Perencanaan Saluran Distribusi Menurut The Body Shop Indonesia

menengah ke atas. Menurut Dana Vanden Heuvel 2009, merek premium cenderung memberikan pelayanan dan pengalaman berbelanja kelas tinggi bagi pelanggannya. Hal ini bisa berhubungan dengan servis dalam gerai, maupun suasana berbelanja yang ditawarkan. Steve Jobs, pendiri Apple, meyakini bahwa dengan menjual produknya di department store maupun toko elektronik, tidak akan mampu merepresentasikan image mereknya. Maka dari itu, ia memperkenalkan gerai eksklusif khusus Apple, yang membedakan merek prestisius ini dengan produk elektronik yang lain, sekaligus mampu memberikan pengalaman belanja yang berbeda bagi konsumennya www.mpdailyfix.com , diakses pada 2812009 Seperti halnya Apple, The Body Shop Indonesia pun berinvestasi besar pada saluran distribusi yang mereka gunakan mal. Sebagai merek masstige, The Body Shop sangat memperhatikan tingkat representasi gerai yang dipakainya. Merek ini biasa membuka gerai di mal – mal premium, walaupun tidak menutup kemungkinan untuk membukanya di mal kelas menengah, sebagai penyesuaian konsep masstige yang mereka jalankan. Beberapa mal premium yang dianggap sangat prospektif oleh pihak manajemen merek ini adalah Pondok Indah Mall, Grand Indonesia, dan Plaza Senayan.

2.1. Perencanaan Saluran Distribusi Menurut The Body Shop Indonesia

Dalam memilih saluran distribusinya, The Body Shop terkesan cukup selektif. Sikap ini penting, karena kesalahan pemilihan saluran distribusi, bisa mengancam kredibilitas merek di mata stakeholder , khususnya pelanggan. Maka tak heran, The Body Shop hanya memilih mal terkemuka sebagai saluran distribusinya, yang mampu menjaga bahkan meningkatkan image- nya a. Posisi Tawar The Body Shop di Mata Mal Premium Sebagai merek yang telah memiliki brand image dan brand awareness yang sangat baik di benak khalayak, The Body Shop seolah-olah mempunyai privilege dalam hal pemilihan saluran distribusi. Bahkan tak jarang, berdasar penuturan informan dari pihak internal Andrei Aksana, justru pihak mal yang sering “menawarkan diri” agar The Body Shop membuka gerainya di mal yang mereka kelola. Padahal, privilege ini pada umumnya diberikan kepada merek premium, karena dengan adanya tenant dan anchor premium, akan mampu mendongkrak image dan positioning mal tersebut. Berdasarkan pengamatan penulis, kuatnya posisi tawar The Body Shop di mata mal – mal prestisius tersebut tak lepas dari kuatnya media relations yang berhasil dibangun. Tidak seperti The Body Shop di negara lain yang media relations nya cenderung “standar”, The Body shop Indonesia mampu menciptakan hubungan dengan media yang kuat, sehingga berimplikasi pada banyaknya media coverage yang diterima merek ini, baik dari majalah kelas menengah maupun kelas premium. Semakin terpaparnya merek ini, khususnya di majalah premium, menjadikan The Body Shop mampu memiliki tempat yang “terhormat” di benak publik, termasuk saluran distribusi. Menurut Keller, kuatnya suatu merek di mata publik mampu memberikan berbagai keuntungan dalam hal saluran distribusi. “...brands with positive customer-based brand equity are more likely to receive greater trade cooperation and support. This treatment might translate into more prominent and desirable shelf placement or store locations, more attractive promotional offers and displays, and so on.” Keller, 2002:106 Menurut teori di atas, sebuah merek yang telah memiliki brand equity yang kuat di mata konsumen, mampu mendapat fasilitas lebih dari saluran distribusi yang dia gunakan. Fasilitas lebih ini bisa berupa lokasi gerai yang strategis maupun ditempatkan di rak yang mudah diakses dan “terlihat”, bagi merek yang dijual di supermarket. Hal ini akan memberikan beberapa keuntungan bagi merek tersebut, seperti mudah dijangkau oleh pelanggan, mudah terlihat diantara kerumunan merek yang lain, dan tentunya mampu menarik perhatian konsumen sehingga akan berimplikasi positif pada peningkatan penjualan. Dalam observasinya, penulis melihat The Body Shop mendapatkan lokasi gerai yang cukup strategis dan representatif. Gerai merek ini kebanyakan ditemukan di dekat eskalator mal, sehingga mudah dijangkau dan selalu terlihat oleh pengunjung mal. Pun demikian dengan lokasi The Body Shop, baik di Grand Indonesia, Plaza Senayan, maupun Pondok Indah Mall, merek ini ditempatkan tak jauh dari eskalator yang ramai digunakan pengunjung untuk lalu – lalang. Walaupun pada umumnya diterapkan sistem zoning, dimana The Body Shop ditempatkan berdekatan dengan merek yang sesuai dengan aspirasinya masstige, hal tersebut justru menjadi keuntungan. Sebagai merek masstige, The Body Shop dirancang untuk memenuhi aspirasi pelanggan menengah dan menengah ke atas. Harga produk pun bervariasi, guna memenuhi aspirasi target pasarnya yang cukup luas. Apabila The Body Shop diletakkan berdekatan dengan merek-merek premium dan berharga tinggi, pelanggan justru akan merasa enggan dan ragu untuk masuk ke dalam gerai. Selain itu, kesan The Body Shop sebagai merek beretika akan tenggelam dalam kesan glamor dan mahal semata, sehingga keunikan, USP, dan etika bisnis yang dianut akan tampak samar. b. Pertimbangan The Body Shop Dalam Pemilihan Mal Menurut Handaka Santosa, CEO salah satu mal premium di Jakarta – Senayan City – ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan bagi suatu merek yang ingin membuka gerainya di suatu mal. Pertimbangan tersebut lebih kepada seberapa representatifkah mal yang akan digunakan untuk membuka gerai. Apalagi bagi merek premium, tentunya akan memilih mal premium pula untuk melakukan aktivitas pemasarannya. ”Suatu mal yang memposisikan dirinya sebagai mal premium harus memenuhi empat aspek, yaitu lokasi yang strategis dan premium, akses yang mudah dan representatif, pelayanan prima, dan banyaknya tenant internasional di dalam mal tersebut.” Handaka Santosa, dalam Kontan edisi 22 Januari 2008 hal. 22 b.1.Berdasarkan Beberapa Pertimbangan i. Positioning Mal Melalui Heterogenitas TenantAnchor Bercermin pada pendapat yang dikemukakan oleh Handaka di atas, penulis melihat bahwa The Body Shop Indonesia pun dalam memilih mal untuk membuka gerai, juga memperhatikan faktor – faktor tersebut. Sesuai dengan pendapat informan The Body Shop, manajemen dalam memilih suatu mal akan mempertimbangkan beberapa hal, yang salah satunya adalah positioning mal. Mal dengan positioning menengah dan menengah ke atas lah yang menjadi tujuan The Body Shop. Dalam melihat positioning suatu mal, heterogenitas tenant dan anchor internasional menjadi indikator utama untuk mengidentifikasi, di positioning mana mal tersebut bermain. Banyaknya tenant internasional, akan sangat berpengaruh pada kepremiuman mal tersebut. The Body Shop pun menggunakan dua faktor ini positioning mal dan heterogenitas tenantanchor sebagai landasan dalam memilih mal. Sebagai merek masstige, The Body Shop hanya akan memilih mal dengan positioning yang cenderung menengah ke atas dengan tujuan untuk mempertahankan positioning mereknya. Pemilihan positioning mal menjadi hal yang sangat krusial. Hal ini dikarenakan, dengan mengetahui positioning suatu mal yang akan kita tuju, berarti kita bisa mengetahui apakah mal tersebut sesuai untuk merek yang kita jual. Kotler menjelaskan pentingnya memilih saluran distribusi yang tepat. ”Marketing channel decisions are among the most critical decisions facing management. The channel chosen intimately affect all the other marketing decisions.” Kotler, 2000:490 ii. Lokasi dan Kemudahan Akses Mal Faktor terakhir yang menjadi pertimbangan The Body Shop dalam memilih mal adalah lokasi dan kemudahan akses mal. Bagaimanapun, lokasi yang strategis dan prestisius serta akses keluar masuk mal yang representatif, akan semakin memperkuat kesan kepremiuman mal tersebut. Selain itu, lokasi yang strategis dan mudah terjangkau seakan memberikan jaminan bagi banyaknya jumlah pengunjung yang datang traffic. Sebagai kelanjutannya, traffic yang baik pun akan berpengaruh pada kesuksesan The Body Shop dalam melakukan aktivitas pemasaran dan permerekan di dalam mal tersebut. Dari penjelasan di bab III, dapat ditarik kesimpulan bahwa pihak manajemen telah mempertimbangkan faktor – faktor kepremiuman mal, seperti yang Handaka Santosa sampaikan. Namun demikian, The Body Shop kurang memperhatikan faktor servis mal, karena bisa jadi faktor tersebut dianggap kurang krusial. Pemilihan saluran distribusi yang tepat pun sudah selayaknya dipertahankan oleh The Body Shop, dikarenakan memilih saluran distribusi yang sesuai dengan karakteristik merek merupakan salah satu bagian terpenting dari manajemen pemasaran. Hal ini akan berpengaruh pada hampir semua bidang pemasaran. b.2. Inkonsistensi Pemilihan Mal Penulis mengapresiasi langkah The Body Shop yang cukup selektif dalam memilih mal. Adanya anchor yang berpotensi merusak image The Body Shop dan mal itu sendiri, sebisa mungkin pihak manajemen akan menghindari mal tersebut. Bahkan, secara eksplisit informan dari The Body Shop Andrei Aksana menyebutkan bahwa mal dengan anchor Ramayana maupun anchor lain selevel itu, tidak akan memenuhi aspirasi The Body Shop. Namun, penulis melihat adanya inkonsistensi dari pendapat informan tersebut dengan kenyataan yang ada. The Body Shop justru terkesan ingin ”kejar setoran” dengan membuka gerai sebanyak – banyaknya, bahkan tak jarang ditemui di mal – mal yang tidak sesuai aspirasinya. Pendapaat penulis inipun didukung dengan pernyataan salah satu informan dari media Hanie Kusuma, yang menyayangkan merek asal inggris ini membuka gerainya di mal – mal menengah ke bawah, seperti Blok M Plaza, Pejaten Mall, Bintaro Plaza, dll. Walaupun ketiga mal tersebut memiliki traffic yang cukup baik, namun kecenderungannya, ketiga mal tersebut saat ini telah bergeser menjadi mal menengah ke bawah. Hal ini terbukti dengan sangat sedikitnya tenant berkelas yang ada, dan rata – rata pengunjung mal yang kebanyakan adalah remaja dan kemungkinan besar masyarakat menengah ke bawah. Adanya The Body Shop di ketiga mal tersebut sangat kontras apabila melihat merek ini juga ditemukan di mal – mal premium seperti Plaza Senayan, Pondok Indah Mall, dan Grand Indonesia. Adanya The Body Shop di mal yang kurang sesuai, akan merusak image merek ini di mata konsumen. ”The channel used to deliver the product to customers must offer the appropriate identity and support.” Gorchels, 2005 Menurut Keller, keputusan memilih saluran distribusi yang tepat sangatlah penting, karena mempengaruhi ekuitas merek. Konsumen akan mengasosiasikan merek kita dengan image retailer yang digunakan. Apabila konsumen mengasosiasikan suatu mal secara positif, mereka pun akan mempersepsi merek – merek yang ada di mal tersebut juga secara positif. Retailer adalah bentuk saluran distribusi yang menjual produk pada konsumen akhir independent store – termasuk mal, department store, wholesaler, supermarket ,dll Sebagai contoh adalah Calvin Klein yang selain menjual produknya melalui independent store yang eksklusif, dapat pula ditemukan di dalam department store terkemuka dari Inggris, Harvey Nichols. Dijualnya Calvin Klein di department store ini mampu menjaga eksklusivitas dan image Calvin Klein sebagai merek internasional berkelas dalam industri fashion, karena dijual di Harvey Nichols yang diasosiasikan sebagai departemen store mewah dan ternama. Apabila Calvin Klein kemudian juga ditemukan di Matahari, misalnya, hal ini akan merusak kredibilitas dan image Calvin Klein. ”...retail stores can indirectly affect the brand equity of the products they sell by influencing the nature of associations that are inferred about these products on the basis of the associations linked to the retail stores in the minds of the consumers.” Keller, 2002:358 Penulis memahami bahwa konsep masstige mengharuskan The Body Shop memenuhi aspirasi dua kelas yang berbeda, yaitu kelompok sosio-ekonomi menengah dan menengah ke atas. Namun, mengorbankan image merek dengan membuka gerai di mal yang cenderung dianggap sebagai mal menengah ke bawah, dapat mengancam kredibilitas merek ini di mata publik. Penulis merasa perlu merekomendasikan agar The Body Shop lebih selektif lagi dalam memilih mal kelas menengah, karena tidak semua mal kelas menengah cukup representatif bagi The Body Shop. Apalagi, mal menengah yang cenderung bergeser menjadi mal menengah ke bawah, akibat banyak ditinggalkan oleh tenant – tenant andalan, serta pergeseran profil pengunjung.

2.2. Analisa Persepsi Saluran Distribusi Terhadap Positioning The Body Shop

Dokumen yang terkait

Pengaruh Sikap Konsumen Tentang Penerapan Program Corporate Social Reponsibility (CSR) Terhadap Brand Loyalty The Body Shop Pada Pegawai PT. Indosat Cabang Medan

1 30 64

Positioning Brand Dan Minat Beli (Studi Korelasional Pengaruh Iklan Positioning Brand AXE Apollo di RCTI Terhadap Minat Beli Mahasiswa FISIP USU)

1 57 138

Pengaruh Promosi dan Potongan Harga Terhadap Keputusan Pembelian Kosmetik Merek The Body Shop Outlet Sun Plaza Medan

8 63 117

Evaluasi Product Positioning Isuzu Panther dengan Menggunakan Persepsi Konsumen di Kabupaten Jember

0 3 67

Analisis Pengaruh Produk, Harga, Distribusi, dan Promosi terhadap Keputusan Pembelian The Celup Sariwangi (Studi Kasus Pada Konsumen Rumah Tangga

3 79 129

Pengaruh Green Product dan Green Advertising Terhadap Keputusan Pembelian (Survei Pada The Body Shop Cabang Bandung Indah Plaza)

0 3 1

Pengaruh Pelaksanaan Konsep Pemasaran Hijau Dan Sikap Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Di The Body Shop Cabang Bandung Indah Plaza

3 40 142

Analisis Faktor Brand Awareness, Brand Exposure, Customer Engagement, Dan Electronic Word-of-Mouth Dalam Pemasaran Melalui Media Sosial Pada The Body Shop Indonesia

1 6 10

Pengaruh Brand Image dan Product Knowledge terhadap Purchase Intention dengan Green Price sebagai Moderating Variabel pada Produk the Body Shop di Surabaya

0 1 11

Pengaruh Brand Image dan Product Knowledge terhadap Purchase Intention dengan Green Price sebagai Moderating Variabel pada Produk the Body Shop di Surabaya

0 1 172