Tantangan Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia

4. Tantangan Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia

Beberapa fakta empiris dan hasil studi seperti diuraikan sebelumnya menunjukkan betapa berbahayanya jika kedua kebijakan hanya meng- utamakan tujuan masing-masing tanpa memperhatikan tujuan ekonomi dalam jangka panjang. Kebijakan fiskal atau kebijakan moneter yang berorientasi jangka pendek dalam mengejar pertumbuhan ekonomi telah mengakibatkan lemahnya stabilitas makroekonomi sehingga mendorong terjadinya overheating economy. Tingginya laju inflasi mendorong ke- tidakpastian ekonomi sehingga dalam jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi.

Pengalaman krisis tahun 1997/1998 menyadarkan kembali tentang pentingnya orientasi kebijakan yang lebih berjangka panjang. Untuk Pengalaman krisis tahun 1997/1998 menyadarkan kembali tentang pentingnya orientasi kebijakan yang lebih berjangka panjang. Untuk

Secara kelambagaan untuk mencapai tujuan tersebut, maka terda- pat kecenderungan secara global untuk menggunakan rules dalam pe- laksanaan kebijakan moneter dan fiskal dibandingkan dengan discretion. Kecenderungan tersebut juga terjadi di Indonesia, sejak Juli 2005 BI telah menerapkan inflation targeting framework (ITF) sebagai kerangka kebijakan moneternya. Dalam ITF, BI mempunyai tujuan untuk mencapai inflasi yang rendah sesuai kapasitas ekonomi serta menggunakan suku bunga (BI rate) sebagai signal kebijakan moneter. Di sisi yang lain, Pemerintah menggunakan besarnya budget defisit sebagai rules dalam pelaksanaan kebijakan fiskalnya sejak era reformasi.

Penerapan kedua kebijakan tersebut secara harmonis tidaklah mudah karena masih banyaknya tantangan perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi di atas 5% pada dua tahun terakhir (5,1% pada tahun 2004 dan 5,6% pada tahun 2005) tidak mampu menutupi peningkatan angkatan sehingga pengangguran meningkat dari sebesar 9,5% pada tahun 2003 menjadi 9,9% dan 10,3% masing-masing pada tahun 2004 dan 2005.

Dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), pemerintah juga telah menetapkan target fiskal defisit masing-masing sebesar -0,7% pada tahun 2005 dan secara berangsur-angsur defisit akan dikurangi sehingga pada tahun 2008 akan mengalami balanced budget dan tahun 2009 mengalami surplus sebesar 0,3%. Sementara itu, dari sisi kebijakan moneter, target inflasi telah ditetapkan masing-masing sebesar 5,5% pada tahun 2005 dan 5% pada tahun 2007.

Data di atas menunjukkan bahwa kebijakan fiskal akan mengarah ke balance budget dan bahkan menunjukkan surplus, sementara di sisi lain sumber-sumber pendorong pertumbuhan ekonomi sangat terbatas. Investasi yang diharapkan menjadi sumber penggerak roda ekonomi masih sangat terbatas. Pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada konsumsi yang Data di atas menunjukkan bahwa kebijakan fiskal akan mengarah ke balance budget dan bahkan menunjukkan surplus, sementara di sisi lain sumber-sumber pendorong pertumbuhan ekonomi sangat terbatas. Investasi yang diharapkan menjadi sumber penggerak roda ekonomi masih sangat terbatas. Pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada konsumsi yang

Permasalahan lain yang tidak kalah beratnya adalah peningkatan harga minyak dunia. Kecenderungan harga minyak dunia di tengah terbatasnya sumber penerimaan pemerintah untuk menutupi bahan bakar minyak (BBM) akan mendorong Pemerintah untuk meningkatkan harga minyak di dalam negeri pada masa-masa mendatang. Peningkatan harga BBM akan mendorong peningkatan laju inflasi dan pada lanjutannya meningkatkan resiko usaha. Dari sisi kebijakan moneter, peningkatan laju inflasi akan mendorong BI untuk melakukan respon pengetatan kebijakan moneter jika ekspektasi masyarakat meningkat.

Banyaknya tantangan yang dihadapi perekonomian nasional dapat menghambat harmonisasi kebijakan moneter dan fiskal. Tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan dapat mendorong pemerintah melakan kebijakan fiskal discretionary dan pada lanjutannya akan mendorong peningkatan laju inflasi. Sementara itu, kebijakan moneter yang terlalu ketat dalam rangka memerangi inflasi dapat mendorong perekonomian ke resesi yang dalam. Sehubungan dengan hal tersebut perlu ada keseimbangan antara tujuan kebijakan moneter dan fiskal (striking the balance) dengan melihat kapasitas ekonomi.