka berhak berdasarkan kriteria yang berlaku.
5. Efektivitas dalam meningkatkan daya beli petani untuk membeli pupuk relatif
rendah. Hal ini berlaku dengan syarat apabila terjadi jual beli kupon voucher guna dibelikan kebutuhan pokok sehari-hari seperti beras, minyak tanah, dsb.
Fenomena semacam itu sangat mungkin terjadi dalam kondisi daya beli masyarakat yang rendah. Karena kupon voucher dijual untuk mendapatkan
uang tunai guna membeli makanan maka anggaran petani untuk membeli makanan membengkak naik sedangkan anggaran petani untuk membeli
pupuk tetap atau mungkin turun. Ini berarti daya beli petani untuk membeli
makanan meningkat, sedangkan daya beli petani untuk membeli pupuk adalah tetap. Karena daya beli petani untuk membeli pupuk adalah tetap maka jumlah
pupuk yang sanggup dibeli petani tidak berubah. Akibatnya, kuantitas produksi yang diperoleh juga tetap. Dengan demikian pemberian subsidi harga
pupuk yang dimaksudkan oleh pemerintah agar petani mampu meningkatkan penggunaan pupuk dan sekaligus meningkatkan kuantitas produksi menjadi
sia-sia. Nugroho 2009 dalam kajiannya mengemukakan bahwa pemerintah
menetapkan HET dan memberikan subsidi untuk mendukung kebijakan pangan murah. Namun pencapaian tujuan ini menimbulkan efek samping negatif sebagai
berikut: 1.
Transfer pendapatan dari pembayar pajak kepada pekerja pabrik pupuk dan produsen pengguna pupuk bersubsidi tidak selalu petani tanaman pangan,
namun juga pengusaha perkebunan yang secara ilegal membeli pupuk bersubsidi. Dengan HET Rp. 1 200, masyarakat harus mensubsidi paling
sedikit Rp. 2 800 per kg urea produksi PT. Pupuk Kaltim. Sementara untuk pupuk urea produksi tiga perusahaan lainnya PT. Pusri, PT. Petrokimia, PT.
Pupuk Kujang, masyarakat mensubsidi paling sedikit Rp. 900 per kg urea. 2.
Inefisiensi penggunaan pupuk urea. Petani yang mengejar peningkatan produksi akan menggunakan pupuk urea melebihi takaran efisien. Dampak
jangka panjangnya adalah penurunan kualitas hara tanah yang justru semakin mendorong petani untuk menggunakan pupuk lebih banyak lagi.
3. Tidak menariknya penggunaan pupuk organik karena pupuk urea cukup murah
dan jauh lebih praktis. Padahal pupuk organik lebih aman bagi kesehatan dan lingkungan.
5.7.3. Kebijakan Input-Output