Pemahaman Konsep Mass Brand dan Premium Brand

masih dibagi ke dalam beberapa tingkatan seperti pembuat keputusan, pengguna akhir, dan lain sebagainya. Selain itu, segala aktivitas permerekan pastilah ditujukan untuk memenuhi ekspektasi konsumen, sekaligus memberikan benefit values bagi mereka. Tak ayal, posisi konsumen menempati posisi yang sangat penting bagi aktivitas pemasaran suatu merek. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan konsumen adalah para pengguna akhir produk The Body Shop, yang penulis bagi menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama adalah mereka yang menjadi anggota The Body Shop People, yang merupakan sebuah klub keanggotaan dari The Body Shop dengan berbagai keuntungan bagi anggotanya. Sesuai dengan observasi penulis, pelanggan diharuskan berbelanja minimal Rp 750.000 dalam satu kali transaksi, untuk mendapatkan kartu keanggotaan dengan berbagai keuntunngan dan fasilitas ini. Sementara kelompok kedua adalah konsumen yang bukan anggota The Body Shop People, namun pernah memiliki pengalaman, membeli, ataupun memakai produk The Body Shop. Masing-masing kelompok terdiri dari 3 informan, yang dipilih berdasarkan keanekaragaman profesi dan tingkat pendidikan.

3.1. Pemahaman Konsep Mass Brand dan Premium Brand

Tidak seperti informan dari pihak media dan saluran distribusi yang tentunya sudah sangat paham dengan konsep positioning, dalam menentukan informan dari pihak konsumen, penulis perlu menanyakan beberapa pertanyaan tentang konsep positioning. Hal ini khususnya mengenai konsep Price – Value Mix Positioning menurut Gorchels 2005, yang membagi merek ke dalam tingkatan economy brand, mass brand, dan premium brand. Pertanyaan yang penulis tanyakan adalah seputar pemahaman mereka tentang merek premium dan merek massal. Dengan berpegang pada teori Price – Value Mix Positioning menurut Gorchels ini, penulis tidak menanyakan tentang konsep masstige. Hal ini juga dikarenakan konsep tersebut yang belum populer dalam kajian ilmu permerekan, dan tidak termasuk dalam tingkatan merek menurut Gorchels economy, mass, dan premium brand. Hal ini juga sengaja penulis tidak tanyakan kepada konsumen, untuk mengukur seberapa jauh pemahaman mereka terhadap konsep brand positioning serta persepsi mereka terhadap positioning The Body Shop. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, masstige merupakan positioning yang terletak diantara mass brand dan premium brand. a. Member a.1. Pemahaman Terhadap Konsep Mass Brand Dalam memberikan penjelasan mengenai mass brand, informan dari pihak member masing - masing memiliki pendapat sendiri . Salah satunya adalah Fathia Syarif, yang juga merupakan Media Relations, External Affairs Communications Manager untuk perusahaan perminyakan asing, Shell. Ketika penulis menanyakan pengertian mass brand, Fathia yang telah lebih dari 10 tahun menjadi konsumen setia dan anggota The Body Shop People ini, menilai bahwa mass brand identik dengan saluran distribusi yang digunakan merek tersebut, yaitu melalui supermarket. ”Mass brand kaya yang ada di supermarket kali ya. Semacam kaya L’oreal, Ponds, itukan mass brand ya.” Fathia Syarif – member The Body Shop People, wawancara pada 4 September 2009 Berbeda dengan Fathia yang lebih menonjolkan unsur saluran distribusi dalam menilai merek massal, Aditya Rangga, seorang Creative Director untuk sebuah stasiun televisi nasional, SCTV, memberikan penilaian bahwa mass brand adalah merek yang banyak dikonsumsi masyarakat dan dengan harga yang terjangkau. ”....mass brand adalah merek yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Dia ada di mana-mana, kaya misal consumer goods....Dari segi harga pun dia terjangkau, sehingga masyarakat banyak yang pakai.” Aditya Rangga, wawancara pada 8 Oktober 2009 Senada dengan pendapat Aditya Rangga, Retno Wulandari, seorang PR Manager sebuah hotel berbintang di kota Solo –The Sunan Hotel– pun berpendapat yang sama. Mass brand menurut Retno adalah merek yang dikonsumsi secara massal dengan harga yang terjangkau. Selain itu, mass brand memiliki karakteristik produk yang jelas. ”Mass brand adalah merek yang biasa dikonsumsi secara generik atau massal, berarti jumlahnya sangat banyak dengan harga yang terjangkau. Selain itu karakteristik produknya jelas, kaya misal mobil. Kan fungsinya jelas, fiturnya juga kita ngerti. Dan yang paling keliatan kalau mass brand itu kebanyakan adalah consumer goods atau kebutuhan sehari-hari. Merek yang biasa kita beli sehari-hari di supermarket, toko, warung, tuh masuknya mass brand.” Retno Wulandari – member The Body Shop People, wawancara pada 4 November 2009 a.2. Pemahaman Terhadap Konsep Premium Brand Sedangkan ketika ditanya oleh penulis mengenai pengertian premium brand , Fathia menjawab bahwa merek premium identik dengan harga mahal. Namun, merek premium menurutnya memiliki Unique Selling Proposition USP tersendiri. Kedua hal itulah yang membedakan merek massal dengan merek premium. ”Kalau premium brand yang pasti mahal ya, atau at least lebih mahal dari barang-barang yang ada di retail gitu kan. Tapi biasanya dia juga punya USP. Apakah itu misalnya tempat product nya dari barang yang recycled, atau misalnya dibuat dari biji-biji tanaman pilihan.” Fathia Syarif, wawancaara 4 September 2009 Berbeda dengan Fathia yang memandang faktor harga sebagai penentu utama kepemiuman merek, Aditya Rangga melihat esensi kepremiuman suatu brand adalah memberikan status sosial tertentu kepada pemakainya, yaitu akibat dari jumlah pemakai yang terbatas sehingga memunculkan kesan eksklusif. “Kalau mendengar kata premium atau prestige, yang langsung gue tangkep adalah status sosial tertentu. Konsumennya pasti khusus. Jadi saat mengkonsumsi merek itu, dia ingin memberi kesan bahwa dia tuh orang khusus yang memiliki status dan kelas tertentu. Kalau dari segi harga pasti mahal. Terus diproduksi secara eksklusif, ngga yang banyak gitu dia jualannya.” Aditya Rangga – member The Body Shop People, wawancara pada 8 Oktober 2009 Hampir senada dengan pendapat Fathia dan Aditya, Retno Wulandari juga melihat premium brand identik dengan harga mahal untuk kualitas dan aspek emosional yang ditawarkan. Selain itu, dengan dijualnya jenis merek ini secara terbatas, menambah eksklusivitas pemakainya hingga kebutuhan emosional akan suatu pengakuan atau status akan terpenuhi. “….dia merek premium nerapin harga yang tinggi untuk produk- produknya…, konsumennya terbatas, hanya kelas tertentu aja. Trus quality oriented . Trus kalau premium brand tuh selalu mengedepankan aspek emosional dibandingkan aspek fungsional.” Retno wulandari – member The Body Shop People, wawancara pada 4 Oktober 2009 b. Non Member b.1. Pemahaman Terhadap Konsep Mass Brand Ketiga informan dari sisi non-member The Body Shop People memiliki interpretasi yang berbeda mengenai pengertian mass brand . Salah satu dari mereka, yakni Alexander Sriewijono, yang menitikberatkan mass brand pada segmentasi dan pencitraan produk yang ditujukan bagi masyarakat umum atau kebanyakan. ”Mass brand adalah pencitraan produk yang diperuntukkan bagi masyarakat luas, tanpa segmentasi khusus.” Alexander Sriewijono, Informan Non- member, wawancara melalui e-mail pada 18 Oktober 2009 Sedangkan informan lain, Sofie Syarief, berpendapat bahwa mass brand adalah merek yang ada di kehidupan sehari – hari, dengan harga dan availabilitas yang mudah dijangkau oleh sebagaian besar masyarakat. Selain itu, Sofie juga menilai bahwa merek jenis ini cenderung dijual di supermarket sehingga tidak memiliki nilai eksklusivitas. ” Menurut aku, mass brand adalah merek yang bisa ditemukan di mana saja. Dia berada di deretan supermarket yang dijual dengan bebas, hingga ngga ada nilai-nilai eksklusivitas di dalam merek itu. Dari segi harga pun juga terjangkau.” Sofie Syarief – informan Non-member, wawancara pada 3 Oktober 2009 Sedikit berbeda dengan pendapat Sofie, informan yang lain yaitu Beril Masdiary, menggaris bawahi bahwa mass brand identik dengan kebutuhan sehari – hari. Merek jenis inipun, menurutnya, ditujukan bagi masyarakat umum, dan tidak terkotak – kotak oleh segmentasi tertentu, khususnya sosio-ekonomi. “Kalau di pikiran gue tuh lebih umum kali ya produknya…. Pokoknya produk untuk kebutuhan sehari-hari atau daily care products lah.” Beril Masdiary – informan non-member, wawancara pada 4 September 2009 b.2. Pemahaman Terhadap Konsep Premium Brand Pendapat – pendapat di atas merupakan interpretasi ketiga narasumber terhadap pengertian dari mass brand. Sedangkan premium brand menurut pendapat mereka, merupakan kebalikan dari mass brand, bila dilihat dari beberapa faktor, seperti harga, target pasar, saluran distribusi, dan lain sebagainya. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Alexander Sriewijono, yang menitik beratkan pada pencitraan produk untuk segmen pasar tertentu. ”Premium brand adalah Pencitraan produk yang diperuntukkan secara istimewa untuk segmen khusus, yang biasanya memang diarahkan untuk kelas A+, A, atau B+, dengan eksklusivitas yang memang menjadi cirinya.” Alexander Sriewijono – informan non-member, wawancara melalui e-mail pada 18 oktober 2009 Ditambahkan oleh Alexander, ada dua faktor utama yang membuat suatu merek menjadi premium, yaitu faktor yang terkait langsung dengan merek dan faktor yang tidak terkait langsung dengan produk. Pada faktor yang terkait langsung dengan produk, dia melihat merek premium adalah merek yang selalu menjaga eksklusivitas dan kualitas, baik itu kualitas produk, pengemasan, maupun servis. Sedangkan pada faktor yang tidak terkait langsung dengan produk, Alexander melihat bahwa merek premium cenderung memiliki added value yang tidak dimiliki oleh merek yang bukan premium. ”....a Faktor yang terkait langsung dengan produknya : kualitas bahan baku, proses produksi yang sangat terjaga, manfaat yang luar biasa, pengemasan yang eksklusif, dan penetapan harganya. Jumlah yang diproduksi memang menjadi satu faktor yang relatif. Barang yang diproduksi besar-besaran belum tentu menjadi mass brand, dan yang diproduksi secara terbatas juga belum tentu menjadi premium brand. b Faktor yang tidak terkait langsung : value added value beyond the product baik dari produk maupun produsennya, image yang diciptakan melalui iklan, campaign, dll, relationship yang dibangun dengan konsumennya. Alexander Sriewijono – informan non-member, wawancara melalui email pada 18 Oktober 2009 Sedangkan Sofie Shinta Syarief dalam mengartikan merek premium, lebih menyoroti faktor harga dan saluran distribusi yang digunakan oleh merek tersebut. Dengan penerapan harga yang tinggi dan dijual di toko eksklusif, Sofie berpendapat bahwa merek premium merupakan sarana yang tepat untuk menunjukkan status seseorang. ” Yang pasti adalah dari segi harga ya, hanya kalangan tertentu saja yang bisa afford merek itu. Jadi kalau di situ kan kelihatan eksklusivitasnya, karena ngga semua orang mampu untuk beli, jadi juga sebagai sarana menunjukkan suatu status. Tempat untuk belinya pun pasti di suatu toko yang mewah, dan ngga dijual di supermarket.” Sofie Syarief – informan non-member, wawancara pada 3 Oktober 2009 Sedangkan informan terakhir, Beril Masidary berpendapat bahwa merek premium adalah merek yang menerapkan segmentasi khusus pada strategi penjualannya, yaitu hanya diperuntukkan bagi mereka yang berada di kelas sosio-ekonomi menengah ke atas. Selain itu, saluran distribusi yang digunakan adalah khusus, sehingga tidak mudah dijumpai di manapun layaknya merek massal. “….kalau dari kata-kata premiumnya menurut gue sih targetnya menengah ke atas. Jadi dari quality dan harganya, dia beda dibandingkan mass product. Kalau mass product, kita bisa dapetin dari supermarket, swalayan, atau toko-toko deket rumah. Cuman kalau premium product, ngga segampang itu ngedapetinnya.” Beril Masdiary – informan non-member, wawancara pada 4 September 2009 Seperti yang sudah penulis utarakan sebelumnya, bahwa menurut Dana Vanden Heuvel 2009, beberapa faktor yang mempengaruhi kepremiuman suatu merek dapat dilihat dari beberaapa aspek, seperti communication, yaitu penggunaan media untuk mengkomunikasikan pesan – pesan merek, serta aspek tangibility of retail experience yang terwujud dari gerai saluran distribusi yang digunakan dan servis yang dirasakan pelanggan. Selain itu, harga yang lebih tinggi juga berperan dalam membentuk kepremiuman suatu merek. Keenam informan di atas, baik dari kelompok member maupun non member, mampu menunjukkan kualifikasi merek massal dan premium yang telah sesuai dengan pendapat Dana Vanden Heuvel. Dari pendapat keenam informan di atas pun nampak tidak adanya perbedaan pemahaman mengenai pengertian konsep mass brand dan premium brand, baik menurut member maupun non member. Kedua kelompok tersebut sama-sama memiliki pemahaman yang baik mengenai konsep positioning, utamanya Price-Value Mix Positioning. Sehingga, penulis dapat menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pemahaman konsep positioning antara member dan non member The Body Shop People.

3.2. Persepsi Member dan Non Member Terhadap Positioning The Body Shop

Dokumen yang terkait

Pengaruh Sikap Konsumen Tentang Penerapan Program Corporate Social Reponsibility (CSR) Terhadap Brand Loyalty The Body Shop Pada Pegawai PT. Indosat Cabang Medan

1 30 64

Positioning Brand Dan Minat Beli (Studi Korelasional Pengaruh Iklan Positioning Brand AXE Apollo di RCTI Terhadap Minat Beli Mahasiswa FISIP USU)

1 57 138

Pengaruh Promosi dan Potongan Harga Terhadap Keputusan Pembelian Kosmetik Merek The Body Shop Outlet Sun Plaza Medan

8 63 117

Evaluasi Product Positioning Isuzu Panther dengan Menggunakan Persepsi Konsumen di Kabupaten Jember

0 3 67

Analisis Pengaruh Produk, Harga, Distribusi, dan Promosi terhadap Keputusan Pembelian The Celup Sariwangi (Studi Kasus Pada Konsumen Rumah Tangga

3 79 129

Pengaruh Green Product dan Green Advertising Terhadap Keputusan Pembelian (Survei Pada The Body Shop Cabang Bandung Indah Plaza)

0 3 1

Pengaruh Pelaksanaan Konsep Pemasaran Hijau Dan Sikap Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Di The Body Shop Cabang Bandung Indah Plaza

3 40 142

Analisis Faktor Brand Awareness, Brand Exposure, Customer Engagement, Dan Electronic Word-of-Mouth Dalam Pemasaran Melalui Media Sosial Pada The Body Shop Indonesia

1 6 10

Pengaruh Brand Image dan Product Knowledge terhadap Purchase Intention dengan Green Price sebagai Moderating Variabel pada Produk the Body Shop di Surabaya

0 1 11

Pengaruh Brand Image dan Product Knowledge terhadap Purchase Intention dengan Green Price sebagai Moderating Variabel pada Produk the Body Shop di Surabaya

0 1 172