Integrasi Kebijakan Moneter dan Makroprudensial Tujuan utama kebijakan moneter adalah menjaga stabilitas harga.
3. Integrasi Kebijakan Moneter dan Makroprudensial Tujuan utama kebijakan moneter adalah menjaga stabilitas harga.
Untuk mencapai tujuan tersebut, bank sentral menggunakan suku bunga kebijakan sebagai instrumen utama. Namun, menjaga stabilitas harga tidaklah cukup untuk menjamin tercapainya stabilitas makroekonomi, karena sistem keuangan yang berperilaku prosiklikal menyebabkan fluktuasi perekonomian yang berlebihan. Dalam konteks ini, pertanyaannya adalah bagaimana kebijakan moneter dapat secara efektif menjaga stabilitas makroekonomi.
Kebijakan Moneter dan Stabilitas Sistem Keuangan Isu penting dalam konteks peran kebijakan moneter dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan adalah bagaimana bank sentral merespon ke- tidakseimbangan yang terjadi di sektor keuangan ( financial imbalances). Isu yang telah lama menjadi perdebatan ini muncul kembali setelah krisis global karena adanya argumen bahwa krisis global yang terjadi sebagaian disebabkan oleh kebijakan moneter yang melakukan pembiaran terjadi- nya akumulasi imbalances dan kenaikan harga aset yang berlebihan. IMF (2009), misalnya, mengatakan bahwa pendekatan ”benign neglect” seperti itu telah menyebabkan moral hazard dan speculative booms yang menyebabkan kenaikan harga aset jauh melebihi fundamentalnya.
Dalam perdebatan ini, ada dua pendapat yang berseberangan, yaitu “clean” vs “lean” approach atau pendekatan pasif vs aktif. Pandangan per- tama, pendekatan aktif mengatakan bahwa bank sentral seharusnya fokus pada inflasi. Harga-harga aset perlu dimonitor sepanjang mengandung informasi mengenai kondisi perekonomian, namun bank sentral tidak perlu merespon kenaikan harga aset tersebut itu sendiri. Pandangan ini didasarkan pada dua argumen. Pertama, tidak mudah membedakan antara kenaikan harga aset yang disebabkan oleh spekulasi dengan yang disebabkan oleh optimisme yang masih rasional. Kedua, kebijakan moneter terlalu tumpul untuk menghentikan kenaikan harga aset dan intervensi kebijakan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Pandangan ini mengatakan lebih baik merespons dampak dari bubble secara ex post, daripada mencegah berkembangnya asset bubble secara ex ante.
Kenaikan harga aset akibat spekulasi memang tidak mudah di- identifikasi dengan pasti. Namun, lebih baik melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya krisis daripada bersikap pasif dan membiarkan ber- kembangnya kegiatan spekulatif yang mengarah kepada skenario krisis. Membatasi peran bank sentral untuk sekedar pasif ketika pertumbuhan kredit melambung tinggi dan membiarkan harga aset menggelembung menjadi bubble kemudian ‘membersihkan piring sehabis pesta berakhir’ adalah sesuatu yang naif. Hal ini akan menciptakan moral hazard dari Kenaikan harga aset akibat spekulasi memang tidak mudah di- identifikasi dengan pasti. Namun, lebih baik melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya krisis daripada bersikap pasif dan membiarkan ber- kembangnya kegiatan spekulatif yang mengarah kepada skenario krisis. Membatasi peran bank sentral untuk sekedar pasif ketika pertumbuhan kredit melambung tinggi dan membiarkan harga aset menggelembung menjadi bubble kemudian ‘membersihkan piring sehabis pesta berakhir’ adalah sesuatu yang naif. Hal ini akan menciptakan moral hazard dari
Hal tersebut mendorong munculnya argumen sebaliknya, yaitu bank sentral seharusnya “ leaning againts the wind”, melakukan respon terhadap ketidakseimbangan di sektor keuangan. Argumen ini telah banyak di- kemukakan utamanya oleh Bank for International Settlement (BIS) jauh-
jauh hari sebelum global terjadi 4 dan oleh International Monetary Fund 5 setelah krisis global, yang secara jelas mengatakan bahwa:
“here is now a stronger case for monetary policy decisions to be based on a framework that incorporates the longer-term implications of asset-price booms for inflation and economic growth” (IMF, 2009).
Argumennya adalah bank sentral dapat menggunakan instrumen suku bunga lebih dari yang diperlukan oleh inflasi dan output gap apabila menghadapi pertumbuhan kredit yang terlalu cepat dan laju kenaikan yang
kencang dari harga aset. 6 Artinya, walaupun inflasi kelihatannya terkendali, bank sentral dapat melakukan pengetatan kebijakan moneter apabila ada tanda-tanda berkembangnya bubble, tercermin dari kenaikan yang tajam dari pemberian kredit, meningkatnya leverage pada institusi keuangan, neraca perusahaan, dan rumah tangga, maupun harga-harga asset, termasuk stok dan properti. Dengan kata lain, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan kebijakan moneter harus berperan secara “simetris”, bukan saja merespon ketika fase bust, namun juga pada saat fase boom dari siklus ekonomi dan keuangan.
Bagi bank sentral, boom dan bust dari harga aset tidak hanya dapat dilihat sebagai bubble dari harga aset itu sendiri, namun harus dilihat
4 Borio and White (2003) 5 IMF (2009) 6 Beberapa studi mencoba memasukkan harga aset ke dalam loss function dari bank
sentral bersama dengan inflasi dan output gap.
dalam konteks yang lebih fundamental sebagai gejala-gejala meningkatnya leverage dan pertumbuhan akumulasi kapital yang tinggi. Dalam periode ekspansi, optimisme terhadap imbal hasil ke depan mendorong kenaikan harga aset, memicu para pelaku untuk meminjam lebih banyak dalam rangka membiayai akumulasi kapital. Kenaikan harga aset tersebut men- dorong kenaikan kolateral sehingga semakin mendorong akumulasi ka- pital. Selama fase ekspansi, neraca perusahaan dan bank terlihat sehat sejalan karena kenaikan harga aset akan menutupi peningkatan pinjaman. Namun ketika optimisme tersebut berubah menjadi pesimisme, nilai aset akan terkoreksi yang menurunkan kekayaan bersih ( net worth) perusahaan. Hal ini menimbulkan kesulitan keuangan perusahaan. Apalagi apabila bank kemudian merespons dengan memperketat kredit sejalan dengan memburuknya neraca perusahaan dan neraca bank.
Kebijakan moneter mempunyai potensi dalam memitigasi risiko ber- kembangnya ketidak seimbangan di sektor keuangan. Kebijakan moneter dapat mempengaruhi perekonomian riil dan inflasi melalui pengaruhnya pada neraca perusahaan, neraca bank, dan perilaku perusahaan dan bank terhadap risiko. Oleh sebab itu, kebijakan moneter mempunyai peran yang signifikan dalam mempengaruhi ekspansi yang berlebihan di sektor keuangan yang mengarah kondisi yang tidak sustainable. Dengan demikian, kebijakan moneter memiliki potensi untuk mengurangi ketidakseimbangan di sektor keuangan dan prosiklikalitas dengan mengurangi optimisme yang berlebihan dan menekan permintaan kredit.
Pentingnya kebijakan moneter dalam mengendalikan ketidakse- imbangan di sektor keuangan, tidak berarti bahwa stabilitas harga aset menjadi target eksplisit kebijakan moneter. Kebijakan moneter sendiri tidak mampu mengendalikan harga aset, terutama ketika spekulasi harga aset mendorong kenaikan harga aset yang menyebabkan imbal hasil dari aset tersebut sangat tinggi. Dalam kondisi demikian, perubahan suku bunga kebijakan tidak akan berpengaruh pada portofolio investor, terutama untuk investasi di pasar keuangan. Kenaikan suku bunga kebijakan yang bersifat across the board ini akan menyebabkan overkill terhadap perekonomian secara keseluruhan.
Mengikuti prinsip Tinbergen bahwa satu instrumen tidak bisa digunakan untuk mentargetkan lebih dari tujuan, kebijakan moneter memerlukan instrumen tambahan untuk mendukungnya dalam me- ngendalikan kenaikan harga aset. Instrumen regulasi makroprudensial yang didisain untuk melakukan countercyclical dapat digunakan untuk mengatasi prosiklikalitas dan mendukung kebijakan moneter dalam men- capai stabilitas makroekonomi (Gambar 2).
Gambar 2. Kebijakan moneter dan makroprudensial dalam meredam prosiklikalitas
Kebijakan Makroprudensial yang Countercyclical
Konsep kebijakan makroprudensial
Kebijakan makroprudensial adalah instrumen regulasi prudensial yang ditujukan untuk mendorong stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, bukan kesehatan lembaga keuangan secara individu. Walaupun kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial dan kebijakan mikroprudensial memiliki area yang saling tumpang tindih, kebijakan makroprudensial mempunyai tujuan dan peran tersendiri. Tujuan kebijakan moneter adalah menstabilkan harga dari barang dan jasa dalam perekonomian. Sementara Kebijakan makroprudensial adalah instrumen regulasi prudensial yang ditujukan untuk mendorong stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, bukan kesehatan lembaga keuangan secara individu. Walaupun kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial dan kebijakan mikroprudensial memiliki area yang saling tumpang tindih, kebijakan makroprudensial mempunyai tujuan dan peran tersendiri. Tujuan kebijakan moneter adalah menstabilkan harga dari barang dan jasa dalam perekonomian. Sementara
Ada dua dimensi penting dari kebijakan makroprudensial. Pertama, dimensi cross-section, yang menggeser fokus dari regulasi prudensial yang diterapkan pada individual lembaga keuangan menuju pada regulasi sistem secara keseluruhan. Sejarah krisis keuangan menunjukkan bahwa sebagian besar dari krisis keuangan yang terjadi di dunia bukanlah akibat dari masalah individual bank yang kemudian menular secara keseluruh sistem keuangan. Sebaliknya, krisis-krisis besar yang terjadi merupakan akibat dari eksposure terhadap ketidakseimbangan makro-keuangan yang dilakukan secara bersamaan oleh sebagian besar pelaku sistem keuangan. Oleh sebab itu, pandangan yang lebih holistik terhadap sistem keuangan dan hubungannya dengan perekonomian makro dari berbagai sisi sangat diperlukan.
Dimensi kedua adalah dimensi time-series, yaitu kebijakan makro- prudensial ditujukan untuk menekan risiko terjadinya prosiklikalitas yang berlebihan dalam sistem keuangan. 7 Dalam konteks ini, kebijakan makroprudensial harus didisain sedemikian sehingga mampu menghilangkan atau paling tidak memitigasi prosiklikalitas. Prinsipnya adalah bagaimana mendorong institusi keuangan untuk mempersiapkan bantalan ( buffer) yang cukup di saat perekonomian sedang baik, yaitu ketika ketidakseimbangan dalam sistem keuangan umumnya terjadi, dan bagaimana menggunakan bantalan tersebut ketika perekonomian sedang memburuk.
7 Borio and Shim (2007)
Tujuan dari kebijakan makroprudensial yang bersifat countercyclical tersebut akan bersinergi dengan tujuan kebijakan moneter dalam me- ngurangi fluktuasi perekonomian. Kebijakan makroprudensial untuk memperketat persyaratan modal dan likuiditas di saat perekonomian se- dang melaju kencang ( periode upswing) akan mendorong bank untuk mengurangi pertumbuhan kredit sehingga menjaga daya tahan bank ke depan di saat perekonomian memburuk. Dalam kondisi demikian, upaya menjaga daya tahan sistem perbankan akan secara simultan mendukung tujuan kebijakan moneter untuk menstabilkan suplai kredit.
Di saat krisis, ketika perekonomian dan harga aset anjlok, regulasi prudensial yang hanya berorientasi pada kesehatan individual bank akan mendorong bank memperketat pemberian kredit melalui kenaikan PPAP dan persyaratan modal yang lebih ketat. Mekanisme ini yang merupakan kritik banyak pihak terhadap Basel II. Basel II dimaksudkan untuk memperkuat manajemen risiko bank. Namun ia memiliki dampak prosiklikal karena kerangka Basel II secara tidak langsung mendorong bank untuk meningkatkan modal ketika perekonomian melemah, dan menurunkan modal ketika perekonomian sedang menguat. Pendekatan internal-rating based (IRB) dalam Basel II, persyaratan modal berbanding lurus dengan peluang terjadinya gagal bayar dan kerugian karena gagal bayar. Faktor-faktor risiko tersebut akan meningkat sejalan dengan memburuk- nya perekonomian. Ketika perekonomian melemah, kualitas debitur memburuk sehingga mengharuskan bank menyediakan tambahan modal. Karena menambah modal dalam jangka pendek tidak mudah, maka bank akan menurunkan penyaluran kredit untuk memenuhi ketentuan rasio modal. Dampaknya adalah perekonomian semakin mengalami kontraksi, risiko gagal bayar semakin meningkat dan modal bank semakin memburuk. Disinilah peran kebijakan makroprudensial yang akan menjamin aliran kredit dapat berlangsung secara kontinyu dengan mendorong bank mempersiapkan modal dan likuiditas di saat perekonomian sedang baik dan menurunkan persyaratan modal di saat krisis dan resesi sehingga tidak menghambat bank dalam penyaluran kredit.
Operasionalisasi Kebijakan Makroprudensial
Secara operasional, sejumlah kajian telah dilakukan untuk mendisain kebijakan makroprudensial yang bersifat “countercyclical”. 8 Basel III sebagai bagian dari upaya mengatasi prosiklikalitas dari Basel II telah menetapkan standar regulasi makroprudensial untuk permodalan baik dalam dimensi time series, sementara dimensi cross section sedang dalam pembahasan. Dalam dimensi cross section, lembaga keuangan yang tergolong dalam systemically important financial institutions (SIFIs) dikenakan kewajiban untuk menambah capital surcharge. Sementara itu, dalam dimensi time- series, Basel III telah mengatur countercyclical buffer dengan diskresi nasional yaitu tambahan modal yang bersifat dinamis, yaitu meningkat ketika perekonomian sedang naik untuk mengerem pertumbuhan neraca bank dan turun ketika periode sedang melemah untuk memberikan insentif kepada bank untuk tetap menyalurkan kredit (Gambar 3).
Hal yang krusial dalam regulasi ini adalah menentukan kapan tambahan modal diberlakukan. Salah satu pendekatan adalah dengan menggunakan sejumlah indikator yang dapat menggambarkan siklus kredit, seperti pertumbuhan kredit atau pergerakan rasio antara kredit terhadap PDB. Basel III menggunakan deviasi rasio kredit terhadap PDB terhadap trendnya berdasarkan argumen bahwa deviasi rasio kredit terhadap PDB secara empiris paling merepresentasikan pergerakan siklus finansial. Trend ini juga berfungsi menangkap perbedaan tahap perkembangan sektor keuangan ( stage of financial development) antar negara.
8 Bank of England (2009), IMF (2009), dan Borio and Shim (2007).
Gambar 3. Ilustrasi countercyclical CAR
Penyisihan penghapusan aktiva produktif ( loan loss provision) juga bersi- fat prosiklikal. Pencadangan umumnya dilakukan ketika kelancaran mem- bayar mulai terealisir atau dengan kata lain bersifat “backward-looking”, bukan ketika risiko mulai meningkat, namun ketika risiko mulai terjadi. Salah satu cara untuk menekan prosiklikalitas ini adalah mendorong bank melakukan pencadangan yang bersifat forward looking dengan model “dy- namic provisioning” (Gambar 4). Model ini mendorong bank untuk mem- bentuk cadangan pada saat kondisi perekonomian sedang baik dan meng- gunakannya pada saat perekonomian memburuk.
Gambar 4. Ilustrasi dynamic provisioning
Arus modal asing juga bersifat prosiklikal. 9 Arus modal masuk ke suatu negara terjadi ketika investor asing mempunyai ekspektasi akan membaiknya perekonomian domestik yang biasanya dibarengi oleh in- terest diferensial yang positif dan ekspektasi apresiasi dari mata uang domestik. Arus modal masuk ini apabila diintermediasikan ke sektor riil menimbulkan ‘credit boom’ yang mendorong perekonomian tumbuh lebih cepat. Sebaliknya, ketika terjadi ekspektasi terhadap perekonomian domestik memburuk terjadi arus modal keluar sehingga memperburuk perekonomian domestik.
Langkah countercylical seperti akumulasi cadangan devisa pada saat arus masuk yang dapat dimanfaatkan sebagai self-insurance manakala terjadi arus balik. Namun langkah ini menyebabkan peningkatan likuiditas perekonomian sehingga memerlukan biaya sterilisasi yang tidak murah untuk penyerapannya. Kebijakan yang memberikan disinsentif bagi arus modal yang berjangka pendek, seperti Tobin-type tax, kewajiban hedging, dan persyaratan minimum-tinggal atas arus modal adalah langkah-langkah yang dapat diterapkan untuk memperpanjang jangka waktu arus modal masuk. 10
Pengalaman dalam Implementasi Makroprudensial
Penerapan makroprudensial sebenarnya bukanlah hal yang baru di Asia. Namun, implementasi regulasi makroprudensial lebih banyak dilakukan secara diskresi dan belum menjadi “built-in stabilizer”. Instrumen yang paling banyak digunakan adalah penyesuaian loan-to-value (LTV) ratio dan persyaratan modal, terutama bobot risiko dari CAR (Tabel 3). Dalam banyak kasus, penyesuaian-penyesuaian juga dilakukan bersamaan dengan instrumen yang ditujukan untuk pengendalian moneter, seperti giro wajib minimum dan pembatasan pinjaman pada sektor-sektor tertentu.
Di Indonesia, instrumen yang sering digunakan adalah mengubah bobot risiko dari suatu jenis kredit, terutama untuk merespon terjadinya
9 Kaminsky, Reinhart, and Veigh (2004) dan Ocampo (2008). 10 Ocampo (2008).
“credit crunch” pascakrisis. Sebagai contoh, pada tahun 2006, Bank Indonesia mengeluarkan sejumlah regulasi relaksasi bagi perbankan untuk mendorong penyaluran kredit setelah terjadi mini-crisis di akhir 2005. Di antara relaksasi regulasi tersebut adalah penyesuaian penurunan bobot risiko ATMR untuk kredit usaha kecil (KUK) menjadi 85%, kredit pemilikan rumah (KPR) 40%, dan kredit pegawai/atau pensiunan 50%. Pada tahun 2009, paska krisis 2008, Bank Indonesia juga kembali menurunkan bobot risiko aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) untuk Kredit UMKM yang dijamin lembaga penjaminan/asuransi kredit berstatus BUMN dengan persyaratan tertentu dari 50% menjadi 20% dan KUMKM yang dijamin bukan BUMN dari 85% menjadi sesuai rating lembaga penjamin tersebut.
Tabel 3. Implementasi regulasi makroprudensial di sejumlah negara
Instrumen Negara
Penyesuaian bobot risiko dalam India, Indonesia, Malaysia, Cro- aturan permodalan (menin- atia, Estonia, Irlandia, Portugal, gkatkan atau menurunkan
Norway
bobot risiko) Penerapan countercyclical pro-
visioning (meningkatkan pro-
China, India
visi untuk jenis kredit tertentu,
eg. pinjaman ke debitur besar) China, Hongkong, Korea, Singa-
Pembatasan loan to value ratio pore, Malaysia, hailand, Bulga- (misalnya max 70%) ria, Norway, Portugal, Rumania
Pembatasan kredit ke sektor- Korea, Malaysia, Philippines,
sektor tertentu (properti, kartu Singapore, Hongkong, hailand, kredit)
Rumania China, India, Indonesia, Korea,
Perubahan reserve requirement Malaysia, Finland, Latvia, Estonia
Sumber: Borio and Shim (2007), Hannoun (2010), Laporan Tahunan Bank In- donesia (beberapa tahun)
Regulasi makroprudensial lain yang diterapkan antara lain adalah penyesuaian GWM yang dikaitkan dengan LDR. Seperti halnya perubahan bobot risiko, penyesuaian GWM ini dilakukan untuk mendorong penyaluran kredit. Sementara itu, untuk merespon peningkatan kredit yang tumbuh tinggi, biasanya Bank Indonesia hanya mengeluarkan moral suation.
Pascakrisis, kebijakan makroprudensial lebih banyak dilakukan untuk mengelola arus modal, dengan tujuan agar arus modal masuk yang membanjir pascakrisis global tidak menimbulkan dampak negatif pada kestabilan sistem keuangan di Indonesia. Dalam kaitan ini, beberapa kebijakan makroprudensial yang diterapkan antara lain seperti penetapan periode minimal kepemilikan protofolio domestik (holding period), regulasi pinjaman asing bank, penerapan GWM simpanan valuta asing (Tabel 4).
Tabel 4. Kebijakan makroprudensial pascakrisis global
Kebijakan
Tujuan
Minimum Holding Mengurangi arus modal jangka Period pada SBI (1 bu- pendek dalam bentuk SBI yang lan pada 2010 menjadi berisiko mengalami pembalikan. 6-bulan pada 2011)
Mengurangi arus modal jangka Memberlakukan kem-
pendek yang diintermediasikan bali batas pinjaman asing
bank yang dapat meningkatkan bank
eksposur bank terhadap risiko arus modal/nilai tukar.
Memperkuat manajemen likuiditas Meningkatkan GWM valas bank sehingga meningkatkan valas bank. ketahanan bank terhadap eksposur
valas
Meningkatkan GWM Menyerap likuiditas domesttik dan men- Rupiah bank menjadi ingkatkan manajemen likuiditas bank. 8%
Meningkatkan efektivitas pengelolaan Memperpanjang jang-
likuditas domestik, termasuk yang ber- ka waktu SBI (3,6,9
sumber dari arus modal masuk dengan bulan)
menahannya dalam jangka yang lebih panjang.
Kerangka Pengambilan Keputusan
Dalam implementasi kebijakan makroprudensial, salah satu isu yang penting adalah apakah implementasinya akan menggunakan sebuah rule atau diskresi. Seperti halnya dalam kebijakan moneter, selalu ada trade-off antara menggunakan rule vs diskresi. Rule memberikan kepastian kepada pelaku pasar dan kredibilitas kepada BI. Namun, rule yang terlalu kaku menutup fleksibilitas bagi BI untuk merespon perubahan-perubahan struktural maupun ketidakpastian yang sering terjadi dalam pasar ke- uangan.
Sebaliknya, diskresi memberikan ruang gerak bagi BI untuk melihat dampak dari makroprudensial terhadap sistem keuangan dan perekono- mian dan melakukan penyesuian-penyesuaian terhadap pendekatan yang digunakan dan melakukan judgment terhadap kebijakan yang akan diambil ke depan. Diskresi tentu saja menimbulkan ketidakpastian akan kebijakan ke depan yang diambil oleh BI. Ketidakpastian ini akan mendorong para pelaku pasar untuk cenderung ekstra hati-hati dengan menjaga tingkat likuiditas atau rasio modal melebihi dari yang diperlukan. Sebagai akibatnya, bank menjadi kurang efisien dan membebankan biaya modal tersebut kepada nasabah, menjadikan biaya kredit dalam perekonomian lebih mahal. Diskresi juga dapat mendorong terjadinya forbearence, terutama ketika dihadapkan suatu keputusan yang sulit atau tidak populer yang harus diambil. Apalagi, ketika keputusan diskresi tersebut mempunyai implikasi hukum terhadap bank sentral.
Mengingat adanya kelebihan dan kelemahan, baik dari rule maupun diskresi, model pengambilan keputusan diskresi terbatas 11 ( constrained discretion) sebagaimana halnya Inflation Targeting Framework (ITF) dapat menjadi alternatif terbaik. Dalam sistem ini, BI tetap harus mempu- nyai sebuah kerangka pengambilan keputusan yang jelas dengan sebuah rule yang ditentukan di awal. Rule yang diumumkan kepada publik ini menjadi patokan bank sentral dalam melakukan reaksi kebijakan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam perekonomian, misalnya dalam bentuk persyaratan menambah modal atau menurunkan modal.
Namun demikian, untuk menghindari kekakuan dari sistem ini, regulator tetap mempunyai opsi untuk secara diskresi menyimpang dari rule tersebut, misalnya, karena adanya shock di dalam perekonomian yang tidak dapat direspon dengan menggunakan rule yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini dapat dianalogikan dengan Taylor rule dalam kerangka ITF. Ketika tekanan inflasi diidentifikasi bersumber dari sisi suplai yang diperkirakan tidak memberikan dampak lanjutan kepada ekspektasi inflasi, bank sentral tidak harus merespon kenaikan inflasi di atas target sebagaimana telah ditentukan dalam Taylor rule. Namun demikian, pengecualian ini harus digunakan dalam situasi yang sangat jarang dan perlu dikomunikasikan secara jelas kepada pelaku pasar untuk menghindari masalah kredibilitas dari rule yang telah diumumkan serta agar mereka memahami mengapa regulor melakukan pengecualian tersebut.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam isu rule vs diskresi ini adalah sistem hukum yang berlaku. Ketika sistem hukum masih lemah, seperti di Indonesia, dimana diskresi seringkali dipermasalahkan di depan hukum, maka akan lebih aman bagi regulator untuk menutup atau me- minimalkan ruang diskresi.
11 Lihat Bank of England (2009) dan Libertucci dan Quagliariello (2010).