Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 3 tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
3. Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 3 tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
Nilai simpanan yang dijamin LPS dapat diubah jika terjadi: 1) bank run; 2) inflasi yang cukup besar dalam beberapa tahun; 3) pengurangan jumlah nasabah yang dijamin menjadi kurang dari 90% dari jumlah penyimpan seluruh bank; 4) ancaman krisis. Terkait dengan PERPPU ini, kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2008
tentang Besaran Nilai Simpanan yang Dijamin Lembaga Penjamin
Simpanan yang menyatakan bahwa jumlah simpanan yang dijamin menjadi paling banyak Rp 2 miliar jika terjadi hal-hal sebagaimana dimaksud dalam PERPPU tersebut. Nilai simpanan yang dijamin semula adalah Rp 100 juta (Santoso, 2008).
Beberapa pelajaran yang dapat ditarik dari krisis 2008 yang me- nunjukkan bahwa koordinasi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal semakin penting adalah (Adiningsih, 2010):
1. Besarnya nilai capital inflows yang ada di Indonesia, sehingga ada ancaman pembalikan capital inflows. Perkembangan pasar valuta asing perlu dicermati karena memiliki potensi volatilitas yang tinggi, seperti yang terjadi pada waktu krisis keuangan global 2008 yang lalu.
2. Pemberian stimulus fiskal yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi dampak krisis menyebabkan defisit APBN. Defisit APBN dibiayai dengan menerbitkan Surat Berharga Negara yang volumenya semakin besar. Padahal likuiditas pasar keuangan masih
9 Keseluruhan isi PERPPU No. 4 Tahun 2008 diakses dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/ C7402D01-A030-454A-BC75-9858774DF852/17685/Perpu4Tahun2008JaringPengaman- SistKeu.pdf pada 5 Desember 2011 9 Keseluruhan isi PERPPU No. 4 Tahun 2008 diakses dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/ C7402D01-A030-454A-BC75-9858774DF852/17685/Perpu4Tahun2008JaringPengaman- SistKeu.pdf pada 5 Desember 2011
Kondisi tersebut menuntut perlunya koordinasi fiskal dan moneter yang baik agar supaya stabilitas ekonomi dapat terjaga dengan baik, tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Bank Pembangunan Asia ( Asian Development Bank) mencatat bahwa strategi yang paling efektif dalam menghadapi dampak krisis 2008 adalah koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter—dan regulator keuangan. Bank sentral dan Kementerian Keuangan harus selalu bekerja sama agar tidak mengambil kebijakan yang terlalu cepat atau terlalu lambat (Kuroda, 2010).
Koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang diperlukan dalam perekonomian global seperti saat ini semakin penting dan kompleks, perlu diperluas, seperti yang disampaikan oleh ADB. Isu-isu penting yang perlu dibahas dalam pelaksanaan koordinasi tersebut ada banyak, di antaranya adalah (Adiningsih, 2010):
1. Koordinasi dalam aktivitas keuangan
2. Komunikasi dalam kebijakan
3. Central bankers “ lean against the wind”
4. Formal fiscal rules?
5. Transparansi dalam kebijakan fiskal dan moneter
6. Koordinasi dalam mengelola atau mengawasi atau mengontrol short term capital inflows
7. Koordinasi dalam Macroprudential
8. Koordinasi dalam Microprudential Dimana dalam pasar keuangan yang semakin kompleks, dinamis
dan terintegrasi secara global seperti sekarang ini berbagai isu tersebut perlu dicari solusinya. Koordinasi tidak lagi cukup untuk kebijakan fiskal dan moneter, namun juga otoritas keuangan lainnya, bahkan juga perlu pengawasan selain aspek resiko keuangan secara mikro, juga secara makro.
Untuk menjaga stabilitas keuangan, koordinasi antar otoritas keuang- an sangat diperlukan. Saat krisis 2008, Menteri Keuangan, BI, dan Lembaga Penjamin Simpanan menandatangani perjanjian kerja sama yang tujuannya adalah membangun dasar yang kuat dalam menjaga stabilitas sistem keuangan serta melindungi perekonomian dari kemungkinan terjadinya krisis di masa mendatang. Dalam MoU tersebut, otoritas keuangan yang terlibat setuju untuk saling membagi informasi mengenai kondisi sektor keuangan yang dapat menyebabkan ketidakstabilan keuangan. Mereka juga bersepakat untuk membuat sebuah protokol manajemen krisis.
Oleh karena itu diperlukan suatu Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sebagai antisipasi krisis di masa mendatang. JPSK merupakan mekanisme pengamanan sistem keuangan dari ancaman krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis. Sasaran JPSK adalah menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga sektor keuangan dapat berfungsi secara normal dan memiliki kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi yang berkesinambungan (Adiningsih, et.al., 2011).
Setelah batal disahkan disahkan DPR pada periode 2004-2009, pemerintah berniat untuk mengusulkan kembali RUU tentang JPSK. Dalam RUU ini, dimuat secara jelas tugas dan tanggung jawab lembaga terkait yaitu Kementerian Keuangan, BI, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam jaring pengaman keuangan. Kementerian Keuangan ber- tanggung jawab untuk menyusun perundang-undangan sektor keuangan dan menyediakan dana untuk penanganan krisis. BI sebagai bank sentral bertanggung-jawab untuk menjaga stabilitas moneter dan kesehatan perbankan serta keamanan dan kelancaran sistem pembayaran. LPS bertanggung jawab untuk menjamin simpanan nasabah bank serta resolusi bank bermasalah. UU JPSK jika jadi diundangkan, kelak akan berfungsi sebagai landasan yang kuat bagi kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh otoritas terkait dalam rangka memelihara stabiltas sistem keuangan. Dalam RUU JPSK semua komponen JPSK ditetapkan secara rinci yakni meliputi: (1) pengaturan dan pengawasan bank yang efektif; (2) lender of the last resort; (3) skim asuransi simpanan yang memadai dan (4) mekanisme penyelesaian krisis yang efektif.
Dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi makro, di tahun 2003, Indonesia mengambil langkah awal dalam supervisi makro prudensial dengan mendirikan Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) . FSSK mengembangkan Early Warning System (EWS) yang disebut Financial Stability Index (FSI) dengan tujuan mendeteksi vulnerabilitas sektor perbankan. Maka, ketika krisis 2008 meluas, pemerintah Indonesia dapat merespon dengan cepat karena indeks stabilitas keuangan pada November 2008 tercatat sebesar 2,43; di atas indikasi maksimum sebesar 2,0 (Bank Indonesia, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa sistem perbankan Indonesia dan sistem keuangan domestik berada dalam kondisi kritis. Salah satu kebijakan yang kemudian disetujui oleh BI adalah mengurangi batas minimal cadangan minimum bank di bank sentral dari 9,08% menjadi 7,5% seperti tercantum dalam PBI No. 10/19/PBI/2008 bertanggal 14 Oktober 2008 tentang Giro Wajib Minimum bagi bank komersial. Hal ini merupakan langkah antisipasi dari BI. Jika otoritas ekonomi harus menunggu hingga bank terkena dampak krisis, reaksi pemerintah akan menjadi terlambat. Selain itu, Kementerian Keuangan juga mengembangkan EWS yang memonitor beberapa indikator kunci, seperti IHSG, nilai tukar rupiah, pertumbuhan GDP, penjualan bersih saham dan obligasi dalam Bursa Saham Indonesia, serta nilai ekspor dan impor. Indikator-indikator tersebut dapat digunakan sebagai simulasi sehingga dampaknya bagi APBN dapat diprediksi (Adiningsih, et.al., 2011).
Selain itu, dengan tujuan mereformasi sektor keuangan, Indonesia pada akhirnya mendirikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seiring dengan disahkannya undang-undang tentang OJK oleh Presiden pada tanggal 22 November 2011. Dengan disahkannya UU OJK, maka sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan yang selama ini dilakukan Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal serta Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) akan beralih ke OJK. Sementara untuk fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan perbankan oleh BI akan beralih ke OJK pada 31 Desember 2013. Di dalam UU ini telah dicantumkan me ngenai protolol koordinasi di antara otoritas Selain itu, dengan tujuan mereformasi sektor keuangan, Indonesia pada akhirnya mendirikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seiring dengan disahkannya undang-undang tentang OJK oleh Presiden pada tanggal 22 November 2011. Dengan disahkannya UU OJK, maka sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan yang selama ini dilakukan Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal serta Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) akan beralih ke OJK. Sementara untuk fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan perbankan oleh BI akan beralih ke OJK pada 31 Desember 2013. Di dalam UU ini telah dicantumkan me ngenai protolol koordinasi di antara otoritas
OJK memiliki tugas pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Dengan begitu, BI tak lagi mempunyai tugas pengaturan dan pengawasan terhadap perbankan. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam Undang-undang OJK, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia (penjelasan pasal 7 Undang-undang 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan). Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral ( moral suasion) kepada Perbankan.
OJK yang merupakan lembaga yang independen, dengan sembilan anggota dewan komisaris yang sifatnya kolektif kolegial. Selain itu, akan ada dua anggota unsur perwakilan ex-officio dari perwakilan BI dan Kementerian Keuangan. Perwakilan ex-officio dibutuhkan untuk menjalin koordinasi dan harmonisasi kebijakan antara OJK, otoritas fiskal, dan otoritas moneter. Dengan demikian diharapkan koordinasi antara OJK, BI dan Kementrian Keuangan dapat berjalan dengan baik.