Menuju Paradigma Baru Kebijakan Moneter di Indonesia Dalam bab 3, telah didiskusikan bahwa kebijakan moneter memiliki
4. Menuju Paradigma Baru Kebijakan Moneter di Indonesia Dalam bab 3, telah didiskusikan bahwa kebijakan moneter memiliki
potensi untuk mengendalikan berkembangnya ketidakseimbangan di sektor finansial. Namun instrumen suku bunga yang dimiliki harus didukung efektivitasnya dengan instrumen makoprudensial, khususnya untuk mere- dam prosiklikalitas sistem keuangan. Dalam konteks mengintegrasikan keduanya, isunya adalah bagaimana mengoperasionalkannya ke dalam kerangka kerja kebijakan moneter yang selama ini dianut, dalam kasus Indonesia adalah Inflation Targeting Framework.
5.1. Perubahan Paradigma Kebijakan Moneter
Kerangka kebijakan moneter sebelum krisis global ditandai oleh tren penerapan inflation targeting framework (ITF) sebagai best practice kebijakan moneter yang banyak diterapkan, baik oleh negara maju maupun
negara emerging. 12 Praktek ini dilakukan sejalan dengan independensi bank sentral dengan mandat yang berfokus pada menjaga stabiltas harga.
Di Indonesia, kerangka ITF telah diterapkan sejak tahun 2005. Dalam prakteknya, hampir semua bank sentral, termasuk Bank Indonesia, menerapkan apa yang disebut sebagai Flexible ITF, yaitu kebijakan moneter bukan saja ditujukan untuk mencapai target inflasi namun juga menjaga stabilitas output. Secara operasional, Flexible ITF menggunakan Taylor- type rule sebagai benchmark rule, dimana suku bunga kebijakan merespon inflation gap – selisih antara proyeksi inflasi dan target inflasi, dan output gap – selisih antara proyeksi output dan output potensial. Inflasi dan output gap adalah variabel target, yaitu variabel yang masuk di dalam fungsi loss function bank sentral. 13
Dalam kerangka ini, proyeksi inflasi dan perekonomian riil sangat tergantung pada pandangan bank sentral terhadap transmisi kebijakan moneter, asesmen perekonomian terkini, dan proyeksi variabel-variabel
12 Lihat Goodfriend (2007) yang menjelaskan konsensus kebijakan moneter sebelum krisis.
13 Fungsi loss function, Lt = (St - S*) 2 + O(yt - y*) 2 , dimana St adalah inflasi, S* target inflasi, yt - y* adalah output gap antara output, yt, dan output potensial, y*.
eksogen. Dalam kerangka ITF, kebijakan moneter seringkali diasumsikan ditransmisikan ke sektor riil dan inflasi melalui jalur suku bunga. Perubahan suku bunga kebijakan moneter akan direspon oleh suku bunga pasar, suku bunga deposito dan suku bunga kredit yang kemudian berpengaruh pada permintaan agregat dan inflasi. Kondisi sektor keuangan, seperti kondisi pasar kredit dan harga aset hanya digunakan sebagai information variable, yaitu indikator untuk menjelaskan kondisi perekonomian ( state of the economy). Variabel-variabel tersebut berpengaruh secara tidak langsung terhadap respon suku bunga kebijakan yaitu melalui dampaknya pada proyeksi inflasi dan permintaan agregat.
Tabel 5. Paradigma kebijakan moneter: Lama vs Baru
Issues
Paradigma lama
Paradigma baru
Kebijakan moneter ditujukan pada
Kebijakan moneter kestabilan harga, Peran kebijakan mo-
tetapi juga merespon neter
fokus pada
kestabilan harga
ketidakseimbangan di sektor keuangan secara “simetris”
Kebijakan makroprudensial digunakan secara
Peran kebijakan
sistematis untuk makroprudensial
Kebijakan
memitigasi dalam manajemen
makroprudensial
prosiklikalitas, makroekonomi
tidak digunakan
secara sistematis
untuk mendukung kebijakan moneter menjaga stabilitas makroekonomi.
Disamping interest rate
Jalur suku bunga
channel, “balance sheet Transmisi kebijakan
sebagai transmisi
based channel” dan moneter
utama kebijakan
“risk taking channel”
moneter
sangat berperan. Mempunyai peran
Peran sektor keuangan Hanya information sentral dalam dalam formulasi
menciptakan siklus kebijakan moneter bisnis.
variable
Stabilitas harga dan
Hanya pada stabili-
Mandat bank sentral stabilitas sistem
tas harga
keuangan Sebagai indikator
dalam proses Peran agregat moneter
transmisi moneter dan dan kredit berkembangnya risiko
Kurang berperan
di sektor keuangan
Pertanyaannya kemudian adalah apakah kerangka flexible ITF cukup mampu mengatasi potensi tekanan terhadap stabilitas makroekonomi yang bersumber dari sektor keuangan. Inilah yang menjadi kunci pentingnya perubahan paradigma. Dalam paradigma baru, stabilitas harga berperan dalam stabilitas makroekonomi, namun stabilitas harga tidak cukup untuk menjamin tercapainya stabilitas makroekonomi. Seperti yang telah dijelaskan dalam bab 2, sektor keuangan mempunyai peran sentral dalam menciptakan fluktuasi dalam perekonomian. Dalam paradigma ini, faktor finansial mempunyai peranan yang sangat krusial dalam mempengaruhi transmisi kebijakan moneter, baik melalui jalur neraca perusahaan, neraca bank, dan perilaku bank dan perusahaan dalam pengambilan risiko ( risk- taking channel).
Kerangka Flexible ITF dalam Paradigma Baru
Implikasi penting dari paradigma baru terhadap kerangka kerja operasional ITF adalah perlu disain ITF yang fleksibel. Salah satu kelemahan dari ITF dalam hal kemampuannya menangani ketidakseimbangan di sektor keuangan adalah horizon kebijakannya yang terlalu pendek. Biasanya, di beberapa bank sentral horizon kebijakan adalah dua tahun. Di Indonesia, penetapan target dilakukan setiap tiga tahun dengan target tahunan, tanpa adanya rolling target. Artinya, dalam praktek, horizon target adalah satu tahun. Masalahnya, berkembangnya potensi risiko di sektor keuangan biasanya berlangsung dalam horison yang lebih panjang daripada horison sasaran inflasi. Mismatch ini menyebabkan kebijakan moneter yang konsisten untuk tujuan pencapaian inflasi bisa jadi tidak sejalan dengan pengendalian risiko di sektor keuangan. Kenaikan suku bunga BI rate di bulan Oktober 2008 sebagai respon kenaikan ekspektasi inflasi terkait dengan kenaikan harga komoditas di tengah krisis keuangan global yang berpotensi berdampak pada sistem keuangan Indonesia adalah kasus yang menarik perlunya horizon yang lebih panjang terutama ketika sistem keuangan dalam risiko.
Permasalahan horison yang berbeda antara tujuan stabilitas harga dan finansial dapat diatasi dengan dua cara. Pertama, memperpanjang horison pencapaian target inflasi untuk memberikan fleksibilitas pada kebijakan moneter untuk melakukan respon. Inggris, Swedia, dan Norway, sebagai contoh, memperpanjang horison sasaran inflasi dari dua tahun menjadi tiga tahun. Dalam konteks Indonesia, sasaran inflasi jangka panjang adalah 3%, sesuai dengan sasaran inflasi negara yang menerapkan ITF lainnya walaupun belum pernah diformalkan. Ke depan, sasaran jangka panjang ini perlu diformalkan oleh BI dan Pemerintah. Untuk sasaran jangka yang lebih pendek, katakanlah tiga tahun, perlu adanya ”rolling target” yang diumumkan setiap tahun yang mengarah pada target jangka panjangnya. Kedua, harga aset, khususnya harga rumah, dimasukkan ke dalam keranjang indeks harga konsumen (IHK) sehingga menginternalisir kenaikan harga aset.
Flexible ITF adalah salah satu strategi dalam menjembatani perbedaaan horison waktu untuk pencapaian stabilitas harga dan sistem keuangan. Namun, strategi ini tetap harus mempertimbangkan trade-off antara fleksibilitas dan kredibilitas. Dalam kaitan ini, perpanjangan horison waktu yang berlebihan dan dilakukan dengan sering akan mengurangi kredibilitas kebijakan itu sendiri.
Penerapan Flexible ITF pada intinya dilakukan dengan menggunakan dua pilar, yaitu Pilar Kebijakan Moneter dan Pilar Kebijakan Makro- prudensial. Instrumen utama dalam pilar moneter adalah suku bunga kebijakan BI rate, intervensi valas, dan instrumen pengeloalaan likuiditas. Kebijakan moneter merupakan instrumen utama dalam mempengaruhi suku bunga dan nilai tukar. Namun, seperti yang didiskusikan dalam Bab
4, instrumen suku bunga ini juga dapat digunakan untuk tujuan stabilitas sistem keuangan melalui pengaruhnya pada neraca perusahaan dan neraca bank. Kebijakan makroprudensial digunakan untuk mendukung kebijakan moneter melalui perannya secara langsung mempengaruhi neraca bank dan perusahaan dengan menggunakan instrumen makroprudensial, seperti surcharge CAR dan dynamic provision.
Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga inflasi yang rendah dan stabil dan juga mengurangi fluktuasi output. Sementara, tujuan akhir kebijakan makroprudensial adalah memitigasi prosiklikalitas yang berlebi- han sehingga juga akan menekan fluktuasi output yang berlebihan. Dengan kerangka ini diharapkan stabilitas makroekonomi secara keseluruhan dapat dicapai (Gambar 5).
Gambar 5. Kerangka Integrasi Kebijakan Moneter
dan Makroprudensial
Implikasi pada Mandat Institusional Bank Indonesia
Perubahan paradigma ini mempunyai implikasi yang sangat signifikan pada mandat institusional Bank Indonesia. Paradigma bahwa kebijakan moneter perlu didukung oleh kebijakan makroprudensial membawa kon- sekuensi bahwa tidak dapat dipisahkannya kedua kebijakan ini agar dapat berjalan secara efektif. Mandat yang dimiliki BI saat ini untuk menjaga stabilitas moneter dan pengawasan perbankan cukup memadai untuk melaksanakan kebijakan makroprudensial, karena makroprudensial berada dalam dua spektrum fungsi makro (kebijakan moneter) dan fungsi mikro (pengawasan mikro perbankan). Namun, isu ini akan muncul manakala fungsi pengawasan perbankan dipisahkan dari BI dan diserahkan kepada lembaga baru, Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Apabila fungsi pengawasan perbankan dipisahkan dari Bank Indone sia, implementasi kebijakan makroprudensial ini menjadi lebih rumit. Dalam hal ini, kerangka kebijakan makroprudensial tidak bisa dihindari harus melibatkan dua institusi, yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berwenang dalam mengatur dan mengawasi mikro lembaga keuangan. Bank Indonesia mempunyai kemampuan melakukan asesmen Apabila fungsi pengawasan perbankan dipisahkan dari Bank Indone sia, implementasi kebijakan makroprudensial ini menjadi lebih rumit. Dalam hal ini, kerangka kebijakan makroprudensial tidak bisa dihindari harus melibatkan dua institusi, yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berwenang dalam mengatur dan mengawasi mikro lembaga keuangan. Bank Indonesia mempunyai kemampuan melakukan asesmen
Agar sistem berfungsi dengan baik, harus ada saling tukar menukar informasi antara BI dan OJK. OJK harus menyediakan semua informasi terkait dengan monitoring risiko individual, sebaliknya BI memiliki asesmen makroprudensial yang harus disampaikan kepada OJK agar dapat diimplementasikan pada level individu. Dalam konteks aliran informasi dan
model koordinasi, Turner Review 14 memberikan beberapa opsi yang dapat dijadikan rujukan. Pada intinya, bank sentral dengan kemampuan analisis di bidang makroekonomi dan sistem keuangan diberikan mandat untuk melakukan analisis makroprudensial, namun pada tataran implementasi ada sejumlah pilihan sebagaimana dalam Tabel 6.
Opsi 2 adalah opsi yang ideal, dimana BI selain melakukan asesmen risiko, juga mengambil tindakan atau regulasi makroprudensial. Mengapa? Pertama, karena kebijakan yang bersifat makroprudensial perlu dukungan fungsi lender-of-last-resort yang hanya dimiliki oleh Bank Indonesia. Atas alasan ini, semua bank sentral di seluruh dunia mempunyai tanggung jawab untuk stabilitas sistem keuangan. Kedua, akuntabilitas akan lebih jelas apabila tanggungjawab diberikan pada sebuah lembaga. Opsi 3 adalah opsi yang paling sulit dilakukan, karena bentuk komite mempunyai risiko ketidakjelasan tanggungjawab dan akuntabilitas BI dan OJK, sehingga cenderung akan saling lempar tanggung jawab.
Bagaimana dengan opsi 1? Opsi 1 dan opsi 2 lebih memiliki kejelasan tanggung jawab, apakah di BI atau OJK. Dalam memilih antara kedua model tersebut pertimbangan utamanya adalah bagaimana menyelesaikan permasalahan benturan kepentingan yang berpotensi timbul. Dalam opsi
1 terdapat potensi benturan kepentingan antara pengawasan individu (mikroprudensial) dan pengawasan makro (makroprudensial). Dalam kondisi tertentu, OJK mungkin menghadapi dilema dalam mencapai
14 he Turner Review: A regulatory response to the global banking crisis, March 2009 (www.fsa. gov.uk) 14 he Turner Review: A regulatory response to the global banking crisis, March 2009 (www.fsa. gov.uk)
Tabel 6. Disain institusional implementasi kebijakan makropruden- sial dengan adanya OJK
Asesmen Ops i
Implementasi risiko
Bank Indo- BI merekomendasikan ke OJK untuk melaku- Opsi 1 nesia
kan tindakan
Bank Indo- BI mengambil tindakan atau memerintahkan Opsi 2 nesia
OJK untuk melakukan tindakan. ”Joint Commitee” (BI dan OJK atau FSSK)
Bank Indo- Opsi 3
untuk mengambil keputusan akhir terkait nesia dengan tindakan yang diambil
Dalam opsi 2, potensi benturan kepentingan dapat juga muncul an- tara kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial. Namun, potensi ini dapat diselesaikan dengan memberikan instrumen regulasi prudensial pada bank sentral, disamping instrumen suku bunga untuk mengendalikan moneter. Dengan dua instrumen dan dua tujuan ini, sesuai dengan prinsip Tinbergen, kedua tujuan tersebut dapat dicapai secara bersamaan.
Implikasi pada Komunikasi Kebijakan
Strategi komunikasi dalam konteks integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial merupakan hal yang sangat krusial, namun sekaligus sebuah tantangan yang tidak ringan. Pertama, menyampaikan “pesan” ke pasar tentang bahaya berkembangnya ketidakseimbangan di sektor keuangan ketika kondisi ekonomi sedang baik adalah sesuatu yang sulit, karena pesan itu sangat tidak populer di tengah optimisme dari pelaku pasar. Respon kebijakan moneter terhadap ketidakseimbangan di sektor Strategi komunikasi dalam konteks integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial merupakan hal yang sangat krusial, namun sekaligus sebuah tantangan yang tidak ringan. Pertama, menyampaikan “pesan” ke pasar tentang bahaya berkembangnya ketidakseimbangan di sektor keuangan ketika kondisi ekonomi sedang baik adalah sesuatu yang sulit, karena pesan itu sangat tidak populer di tengah optimisme dari pelaku pasar. Respon kebijakan moneter terhadap ketidakseimbangan di sektor
Strategi komunikasi untuk kondisi normal akan tidak bisa digunakan dalam kondisi optimisme yang berlebihan. Komunikasi kebijakan moneter perlu menyesuaikan dengan dinamika sistem keuangan yang sedang terjadi. Di sini, peran kebijakan makroprudensial yang bersifat rule-based dalam mendukung kebijakan moneter lebih mempermudah tugas BI. Dengan dukungan tersebut, kebijakan moneter hanya berperan dalam memberikan sinyal, daripada mengendalikan secara langsung berkembangnya risiko di sektor keuangan.
Kedua, komunikasi kebijakan menjadi sangat menantang ketika terjadinya peningkatan ketidakpastian ekonomi ke depan sebagai hasil interaksi antara sektor keuangan, sektor riil dan perilaku pasar. Dalam konteks ketidakpastian ini, Goeltom (2010) memberikan beberapa prinsip. Pertama, pesan yang disampaikan harus dapat menjelaskan latar belakang kebijakan yang diambil BI sehingga pasar dapat memprediksi perilaku BI ke depan. Kedua, pesan juga harus dikemukakan bahwa pandangan BI terhadap outlook ke depan masih sangat dipengaruhi oleh ketidakpastian dan kebijakan BI ke depan sangat tergantung pada perkembangan kondisi perekonomian ke depan.