Penyaluran Kredit
ii. Penyaluran Kredit
Peningkatan peran intermediasi perbankan masih menjadi salah satu agenda utama kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2011. Baik dalam Paket Kebijakan Bank Indonesia Desember 2010 maupun pada acara pertemuan tahunan perbankan pada awal tahun 2011 ditegaskan perlunya penguatan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial dengan memperkokoh stabilitas makroekonomi dan meningkatkan intermediasi dan ketahanan perbankan. Salah satu pesan penting dari kebijakan tersebut, khususnya yang terkait dengan intermediasi perbankan, ada- lah mengenai masih tetap dipandang perlunya peningkatan intermediasi perbankan khususnya melalui penyaluran kredit. Hal ini dikarenakan kredit merupakan salah satu sumber pem- biayaan utama bagi pembangunan ekonomi, khususnya untuk membiayai sektor riil. Namun penyaluran kredit yang dilakukan perbankan harus dilakukan dengan tetap berada dalam koridor rambu-rambu prudensial yang telah ditetapkan. Hal ini penting
1 Non-Core Deposit (NCD) merupakan 30% giro, 30% tabungan dan 10% deposito <3 bulan 1 Non-Core Deposit (NCD) merupakan 30% giro, 30% tabungan dan 10% deposito <3 bulan
Sebagai hasil dari berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia seperti penerapan ketentuan GWM LDR maupun upaya mediasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses perkreditan, perkembangan kredit perbankan pada pa- ruh pertama 2011 menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Kredit tumbuh 10,5% (ytd) selama semester
I 2011 atau tumbuh 23,0% (yoy). Pertumbuhan kredit selama semester I 2011 tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kredit pada semester I 2010 sebesar 10,3%, meskipun masih lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan semester II 2010. Percepatan pertumbuhan kredit pada semester
I 2011 tersebut tidak terlepas dari semakin kondusifnya kondisi perekonomian yang memungkinkan perbankan untuk meningkatkan penyaluran kreditnya terutama ke sektor-sektor yang produktif.
Cukup tingginya pertumbuhan kredit pada semester I 2011 terutama didorong oleh pertumbuhan kredit valas. Selama semester I 2011 kredit valas tumbuh 13,6%, jauh melampaui pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya se- besar 8%. Pesatnya pertumbuhan kredit valas tersebut sudah berlangsung sejak semester II 2010, yang tampaknya tidak terlepas dari perkembangan nilai tukar rupiah yang cenderung menguat. Dengan demikian perbankan harus berhati-hati terhadap risiko pelemahan rupiah yang dapat menyebabkan debitur kesulitan membayar utangnya dan akhirnya menyebabkan kredit berma- salah.
Sumber pembiayaan kredit valas selama semester I 2011 berasal dari pencairan penempatan dana antar bank valas yang sifatnya cenedrung jangka pendek, sementara DPK valas justru mengalami pertumbuhan yang negatif. Masih tidak stabilnya kondisi perekonomian global dan relatif tingginya suku bunga di dalam negeri dibandingkan di luar negeri tampaknya berpengaruh pada Sumber pembiayaan kredit valas selama semester I 2011 berasal dari pencairan penempatan dana antar bank valas yang sifatnya cenedrung jangka pendek, sementara DPK valas justru mengalami pertumbuhan yang negatif. Masih tidak stabilnya kondisi perekonomian global dan relatif tingginya suku bunga di dalam negeri dibandingkan di luar negeri tampaknya berpengaruh pada
Seperti juga pada semester sebelumnya, peranan kredit ke sektor produktif cukup dominan selama semester I 2011. Perbedaan hanya pada jenis kreditnya. Apabila selama semester II 2010 kredit modal kerja mendominasi penyaluran kredit perbankan, selama semester I 2011 peranan kredit investasi, yang lebih berjangka panjang, semakin dominan dan tumbuh 16,8% (ytd) atau 20,8% yoy.
Dengan meningkatnya kredit investasi diharapkan dapat mem- berikan manfaat yang lebih besar kepada sektor riil dan pada akhirnya dapat memberikan sumbangan yang lebih besar pada pertumbuhan ekonomi nasional. Meskipun demikian, perbankan harus mewaspadai risiko kredit investasi karena jangka waktunya yang lebih panjang, terutama dikaitkan dengan sumber dana perbankan yang mayoritas masih berjangka waktu pendek. Kondisi ini dapat berpotensi menimbulkan risiko mismatch pada perbankan. Sementara itu, dilihat berdasarkan sektornya, hampir semua sektor produktif memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2010, kecuali untuk sektor Pertambangan.
Pertumbuhan kredit properti yang sempat terpuruk pada tahun 2009, kembali menunjukkan perbaikan sejak pertengahan tahun 2010. Selama semester I 2011 kredit properti tumbuh 10,1% atau 17,8% (yoy). Pertumbuhan selama semester I 2011 tersebut lebih baik dibandingkan dengan dua semester sebelumnya, terutama didorong oleh pertumbuhan kredit properti residensial (KPR) yang tumbuh 11,8%. Dengan kebutuhan perumahan penduduk yang masih cukup besar, kredit properti khususnya untuk rumah tinggal (KPR) diperkirakan berpeluang untuk tetap tumbuh. Pangsa kredit properti terhadap total kredit perbankan saat ini masih relatif tidak terlalu besar, yaitu sekitar 13,2% terhadap total kredit.
Risiko Kredit
Risiko kredit perbankan selama semester I 2011 sedikit meningkat bila dibandingkan dengan semester II 2010, namun masih terkendali. Pada akhir semester I 2011, rasio NPL gross perbankan mencapai 2,7%, sedikit meningkat dibandingkan posisi Desember 2010 sebesar 2,6%. Selama semester I 2011 terjadi peningkatan jumlah NPL sebesar Rp8,2 T atau sekitar 4,4% dari total peningkatan kredit perbankan pada periode yang sama. Sejalan dengan cukup tingginya pertumbuhan kre- Risiko kredit perbankan selama semester I 2011 sedikit meningkat bila dibandingkan dengan semester II 2010, namun masih terkendali. Pada akhir semester I 2011, rasio NPL gross perbankan mencapai 2,7%, sedikit meningkat dibandingkan posisi Desember 2010 sebesar 2,6%. Selama semester I 2011 terjadi peningkatan jumlah NPL sebesar Rp8,2 T atau sekitar 4,4% dari total peningkatan kredit perbankan pada periode yang sama. Sejalan dengan cukup tingginya pertumbuhan kre-
Dengan cukup tingginya pertumbuhan kredit valas pada semester
I 2011, perbankan menghadapi potensi peningkatan risiko kredit valas. Secara historis, rasio NPL kredit valas pernah mencapai diatas 30% pada tahun 2000 sebagai dampak krisis 1997/1998 dan jauh diatas rasio NPL kredit rupiah. Namun, belakangan kinerja kredit valas menunjukkan perbaikan yang signifikan. Rasio NPL kredit valas sejak Januari 2011 telah berada dibawah rasio NPL kredit rupiah dan per Juni 2011 telah mencapai 2,2% sementara rasio NPL kredit rupiah sebesar 2,8%. Penurunan rasio NPL kredit valas tersebut dipengaruhi oleh penurunan jumlah kredit bermasalah yang selalu terjadi beberapa periode terakhir. Selama semester I 2011, jumlah kredit bermasalah kredit valas turun 10%. Dengan demikian, potensi peningkatan risiko I 2011, perbankan menghadapi potensi peningkatan risiko kredit valas. Secara historis, rasio NPL kredit valas pernah mencapai diatas 30% pada tahun 2000 sebagai dampak krisis 1997/1998 dan jauh diatas rasio NPL kredit rupiah. Namun, belakangan kinerja kredit valas menunjukkan perbaikan yang signifikan. Rasio NPL kredit valas sejak Januari 2011 telah berada dibawah rasio NPL kredit rupiah dan per Juni 2011 telah mencapai 2,2% sementara rasio NPL kredit rupiah sebesar 2,8%. Penurunan rasio NPL kredit valas tersebut dipengaruhi oleh penurunan jumlah kredit bermasalah yang selalu terjadi beberapa periode terakhir. Selama semester I 2011, jumlah kredit bermasalah kredit valas turun 10%. Dengan demikian, potensi peningkatan risiko
I 2011 telah mengalami peningkatan jumlah kredit bermasalah sebesar 23,8%.
Bila dilihat dari jenis kreditnya, peningkatan jumlah kredit bermasalah selama semester I 2011 terjadi pada semua jenis kredit, dengan pertumbuhan tertinggi pada kredit Konsumsi. Peningkatan jumlah kredit bermasalah untuk kredit konsumsi tersebut antara lain berasal dari kredit konsumsi untuk Perumahan, kredit multiguna dan kredit konsumsi lainnya. Meskipun pertumbuhan jumlah kredit bermasalahnya adalah yang tertinggi, rasio NPL gross kredit Konsumsi adalah yang terendah dibandingkan jenis kredit lainnya yaitu sebesar 1,9%.
Sejalan dengan meningkatnya minat perbankan untuk menya- lurkan kredit Investasi, harus disertai juga dengan tetap dijaganya rambu-rambu prudensial terkait prosedur penyaluran kredit tersebut serta kemampuan bank dalam mengelola risikonya. Dengan jangka waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan jenis kredit lainnya, kredit Investasi memiliki risiko kredit yang cukup tinggi. Data historis menunjukkan bahwa kredit Investasi memiliki rasio NPL gross lebih tinggi dibandingkan kredit jenis lainnya sejak tahun 2000. Baru setelah memasuki tahun 2009 rasio NPLnya berada dibawah Kredit Modal Kerja. Selama semester I 2011, jumlah nominal kredit bermasalah Kredit Investasi tumbuh 19,1% sehingga rasio NPL grossnya menjadi 2,5%, sedikit meningkat dibandingkan posisi akhir tahun 2010 sebesar 2,4%. Apabila penyalurannya tetap diikuti dengan prinsip kehati-hatian, risiko kredit Investasi ke depan diperkirakan tetap dapat terkendali.
Secara sektoral, beberapa sektor mengalami peningkatan jum- lah kredit bermasalah selama semester I 2011 seperti Pertanian, Pertambangan, Industri Pengolahan, Konstruksi dan Peng- angkutan Komunikasi.Dari sektor-sektor tersebut, sektor Peng- angkutan dan Komunikasi mengalami peningkatan kredit ber- masalah dalam tiga semester terakhir.
Sementara itu, risiko penyaluran kredit properti juga masih terkendali. Walaupun rasionya masih sedikit diatas rasio NPL total kredit (per Juni 2011 sebesar 3,0%), namun dengan kecenderungan yang terus menurun. Kenaikan jumlah kredit bermasalah kredit properti selama semester I 2011 terutama bersumber dari kredit untuk KPR. Namun rasio kredit KPR relatif masih cukup rendah yaitu 2,6% per Juni 2011 sehingga peningkatan jumlah kredit bermasalah tampaknya masih dapat dimanage dengan baik oleh bank.