Tinjauan Pustaka Jumlah penelitian interaksi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia

II. Tinjauan Pustaka Jumlah penelitian interaksi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia

masih relatif terbatas. Adam dan Billi (2005) menyimpulkan bahwa kebijakan fiskal dengan bias pengeluaran pemerintah dan kebijakan moneter dengan bias inflasi akan menyebabkan kerugian sosial yang sangat berarti. Javet dan Sahinoz (2005) menyatakan bahwa target keseimbangan internal dan eksternal dapat dicapai dengan koordinasi yang lebih baik antara kebijakan fiskal dan moneter. Simorangkir (2005) menyatakan kordinasi kebijakan moneter dan fiskal memberikan kerugian sosial yang lebih kecil dibandingkan tanpa koordinasi. Kebijakan moneter hendaknya memperhatikan pertumbuhan ekonomi mengingat besarnya kerugian sosial yang diderita perekonomian nasional jika bank sentral hanya memperhatikan inflasi. Muscatelli dkk. (2004) menyimpulkan bahwa interaksi kebijakan moneter dan fiskal akan bergerak searah atau berlawan sangat dipengaruhi oleh sifat goncangan yang terjadi. Selanjutnya, respon kebijakan moneter yang optimal akan dipengaruhi oleh beberapa skenario goncangan pada kebijakan fiskal dan dampak interaksi kebijakan moneter dan fiskal terhadap kesejahteraan sosial akan positif apabila kebijakan fiskal bersifat eksogen.

Leitimo (2004) menekankan jika terjadi konflik mengenai besarnya kesenjangan output, kebijakan moneter dan fiskal akan menghasilkan volatilitas suku bunga dan nilai tukar yang signifikan sebagai akibat konflik kesenjangan output. Maryatmo (2004) menyimpulkan bahwa ada hubungan timbal balik antara variabel fiskal dan variabel moneter dan hubungan timbal balik antara instrumen fiskal dan moneter saling menghilangkan (substitusi). Mochtar (2004) menyatakan bahwa dalam menjaga stabilisasi harga, otoritas moneter memerlukan komitmen yang tinggi dari otoritas fiskal terhadap disiplin dan kesinambungan fiskal. Dixit dan Lambertini (2003) menyimpulkan jika otoritas fiskal dan moneter bersepakat mengenai tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang akan dicapai, hasil ideal dapat dicapai secara independen tanpa harus mempersoalkan bobot pertumbuhan ekonomi atau inflasi, koordinasi kebijakan moneter dan fiskal, komitmen moneter dan siapa yang ‘bergerak’ duluan antara kebijakan moneter dan fiskal. Bennet (2002) menyarankan untuk mengurangi bias antara kebijakan fiskal dan moneter diperlukan koordinasi kebijakan baik dalam menetapkan target makro maupun dalam tahap pelaksanaan kebijakan.

Hagen dan Mundschenk (2002) menegaskan apabila otoritas fiskal berusaha keras untuk mempengaruhi permintaan agregat dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan yang diinginkan sedangkan otoritas moneter berusaha keras juga menyerap stimulus fiskal tersebut dalam rangka mencapai target inflasi yang diinginkan, maka konflik ini tidak memberikan hasil yang optimal kecuali kedua kebijakan tersebut berkoordinasi. Hallet (2002) menyimpulkan bahwa regim kebijakan target inflasi dapat mengurangi konflik kebijakan moneter dan fiskal karena antara lain regim target inflasi dapat menggantikan fungsi koordinasi kebijakan dan berfungsi lebih baik dalam perekonomian yang mengalami kejut permintaan. Bhundia dan O’Donnell (2002) menggambarkan interaksi otoritas moneter dan fiskal sebagai hubungan principle-agent, di mana kedua otoritas tersebut memiliki preferensi sama, tidak ada friksi dan tidak terjadi permainan kebijakan. Adanya target inflasi memungkinkan Hagen dan Mundschenk (2002) menegaskan apabila otoritas fiskal berusaha keras untuk mempengaruhi permintaan agregat dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan yang diinginkan sedangkan otoritas moneter berusaha keras juga menyerap stimulus fiskal tersebut dalam rangka mencapai target inflasi yang diinginkan, maka konflik ini tidak memberikan hasil yang optimal kecuali kedua kebijakan tersebut berkoordinasi. Hallet (2002) menyimpulkan bahwa regim kebijakan target inflasi dapat mengurangi konflik kebijakan moneter dan fiskal karena antara lain regim target inflasi dapat menggantikan fungsi koordinasi kebijakan dan berfungsi lebih baik dalam perekonomian yang mengalami kejut permintaan. Bhundia dan O’Donnell (2002) menggambarkan interaksi otoritas moneter dan fiskal sebagai hubungan principle-agent, di mana kedua otoritas tersebut memiliki preferensi sama, tidak ada friksi dan tidak terjadi permainan kebijakan. Adanya target inflasi memungkinkan

Laurens dan Piedra (1998), menyatakan jika Bank Sentral lebih dominan maka bisa menetapkan secara independen pertumbuhan uang inti tanpa mempertimbangkan kebutuhan pembiayaan keuangan pemerintah. Namun jika pemerintah lebih dominan, maka pemerintah dapat menetapkan besar defisit anggaran tanpa berkonsultasi dengan bank sentral. Selanjutnya jika bank sentral dan pemerintah berperilaku secara independen, maka antara otoritas fiskal dan moneter akan menghasilkan kebijakan yang tidak konsisten satu sama lain khususnya untuk besarnya defisit anggaran, pertumbuhan uang inti, tingkat inflasi dan suku bunga. Hoa (1986) menyimpulkan bahwa penggunaan kombinasi kebijakan fiskal (pajak) dan moneter (M2) jauh lebih efektif dalam mengendalikan inflasi dibandingkan menggunakan satu instrumen kebijakan saja. Sargent dan Wallace (1981) menyarankan perlunya koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal terkait dengan pihak mana yang akan bergerak duluan (menentukan asumsi makro lebih dulu). Jika otoritas fiskal bergerak dulu, maka kebijakan moneter, harus menyesuaikan. Sebaliknya bila otoritas moneter bergerak dulu, ini berarti otoritas moneter ikut mendorong disiplin kebijakan fiskal. Independensi bank sentral tidak selalu mengakibatkan buruknya koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter.

Dari sudi literatur tidak diperoleh kejelasan apakah kebijakan moneter dan kebijakan fiskal di Indonesia bersifat subtitusi atau komplementer. Perkembangan hubungan otoritas moneter (Bank Indonesia) dan otoritas fiskal (Pemerintah) sejak independensi Bank Indonesia tahun 1999 tidak sekuat sebelumnya sehingga semakin perlu diketahui efektivitas interaksi atau koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia. Apalagi fenomena ekonomi makro akhir-akhir ini tampak mendukung untuk dikaji lebih lanjut interaksi kedua pilar kebijakan makro tersebut.