Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiska
Tantangan ke Depan
Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiskal-Moneter:
Tantangan ke Depan
Penyunting:
Dr. Sri Adiningsih, M.Sc.
PENERBIT KANISIUS
Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiskal-Moneter: Tantangan ke Depan
072295 © 2012 Kanisius
PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI) Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281, INDONESIA Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011, INDONESIA Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349 E-mail : offi[email protected] Website: www.kanisiusmedia.com
Cetakan ke- 3 2 1
Tahun
Editor: FX. Warindrayana Desain isi dan sampul : V. Jaya Supeno
ISBN 978-979-21-3313-4 Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari Penerbit.
SAMBUTAN
Studi tentang koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter memang selalu menarik untuk terus diikuti. Sebagai dua agen ekonomi yang besar, Pemerintah dan bank sentral dipandang akan dapat mempengaruhi lintasan perekonomian ke depan secara signifikan. Pengaruh keduanya tidak hanya melalui dampak dari masing-masing kebijakan yang ditempuh, namun interaksi kebijakan fiskal dan moneter juga akan berdampak pada perilaku dua agen ekonomi lainnya yaitu rumah tangga dan perusahaan, yang pada akhirnya akan menentukan kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Berangkat dari pentingnya kedua kebijakan tersebut serta berbagai kompleksitas yang dapat muncul dalam proses interaksinya secara tidak langsung maka berimplikasi bahwa pengelolaan kedua kebijakan tidak dapat berdiri sendiri. Keduanya perlu berkoordinasi dan saling melengkapi. Kebijakan yang parsial akan memunculkan hasil yang sub-optimal bagi perekonomian.
Koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter setidaknya mencakup dua aspek yang saling melengkapi. Pertama berkaitan dengan upaya mencari titik temu stance kebijakan yang optimal dalam mengelola permintaan agregat dan inflasi. Stance yang longgar dan atau ketat dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter perlu dipadupadankan agar dapat efektif mempengaruhi sasaran akhir. Kedua berhubungan dengan upaya menemukan konfigurasi yang tepat atas komponen/instrumen yang digunakan dalam tiap kebijakan sehingga peran kedua kebijakan dapat saling memperkuat dan tidak saling meniadakan pada saat berinteraksi. Sebagai gambaran dari sisi fiskal, jumlah defisit anggaran dan struktur sumber pembiayaannya akan mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter dalam mengendalikan likuiditas perekonomian dan inflasi. Belum lagi Koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter setidaknya mencakup dua aspek yang saling melengkapi. Pertama berkaitan dengan upaya mencari titik temu stance kebijakan yang optimal dalam mengelola permintaan agregat dan inflasi. Stance yang longgar dan atau ketat dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter perlu dipadupadankan agar dapat efektif mempengaruhi sasaran akhir. Kedua berhubungan dengan upaya menemukan konfigurasi yang tepat atas komponen/instrumen yang digunakan dalam tiap kebijakan sehingga peran kedua kebijakan dapat saling memperkuat dan tidak saling meniadakan pada saat berinteraksi. Sebagai gambaran dari sisi fiskal, jumlah defisit anggaran dan struktur sumber pembiayaannya akan mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter dalam mengendalikan likuiditas perekonomian dan inflasi. Belum lagi
Dua aspek koordinasi kebijakan fiskal dan moneter tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaan makroekonomi baik di domestik dan global. Namun kini, tantangan terasa semakin kompleks karena pasar keuangan global yang semakin terintegrasi terlihat memiliki hubungan timbal balik dengan kebijakan fiskal dan moneter. Pada satu sisi, prospek kesinambungan fiskal serta konsistensi kebijakan moneter terus dimonitor pelaku pasar keuangan dan dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang kemudian mempengaruhi stabilitas sistem moneter dan keuangan. Pada sisi lain sebagaimana pengalaman krisis keuangan di AS dan Eropa dalam empat tahun terakhir, sistem keuangan yang memburuk telah membebani kondisi fiskal dan moneter sejalan dengan respon pemerintah dan bank sentral yang terpaksa menyerap risiko di sistem keuangan agar kemerosotan perekonomian lebih dalam dapat dihindari.
Buku “Koordinasi Fiskal dan Moneter di Indonesia” ini merupakan kumpulan berbagai tulisan tentang koordinasi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia. Buku ini tidak hanya memaparkan tantangan dalam proses koordinasi kebijakan fiskal moneter di Indonesia dan berbagai implikasi yang ditimbulkannya. Lebih dari itu, buku secara tidak langsung juga mengangkat karakteristik interaksi dan rejim kebijakan fiskal moneter di Indonesia. Pemahaman tentang karakteristik dan rejim kebijakan menurut saya perlu terus kita perdalam karena akan menentukan efektivitas sekaligus meminimalkan kemungkinan munculnya berbagai paradoks pada saat satu kebijakan fiskal dan atau moneter ditempuh. Analisis koordinasi kebijakan seperti pada konsep Unpleasant Monetarist Arithmetic ala Sargent dan Wallace lebih dari tiga dekade lalu dan kemudian berlanjut kepada fenomena
Fiscal heory of Price Level sejak dekade 90an merupakan gambaran dari kemungkinan munculnya paradoks kebijakan itu. Oleh karena itu, ISEI mendukung penuh penerbitan buku yang menurut saya sangat bermanfaat ini.
Selamat membaca.
Jakarta, Februari 2012
Dr. Darmin Nasution
KATA PENGANTAR
“Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiskal–Moneter: Tantangan ke Depan” adalah merupakan kumpulan tulisan dari para penulis yang memiliki berbagai latar belakang, baik otoritas terkait ataupun mantan otoritas terkait, serta akademisi yang menggeluti dan memiliki keahlian di bidang kebijakan fiskal dan moneter. Tulisan yang disajikan dalam buku ini mencakup sejarah, perkembangan masa kini, studi empiris, masalah dan tantangan yang dihadapi serta perkembangan kedepan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia.
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) khususnya Focus Group Koordinasi Fiskal dan Moneter bersama dengan Bank Indonesia mener- bitkan kumpulan tulisan ini untuk mengisi kekosongan bahan bacaan yang mengulas koordinasi kebijakan Fiskal dan Moneter. Apalagi pada akhir 2011 seiring dengan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan akan meng- ubah pola pengelolaan sistem keuangan dan juga mempengaruhi koor- dinasi kebijakan fiskal dan moneter. Sementara itu masih banyak pihak di Indonesia yang belum memahami dengan baik koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Oleh karena itu diterbitkannya buku ini diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, akademisi, peneliti ekonomi serta pengambil kebijakan yang ingin memahami dengan lebih baik koordinasi kebijakan fiskal dan moneter serta perkembangannya di Indonesia.
Penerbitan buku ini dimungkinkan oleh kerjasama berbagai pihak, khususnya ide dan serangkaian diskusi dari anggota focus group Koordinasi Fiskal Moneter ISEI saudara Rahmat Waluyanto Ph.D., Tony B. Trihartanto Ph.D., Andie Megantara Ph.D., Yoopi Abimanyu Ph.D., Abdul Mongid, dan Dyah Virgoana Gandhi yang telah ikut dalam mempersiapkan penerbitan buku ini serta menyelenggarakan Focus Group Discussion di
Direktorat Jendral Pengelolaan Hutang Kementerian Keuangan dan di Bank Indonesia. Untuk itu penyunting mengucapkan penghargaaan dan terimakasih atas semua sumbangan pemikiran ataupun tenaga dan dana dalam persiapan hingga penerbitan buku ini.
Penghargaan sebesar-besarnya penyunting berikan kepada para penulis yang telah memberikan ijin diterbitkannya tulisannya pada buku ini. Sumbangan tulisan tersebut telah membuat buku ini membahas secara komprehensif berbagai aspek terkait dengan kebijakan fiskal dan moneter dari berbagai jaman. Secara khusus penyunting juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ketua ISEI Bapak Dr. Darmin Nasution yang telah memberikan dukungan penuh pada penerbitan buku ini.
Selain itu penghargaan juga diberikan kepada Laksmi Yustika Devi yang telah memberikan bantuan kepada penyunting dalam proses menyiapkan buku ini sehingga dapat diterbitkannya buku ini. Terimakasih juga penyunting sampaikan kepada Penerbit dan Percetakan Kanisius di Jogjakarta yang telah membantu penerbitkan buku ini.
5 April 2012
Sri Adiningsih
Tentang Para Penulis
Andie Megantara Doktor, Nanzan University, Nagoya-Japan (2003). Saat ini menjabat
sebagai Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Aktif di Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Pusat sebagai Anggota Fokus Grup Koordinasi Fiskal dan Moneter.
Angelina Ika Rahutami Doktor, UniversitasGadjahMada (2007). Dosen di Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. Saat ini menjadi Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Katolik Soegijapranata.
Anggito Abimanyu Ph.D, University of Pennsylvania, Philadelphia, USA (1993). Pengajar
di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Saat ini menjabat sebagai Direktur Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Aktif di Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia sebagai Sekretaris Umum dan sebagai Ketua Umum PB. Persatuan Bola Basket Indonesia. Pernah menjabat sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia periode tahun 2005 – 2007.
Anwar Nasution Ph.D., Tufts University, Massachussetts, USA (1982). Guru Besar Universitas
Indonesia. Pernah menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pernah menjabat sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia dan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Bambang PS. Brodjonegoro Ph.D., University of Illinois at Urbana-Campaign, Illinois, USA (1997).
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) periode tahun 2004 – 2009. Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Dwityapoetra S. Besar Ph.D., Cass Business School, City University of London, UK (2010).
Financial Economist pada Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan di Bank Indonesia. Pernah ditugaskan sebagai research fellow di wing Stabilitas Sistem Keuangan Bank of England, UK,dan Asian Development Bank Institute, Tokyo, Jepang. Pernah menjadi peneliti pada Centre of Banking Study, di Cass Business School, City Univeristy London, UK.
Firman Mochtar M.A., Indiana University, Bloomington, USA (2003). Saat ini menjadi
Asisten Deputi Gubernur untuk Kebijakan Moneter. Partisipan dalam 3rd Meeting with Noble Price Winners in Economic Sciences at Lake Constance, Lindau-German pada Agustus 2008 dan Visiting Fellow dalam Monetary and Economic Department di Bank for International Settlement, Basel-Switzerland tahun 2004.
Gumilang Aryo Sahadewo M.A., Economics, Boston University, Boston, USA (2011). Staf Pengajar
dan Peneliti di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Lulusan terbaik Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (2009) dan penerima penghargaan dari fakultas yang sama sebagai mahasiswa terbaik (2006).
Iskandar Simorangkir Doktor, Universitas Indonesia. Kepala Biro Riset Ekonomi di Bank
Indonesia dan Wakil Ketua Dewan Editor Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Saat ini mengajar pada Program Magister Management, Universitas Pelita Harapan dan mengajar mata kuliah Kebanksentralan di beberapa Universitas di Jakarta.
Juda Agung Ph.D., Departement of Economics, University of Birmingham, Inggris
(1999). Peneliti Ekonomi Utama/Deputi Direktur di Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter di Bank Indonesia. Staf Pengajar pada Program Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi UI sampai sekarang. Sekarang banyak terlibat aktifd alam task force Protokol Manajemen Krisis di tingkat nasional; serta G20 – working group Strong, Sustainable and Balance Growth dan working group capital flows. Pernah menjadi Advisor for Executive Director IMF, dan Staf Gubernur Bank Indonesia.
Justina Adamanti Ekonom Junior di Biro Riset Ekonomi Bank Indonesia.
Laksmi Yustika Devi M.Si., Ilmu Ekonomi, Universitas Gadjah Mada (2007). Peneliti ekonomi
di Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada. Terlibat di banyak penelitian dalam bidang ekonomi makro dan ekonomi pembangunan, baik yang didanai oleh lembaga luar negeri maupun dalam negeri.
Miranda S. Goeltom Ph.D., Boston University. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Deputi Asisten Menko Ekku Wasbang, Deputi Gubernur Bank Indonesia (1999-2003), Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (2004-2008).
Primitiva Febriarti Sarjana Ekonomi, Universitas Gadjah Mada (2002). Financial system
analyst pada Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan di Bank Indonesia. Telah menulis beberapa artikel mengenai perbankan dan stabilitas sistem keuangan, baik yang dimuat di publikasi internal maupun di eksternal Bank Indonesia.
R. Maryatmo Doktor, Universitas Gadjah Mada (2004). Dosen dan Peneliti di Fakultas
Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Saat ini menjadi Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta Periode 2011 – 2014.
Sri Adiningsih Ph.D., University of Illinois at Urbana-Champaign, Illinois, USA (1996).
Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Peneliti ekonomi senior di Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada. Aktif di Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Pusat sebagai Koordinator Fokus
Grup Koordinasi Fiskal dan Moneter dan aktif di Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Yogyakarta sebagai anggota Dewan Pertimbangan.
Wimboh Santoso Pernah menjabat sebagai Direktur Direktorat Pengaturan Perbankan Bank
Indonesia. Sekarang menjabat sebagai Kepala Perwakilan Bank Indonesia di New York, Amerika Serikat.
Wijoyo Santoso Doktor, Universitas Gadjah Mada (2011). Peneliti Utama Senior Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia. Pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Studi Ekonomi Makro, Kepala Bidang Ekonomi Moneter Bank Indonesia Surabaya, Deputi Direktur Direktorat Statistik Ekonomi-Moneter, Kepala Biro Riset Direktorat Riset-Kebijakan Moneter (DKM), dan Deputi Pemimpin Bank Indonesia Denpasar.
PERANAN ASA NALAR DALAM MENENTUKAN EFEKTIVITAS KEBIJAKAN DEFISIT ANGGARAN R. Maryatmo................................................................................
141 INTERAKSI KEBIJAKAN MONETER DAN FISKAL:
DOMINASI ATAU KAUSALITAS? Angelina Ika Rahutami.................................................................
171 PERAN STIMULUS FISKAL DAN PELONGGARAN
MONETER PADA PEREKONOMIAN INDONESIA SELAMA KRISIS FINANSIAL GLOBAL Iskandar Simorangkir dan Justina Adamanti.................................
193 INTERAKSI KEBIJAKAN MONETER DAN FISKAL
DI INDONESIA Wijoyo Santoso ............................................................................
225 PERKEMBANGAN SEKTOR KEUANGAN DI INDONESIA
Wimboh Santoso dan Dwityapoetra Soeyasa Besar....................... 263 PENTINGNYA PEMELIHARAAN STABILITAS SISTEM
KEUANGAN: RISIKO SISTEMIK DAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL Wimboh Santoso, Dwityapoetra Soeyasa Besar, Primitiva Febriarti 301
MENGINTEGRASIKAN KEBIJAKAN MONETER DAN MAKROPRUDENSIAL: MENUJU PARADIGMA BARU KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA PASCA KRISIS GLOBAL Juda Agung ..................................................................................
PERKEMBANGAN DAN DINAMIKA KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA Bambang Brodjonegoro dan Andie Megantara .............................
365 WHAT ASEAN+3 COUNTRIES CAN DO TO
REBALANCE THE GLOBAL ECONOMY Anwar Nasution ...........................................................................
391 KOORDINASI FISKAL MONETER DALAM JARING
PENGAMAN SISTEM KEUANGAN Anggito Abimanyu dan Gumilang Aryo Sahadewo.......................
413
INDEKS ...................................................................................... 443
PENDAHULUAN
Latar Belakang Koordinasi kebijakan ekonomi, khususnya fiskal dan moneter menjadi
isu penting akhir-akhir ini, karena krisis ekonomi ataupun keuangan semakin sering terjadi, baik di negara maju ataupun sedang berkembang. Sehingga koordinasi kebijakan ekonomi menjadi semakin penting agar kebijakan ekonomi yang diambil dapat efektif mencapai sasaran yang ingin dicapai. Selain itu semakin banyak bank sentral yang independen dari pemerintah, seperti halnya di Indonesia, oleh karena itu menjaga koordinasi fiskal dan moneter semakin tidak mudah dalam pengelolaan ekonomi suatu negara.
Gelombang globalisasi yang membuat ekonomi ataupun pasar ke- uangan terintegrasi pada skala global, membuat arus perdagangan barang dan jasa, modal, investasi dan tenaga kerja semakin meningkat sehingga ekonomi dunia juga berkembang semakin maju. Namun demikian liberalisasi ekonomi telah membuat ekonomi dunia juga semakin komplek dan volatilitas ekonomi ataupun keuangan juga semakin tinggi, sehingga resiko yang dihadapi oleh agen ekonomi semakin meningkat, yang berarti mengelola ekonomi juga semakin tidak mudah. Dengan demikian otoritas ekonomi menghadapi masalah dan tantangan yang semakin berat untuk menjaga stabilitas ekonomi makro ataupun sistem keuangan. Oleh karena itu koordinasi fiskal dan moneter yang baik bukan lagi suatu pilihan, tapi keharusan. Meski demikian krisis keuangan global 2008 yang lalu, serta disambung dengan krisis ekonomi Eropa 2010 menunjukkan bahwa untuk mengatasi krisis ekonomi ataupun ancaman krisis ekonomi kadang diperlukan koordinasi kebijakan yang lebih luas baik dalam skala beragam kebijakannya (macroprudential) ataupun wilayahnya (antar negara). Koordinasi kebijakan ekonomi internasional kadang diperlukan untuk Gelombang globalisasi yang membuat ekonomi ataupun pasar ke- uangan terintegrasi pada skala global, membuat arus perdagangan barang dan jasa, modal, investasi dan tenaga kerja semakin meningkat sehingga ekonomi dunia juga berkembang semakin maju. Namun demikian liberalisasi ekonomi telah membuat ekonomi dunia juga semakin komplek dan volatilitas ekonomi ataupun keuangan juga semakin tinggi, sehingga resiko yang dihadapi oleh agen ekonomi semakin meningkat, yang berarti mengelola ekonomi juga semakin tidak mudah. Dengan demikian otoritas ekonomi menghadapi masalah dan tantangan yang semakin berat untuk menjaga stabilitas ekonomi makro ataupun sistem keuangan. Oleh karena itu koordinasi fiskal dan moneter yang baik bukan lagi suatu pilihan, tapi keharusan. Meski demikian krisis keuangan global 2008 yang lalu, serta disambung dengan krisis ekonomi Eropa 2010 menunjukkan bahwa untuk mengatasi krisis ekonomi ataupun ancaman krisis ekonomi kadang diperlukan koordinasi kebijakan yang lebih luas baik dalam skala beragam kebijakannya (macroprudential) ataupun wilayahnya (antar negara). Koordinasi kebijakan ekonomi internasional kadang diperlukan untuk
kehidupan yang maju, adil dan sejahtera semakin tinggi. Dengan demikian tujuan akhir dari kebijakan ekonomi suatu negara yang tentunya adalah untuk mencapai kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya mendapatkan perhatian yang semakin besar, khususnya di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu koordinasi dari semua kebijakan baik ekonomi ataupun non ekonomi agar kesejahteraan sosial dapat dicapai. Sementara itu tujuan dari kebijakan ekonomi makro suatu negara adalah tercapainya kondisi ekonomi yang “bebas inflasi” (noninflationary) dan tumbuh stabil (stable growth). Dengan demikian diharapkan tingkat pengangguran dan inflasi rendah dapat dicapai, serta ekonomi bisa tumbuh sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Untuk itu kebijakan ekonomimoneter dan fiskal yang dilaksanakan oleh bank sentral dan Kementerian Keuangan memegang peranan penting. Meski demikian tujuan dan implikasi dari kedua kebijakan tersebut seringkali saling tidak sama bahkan bertentangan, sehingga dapat mengakibatkan hasil dari masing-masing kebijakan menjadi tidak optimal, bahkan bisa saling meniadakan. Oleh karena itu, koordinasi antar kedua kebijakan tersebut sangat penting dalam pengelolaan ekonomi, agar bauran kebijakan (policy mix) dapat memberikan dampak optimal dalam perekonomian.
Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia mengalami evolusi yang menarik. Berkembang mengikuti kondisi ekonomi dan politik, baik domestik maupun internasional. Pada masa Orde Lama, dimana otoritas moneter masih merupakan bagian dari pemerintah, koordinasi fiskal dan moneter tidak menjadi isu penting, karena semuanya ditangan pemerintah hingga 1968, bahkan masih terus berlanjut dengan keberadaan Dewan Moneter hingga tahun 1999 yang lalu. Keberadaan Dewan Moneter yang dipimpin oleh Menteri Keuangan, menjadikan kebijakan moneter dan fiskal dipimpin oleh orang yang sama. Sehingga tidak ada masalah koordinasi fiskal dan moneter. Namun dalam perkembangannya, dengan diluncurkannya Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang
Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak lagi merupakan bagian dari pemerintah, namun bank sentral yang independen dari pemerintah. Hal tersebut membuat masalah koordinasi kebijakan fiskal dan moneter muncul, menjadi isu penting dalam pengelolaan ekonomi. Bahkan dalam perkembangannya akhir-akhir ini, sejak krisis keuangan global 2008, dapat dilihat bahwa koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang baik saja tidak cukup meskipun diperlukan, perlu koordinasi kebijakan yang lebih luas, agar resiko sistemik yang dihadapi dalam suatu perekonomian dapat dikelola dengan baik. Oleh karena itu pengelolaan macroprudential diperlukan, bukan hanya antara fiskal dan moneter, namun juga dengan lembaga keuangan keuangan ataupun pasar keuangan lainnya. Oleh karena itu buku ini akan membahas berbagai perkembangan baik secara teoritis, maupun empiris perkembangan koordinasi fiskal dan moneter di Indonesia, demikian juga sejarah, masalah, tantangan dan masa depannya di Indonesia.
Sejarah dan Perkembangan Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal
Sejarah ataupun perkembangan koordinasi kebijakan dan moneter dalam buku ini dapat dibaca dari tulisan Adiningsih dan Devi, serta paper Goeltom. Dimana dari kedua paper tersebut dapat kita lihat bahwa koordinasi fiskal dan moneter di Indonesia mengalami perjalanan yang menarik, dan berkembang semakin kompleks. Dalam perjalanannya, interaksi antara kebijakan moneter dan fiskal dipengaruhi oleh kondisi politik dan kondisi ekonomi nasional dan juga global. Secara garis besar, sejarah perjalanan interaksi kedua kebijakan tersebut dapat dibedakan menjadi: 1) periode pemerintahan Orde Lama; 2) periode pemerintahan Orde Baru; 3) periode setelah krisis moneter 1997; dan 4) periode setelah krisis finansial global 2008.
Sejarah pada masa Orde Lama menunjukkan bahwa meskipun tidak ada masalah dalam koordinasi fiskal dan moneter karena keberadaan Dewan Moneter yang diketuai oleh Menteri Keuangan. Namun tidak Sejarah pada masa Orde Lama menunjukkan bahwa meskipun tidak ada masalah dalam koordinasi fiskal dan moneter karena keberadaan Dewan Moneter yang diketuai oleh Menteri Keuangan. Namun tidak
Demikian juga pada masa Orde Baru hingga tahun 1997 menunjukkan bahwa koordinasi fiskal dan moneter yang terjaga dengan baik dengan adanya Dewan Moneter, sehingga stabilitas ekonomi makro cukup terjaga dengan baik, dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, rata-rata sekitar 7,5% per tahun selama hampir tiga dekade, ternyata jika tidak pruden menyimpan potensi krisis ekonomi yang serius. Meskipun kebijakan fiskal “berimbang” (karena utang dari luar negeri dimasukkan sebagai penerimaan pembangunan), disertai dengan deregulasi sektor moneter serta keuangangan lainnya yang luas tanpa pengawasan dan pengaturan yang baik telah menyimpan potensi krisis ekonomi yang serius. Sehingga terjadinya krisis ekonomi Asia yang bermula dari hailand dengan cepat masuk ke Indonesia. Bahkan akhirnya krisis ekonomi Indonesia adalah yang terparah, terlama dan biayanya termahal di Asia. Sejarah pada masa Orde Baru menunjukkan bahwa bagusnya koordinasi kebijakan fiskal dan moneter tidaklah cukup, meskipun diperlukan. Agar supaya optimal dalam mencapai tujuannya, kebijakan fiskal perlu pruden dan kebijakan moneter harus bertanggung jawab, dibarengi dengan pengawasan dan pengaturan perbankan yang baik, serta adanya pertanggung jawaban yang baik terhadap pelaksaan kebijakan moneter dan fiskal.
Namun demikian krisis keuangan global 2008 menunjukkan bahwa dengan pasar keuangan yang semakin maju, dan banyak produk-produk keuangan canggih bermunculan dipasar serta semakin terintegrasi pasar keuangan global menyebabkan resiko ekonomi yang dihadapi juga semakin Namun demikian krisis keuangan global 2008 menunjukkan bahwa dengan pasar keuangan yang semakin maju, dan banyak produk-produk keuangan canggih bermunculan dipasar serta semakin terintegrasi pasar keuangan global menyebabkan resiko ekonomi yang dihadapi juga semakin
Meskipun disadari bahwa koordinasi koordinasi kebijakan moneter dan fiskal penting, namun ternyata masih menghadapi berbagai kendala yang menjadikan interaksi kedua kebijakan ekonomi makro belum optimal. Goeltom dalam papernya menuliskan berbagai kendala yang muncul dalam koordinasi fiskal dan moneter, antara lain terkait dengan hubungan struktural bentuk interaksi kebijakan moneter fiskal itu sendiri. Demikian juga optimalisasi koordinasi kebijakan ekonomi juga menghadapi kendala karena kondisi lingkungan ekonomi dan non ekonomi yang belum menguntungkan, demikian juga aspek teknis dan operasional yang bisa menjadi kendala. Salah satu contoh masalah struktural yang muncul adalah masih digunakannya SBI sebagai instrumen OPT, yang bisa menempatkan kedua kebijakan ekonomi makro tersebut dalam posisi dilematis. Bahkan otonomi daerah juga mengakibatkan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter menjadi tidak optimal. Goeltom juga menuliskan pemikirannya mengenai arah koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Diantaranya disampaikan bahwa otoritas moneter maupun fiskal dalam melaksanakan kebijakannya masing-masing dituntut agar lebih transparan, akuntabel, dan terukur, agar dapat memberikan signal yang positif pada pelaku ekonomi. Selain itu juga disampaikan bahwa koordinasi fiskal dan moneter harus berpola pada urutan (sequence) ’tindakan kebijakan’ yang benar, satu otoritas harus mengambil kebijakan terlebih dahulu jika menghadapi tantangan spesifik dalam otoritasnya, kemudian otoritas lainnya meresponnya. Meskipun demikian perlu dijaga agar apapun kebijakan yang dibuat masih dalam kerangka peraturan yang ada. Demikian juga perkembangan ataupun tantangan ekonomi global membuat koordinasi dengan pola ’leader- Meskipun disadari bahwa koordinasi koordinasi kebijakan moneter dan fiskal penting, namun ternyata masih menghadapi berbagai kendala yang menjadikan interaksi kedua kebijakan ekonomi makro belum optimal. Goeltom dalam papernya menuliskan berbagai kendala yang muncul dalam koordinasi fiskal dan moneter, antara lain terkait dengan hubungan struktural bentuk interaksi kebijakan moneter fiskal itu sendiri. Demikian juga optimalisasi koordinasi kebijakan ekonomi juga menghadapi kendala karena kondisi lingkungan ekonomi dan non ekonomi yang belum menguntungkan, demikian juga aspek teknis dan operasional yang bisa menjadi kendala. Salah satu contoh masalah struktural yang muncul adalah masih digunakannya SBI sebagai instrumen OPT, yang bisa menempatkan kedua kebijakan ekonomi makro tersebut dalam posisi dilematis. Bahkan otonomi daerah juga mengakibatkan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter menjadi tidak optimal. Goeltom juga menuliskan pemikirannya mengenai arah koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Diantaranya disampaikan bahwa otoritas moneter maupun fiskal dalam melaksanakan kebijakannya masing-masing dituntut agar lebih transparan, akuntabel, dan terukur, agar dapat memberikan signal yang positif pada pelaku ekonomi. Selain itu juga disampaikan bahwa koordinasi fiskal dan moneter harus berpola pada urutan (sequence) ’tindakan kebijakan’ yang benar, satu otoritas harus mengambil kebijakan terlebih dahulu jika menghadapi tantangan spesifik dalam otoritasnya, kemudian otoritas lainnya meresponnya. Meskipun demikian perlu dijaga agar apapun kebijakan yang dibuat masih dalam kerangka peraturan yang ada. Demikian juga perkembangan ataupun tantangan ekonomi global membuat koordinasi dengan pola ’leader-
Dalam beberapa paper dalam buku ini mengulas dengan menarik berbagai hasil studi empiris tentang pentingnya koordinasi fiskal dan moneter di Indonesia. Simorangkir dalam papernya menuliskan perdebatan hubungan kebijakan moneter dan fiskal terkait dengan dampak defisit anggaran yang dapat mengganggu inflasi yang merupakan tujuan akhir kebijakan moneter. Dimana bagi pembuat kebijakan fiskal ternyata kebijakan moneter yang terlalu ketat dapat berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang merupakan tujuan utama dari kebijakan fiskal. Oleh karena itu tidak terdapatnya koordinasi diantara kedua kebijakan tersebut dapat berdampak negatip terhadap stabilitas makro dan pertumbuhan ekonomi. Dalam papernya Simorangkir membahas koordinasi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia dari tahun 1969 hingga tahun 2002 dengan analisis empiris dan menggunakan pendekatan game teori baik berupa cooperative dan non-cooperative game. Dari hasil analisis empiris dan simulasi teori permainan yang telah dilakukannya menunjukkan bahwa koordinasi kebijakan moneter dan fiskal memberikan kerugian output (output loss) yang lebih kecil dibandingkan jika kedua kebijakan tidak berkoordinasi. Jelas disini dapat disimpulkan bahwa koordinasi kebijakan fiskal dan moneter penting dalam mengelola ekonomi.
Sementara itu Mochtar dalam papernya yang berjudul “Fiscal and Monetary Policy Interaction: Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia” meneliti interaksi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia sebelum dan sesudah krisis ekonomi 1997. Dalam penelitiannya, Mochtar mengestimasi quasi fiscal activities of the central bank (QFA) dan juga assessing fiscal versus monetary dominance aspect. Paper tersebut menemukan bahwa krisis ekonomi 1997 generated QFA di Indonesia. Hal tersebut membuktikan adanya QFA. Dalam paper tersebut juga menunjukkan bahwa kebijakan fiskal memerankan peranan dominan setelah 1997, meskipun dapat dikatakan dalam skala bentuk yang lemah.
Penemuan dalam studi ini menunjukkan implikasi kebijakan bahwa kebijakan moneter di Indonesia memerlukan dukungan disiplin fiskal dan komitmen untuk menjaga keberlanjutannya. Kegagalan untuk mengatasi masalah kinerja fiskal secara optimal dapat menurunkan efektivitas kebijakan moneter dalam mengontrol inflasi dalam inflation targeting framework.
Sementara itu Maryatmo dalam papernya menunjukkan bahwa sedikit atau banyak kebijakan defisit anggaran mempengaruhi suku bunga, kurs, dan tingkat harga (inflasi). Oleh karena itu dalam papernya dia menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan defisit anggarannya, karena kebijakan defisit anggaran bukan tanpa biaya yang bisa membawa dampak ekonomi. Maryatmo juga menemukan bahwa ada hubungan timbal balik antara kebijakan defisit anggaran dan variabel moneter. Kebijakan fiskal mempengaruhi instrumen kebijakan moneter, demikian juga kebijakan moneter mempengaruhi instrumen kebijakan fiskal. Dengan demikian hubungan timbal balik antara instrumen fiskal dan moneter dapat bersifat saling menetralkan dampak ekonomi yang dihasilkan. Dengan demikian independensi Bank Sentral menuntut koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter yang lebih baik. Sehingga dapat tercapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang diinginkan yang disertai dengan pengendalian stabilitas moneter. Selain itu Maryatmo juga menunjukkan bahwa para pelakuekonomi dalam melakukan keputusan ekonomi, selain mempertimbangkan yang aktual terjadi di lapangan, juga menggunakan asa nalar. Oleh karena itu dengan asa nalar pelaku ekonomi sangat reaktif terhadap ketidaksesuaian antara informasi awal yang dijanjikan pemerintah dan peristiwa aktual yang mereka alami.
Demikian juga dalam papernya, Rahutami menemukan bahwa dengan menggunakan data empiris di Indonesia, maka dapat dilihat bahwa interaksi antara kebijakan moneter dan fiskal bersifat kausalitas. Dimana Rahutami menemukan bahwa koordinasi fiskal dan moneter adalah penting karena suku bunga dan uang primer merupakan dua variabel yang harus mendapat perhatian lebih dari Bank Indonesia karena berinteraksi secara kuat dengan anggaran pemerintah. Selain itu juga disarankan agar Bank Indonesia harus Demikian juga dalam papernya, Rahutami menemukan bahwa dengan menggunakan data empiris di Indonesia, maka dapat dilihat bahwa interaksi antara kebijakan moneter dan fiskal bersifat kausalitas. Dimana Rahutami menemukan bahwa koordinasi fiskal dan moneter adalah penting karena suku bunga dan uang primer merupakan dua variabel yang harus mendapat perhatian lebih dari Bank Indonesia karena berinteraksi secara kuat dengan anggaran pemerintah. Selain itu juga disarankan agar Bank Indonesia harus
Sementara itu Simorangkir dan Adamanti dalam papernya mengkaji dampak stimulus fiskal dan penurunan suku bunga terhadap perekonomian Indonesia dengan menggunakan financial computable general equilibrium. Hasil studinya menunjukkan bahwa dalam kondisi krisis keuangan/ ekonomi, kombinasi kebijakan ekspansi fiskal dan ekspansi moneter sangat efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini bisa terjadi karena munculnya sinergi diantara keduanya, sehingga ekspansi fiskal yang berpotensi meningkatkan suku bunga dinetralisir dengan penurunan suku bunga melalui ekspansi moneter. Kebijakan bauran tersebut lebih efektif dibandingkan apabila hanya dilakukan kebijakan ekspansi fiskal saja atau hanya dilakukan kebijakan ekspansi moneter saja. Hasil studi mereka menunjukkan bahwa secara komponen PDB, kombinasi kebijakan ekspansi fiskal dan moneter memiliki dampak multiplier yang besar, mampu mendorong permintaan agregat. Sementara itu secara sektoral, hasil studi mereka menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan ekspansi fiskal dan moneter ternyata meningkatnya produksi di semua sektor ekonomi. Hal ini terjadi karena insentif fiskal (seperti penurunan pajak, penurunan bea masuk impor, dan lainnya) mendorong dunia usaha meningkatkan investasi. Demikian juga, kenaikan permintaan agregat juga mendorong pengusaha untuk meningkatkan produksinya guna memenuhi peningkatkan permintaan tersebut. Sekali lagi studi ini menunjukkan bahwa koordinasi fiskal dan moneter penting dalam pengelolaan ekonomi, apalagi dalam kondisi krisis ekonomi.
Demikian juga Wijoyo Santoso dalam papernya menunjukkan bahwa pada saat menghadapi goncangan inflasi dan goncangan output, maka koordinasi kebijakan moneter dan fiskal lebih bermanfaat (dibandingkan tanpa koordinasi), khususnya untuk mengurangi kerugian sosial. Demikian juga dari hasil simulasi yang dilakukannya menunjukkan adanya koordinasi Demikian juga Wijoyo Santoso dalam papernya menunjukkan bahwa pada saat menghadapi goncangan inflasi dan goncangan output, maka koordinasi kebijakan moneter dan fiskal lebih bermanfaat (dibandingkan tanpa koordinasi), khususnya untuk mengurangi kerugian sosial. Demikian juga dari hasil simulasi yang dilakukannya menunjukkan adanya koordinasi
Koordinasi Fiskal dan Moneter dan Perkembangannya Kedepan Sebelum berbagai perkembangan koordinasi kebijakan fiskal dan
moneter terbaru ataupun kedepan disajikan dalam beberapa paper dalam buku ini, penyunting ingin pembaca memahami perkembangan sektor keuangan di Indonesia yang semakin kompleks dan dinamis dulu agar dapat memahami perkembangan sektor keuangan dengan baik. Untuk itu tulisan Wimboh Santosa dan Dwityapoetra Soeyasa Besar bisa menjadi bacaan yang menarik. Mereka menunjukkan perkembangan sektor keuangan Indonesia yang pesat seiring dengan meningkatnya aktivitas bisnis dan aliran modal asing. Mereka menunjukkan bahwa ketahanan pelaku di pasar keuangan khususnya perbankan cukup tinggi akhir-akhir ini, namun derasnya modal asing yang masuk menyebabkan potensi kerapuhan pasar keuangan tinggi. Oleh karena itu perlu inovasi dan pendalaman pasar keuangan agar supaya stabilitas sektor keuangan dapat terjaga dengan baik. Demikian juga berbagai rambu dan standar kehati-hatian yang membatasi pengambilan risiko yang berlebihan oleh pelaku di sektor keuangan perlu ditingkatkan
Beberapa paper selanjutnya menganalisis tentang perkembangan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter pada masa kini dan kedepan, yang perlu menyesuaikan diri seiring dengan perkembangan pasar keuangan yang semakin kompleks. Wimboh Santoso, Dwityapoetra S. Besar dan Primitiva Febriarti dalam papernya menunjukkan bahwa koordinasi kebijakan fiskal dan moneter saja sudah tidak memadai untuk menjaga stabilitas sistem keuangan guna mendukung berfungsinya sistem keuangan secara normal. Dalam papernya mereka menyampaikan bahwa salah satu pelajaran berharga dari krisis keuangan global lalu adalah perlunya kerangka kebijakan yang memiliki jangkauan luas guna menjaga kestabilan Beberapa paper selanjutnya menganalisis tentang perkembangan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter pada masa kini dan kedepan, yang perlu menyesuaikan diri seiring dengan perkembangan pasar keuangan yang semakin kompleks. Wimboh Santoso, Dwityapoetra S. Besar dan Primitiva Febriarti dalam papernya menunjukkan bahwa koordinasi kebijakan fiskal dan moneter saja sudah tidak memadai untuk menjaga stabilitas sistem keuangan guna mendukung berfungsinya sistem keuangan secara normal. Dalam papernya mereka menyampaikan bahwa salah satu pelajaran berharga dari krisis keuangan global lalu adalah perlunya kerangka kebijakan yang memiliki jangkauan luas guna menjaga kestabilan
Agung dalam papernya menuliskan bahwa krisis ekonomi global 2008 memberikan pelajaran bahwa kemampuan kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi makro semakin terbatas, sumber instabilitas ekonomi makro semakin banyak bersumber dari sektor keuangan. Agung membuka wacana bagi paradigma baru kebijakan moneter di Indonesia pasca krisis global, dengan mengintegrasikan kebijakan makroprudensial dalam kebijakan inflation targeting.
Sementara itu dalam papernya, Brodjonegoro dan Megantara menguraikan bahwa dinamika dan perkembangan ekonomi Indonesia banyak dipengaruhi oleh kebijakan fiskal yang diterapkan, sesuai dengan tiga fungsi utamanya yaitu sebagai alat stabilisasi ekonomi, alat distribusi pendapatan, dan alat alokasi anggaran negara. Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir berupaya merumuskan kebijakan fiskal yang berorientasi pada pro growth, pro poor, pro job, dan pro environment, dalam rangka percepatan pengentasan kemiskinan sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat. Demikian juga mereka menyampaikan bahwa kebijakan fiskal yang baik dan sehat akan menciptakan sustainabilitas fiskal penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
Nasution dalam papernya yang berjudul “What ASEAN+3 Countries Can Do to Rebalance the Global Economy”, menyampaikan tentang peran yang dapat dilakukan oleh negara ASEAN+3 untuk membantu mengatasi masalah ekonomi global yang tidak berimbang (pada akhirnya juga membantu menjaga stabilitas ekonomi global) karena memiliki cadangan devisa yang besar, ekonomi nya besar, dinamis dan tumbuh pesat, juga secara regional memiliki berbagai mekanisme untuk menjaga stabilitas kawasan seperati dengan adanya Chiang Mai Initiatives (CMI). Paper Nasution menunjukkan bahwa perlunya koordinasi internasional ataupun Nasution dalam papernya yang berjudul “What ASEAN+3 Countries Can Do to Rebalance the Global Economy”, menyampaikan tentang peran yang dapat dilakukan oleh negara ASEAN+3 untuk membantu mengatasi masalah ekonomi global yang tidak berimbang (pada akhirnya juga membantu menjaga stabilitas ekonomi global) karena memiliki cadangan devisa yang besar, ekonomi nya besar, dinamis dan tumbuh pesat, juga secara regional memiliki berbagai mekanisme untuk menjaga stabilitas kawasan seperati dengan adanya Chiang Mai Initiatives (CMI). Paper Nasution menunjukkan bahwa perlunya koordinasi internasional ataupun
bahwa sektor keuangan yang kuat merupakan fondasi pembangunan ekonomi, namun demikian sensitif terhadap gejolak ekonomi baik yang berasal dari internal maupun eksternal. Untuk itu mereka percaya bahwa jaring pengaman sistem keuangan (JPSK) memiliki peran signifikan untuk stabilitas di sektor keuangan, khususnya bisa dijadikan landasan hukum dalam penanganan sektor keuangan di saat krisis. Sehingga juga bisa membentuk asa positip bagi pelaku ekonomi, baik rumah tangga dan perusahaan. Dalam papernya mereka menyampaikan bahwa kerangka JPSK harus meliputi kerangka kerja dan kerangka hukum Komite Stabilisasi Sektor Keuangan dan juga Komite Koordinasi. Mereka menganggap bahwa kedua komite tersebut sangatlah penting agar koordinasi kebijakan di masa krisis dan penanganan lembaga keuangan yang bermasalah dapat segera dilakukan, tanpa harus melewati birokrasi yang panjang, misalnya karena harus melapor pada legislatif. Selain itu mereka juga menyampaikan bahwa koordinasi fiskal dan moneter juga penting dalam mengelola ekonomi dalam kondisi normal. Dimana tingkat inflasi akan lebih optimal dicapai jika berkoordinasi dengan Kementrian Keuangan terkait kebijakan fiskal yang akan ditempuh.
DINAMIKA KOORDINASI KEBIJAKAN FISKAL- MONETER DI INDONESIA
Sri Adiningsih dan Laksmi Yustika Devi
Latar Belakang Salah satu isu yang banyak menyita perhatian masyarakat dunia,
ataupun suatu bangsa pada saat ini adalah ekonomi. Hal tersebut didukung oleh perkembangan teknologi informasi yang membuat kemajuan di manapun juga di dunia ini bisa dengan mudah diketahui oleh masyarakat luas, membuat tuntutan masyarakat akan kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera ataupun maju semakin meningkat. Padahal meskipun globalisasi telah membuat ekonomi dunia berkembang semakin pesat, namun juga menghadapi volatilitas yang semakin tinggi. Krisis ekonomi ataupun keuangan semakin sering datang dan pergi dalam dua dekade terakhir ini. Sehingga mengelola ekonomi suatu negara semakin tidak mudah, semakin kompleks, dan tantangan serta ancamannya juga semakin besar. Sehingga koordinasi kebijakan ekonomi pun menjadi semakin penting, namun semakin tidak mudah dilakukan. Selain itu perkembangan krisis global 2008 yang berasal dari subprime mortgage di Amerika Serikat ataupun krisis ekonomi Eropa 2010 menunjukkan bahwa untuk mengatasi krisis keuangan/ekonomi ataupun ancaman krisis ekonomi kadang diperlukan koordinasi kebijakan yang lebih luas. Koordinasi kebijakan ekonomi secara internasional bahkan diperlukan untuk mengatasi krisis ekonomi yang besar, seperti krisis keuangan 2008 yang lalu. Dari berbagai kebijakan ekonomi, kebijakan ekonomi makro memegang peranan yang penting dalam menjaga stabilitas ekonomi makro ataupun pengelolaan ekonomi suatu negara.
Tujuan dari kebijakan ekonomi makro suatu negara adalah tercapainya kondisi ekonomi yang “bebas inflasi” ( noninflationary) dan tumbuh stabil ( stable growth). Dalam kondisi ini, fluktuasi pada tingkat pengangguran, produksi, dan harga dapat diminimalkan dan pertumbuhan potensial pada output rill dapat tercapai. Kebijakan makroekonomi terdiri atas dua instrumen utama, yaitu kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Kebijakan moneter dilaksanakan oleh bank sentral dan kebijakan fiskal dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan. Tujuan dan implikasi dari kedua kebijakan tersebut seringkali saling bertentangan. Perbedaan tujuan tersebut dapat mengakibatkan hasil dari masing-masing kebijakan menjadi tidak optimal atau bahkan saling meniadakan ( set-off) (Goeltom, 2007). Oleh karena itu, amatlah penting untuk memiliki suatu mekanisme koordinasi antar kedua otoritas kebijakan atau strategi bauran kebijkan ( policy mix) agar perekonomian dapat berjalan dengan baik.
Blinder (1982) dalam Goeltom (2007) menyatakan bahwa koordinasi kebijakan moneter dan fiskal menjadi makin penting ketika terdapat ketidakpastian yang tinggi dari pengaruh masing-masing kebijakan. Kondisi ini dialami oleh banyak negara maju dan emerging countries pada awal tahun 2000-an, saat perekonomian dunia menunjukkan kelesuan yang berlanjut. Ketika itu, kebijakan yang diambil masih memberikan ketidakpastian yang cukup tinggi sementara tingkat suku bunga sudah ditekan hingga amat rendah. Kebijakan yang dilakukan secara parsial dan bertahap cenderung akan makin meningkatkan ketidakpastian sehingga penurunan kinerja perekonomian terus berlangsung. Oleh karena itu, Mohanty dan Scatigna (2004) dalam Goeltom (2007) menyatakan bahwa banyak ahli ekonomi yang menyarankan strategi yang sebaiknya ditempuh dalam situasi tersebut adalah koordinasi kebijakan fiskal dan moneter serta penggunaan berbagai instrumen kebijakan secara lebih agresif untuk mendukung efektivitas kebijakan yang diambil.
Pada akhirnya, kebijakan moneter ataupun kebijakan fiskal tidak dapat berjalan sendiri. Dalam prakteknya, yang sering dijumpai adalah kebijakan fiskal yang juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi moneter atau kebijakan moneter dengan konsekuensi-konsekuensi fiskal (Boediono,
2001). Hal ini digarisbawahi pula oleh Krugman dalam Corsetti dan Mueller (2008) yang menyatakan bahwa kebijakan fiskal akan lebih efisien bila dibarengi dengan kebijakan moneter yang akomodatif. Dengan kata lain, agar stimulus fiskal dapat berjalan dengan baik, kebijakan moneter harus diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yang konsisten dengan mandat menjaga kestabilan harga.
Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia sejak merdeka hingga kini mengalami dinamika yang luar biasa. Indonesia mengalami masa-masa dimana koordinasi kebijakan fiskal dan moneter tidak diperlukan karena memang telah menyatu, namun dalam perkembangannya koordinasi kebijakan tersebut menjadi semakin penting karena mulai 1999 bank sentral di Indonesia independen dari pemerintah, bukan merupakan bagian dari pemerintah lagi. Bahkan dalam perkembangannya akhir-akhir, dimana sistem keuangan menjadi semakin kompleks, sehingga koordinasi kebijakan fiskal dan moneter saja tidak cukup untuk menjaga stabilitas ekonomi makro, perlu adanya koordinasi kebijakan ekonomi yang lebih luas.
Pasang Surut Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal di Indone- sia
Dalam perjalanannya, interaksi antara kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan ekonomi nasional dan juga global. Secara garis besar, sejarah perjalanan interaksi kedua kebijakan tersebut dapat dibedakan menjadi: 1) periode pemerintahan Orde Lama; 2) periode pemerintahan Orde Baru; 3) periode setelah Krisis Moneter 1997; dan 4) periode setelah Krisis Finansial Global 2008.
1. Periode Pemerintahan Orde Lama Pada tahun 1828, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan De
Javasche Bank (DJB) sebagai bank sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang. DJB kemudian diputuskan sebagai bank sentral pada Javasche Bank (DJB) sebagai bank sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang. DJB kemudian diputuskan sebagai bank sentral pada
1. Pendirian sebuah bank dengan nama “Bank Indonesia” sebagai peng- ganti DJB dan berfungsi sebagai bank sentral. Tugas Bank Indonesia seperti yang tertulis dalam undang-undang tersebut di antaranya adalah mengatur nilai satuan uang Indonesia dan menjaga agar nilai itu seimbang (stabil) serta menyelenggarakan peredaran uang di In- donesia
2. Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan Penasihat
Hambatan terbesar dari diberlakukannya undang-undang tersebut adalah dibentuknya Dewan Moneter yang menjadi salah satu pimpinan Bank Indonesia (BI). Sjafruddin Prawiranegara selaku Presiden DJB terakhir dan juga Gubernur BI pertama berpendapat bahwa keikutsertaan Dewan Moneter sebagai salah satu pimpinan BI menjadikan BI tidak independen dari pemerintah. Hak BI untuk mencetak dan mengedarkan uang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai sumber keuangan. Sjafruddin mengemukakan bahwa hal yang lebih tepat dilakukan adalah membentuk Dewan Koordinasi yang beranggotakan wakil pemerintah dan wakil direksi bank dan berada di luar struktur kepemimpinan bank sentral. Dengan demikian, bank sentral tidak dapat diintervensi terlalu jauh oleh pemerintah dan sebaliknya bank sentral juga tidak terlalu independen dari pemerintah. Namun, format tersebut tidak pernah terwujud. Secara formal, keberadaan Dewan Moneter tetap dipertahankan hingga tahun 1968 (Bank Indonesia, 2007a).
Dewan Moneter beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Per- ekonomian, dan Gubernur BI. Ketua Dewan Moneter adalah Menteri
Keuangan yang dapat digantikan oleh Gubernur BI bila ia berhalangan. Dewan Moneter bersidang sekurang-kurangnya 14 hari sekali atau lebih bila anggota yang memiliki hak suara menginginkannya. Tugas Dewan Moneter adalah menetapkan kebijakan moneter umum yang akan dilaksanakan oleh BI serta memberi petunjuk kepada direksi tentang kebijakan BI dalam urusan lainnya, seperti misalnya dalam menetapkan tarif bunga bank. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Moneter dibantu oleh Dewan Penasehat. Dewan Penasehat memiliki tugas untuk memberikan nasehat-nasehatnya bagi Dewan Moneter baik diminta ataupun tidak dan membahas segala permasalahan Dewan Moneter dengan maksud agar dewan ini dapat menetapkan kebijakan secara optimal berdasarkan perkembangan yang ada di masyarakat. Sementara tugas direksi dalam BI adalah (UU No. 11
Tahun 1953) 1 :
1. menyelenggarakan kebijakan moneter umum yang telah ditetapkan oleh Dewan Moneter;
2. menyelenggarakan pemberian kredit oleh BI, terutama untuk pem- berian dan perpanjangan kredit dengan syarat-syarat yang ber- hubungan dengan kredit-kredit tersebut, juga untuk menghentikan kredit yang sedang berjalan, dan menolak pemberian kredit; dan
3. menyelenggarakan segala pekerjaan BI yang lain, dengan memper- hatikan petunjuk Dewan Moneter.
Dengan demikian, peran BI dalam pelaksanaan kebijakan moneter tidak dapat dilepaskan dari intervensi pemerintah melalui Dewan Moneter (Bank Indonesia, 2007a).