Kebijakan Fiskal di Masa Orde Lama Masa orde lama diawali saat pengakuan terhadap pemerintah Re-

II. Kebijakan Fiskal di Masa Orde Lama Masa orde lama diawali saat pengakuan terhadap pemerintah Re-

publik Indonesia Serikat (RIS) pasca perang kemerdekaan antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1949. Secara umum target pembangunan saat itu dititik beratkan pada pembangunan nasional ( National Building) dan peran pemerintah dalam perekonomian sangatlah dominan. Pengeluaran pemerintah terkonsentrasi guna tujuan politik dan keamanan serta ke- tertiban, sehingga usaha untuk perbaikan di bidang ekonomi terabaikan. Pada masa itu anggaran pemerintah mengalami defisit. Untuk menutup defisit anggaran tersebut dilakukan pencetakan uang, yang kemudian mengakibatkan inflasi sangat tinggi, sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang rendah serta kebutuhan pokok masyarakat sulit didapat.

Kondisi ini diperparah dengan beredarnya berbagai jenis mata uang antara lain uang De Javasche Bank, uang pemerintah Belanda, uang NICA, ORI dan beberapa jenis uang lokal seperti URIPS-Sumatra, URITA- Tapanuli, URPSU-Sumatra Utara/Aceh, URIBA-Aceh, URIDAP-Banten serta Uang Mandat-Pelembang. Secara teori dengan banyaknya jumlah uang yang beredar maka akan mempengaruhi kenaikan tingkat harga atau terjadinya inflasi.

Permasalahan lainnya adalah adanya blokade ekonomi yang dilakukan Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri Republik Indonesia yang baru merdeka, maka sangatlah mempengaruhi penerimaan atau kas negara. Di sisi lain eksploitasi besar- besaran di masa penjajahan yang dilakukan Belanda dan Jepang juga mempengaruhi rendahnya sumber-sumber penerimaan negara.

Memasuki tahun 1950, perkembangan kebijakan fiskal dan moneter saat itu antara lain pemerintah melakukan beberapa upaya pengendalian harga karena inflasi masih cukup tinggi. Disamping itu pemerintah melakukan perbaikan posisi neraca pembayaran serta penggalian sumber- sumber pendapatan pemerintah guna menutup defisit anggarannya. Adapun langkah-langkah pemerintah yang diambil antara lain penyatuan mata uang. Langkah ini dilakukan De Javasche Bank (Bank Indonesia sekarang) dengan menerbitkan uang baru. Sedangkan ORI ditukar dengan uang baru berdasarkan daya belinya. Kebijakan yang cukup populer pada masa itu adalah kebijakan Gunting Syafrudin, yaitu pengguntingan uang kertas menjadi 2 bagian. Bagian sebelah kiri dapat digunakan untuk bertransaksi, sedangkan sebelah kanan ditukar dengan obligasi pemerintah.

Pada tahun 1957 saat dimulainya Ekonomi Terpimpin, perkembangan kebijakan fiskal ditandai dengan pengeluaran pemerintah yang tidak terkendali. Pengeluaran pemerintah ini banyak digunakan untuk operasi militer dan politik dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban. Upaya-upaya yang sangat penting saat itu antara lain mendorong per- kembangan ekonomi pribumi dan perbaikan perusahaan hasil nasionali- sasi.

Pada tahun 1959 inflasi masih tinggi sehingga pemerintah melakukan penurunan nilai uang ( Sanering). Pecahan Rp 5000 dan Rp1.000 masing- masing menjadi Rp50 dan Rp100. Giro dan deposito di atas Rp25.000 dibekukan dan diganti dengan pinjaman jangka panjang. Sedangkan kurs mata uang saat itu adalah US $ 1= Rp 45.

Memasuki tahun 1960 proyek-proyek politis dan “mercu suar” pe- merintah meningkat antara lain guna pembiayaan atas konfrontasi dengan

Malaysia, penyelenggaraan Asian Games, penyelenggaraan Pekan Olah Raga (GANEFO) serta pembebasan Irian Barat dari Belanda. Proyek-proyek ini mengakibatkan pengeluaran pemerintah sangat besar. Akhirnya pada tahun 1965, Bank Indonesia sebagai “Bank Berdjoang” bersedia menutupi defisit anggaran pemerintah dengan mencetak uang baru. Akibatnya inflasi sangat tinggi yaitu mencapai 635%. Pada bulan Desember 1965 terjadi penggantian uang, Rp1.000 uang lama diganti Rp1 uang baru. Dan akhirnya pada tahun 1966 terjadi krisis politik, yaitu pergantian pemerintahan Kabinet Ampera atau Orde Lama ke Orde Baru dan kebijakan fiskal pun berganti dengan berbagai masalah yang dihadapi antara lain beratnya pembayaran utang, defisit neraca pembayaran dan anggaran pemerintah, hiperinflasi yang mencapai 635% serta buruknya sarana dan prasarana ekonomi. Upaya-upaya yang perlu dilakukan orde berikutnya yang sekaligus menjadi tantangan adalah rehabilitasi prasarana ekonomi, penyediaan bahan pangan terutama beras, peningkatan ekspor, penciptaan lapangan kerja, perbaikan iklim investasi terutama investasi asing dan pengendalian inflasi serta perencanaan pembangunan yang berkelanjutan.