Latar Belakang Masalah Sebagian besar bauran kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia periode

I. Latar Belakang Masalah Sebagian besar bauran kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia periode

1984-2010 adalah kebijakan moneter ketat-fiskal ketat (komplemen) dan kebijakan moneter ketat-fiskal longgar (substitusi) seperti pada grafik 1.1. 2

Kebijakan moneter ketat dicerminkan oleh meningkatkan suku bunga rill SBI 1 bulan dibandingkan tahun sebelumnya, sebaliknya kebijakan moneter longgar. Kebijakan fiskal longgar diartikan sebagai meningkatkan rasio keseimbangan fiskal terhadap PDB dibandingkan tahun sebelumnya, sebaliknya dengan kebijakan fiskal ketat.

1 Peneliti Utama Senior PPSK-Bank Indonesia. Lulusan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada 2011. 2 Pengukuran arah kebijakan moneter dan fiskal mengacu pada Mohanty dan Scatigma (2003). Arah kebijakan moneter ketat diukur dengan perubahan suku bunga riil (SBI): jika perubahan suku bunga riil positif berarti arah kebijakan moneter cenderung ketat dan sebaliknya. Arah kebijakan fiskal diukur dengan perubahan rasio keseimbangan fiskal terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jika perubahan rasio positif berarti arah kebijakan fiskal ketat dan sebaliknya.

Dari 27 observasi selama periode 1984-10 terdapat 16 interaksi kebijakan moneter dan fiskal bersifat komplemen sedangkan yang bersifat subtitusi sebanyak 11 observasi. Interaksi kebijakan moneter fiskal yang bersifat komplemen hampir seimbang antara kebijakan moneter ketat- fiskal ketat dengan kebijakan moneter longgar-fiskal longgar sedangkan kebijakan yang bersifat substitusi lebih didominasi oleh kebijakan moneter longgar-fiskal ketat. Selama periode pengamatan (27 tahun) akumulasi perubahan suku bunga riil SBI 1 bulan masih positif sebesar 3,95% sedangkan akumulasi perubahan keseimbangan fiskal masih positif 1,56% dari PDB.

Kombinasi kebijakan moneter dan fiskal seperti grafik 1.1 di atas diduga belum memberikan hasil yang optimal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Selama periode observasi (1984-10) inflasi rata-rata per tahun mencapai 10,57 persen, pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun mencapai 5,04 persen dan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia 5,6 persen dari jumlah angkatan kerja.

Apakah bauran kebijakan seperti terebut di atas sudah yang terbaik bagi bangsa Indonesia? Kombinasi arah perubahan kebijakan moneter yang hampir selalu cenderung ketat dengan arah perubahan kebijakan fiskal yang seimbang antara ketat dan longgar diduga belum memberikan hasil yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Terdapat beberapa alasan mengapa kebijakan moneter dan fiskal sebaiknya berkoordinasai dalam rangka stabilisasi harga dan output. Pertama, terbatasnya ketersediaan instrumen untuk mencapai target. Blinder (1982) mengungkapkan keterbatasan instrumen tersebut dapat bersumber dari pertimbangan waktu dampak instrumen terhadap target yang dapat dibedakan untuk jangka pendek dan jangka panjang. Perbedaan durasi waktu ini dan adanya unsur ketidakpastian mengenai efektivitas instrumen tersebut menjadi alasan kuat mengapa kebijakan fiskal dan moneter harus berkoordinasi, khususnya untuk negara-negara berkembang, agar menghasilkan dampak optimal terhadap pencapaian target.

Kedua adalah untuk menjaga stabilisasi ouput dan inflasi agar ti- dak memburuk sebagai akibat kurangnya koordinasi antara kebijakan Kedua adalah untuk menjaga stabilisasi ouput dan inflasi agar ti- dak memburuk sebagai akibat kurangnya koordinasi antara kebijakan

output 3 . Alasan ketiga pentingnya koordinasi antara kebijakan moneter dan

fiskal adalah adanya perbedaan pendapat atau persepsi antara dua otoritas tersebut mengenai apa yang terbaik bagi suatu bangsa. Binder (1982) menyebutkan tiga faktor yang dapat menyebabkan kurangnya koordinasi fiskal dan moneter sebagai berikut: (a) otoritas fiskal dan otoritas moneter memiliki tujuan yang berbeda terhadap apa yang sebenarnya terbaik bagi masyarakat, (b) dua otoritas tersebut dapat memiliki pendapat yang berbeda mengenai dampak dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap perekonomian dan mungkin mereka menganut dasar teori ekonomi yang berbeda, dan (c) kemungkinan dua otoritas tersebut memiliki proyeksi perekonomian yang berbeda.

Pentingnya interaksi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia sudah disadari sejak dibentuknya Dewan Moneter menurut UU No. 11 tahun 1953 yang bertujuan mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang diinginkan sesuai dengan tingkat inflasi yang dapat diterima. Sejak berlakunya Undang-Undang No.23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia tugas pokok Bank Indonesia mengalami perubahan mendasar dari sasaran ganda ke sasaran tunggal. Selain itu, status Bank Indonesia berubah

3 Hal sebaliknya diungkapkan oleh Stevenson (2002) bahwa bank sentral seharusnya tidak berperan aktif dalam stabilisasi ouput namun berperan secara tidak langsung dalam stabilisasi output melalui pengendalian inflasi yang rendah. Negara yang men- erapkan kerangka target inflasi akan memberikan bobot lebih besar pada pengendalian ekspektasi inflasi sehingga melalui kebijakan moneter yang kredible dapat memperke- cil volatilitas tingkat inflasi dan ouput.

menjadi lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang. Sejak independen, Bank Indonesia tidak lagi dibantu Dewan Moneter dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. Interaksi hubungan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah sejak berlakunya undang-undang ini semakin menjauh. Pihak lain, termasuk pemerintah, dilarang melakukan segala campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Setelah Dewan Moneter dibubarkan, koordinasi dilakukan dalam berbagai bentuk rapat dan forum khususnya dalam hal saling tukar-menukar informasi antara otoritas moneter dan fiskal dalam rapat kabinet pemerintah, rapat dewan gubernur di Bank Indonesia, Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK), dan Tim Pengendalian Inflasi.