II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Teori ini disinggung pertama kali oleh Adam Smith kemudian diperkaya dan dikembangkan oleh David Ricardo pada awal abad ke 19, sehingga untuk
menggambarkan teori ini secara umum, maka sering digunakan istilah “Ricardian Model” Gonzalez, 2004.
Gonzalez 2004 mengemukakan bahwa terdapat kesalahpahaman dalam mengartikan keunggulan komparatif. Pertama, prinsip dari keunggulan
komparatif adalah sangat kontra-intuitif. Banyak hasil dari model formal mengandung kontroversi secara logika. Kedua, teori tersebut sangat mudah untuk
membawa kebingungan dengan dugaan lain mengenai keuntungan, yang dikenal dalam teori perdagangan sebagai teori keunggulan absolut. Dasar pemikiran dari
keunggulan absolut cukup intuitif. Kebingungan antara dua konsep teori ini membuat banyak orang untuk berpikir bahwa mereka paham keunggulan
komparatif dalam faktanya, padahal yang dipahami adalah keunggulan absolut. Dalam penjelasan mengenai teori keunggulan komparatif sering disajikan dalam
bentuk matematis, menggunakan contoh-contoh numerik atau representasi diagrammatic
untuk menggambarkan hasil dasar dan implikasi terdalam dari teori tersebut. Bagaimanapun, teori tersebut mudah untuk dilihat secara matematik,
tanpa perlu memahami intuisi dasar dari teori tersebut. Selanjutnya dikemukakan bahwa disebabkan ide dasar dari keunggulan
komparatif yang tidak intuitif, maka cara terbaik untuk memahami teori ini adalah dengan mempelajari temuan dari David Ricardo. Dalam contohnya, Ricardo
menyajikan dua negara, Inggris dan Portugal yang memproduksi dua barang, yaitu pakaian dan anggur dengan menggunakan tenaga kerja sebagai input penjualan
dalam produksi. Ricardo berasumsi bahwa produktivitas tenaga kerja seperti kuantitas produksi per pekerja bervariasi antara industri dan antar negara. Inggris
lebih produktif dalam produksi salah satu barang dan Portugal lebih produktif pada hal yang lain, Ricardo berasumsi bahwa Portugal lebih produktif pada kedua
barang tersebut. Jika Portugal dua kali relatif lebih produktif dalam produksi kain dan tiga kali dalam produksi anggur, maka kemudian dikatakan bahwa Portugal
memiliki keunggulan komparatif untuk produk anggur. Sebaliknya Inggris dikatakan lebih memiliki keunggulan komparatif untuk produk kain. Hal ini
menyiratkan bahwa untuk mendatangkan keuntungan dari spesialisasi produk dan perdagangan bebas, maka Portugal harus mengkhususkan diri memproduksi dan
memperdagangkan barang-barang yang paling baik dalam produksi, sedangkan Inggris mengkhususkan diri memproduksi dan memperdagangkan barang-barang
yang sedikit buruknya dalam produksi Gonzalez, 2004. Namun dewasa ini teori keunggulan komparatif comparative advantage
telah mengalami pergeseran, seiring dikonsepkannya kembali comparative advantage
oleh Paul Krugman, seorang ekonom penerima hadiah Nobel tahun 2008. Menurut Handerson 2008 teori Krugman menjelaskan bahwa banyak
perdagangan inernasional mengambil lokasi antar negara dengan ratio capital yang sama untuk tenaga kerja. Teori Krugman mencontohkan industri mobil di
Swedia yang menggunakan intensive capital dimana Swedia mengeskpor mobil ke Amerika, sementara konsumen Swedia juga mengimport mobil dari Amerika.
Penjelasan Krugman mengenai comparative advantage didasari pada economies of scale
. Teori Krugman mengatakan bahwa: “sebab dari economies of scale, produsen mempunyai insentif untuk
berkonsentrasi memproduksi setiap barang atau jasa pada jumlah terbatas dari lokasi tertentu. Disebabkan karena biaya transaksi melewati jarak
secara geografis, maka lokasi yang diinginkan dari tiap produsen adalah tempat dimana permintaan besar atau jumlah input yang sesuai – yang
secara umum adalah suatu lokasi yang dipilih oleh produsen yang lain. Sehingga secara geografis konsentrasi dari industri, sekali dimapankan
dimantapkan, sehingga cenderung untuk berkelanjutan dengan sendirinya” Handerson, 2008.
Intinya, tidak seperti Ricardo yang menyarankan bahwa setiap negara atau daerah harus memiliki spesialisasi dalam memproduksi suatu barang agar dapat memiliki
comparative advantage terhadap negaradaerah lain dengan memproduksi barang
yang berbeda, namun Krugman mengemukakan bahwa setiap negara dapat memiliki comparative advantage terhadap negara lainnya dengan memproduksi
barang yang sama atau tidak perlu spesialisasi produksi karena adanya kemajuan teknologi Krugman and Venables, 1996; Handerson, 2008.
Berhubungan dengan hal spesialisasi produk, Ricci 1999 dalam penelitiannya mengenai aglomerasi versus spesialisasi menemukan bahwa
aglomerasi dalam suatu negara akan mengurangi spesialisasi dalam industri yang Increasing Return to Scale
IRS. Selanjutnya dikemukakan bahwa keunggulan komparatif menentukan model atau pola spesialisasi. Dimana dalam aktivitas IRS,
masing-masing negara akan lebih mengkhususkan pada produksi barang yang memiliki keunggulan komparatif.
Tsakok 1990 mengemukakan bahwa konsep dari keunggulan komparatif dan absolut memang sering membingungkan, namun pada prinsipnya mereka
sangat berbeda. Keungguan absolut merujuk pada perbedaan dalam tingkat biaya
absolut pada produksi suatu negara. Sedangkan keunggulan komparatif merujuk pada perbedaan dalam opportunity cost diantara negara yang melakukan
perdagangan. Keunggulan komparatif memiliki dua pengertian. Pertama, pengertian mengenai efisiensi produksi yang membandingkan antara dua atau
lebih negara-negara yang melakukan perdagangan. Negara-negara dengan opportunity cost
yang paling rendah adalah relatif lebih efisien dan memiliki keunggulan komparatif. Mereka memiliki biaya keunggulan dibanding dengan
produsen lainnya dan memiliki daya saing internasional internationally competitive
. Kedua, pengertian keunggulan komparatif merujuk pada efisiensi dari berbagai jenis produksi di dalam ekonomi domestik, yang dibandingkan pada
pendapatan atau simpanan dari setiap unit devisa. Adapun konsep atau teori keunggulan kompetitif competitiveness
digunakan untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar yang berlaku analisis finansial.
Porter 2008 mengemukakan bahwa competitiveness merupakan suatu konsep yang tidak mudah dipahami, namun dilain pihak arti pentingnya diterima
secara luas. Definisi yang paling intuitif mengenai competitiveness adalah share suatu negara dari pasar dunia untuk produk tertentu. Hal ini membuat
competitiveness sebagai suatu “zero-sum game”, sebab salah satu keuntungan
suatu negara datang dari biaya negara lainnya. Gambaran mengenai competitiveness
ini adalah legalisasi tindakan suatu negara untuk intervensi pasar atau disebut juga kebijakan industrial, termasuk kebijakan untuk menyediakan
subsidi, menahan upah lokal dan mendevaluasi mata uang suatu negara. Faktanya,
hal ini masih sering dikatakan bahwa upah yang lebih rendah atau devaluasi akan membuat suatu negara lebih kompetitif.
Untuk dapat mengerti competitiveness, maka harus diawali atau didasari pada sumber-sumber kemakmuran. Standar hidup suatu negara ditentukan oleh
produktivitas ekonominya yang diukur dengan nilai barang dan jasa per unit yang diproduksi dari sumberdaya manusia, kapital dan sumberdaya alam suatu negara.
Produktivitas tergantung pada nilai produk dan jasa suatu negara yang diukur dengan harga di pasar bebas serta efisiensi. Selain itu competitiveness suatu
negara atau wilayah membaik jika negara atau wilayah tersebut mampu meningkatkan kapabilitas produksi mereka yang didorong oleh faktor-faktor :
level negara, industri, perusahaan dan individu Porter, 2008. Martin et al. 2008 mengemukakan bahwa terdapat dua belas pilar dari
competitiveness . Pernyataan tersebut dijelaskan pada Gambar 1, dimana walaupun
keduabelas pilar competitiveness tersebut digambarkan secara terpisah, namun hal ini tidak mengaburkan fakta bahwa bukan hanya terkait satu dengan lainnya
namun keduabelas pilar tersebut cenderung saling menguatkan satu sama lain. Contohnya, inovasi pilar keduabelas tidak mungkin ada didunia ini tanpa suatu
institusi pilar pertama yang menjamin kebebasan intelektual. Dimana hal ini tidak dapat dibentuk pada negara-negara dengan tingkat pendidikan dan kualitas
angkatan kerja yang rendah pilar kelima. Selain itu, tidak akan mendapat tempat dalam ekonomi dengan pasar yang inefisien pilar keenam, tujuh dan delapan
atau tanpa infrastruktur yang ekstensif dan efisien pilar kedua. Namun pengaruh pilar-pilar tersebut akan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya,
terutama antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju.
Sumber : Martin et al. 2008 Gambar 1. Dua Belas Pilar Competitiveness
Selanjutnya berdasarkan kluster yang terbentuk dari keduabelas pilar tersebut, Porter 2008 menggambarkan tahapan dalam membangun competitiveness seperti
terlihat pada Gambar 2.
Sumber: Porter 2008 Gambar 2. Tahapan-Tahapan dalam Membangun Competitiveness
Tahap factor-driven
merupakan faktor kondisi awal seperti biaya tenaga kerja rendah dan sumberdaya alam yang tidak terproses terolah. Dimana hal
tersebut merupakan sumber yang dominan dari keunggulan kompetitif dan eksport. Perusahaan memproduksi komoditi atau produk yang relatif sederhana.
Pada tahap investment-driven, efisiensi dalam memproduksi produk standar dan
Basic requirements
• Institutions
• Infrastructure
• Macroeconomic stability
• Health and primary education
Efficiency enhancers
• Higher education and training
• Goods market efficiency
• Labor market efficiency
• Financial market sophistication
• Technological readiness
• Market size
Innovation and sophistication factors
• Business sophistication
• Innovation
Key for
Factor-driven
economies
Key for
Efficiency-driven
economies
Key for
Innovation-driven
economies
Factor-driven economy
Investment-driven economy
Innovation-driven economy
Input Cost Efficiency
Unique value
jasa menjadi sumber dominan dari keunggulan kompetitif. Sedangkan faktor investasi besar dalam infrastruktur, administrasi negara yang baik, insentif
terhadap investasi dan akses yang baik pada kapital menciptakan produktivitas yang baik. Investment-driven economy dikonsentrasikan pada manufaktur dan
jasa-jasa eksport. Pada tahap innovation-driven, kemampuan inovasi produk dan jasa menjadi terdepan. Dengan menggunakan beberapa metode lanjutan, maka hal
ini menjadi sumber yang dominan dari keunggulan kompetitif. Institusi dan insentif mendukung inovasi dengan baik. Perusahaan-perusahaan bersaing dengan
produk-produk strategis secara global. Pada tahap ini ekonomi memiliki high share
dari jasa-jasa dalam ekonomi dan tahan terhadap external shock.
2.2. Kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan