Masa Pemerintahan Orde Baru Pada tanggal 3 Oktober 1966, untuk mengatasi kondisi hiperinflasi,
2. Masa Pemerintahan Orde Baru Pada tanggal 3 Oktober 1966, untuk mengatasi kondisi hiperinflasi,
pemerintah secara resmi meluncurkan program stabilisasi. Intisari dari program tersebut terkait dengan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang diambil adalah (Prawiro, 1998):
1. Kebijakan Fiskal Pemerintah menerapkan anggaran berimbang dengan cara
menghentikan proyek-proyek yang tidak produktif dan fokus pada kegiatan-kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Pemerintah juga melakukan reorganisasi dalam sistem perpajakan yang kuno dan tidak efisien.
2. Kebijakan Moneter Pemerintah menerapakan kebijakan moneter yang agak paradoks,
yaitu kebijakan uang ketat (termasuk kredit ketat) yang dibarengi dengan kebijakan kredit longgar pada jenis investasi yang diseleksi, seperti rehabilitasi dari fasilitas-fasilitas yang telah tersedia atau proyek-proyek yang memiliki potensi paling besar untuk memperluas kapasitas produksi negara.
Disiplin dalam pelaksanaan kebijakan fiskal mensyaratkan pemerintah untuk mengendalikan pengeluarannya secara menyeluruh. Pada bulan Desember 1966, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan anggaran pertama pemerintah Orde Baru. Dokumen-dokumen anggaran menyatakan anggaran tahun 1967 sebagai “Anggaran Berimbang” yang berarti bahwa pengeluaran pemerintah dibatasi oleh pendapatan pemerintah sehingga defisit ditiadakan sebanyak mungkin. Sebuah Keputusan Presiden yang ditandatangani pada tanggal 31 Desember 1966 mewajibkan pemerintah untuk memberi laporan kuartalan tentang anggaran yang telah diwujudkan yang juga mencatat setiap utang dan piutang. Laporan ini berkembang menjadi sebuah laporan pertanggungjawaban yang dibuat setiap setengah tahun untuk kemudian diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (Prawiro, 1998).
Sementara untuk kebijakan moneter, pemerintah yang baru mulai memberikan fleksibilitas di sektor perbankan dengan memberlakukan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Berdasarkan undang-undang
ini, tugas BI adalah membantu pemerintah dalam dua hal, yaitu 2 :
1. mengatur, menjaga, dan memelihara stabilitas nilai rupiah; dan
2. mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
Keberadaan Dewan Moneter di BI masih tetap dipertahankan. Na- mun, Dewan Moneter tidak lagi bertindak sebagai salah satu pimpinan BI. Tugas Dewan Moneter berdasarkan undang-undang tersebut adalah 3 :
1. membantu pemerintah dalam merencanakan dan menetapkan kebijaksanaan moneter dengan mengajukan patokan-patokan dalam rangka usaha menjaga kestabilan moneter, pemenuhan kesempatan kerja dan peningkatan mutu taraf hidup rakyat;
2. memimpin dan mengkoordinir pelaksanaan kebijaksanaan moneter yang telah ditetapkan pemerintah.
Kebijakan moneter dirumuskan oleh Dewan Moneter dan BI me- laksanakan kebijakan moneter tersebut sesuai dengan keputusan Dewan Moneter.
Keberadaan Dewan Moneter dalam BI mempunyai nilai positif karena dengan demikian kebijakan moneter dapat terintegrasi dan terkoordinir dengan kebijakan fiskal dan kebijakan makro lainnya. Namun, di sisi lain, hal ini mengaburkan fokus tugas, disiplin, dan tanggung jawab masing- masing instansi dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Lebih jauh, keberadaan pemerintah dalam BI masih memungkinkan dimanfaatkannya kebijakan moneter untuk pembiayaan fiskal sehingga prinsip kehati-hatian dan disiplin kebijakan ekonomi makro kurang dapat terjamin (PPSK BI, 2003).
2 Keseluruhan isi UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral diakses dari http://www.sjdih. depkeu.go.id/fullText/1968/13Tahun~1968UU.htm pada 5 Desember 2011 3 Ibid
Pada tahun 1968 juga pemerintah berusaha mendorong produksi dengan menggalakkan investasi dalam negeri dan luar negeri. Undang- undang penanaman modal dalam negeri dan asing disusun dalam bentuk UU PMA dan UU PMDN. Di tahun yang sama, pemerintah mulai mendirikan pasar modal yang ditujukan untuk meningkatkan peranan sektor keuangan dalam mendukung pembangunan ekonomi. Namun demikian, lembaga-lembaga keuangan tersebut masih belum berfungsi seperti yang diharapkan, sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem keuangan pada saat itu masih amat sederhana. Konsekuensinya, kebijakan keuangan yang diterapkan juga sangat terbatas (Nopirin, 1996).
Dalam perkembangannya, investasi baik dari dalam maupun luar negeri meningkat sehingga produksi barang bertambah. Jumlah uang dapat dikendalikan melalui pelaksanaan anggaran berimbang dan produksi barang meningkat sehingga tingkat inflasi dapat terkendali. Inflasi menurun dari 635% di tahun 1966 menjadi 10% tahun 1969 dan bahkan hanya 2,5% di tahun 1971. Program stabilisasi yang dilakukan pemerintah dapat dikatakan berhasil memperbaiki kondisi perekonomian (Nopirin, 1996).
Di pertengahan tahun 1970, harga minyak di pasaran dunia meningkat hingga hampir empat kali lipat. Hal ini memberikan dampak positif dan negatif bagi perekonomian Indonesia. Positif karena hasil dari minyak meningkatkan penerimaan pemerintah sehingga dapat dipergunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dari sisi fiskal. Negatif karena peningkatan penerimaan devisa hasil minyak dan pengeluaran pemerintah telah menyebabkan peningkatan jumlah uang beredar dari sisi fiskal. Kondisi ini mengharuskan kebijakan moneter untuk melakukan penyerapan ekspansi moneter dari sisi fiskal tersebut agar tidak menimbulkan kelebihan likuiditas dalam perekonomian yang dapat meningkatkan inflasi (PPSK BI, 2003).
Pada tahun 1974, dari sisi moneter, pemerintah mulai melaksanakan kebijakan kredit selektif. Hal ini dilakukan agar jumlah uang beredar tetap terkendali sehingga inflasi dapat tetap terjaga. Setiap tahun BI menyusun rencana ekspansi kredit secara nasional dengan menghitung jumlah Pada tahun 1974, dari sisi moneter, pemerintah mulai melaksanakan kebijakan kredit selektif. Hal ini dilakukan agar jumlah uang beredar tetap terkendali sehingga inflasi dapat tetap terjaga. Setiap tahun BI menyusun rencana ekspansi kredit secara nasional dengan menghitung jumlah
Di tahun 1981-1982, kondisi ekonomi dunia mengalami penurunan. Hal ini disebabkan adanya ketidakseimbangan perdagangan antar negara maju. Amerika mengalami dobel defisit, yaitu defisit anggaran belanja dan defisit neraca pembayaran, yang berujung pada langkah proteksi. Kondisi resesi dan aksi proteksi tersebut merupakan hambatan bagi ekspor Indonesia. Akibatnya, dana pemerintah untuk pembangunan ekonomi menjadi terbatas. Pemerintah kemudian melakukan serangkaian kebijakan penyesuaian untuk menghadapi situasi tersebut, seperti devaluasi, pen- jadwalan proyek, dan kebijakan yang terpenting adalah kebijakan deregulasi perbankan (Nopirin, 1996).
Kebijakan deregulasi perbankan diberlakukan pada 1 Juni 1983. Inti dari kebijakan yang lebih dikenal dengan sebutan PAKJUN 1983 ini adalah (Bank Indonesia, 2007b):
1. Bank pemerintah diberi kebebasan untuk menetapkan suku bunga deposito, sebelumnya suku bunga deposito ini masih diatur oleh BI;
2. Ketentuan pagu kredit, yang sebelumnya digunakan sebagai salah satu instrumen intervensi langsung, dihapuskan. Sebagai gantinya, bank sentral menggunakan instrumen tidak langsung yaitu penentuan cadangan wajib, operasi pasar terbuka (OPT), fasilitas diskonto, dan moral suasion. Sejak kebijakan ini diberlakukan, BI mengendalikan moneter dengan menggunakan instrumen tidak langsung. Mekanisme dan instrumen pengendalian moneter berubah. Pemerintah tidak lagi melakukan intervensi langsung dalam mengendalikan kebijakan moneter. Operasi pasar terbuka ( open market operation) dilakukan dengan menerbitkan instrumen moneter berupa Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan menyediakan fasilitas diskonto sejak bulan
Februari 1984. SBI merupakan instrumen moneter tidak langsung yang digunakan untuk menyedot kelebihan uang beredar di masyarakat jika kondisi moneter terlalu ekspansif. Perbankan dapat memanfaatkan kelebihan likuiditas yang dimiliki dengan membeli SBI jika dana tersebut tidak dipinjamkan ke masyarakat. Pengendalian likuiditas juga dibantu dengan intervensi di pasar uang rupiah dengan cara memberi pinjaman jangka pendek antara overnight hingga tujuh hari. Sebaliknya, untuk menambah uang beredar, sejak tanggal 1 Februari 1985, BI menerbitkan pula instrumen OPT baru berupa Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).
Setelah kebijakan deregulasi tersebut diberlakukan, sektor perbankan dan keuangan di Indonesia berkembang pesat. Bukan hanya terlihat dari jumlah bank yang beroperasi, besarnya dana masyarakat yang dapat dimobilisasi baik dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito, tetapi juga dalam bentuk kredit dan jenis pembiayaan lainnya yang disediakan oleh perbankan untuk dunia usaha. Pasar keuangan juga berkembang pesat baik dari sisi volume transaksi keuangan maupun bertambahnya variasi produk keuangan (saham, obligasi, surat-surat berharga, dan produk-produk derivatif ) yang diperdagangkan. Akibatnya, semakin banyak dana yang berputar di sektor keuangan dan hubungan antara uang, inflasi, dan ouput semakin erat dibandingkan dengan periode sebelumnya (PPSK BI, 2003).
Pemerintah pun kemudian menyadari bahwa tidak bisa mengandalkan penerimaan dari minyak saja. Untuk itu, pemerintah berusaha meningkatkan pendapatan dari pajak dengan memberlakukan UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Ada empat tujuan pokok dari UU pajak yang baru, yaitu (Prawiro, 1998):
1. penyederhanaan, pembayar pajak umumnya harus dapat menentukan dengan jelas dan pasti apa yang merupakan kewajiban pajaknya tanpa mempergunakan seorang ahli pajak atau tanpa perlu menghubungi petugas-petugas dari bagian perpajakan;
2. pemerataan, sistem perpajakan harus mambawa pemerataan bagi semua penduduk;
3. harus dapat ditegakkan ( enforceable), sistem perpajakan ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga pajak dengan mudah dapat dikumpulkan; dan
4. meningkatkan pendapatan, sistem baru ini harus dapat meningkatkan pendapatan pemerintah.
UU ini mulai diberlakukan pada tahun 1984. Sebelum UU di- berlakukan, sekitar 30% dari pajak yang diterima berasal dari sumber- sumber non migas. Dua tahun kemudian, pada tahun 1986-1987 ketika Indonesia menghadapi krisis harga minyak yang jatuh, sistem perpajakan baru sudah mulai berjalan dengan lancar. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan persentase porsi pajak dari sumber-sumber non migas menjadi 61%. Sistem pajak yang baru berhasil meningkatkan jumlah wajib pajak perusahaan dan perorangan. Pendapatan non migas pemerintah meningkat pesat. Sebagai gambaran, pendapatan pemerintah dari pajak ( tax revenue) Indonesia dibandingkan dengan PDB di tahun 1990 adalah 17,8%; sama dengan persentase yang dicapai Malaysia, sementara tax revenue Singapura dan hailand masing-masing adalah 14,6% dan 16,6% (Asian Development Bank, 2011).
Kebijakan penting lainnya yang dilakukan oleh pemerintah di tahun 1983 adalah menempatkan rupiah dalam sistem “ crawling peg”, yaitu sistem nilai tukar mengambang dengan rentang fluktuasi yang diredam untuk memelihara nilai tukar yang stabil. Saat harga minyak kembali jatuh di tahun 1986, pemerintah mendevaluasi rupiah dengan penurunan nilai sebesar 31%. Cara ini mampu mengendalikan inflasi. Rata-rata inflasi di bawah 7% sepanjang tahun 1986-1989 setelah devaluasi sebesar 31% merupakan pencapaian yang luar biasa. Faktor utama yang berperan dalam rendahnya inflasi adalah pengendalian ketat terhadap pasokan uang, pengendalian fiskal, dan koordinasi yang baik antara BI dan bank-bank negara lainnya. Devaluasi di tahun 1986 merupakan devaluasi Indonesia yang terakhir karena sejak itu rupiah diatur dengan sistem “ managed float”, yaitu sistem nilai tukar mengambang tapi terkendali terhadap mata uang asing (Prawiro, 1998).
Di tahun 1988, pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 yang pada intinya merupakan paket penyempurnaan kebijakan-kebijakan sebelumnya di bidang keuangan, moneter, dan perbankan. Langkah-langkah yang ditempuh, di antaranya, adalah penu- runan cadangan minimum dari 15% menjadi 2% dan pemberian kelonggaran ijin pendirian bank-bank baru dan bank campuran. Akibatnya, sektor perbankan dan keuangan di Indonesia berkembang sangat pesat (PPSK BI, 2003). Paket Kebijakan 27 Oktober diikuti dengan pelaksanaan Paket Kebijaksanaan 20 Desember 1988 yang bertujuan meningkatkan pengerahan dana masyarakat melalui pengembangan pasar modal, lembaga pembiayaan dan asuransi. Pihak swasta diberikan kesempatan lebih luas untuk menyelenggarakan bursa efek atau pasar modal, usaha asuransi dan lembaga-lembaga pembiayaan lain.
Sebagai dampak dari liberalisasi di sektor keuangan dengan diber- lakukannya paket-paket kebijakan tersebut, aliran dana yang masuk ke perekonomian Indonesia, khususnya pinjaman luar negeri swasta, meningkat sangat besar dan pesat. Di satu sisi, besarnya aliran dana luar negeri tersebut dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Namun, di sisi lain, aliran dana luar negeri tersebut juga menimbulkan sejumlah masalah. Dana luar negeri tersebut pada umumnya berupa pinjaman luar negeri swasta, berjangka pendek, tidak memperhitungkan resiko perubahan nilai tukar, dan banyak dimanfaatkan untuk membiayai proyek-proyek swasta yang berjangka panjang dan tidak menghasilkan devisa. Dari sisi moneter, besar dan mobilitas aliran dana luar negeri tersebut juga mempersulit pelaksanaan kebijakan moneter oleh BI (PPSK BI, 2003).
Untuk menghindari dampak negatif dari membanjirnya aliran dana luar negeri tersebut, BI melakukan penyerapan kelebihan likuiditas sehingga mendorong kenaikan suku bunga dalam negeri. Namun, kenaikan suku bunga ini malah makin meningkatkan masuknya aliran dana luar negeri, khususnya dalam bentuk surat-surat berharga berjangka pendek. Akibatnya, jumlah pinjaman luar negeri swasta dalam berbagai bentuk dan Untuk menghindari dampak negatif dari membanjirnya aliran dana luar negeri tersebut, BI melakukan penyerapan kelebihan likuiditas sehingga mendorong kenaikan suku bunga dalam negeri. Namun, kenaikan suku bunga ini malah makin meningkatkan masuknya aliran dana luar negeri, khususnya dalam bentuk surat-surat berharga berjangka pendek. Akibatnya, jumlah pinjaman luar negeri swasta dalam berbagai bentuk dan
Tarmidi (1999) menyatakan bahwa krisis ekonomi 1997 diperparah oleh kebijakan fiskal dan moneter yang tidak konsisten dalam suatu sistem nilai tukar intervensi terbatas. Sistem nilai tukar tersebut menyebabkan terjadinya apresiasi nilai tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997. Pemerintah terkesan tidak memiliki kebijakan yang jelas dan terperinci untuk mengatasi krisis. Ketidakmampuan pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan cepat.
Pengalaman masa Orde Baru hingga munculnya krisis ekonomi 1997 menunjukkan bahwa koordinasi fiskal dan moneter yang terjaga dengan baik, sehingga secara umum stabilitas ekonomi makro terjaga dengan baik, dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, rata-rata sekitar 7,5% per tahun, ternyata menyimpan potensi krisis ekonomi yang serius. Kebijakan fiskal yang “berimbang”, namun dengan catatan bahwa utang dari luar negeri dimasukkan sebagai penerimaan pembangunan, disertai dengan deregulasi sektor moneter tanpa pengawasan dan pengaturan yang baik telah menimbulkan permasalahan ekonomi yang besar Demikian juga masuknya dana asing jangka pendek yang besar jika tidak dikelola dengan baik menimbulkan resiko yang besar, capital outflow yang besar dalam jangka pendek. Sehingga krisis ekonomi yang bermula dari hailand dengan cepat masuk ke Indonesia dan menyebabkan ambruknya ekonomi Indonesia. Krisis ekonomi Indonesia adalah yang terparah, terlama dan biayanya termahal di Asia.