I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sampai kurun waktu 1976 Indonesia masih termasuk salah satu negara pengekspor jagung net exporter, namun situasi ini secara drastis berubah setelah
kurun waktu tersebut, dari negara pengekspor menjadi negara pengimpor net importer
Swastika, 2002; Nuryartono, 2005. Hal ini berkaitan erat dengan pola konsumsi yang lambat laun berubah, dimana jagung tidak hanya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pokok pangan namun juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri, khususnya pakan ternak Nuryartono, 2005. Tercatat
kebutuhan jagung nasional untuk bahan baku pakan ternak pada tahun 2005 saja sudah mencapai 4.5 juta ton dan diprediksi akan meningkat setiap tahunnya
WWF Indonesia, 2008. Sedangkan sampai akhir tahun 2007 kebutuhan jagung nasional secara keseluruhan sebesar 13.8 juta ton, dimana 13.2 juta ton merupakan
produksi dalam negeri sementara 600 ribu ton diimpor dari negara lain. Adapun peningkatan permintaan terhadap komoditas jagung tersebut diperkirakan
mencapai 2.40 persen per tahun Antara News, 2007. Kebijakan swasembada beras selama ini menempatkan beras sebagai
produk pangan utama di Indonesia, sementara jagung menjadi second commodity dalam tatanan produk pangan di Indonesia. Hal ini tidaklah mengherankan karena
sejak era orde lama komoditi padi dalam hal ini beras telah memiliki peran strategis terutama menyangkut isu ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan
stabilitas politik.
Kebijakan perberasan nasional kemudian dimantapkan dalam GBHN 1999 – 2004, yang mengatur landasan utama perumusan kebijakan perberasan nasional
Puslitbangtan, 2005. Selanjutnya kebijakan perberasan nasional semakin dipermantap dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden INPRES No. 3 Tahun
2007 dan No.1 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan Nasional. Dimana pada intinya mengatur mengenai: 1 harga Pembelian Pemerintah HPP untuk gabah
kering panen dan kering giling, beras dan stabilisasi harga beras, 2 fasilitasi pupuk untuk usahatani padi, 3 penyaluran beras bersubsidi serta sasarannya, 4
masalah ekspor dan impor beras, dan 5 menyangkut koordinasi dan instruksi bagi kementrian dan departemen terkait serta pemerintah daerah.
Selanjutnya jagung lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri baik untuk pakan ternak maupun bio-energi, daripada antisipasi ketahanan
pangan. Sehingga aspek regulasi pun tidak semantap dan sekonsisten kebijakan perberasan. Alasan yang mendasari perubahan isu dari kepentingan pangan
menjadi kepentingan industri pakan adalah semata-mata sebagai antisipasi dari perkembangan industri ternak Indonesia yang semakin pesat. Sebagai gambaran
umum bahwa kapasitas produksi Perusahaan Makanan Ternak PMT di Indonesia, sekitar 6 908 000 ton per tahun. Apabila 50 persen berat bahan
bakunya adalah jagung, berarti setiap tahun memerlukan pasokan hampir 3.5 juta ton. Dengan rata-rata produksi jagung hibrida 5 ton per ha dan 2 kali tanam per
tahun, ini berarti untuk memenuhi kebutuhan PMT saja akan diperlukan lahan sekitar 350 000 ha per tahun Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha
Kecil Bank Indonesia, 2008.
Menurut Gabungan Perusahaan Makanan Ternak Indonesia GPMTI proyeksi kebutuhan jagung untuk pakan ternak akan naik dari 3.5 juta ton per
tahun menjadi 7 juta ton per tahun dalam kurun waktu tahun 2004 – 2010 Departemen Perindustrian, 2004. Data FAO menunjukkan bahwa produksi
jagung nasional pada tahun 2006 sebesar 11 610 646 ton dengan luas areal panen sebesar 3 346 427 ha FAO, 2008. Sedangkan Produksi jagung Sulawesi Utara
pada tahun 2006 menurut data BPS, sebesar 406 759 ton dengan luas areal panen sebesar 115 664 ha Badan Pusat Statistik, 2008. Hal ini menunjukkan bahwa
sekitar 30 persen dari produksi jagung nasional tersebut tersedot oleh kebutuhan pabrik pakan ternak, dan ini akan meningkat terus setiap tahunnya sesuai dengan
proyeksi dari GPMTI. Sementara produksi jagung Sulawesi Utara hanya memberikan kontribusi sekitar 12 persen dari total kebutuhan jagung untuk pakan
ternak. Seiring kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
RPPK yang dicanangkan pada tahun 2005, pemerintah Indonesia kemudian memandang optimis akan perkembangan jagung ini dengan menargetkan
swasembada jagung pada tahun 2007 Nuryartono, 2005. Antisipasi ini dimungkinkan mengacu pada pertumbuhan produksi jagung lima tahun terakhir
2000-2004 yang besarnya 4.24 persen per tahun dan laju peningkatan kebutuhan yang besarnya 2.74 persen per tahun Badan Litbang Pertanian, 2005 dalam
Suryana, 2006. Target pemerintah ini tidak lepas dari kebijakan umum RPPK, dimana strategi kedua adalah peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah
dan kemandirian produksi dan distribusi PPK melalui praktek usaha pertanian yang baik good agriculture practice Departemen Pertanian, 2005.
Selanjutnya pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Utara menyambut RPPK 2005 tersebut dengan meluncurkan Crash Program Agribisnis, dimana ditetapkan
beberapa komoditas pertanian dan perikanan unggulan yang menjadi prioritas utama untuk ditumbuhkembangkan yaitu jagung, rumput laut dan kelapa dalam
bentuk Virgin Coconut Oil VCO. Mengacu dari strategi kedua kebijakan RPPK tersebut aspek daya saing komoditas unggulan, maka perlu dilakukan penelitian
dan atau kajian mengenai aspek daya saing keunggulan komparatif dan kompetitif khususnya komoditi jagung di Bolaang Mongondow yang merupakan
salah satu wilayah sentra jagung di Sulawesi Utara selain juga terkenal sebagai “lumbung berasnya” Sulawesi Utara.
Komoditas jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow sejak tahun 2006 mengalami peningkatan produksi yang signifikan. Tahun 2005 tercatat produksi
total jagung Bolmong sebesar 69 000 ton, meningkat menjadi 110 670 ton pada tahun 2006, selanjutnya naik menjadi 119 282 ton pada tahun 2007 dan tahun
2008 meningkat lagi menjadi 126 857 ton Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008. Peningkatan produksi tersebut
diikuti oleh peningkatan luas areal tanam, luas areal panen dan produktivitasnya. Pada tahun 2006 luas areal tanam, luas areal panen dan produktivitas jagung
berturut-turut masih sebesar 38 692 ha, 36 835 ha dan 30.15 ton per ha. Kemudian meningkat pada tahun 2008 sebesar 38 813 ha, 37 839 ha dan 35.50 ton per ha
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008. Bahkan pada tahun 2007 sebanyak 2000 ton jagung Bolmong telah
diekspor ke Davao, Phillipina Harian Komentar, 2 Juni 2007.
Peningkatan luas areal tanam, luas areal panen, produktivitas dan produksi jagung di Bolaang Mongondow selama kurun waktu tiga tahun terakhir terjadi
karena sejak dicanangkannya Crash Program Agribisnis Sulawesi Utara jagung dipacu dan diangkat menjadi komoditas unggulan, sehingga bisa lebih memiliki
daya saing serta membuka peluang untuk ekspor Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008.
1.2. Perumusan Masalah