Kebijakan Fiskal di Masa Krisis Seiring waktu berjalan, tahun 1997/1998 dunia dihadapkan pada
IV. Kebijakan Fiskal di Masa Krisis Seiring waktu berjalan, tahun 1997/1998 dunia dihadapkan pada
krisis ekonomi global. Berbagai negara termasuk Indonesia merasakan betapa dahsyatnya dampak krisis global tahun 1997/1998 kala itu. Pada awalnya, transformasi krisis global ke Indonesia ditandai dengan guncangan dan ketidakstabilan nilai tukar rupiah terhadap US$. Tingkat depresiasi rupiah semakin lama semakin dalam. Rata-rata nilai tukar rupiah terhadap US$ yang pada bulan tahun 1996 masih sekitar Rp2.328, sejak awal tahun 1997 terus mengalami pelemahan di sepanjang tahun 1997 dan pada akhir tahun di tutup pada level Rp4.827 per US$. Kemudian, dalam tahun 1998 pelemahan nilai tukar rupiah terhadap US$ semakin dalam dan pergerakan rata-rata nilai tukar rupiah terhadap US$ dalam tahun 1998 berada di kisaran Rp9.929. Ini maknanya, dalam periode 1996 hingga 1998 rupiah mengalami depresiasi sekitar 326,50 persen terhadap US$. Hal ini pada gilirannya tentu berdampak tidak baik terhadap sektor fiskal dan kondisi perekonomian pada umumnya.
Selain nilai tukar, implikasi krisis ekonomi global terhadap pasar Indonesia juga bisa diidentifikasi dari gejolak di lantai bursa. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang pada akhir tahun 1996 ditutup pada level 637.43, di paruh pertama tahun 1997 masih terus bergerak naik dan mencapai titik 740.83 pada tanggal 8 Juli 1997. Namun, setelah periode itu cenderung terus mengalami pelemahan hingga ditutup pada level 401.71 di akhir tahun 1997. Di tahun 1998 seiring semakin membesarnya intensitas krisis, IHSG juga terus melemah dan pernah menyentuh level 256.83 pada tanggal 21 September 1998. Ini merupakan dampak nyata dari krisis global yang berimbas pada terjadinya pelarian modal asing (capital outflow) dari pasar finansial Indonesia. Penting dicatat bahwa fenomena pelemahan indeks saham saat itu tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di kawasan regional dan negara-negara lainnya sebagai dampak capital outflow dalam rangka pembiayaan likuiditas global.
Untuk menghindari terjadinya capital outflow secara lebih dalam, Bank Indonesia mulai menerapkan kebijakan moneter ketat (tight monetary Untuk menghindari terjadinya capital outflow secara lebih dalam, Bank Indonesia mulai menerapkan kebijakan moneter ketat (tight monetary
Seiring waktu berjalan, krisis ekonomi tahun 1998 semakin lama semakin meluas dan berkembang menjadi krisis kepercayaan di masyarakat. Dalam kondisi ekonomi yang tidak kondusif kala itu, berhembus rumor yang kurang sedap di bidang perbankan yang mengikis kepercayaan masyarakat yaitu rumor yang mengatakan bahwa banyak bank yang kalah kliring atau rugi besar-besaran akibat transaksi valas dan akan ada pemilik bank yang kabur ke luar negeri. Kondisi demikian, semakin memperparah keadaan saat itu. Implikasinya, terjadi bank run atau penarikan dana simpanan secara besar-besaran di perbankan nasional.
Melihat kenyataan ini, Pemerintah tidak tinggal diam. Berbagai langkah dan upaya recovery terus ditempuh. Salah satunya adalah dengan membuka kran kerja sama dengan Dana Moneter Internasional atau IMF. Sebagai konsekuensi dari kontrak kerja sama ini, Pemerintah beberapa kali menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan lembaga keuangan internasional tersebut.
Namun, asistensi Tim IMF di Indonesia sepertinya tidak berjalan mulus dan ternyata tidak seperti yang diharapkan. Dari berbagai diskursus yang ada saat itu baik oleh lembaga ekonomi, pengamat ekonomi maupun kalangan akademisi, berkesimpulan bahwa langkah-langkah yang dianjurkan IMF tidak bekerja efektif dan justru hanya meningkatkan akumulasi utang Indonesia. Selain itu, formulasi IMF dalam penyehatan perbankan nasional dianggap justru keliru dan dilakukan tanpa skenario yang jelas sehingga hanya berujung pada likuidasi 16 bank nasional. Selanjutnya, hal ini menjadi trigger terjadinya rush atau penarikan dana secara massal pada perbankan yang juga mencerminkan penurunan tingkat kepercayaan Namun, asistensi Tim IMF di Indonesia sepertinya tidak berjalan mulus dan ternyata tidak seperti yang diharapkan. Dari berbagai diskursus yang ada saat itu baik oleh lembaga ekonomi, pengamat ekonomi maupun kalangan akademisi, berkesimpulan bahwa langkah-langkah yang dianjurkan IMF tidak bekerja efektif dan justru hanya meningkatkan akumulasi utang Indonesia. Selain itu, formulasi IMF dalam penyehatan perbankan nasional dianggap justru keliru dan dilakukan tanpa skenario yang jelas sehingga hanya berujung pada likuidasi 16 bank nasional. Selanjutnya, hal ini menjadi trigger terjadinya rush atau penarikan dana secara massal pada perbankan yang juga mencerminkan penurunan tingkat kepercayaan
Setelah mencermati berbagai perkembangan terkini baik ekonomi dan keuangan serta dengan memperhatikan berbagai masukan yang ada, Pemerintah akhirnya pada tahun 2003 mengambil langkah Post-Program Monitoring dan memutuskan mengakhiri kerja sama dengan IMF dan percaya pada kemampuan sendiri. Pemerintah kemudian melakukan konsolidasi berbagai kebijakan baik kebijakan fiskal, kebijakan di sektor finansial, maupun kebijakan moneter dalam rangka pemulihan pascakrisis ekonomi global 1997/1998.
Dari perspektif fiskal, beberapa kebijakan fiskal yang telah dilakukan Pemerintah dalam rangka masa recovery dari krisis global diantaranya :
a. Melaksanakan reformasi fiskal secara menyeluruh;
b. Mengurangi defisit anggaran melalui peningkatan disiplin dan efisiensi fiskal;
c. Menurunkan subsidi;
d. Mengurangi utang luar negeri dan mengkonversikannya menjadi utang domestik;
e. Melakukan reschedulling atas utang-utang luar negeri yang jatuh tempo pada saat itu;
f. Meningkatan penerimaan pajak secara terus menerus dan konsisten;
g. Melakukan penghematan dan penajaman dalam fungsi belanja negara;
h. Mereformulasi dan merestrukturisasi sistem anggaran negara. Pemulihan dampak krisis melalui berbagai pendekatan – yang
didukung dengan kerja keras Pemerintah dan bantuan semua pihak – akhirnya membuahkan hasil. Setelah berkontraksi cukup tajam pada level 13,13 persen di tahun 1998, kinerja ekonomi kembali mampu berekspansi sejak tahun 1999. Bahkan, laju pertumbuhan ekonomi sejak tahun 1999 hingga saat ini mempunyai kecenderungan semakin baik dan semakin meningkat.
Bagaikan suatu siklus, krisis memang selalu berulang. Berselang sepuluh tahun sejak krisis global 1997/1998, di pertengahan tahun 2008 dunia khususnya kawasan Asia kembali dilanda krisis. Dampaknya, berbagai negara tak terkecuali Indonesia merasakan imbas krisis 1998 tersebut. Namun demikian, dampak krisis tahun 2008 tidak sedahsyat krisis sepuluh tahun sebelumnya. Ada dua faktor penjelas untuk hal ini, yaitu: (1) Secara magnitude, kondisi krisis 2008 memang tidak sebesar krisis tahun 2008 baik dari variabel penyebab krisis maupun negara-negara yang terkena dampak langsung krisis dan (2) Secara fundamental, Indonesia pada tahun 2008 jauh lebih siap dalam menghadapi dan menanggulangi krisis ekonomi dibandingkan kondisi sepuluh tahun silam. Hal ini dikarenakan seiring waktu berjalan Indonesia telah menyiapkan sejumlah instrumen proteksi sebagaimana tertuang dalam Crisis Management Protocol baik dari sisi fiskal maupun finansial.
Terkait dengan Crisis Management Protocol, pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua tahap, yakni pre-emptive policy atau tahap pencegahan dan executing policy atau tahap penanganan. Perlu ditekankan bahwa upaya yang dijalankan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam penyelesaian krisis tahun 2008 sebenarnya masih sebatas pre- emptive policiy. Ini mengingat, berdasarkan hasil evaluasi dan monitoring secara periodik dan persisten yang dilakukan terhadap perkembangan sejumlah indikator ekonomi terkini, Pemerintah dan BI saat itu berkesimpulan bahwa kondisi turbulensi saat itu belum masuk pada tatanan krisis. Untuk menyatakan negara dalam kondisi krisis, Pemerintah dan BI akan menetapkannya dalam suatu surat keputusan.
Sehubungan hal tersebut di atas, langkah dan upaya yang ditempuh pun juga masih sebatas pada penangkalan dan pencegahan krisis dengan tujuan untuk menstabilkan kondisi pasar finansial dan memulihkan kepercayaan masyarakat akibat gejolak-gejolak eksternal yang bersifat sementara (temporary shocks). Adanya stabilitas pasar finansial dan pemulihan kepercayaan menjadi begitu penting untuk menghindari terjadinya bank run dan systemic insolvency sebagaimana pernah terjadi pada tahun 1998 lalu.
Dari sisi regulator, skenario penanganan krisis 2008 bisa dibedakan dari dua perspektif yakni Pemerintah dan BI. Dari sisi Pemerintah, sebagai bentuk keseriusan dalam pencegahan krisis, Pemerintah telah menerbitkan tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), yakni Perpu nomor 2 tahun 2008 tentang Amandemen Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia; Perpu nomor 3 tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan; Perpu nomor 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
Selain menerbitkan tiga Perpu, dalam level mikro Pemerintah juga telah menempuh beberapa langkah strategis seperti penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 tahun 2008 tentang peningkatan nilai penjaminan nasabah di perbankan hingga dua puluh kali lipat, yakni dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar. Hal ini penting untuk meningkatkan ketenangan deposan dan menghindari bank run. Sedangkan, dalam rangka mereduksi volatilitas pasar, Pemerintah juga menyetujui aturan baru otoritas bursa yang melakukan adjusment terhadap batasan auto rejection yakni menjadi 20 persen untuk batas atas dan 10 persen untuk batas bawah.
Kemudian, untuk memulihkan kepercayaan pasar dan stabilisasi harga saham-saham BUMN, Pemerintah mencadangkan dana sekitar Rp4 triliun yang ditempatkan pada Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dan Perusahan Pengelola Aset untuk melakukan pembelian kembali (buyback) saham-saham BUMN yang berkinerja bagus dan Pemerintah melakukan penjajakan kerja sama dengan Bank Dunia melalui skema Credit Line dan Stand By Loan senilai US$2 miliar. Sementara, dari sisi sektor riil, untuk mendorong ekspansi ekonomi, Pemerintah juga mengupayakan terjadinya akselerasi pencairan APBN melalui berbagai insentif dan disinsentif pada sejumlah instrumen fiskal. Saat itu, Pemerintah dan BI juga mengupayakan berbagai langkah hukum secara tegas terhadap pihak-pihak yang sengaja memperkeruh suasana dengan menebarkan rumor negatif untuk kepentingan pribadi.
Lebih jauh, dalam Pasal 23 Undang-Undang (UU) 41 Tahun 2008 tentang APBN 2009 juga diakomodasi payung hukum untuk mengantisipasi Lebih jauh, dalam Pasal 23 Undang-Undang (UU) 41 Tahun 2008 tentang APBN 2009 juga diakomodasi payung hukum untuk mengantisipasi
1. Pengeluaran yang belum tersedia anggarannya dan/atau pengeluaran melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN Tahun 2009;
2. Pergeseran anggaran belanja antarprogram, antarkegiatan, dan/atau antarjenis belanja dalam satu kementerian negara/lembaga dan/atau antar kementerian negara/lembaga;
3. Penghematan belanja negara dalam rangka peningkatan efisiensi, dengan tetap menjaga sasaran program/ kegiatan prioritas yang tetap harus tercapai;
4. Penarikan pinjaman siaga dari kreditor bilateral maupun multilateral; dan
5. Penerbitan SBN melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN tahun yang bersangkutan;
Penting dicatat bahwa substansi pasal 23 UU 41 Tahun 2008 pada dasarnya menjadi panduan dalam menjalankan protokol penanggulangan krisis dari dimensi kebijakan fiskal. Penanggulangan krisis memang membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat dari sisi kebijakan fiskal agar tidak menyebar secara luas dan berdampak kemana-mana. Tentunya, penanganan kebijakan fiskal secara cepat dan tepat dilakukan dengan tetap memperhatikan berbagai prosedur dan payung hukum yang berlaku.
A. Stimulus Fiskal 2009
Pada tahun 2008, Indonesia memang relatif aman dari dampak krisis ekonomi global. Meskipun terkena imbas, namun dampaknya masih dalam level moderat dan bisa diantisipasi dengan baik. Dalam tahun 2009, krisis diperkirakan belum sepenuhnya pulih dan masih bisa berlanjut sebagaimana diproyeksikan beberapa lembaga ekonomi internasional. Dana moneter internasional atau IMF misalnya, dalam laporan terbarunya bulan Nopember 2008, memperkirakan ekonomi global hanya akan tumbuh 2,2 persen pada 2009. Sedangkan, Consensus Forecasts dalam edisinya bulan Nopember 2008 juga memperkirakan laju PDB riil dunia tahun 2009 hanya sekitar 1,1 persen. Sementara, OECD dalam Outlook-nya terbaru, memperkirakan laju PDB riil negara-negara utama dunia seperti AS, Japan, dan Zona Eropa sepanjang 2009 akan mengalami kontraksi dari kisaran 0,3 persen hingga 2,0 persen.
Untuk mengantisipasi berlanjutnya krisis di tahun 2009 tersebut sekaligus meningkatkan proteksi terhadap masyarakat luas dan dunia usaha, Pemerintah melalui persetujuan DPR memutuskan mengucurkan stimulus fiskal pada tahun 2009. Tentunya, pengucuran stimulus fiskal berorientasi untuk meringankan beban masyarakat dan dunia usaha yang terkena dampak langsung krisis global sekaligus untuk menghindari terjadinya gelombang rasionalisasi secara massal.
Secara teknis, stimulus fiskal tahun 2009 dikucurkan melalui dua jalur, yakni pemberian subsidi kepada barang-barang tertentu misalnya Bahan Bakar Minyak (BBM) dan pemberian insentif pajak. Pada tahun 2009, besaran subsidi yang dikucurkan mencapai Rp166,70 triliun yang terdiri dari subsidi energi sebesar Rp103,57 triliun dan subsidi non-energi sebesar Rp63.13 triliun. Sedangkan, terkait insentif pajak, bisa dijelaskan bahwa pada prinsipnya, payung hukum pemberian insentif kepada masyarakat khususnya dunia usaha diberikan melalui amandemen terhadap tiga undang-undang perpajakan, yakni: Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN dan PPnBM).
Hingga akhir 2008, Pemerintah dan DPR telah merampungkan amandemen terhadap UU KUP, yang ditandai dengan lahirnya UU KUP baru yakni UU Nomor 28 Tahun 2007. Sedangkan, untuk UU PPh juga ditandai dengan lahirnya UU PPh baru Nomor 36 Tahun 2008. Sementara, amandemen terhadap UU PPN dan PPnBM masih dalam proses pembahasan dengan DPR.