Pendahuluan Bagi pembuat kebijakan seperti Bank Indonesia, krisis ekonomi

1. Pendahuluan Bagi pembuat kebijakan seperti Bank Indonesia, krisis ekonomi

dan keuangan adalah suatu kejadian mahal yang dapat digunakan untuk melakukan refleksi, mengambil pelajaran atas kejadian yang baru saja dilewati, dan melakukan penyesuaian-penyesuaian atas apa yang dilakukan selama ini. Sebagaimana halnya krisis-krisis ekonomi sebelumnya, krisis ekonomi dan keuangan global yang saat ini sedang dalam proses pemulihan memberikan sejumlah pelajaran berharga bagi otoritas moneter. Pelajaran- pelajaran yang dapat dipetik mempunyai implikasi yang penting bagi perbaikan-perbaikan atas kerangka kebijakan moneter yang selama ini kita pahami dan kita gunakan.

Pelajaran yang paling berharga dari krisis ekonomi global bagi otoritas moneter adalah bahwa upaya menjaga stabilitas perekonomian makro tidak cukup dengan menjaga stabilitas harga. Pelajaran ini muncul karena fakta menunjukkan bahwa ketidakstabilan makroekonomi yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir semakin banyak bersumber dari sektor keuangan. Dalam krisis global yang baru kita lewati, krisis yang bermula di sektor keuangan terjadi ketika dunia berhasil mencapai prestasi terbaiknya dalam menjaga stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi. Sebuah era yang seringkali disebut oleh para ekonom sebagai era “Great Moderation”. Era ini ditandai oleh stabilitas harga di hampir semua negara maju dan berkembang. Banyak yang mengklaim bahwa bahwa era great moderation ini sebagai buah dari semakin kuatnya kerangka kebijakan moneter di negara maju dan berkembang, ditandai dengan tren digunakannya Inflation Targeting Framework dan didukung bank sentral yang independen.

Namun, stabilitas harga ternyata tidak menjamin stabilitas keuangan dan makroekonomi. Faktanya, ia justru seringkali mendorong risiko terjadinya pertumbuhan kredit yang berlebihan dan terciptanya gelembung harga aset yang didorong oleh perilaku search for yield yang berlebihan – sebuah kondisi yang sering disebut sebagai “paradoks kredibilitas”. Kondisi makroekonomi yang stabil yang ditandai oleh inflasi dan suku bunga rendah yang berlangsung lama telah menciptakan moral hazard dari Namun, stabilitas harga ternyata tidak menjamin stabilitas keuangan dan makroekonomi. Faktanya, ia justru seringkali mendorong risiko terjadinya pertumbuhan kredit yang berlebihan dan terciptanya gelembung harga aset yang didorong oleh perilaku search for yield yang berlebihan – sebuah kondisi yang sering disebut sebagai “paradoks kredibilitas”. Kondisi makroekonomi yang stabil yang ditandai oleh inflasi dan suku bunga rendah yang berlangsung lama telah menciptakan moral hazard dari

Di Indonesia, dalam satu dasawarsa terakhir ini, tekanan terhadap stabilitas makroekonomi juga semakin sering bersumber dari sektor keuangan. Krisis Asia yang menghantam Indonesia juga bermula di sektor perbankan dan sektor korporasi yang over-leverage dipicu oleh optimisme yang berlebihan dan moral hazard yang timbul dari “jaminan” atas stabilitas makroekonomi, termasuk nilai tukar yang relatif tetap. Krisis di akhir tahun 2008 juga lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor di sektor keuangan, daripada karena ketidakseimbangan internal dan eksternal di perekonomian makro kita. Inflasi ketika itu berada dalam tren menurun, neraca berjalan juga berada dalam kondisi surplus. Namun, arus modal masuk yang sebelumnya cukup tinggi mengering secara tiba-tiba akibat proses “deleveraging” pasca penutupan Lehman Brothers. Risiko antar bank meningkat, likuiditas mengetat, pertumbuhan kredit turun secara drastis dari 38% di akhir triwulan III-2008 menjadi 10% di akhir tahun 2009.

Boom-bust dari pertumbuhan kredit seiring dengan siklus kepercayaan ini pada akhirnya semakin memperbesar fluktuasi perekonomian. Secara inheren perilaku bank memang “prosiklikal”, optimisme yang berlebihan ketika perekonomian sedang membaik, berbalik menjadi sangat risk-averse yang berlebihan ketika terjadi pelemahan ekonomi. Kedua, perilaku ini juga seringkali diperparah oleh regulasi yang bekerja secara prosiklikal, yaitu mendorong pertumbuhan kredit di saat pertumbuhan ekonomi membaik dan sebaliknya mendorong pengetatan kredit saat perekonomian melemah. Regulasi perbankan yang lebih difokuskan pada kesehatan individu bank ini seringkali tidak kompatibel dengan tujuan menjaga stabilitas sistem keuangan dan makroekonomi.

Implikasinya adalah bahwa kebijakan moneter yang berorientasi pada inflasi yang rendah, seperti Inflation Targeting Framework tidaklah cukup.

Dia perlu didukung oleh adanya sebuah instrumen regulasi prudensial di sektor perbankan yang didisain untuk menjaga stabilitas makroekonomi secara keseluruhan – sebuah instrumen yang sering disebut sebagai kebijakan makroprudensial. Dalam konteks ini, bank sentral harus selalu memperhatikan interaksi antara sektor finansial dan sektor riil. Mengabaikan interaksi ini dapat menyebabkan bank sentral menjadi cenderung memandang rendah risiko di sektor keuangan ketika makroekonomi dalam kondisi yang stabil, dan cenderung memandang berlebihan terhadap risiko di sektor keuangan ketika dihadapkan pada kondisi makroekonomi yang tidak stabil. Artinya, perlu sebuah sinergi antara kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial yang berperan menekan prosiklikalitas mendukung kebijakan moneter untuk mengurangi fluktuasi output.

Mengintegrasikan aspek makroprudensial ke dalam kebijakan mo- neter, membawa implikasi pada perlunya melakukan penyesuaian-pe- nyesuaian terhadap kerangka kebijakan moneter. Bagaimana memasukkan makroprudensial kedalam framework kebijakan moneter? Apa implikasi bagi formulasi kebijakan moneter? Apakah mandat BI untuk mencapai kestabilan nilai Rupiah mencakup upaya menjaga stabilitas sistem ke- uangan? Bagaimana implikasi penting bagi proses pemisahan fungsi pengawasan bank beralih ke OJK, ketika akses pada pengaturan makro- prudensial berpotensi mengalami hambatan?

Makalah ini akan mencoba membuka pemikiran tentang perlunya sebuah paradigma baru dalam kebijakan moneter pascakrisis global. Pa- per ini akan melihat implikasi pada kerangka kebijakan moneter infla- tion targeting framework yang sekarang diterapkan, dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Bab 2 memaparkan mekanisme terjadinya prosiklikalitas dan stylized fact prosiklikalitas dari sistem keuangan di Indonesia sebagai landasan berfikir. Bab 3 memaparkan paradigma baru tentang peran kebijakan moneter dan makroprudensial dalam menciptakan stabilitas makroekonomi. Bab 4 membahas implikasi pada keranga kerja ITF. Bab 5 memaparkan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan.