2.2. Pendekatan Kesejahteraan dan Kemiskinan
Penilaian kesejahteraan dalam analisis kemiskinan secara tradisional dicirikan menurut dua pendekatan utama, yaitu pendekatan welfarist dan non-
welfarist Ravallion, 1994. Pendekatan pertama dalam prakteknya cenderung terkonsentrasi pada perbandingan “economic well-being” atau kesejahteraan
ekonomi yang disebut sebagai standard of living atau “standard hidup” atau ”pendapatan”. Pendekatan kedua secara historis memiliki pendukung sebagian
besar dari sarjana ilmu sosial daripada ilmu ahli ekonomi sebagai bagian dari reaksi mereka terhadap pendekatan yang pertama.
2.2.1. Pendekatan Welfarist
Pendekatan Welfarist lebih kuat di dalam mikroekonomi klasik, dalam bahasa ekonomi, welfare atau utility biasanya kata kunci di dalam perhitungan
akuntansi untuk perilaku dan kesejahteraan individu. Dalam teori ekonomi mikro umumnya mendalilkan individu adalah rasional dan mereka diasumsikan dapat
membuat keputusan terbaik dengan adil dalam kehidupan, yaitu memaksimumkan utility dan kebahagiaan. Dengan tingkat kekayaan tertentu initial endowments,
termasuk waktu, lahan, dan fisik dan human capital, individu membuat pilihan produksi dan konsumsi menggunakan preferensinya terhadap sekeranjang
konsumsi dan aktivitas produksi, dan memasukkan harga konsumen dan produsen ke dalam perhitungan teknologi produksi yang berlaku dalam perekonomian.
Dengan kendala dan asumsi ini, seorang individu secara rasional akan memaksimalkan utility, dengan asumsi tambahan termasuk pasar kompetitif,
informasi sempurna, dan tidak ada eksternalitas, seorang individu masyarakat
seluruhnya bereaksi dengan bebas memilih dan proses ini akan mendorong kearah suatu Pareto-efficient, artinya bahwa tidak ada perbaikan utility seseorang dengan
intervensi pemerintah tanpa menurunkan utility orang lain. Dasar dari pendekatan welfarist terhadap kemiskinan adalah tentang
informasi yang diungkapkan oleh perilaku individu tersebut terhadap penaksiran atau penilaian kemiskinan. Terutama sekali ditekankan bahwa penilaian
kesejahteraan seseorang harus konsisten dengan preference revealed berdasarkan pilihan bebas perorangan. Sebagai contoh, seseorang dapat diamati menjadi
miskin berdasarkan total konsumsi atau standard pendapatan dari analisis kemiskinan. Meskipun demikian orang yang sama dapat yaitu, mempunyai
kapasitas kerja menjadi tidak miskin non-poor, maka ia akan dipertimbangkan miskin oleh standard analisis kemiskinan non-welfarist, welfarist dapat
menyimpulkan bahwa orang tersebut tidak miskin. Hal ini akan mempunyai implikasi penting dalam merancang dan menilai kebijakan publik.
Masalah pokok yang fundamental dengan pendektan welfarist adalah pendekatan ini membutuhkan penilaian tingkat utility atau ”psychic happines”.
Bagaimana kita mengukur kesenangan aktual ? Lebih dari itu, permasalahan yang sering muncul jika kita mencoba untuk membandingkan tingkat utility antar
individu, karena hal itu menyangkut masalah etika. Pilihan adalah heterogen, kebutuhan dan kenikmatan adalah berbeda, ukuran dan komposisi rumah tangga
berbeda, dan harga bervariasi antar waktu dan tempat. Umumnya, karena ekonomi kesejahteraan khususnya utility secara khusus terlihat sebagai suatu konsep yang
subjektif, sehingga kebanyakan ahli ekonomi percaya bahwa membandingkan antar pribadi tentang kesejahteraan ekonomi adalah tidak tepat.
2.2.2. Pendekatan Non-Welfarist
Terdapat dua pendekatan utama Non-Welfarist, yaitu basic-needs approach dan capability approach. Fokus yang pertama di dalam mencapai
beberapa kebutuhan dasar yang multidimensional dapat diamati dan dimonitor relatif lebih mudah. Hasil ini umumnya secara eksplisit atau implisit
dihubungkan dengan konsep manfaat functioning, sebuah konsep yang dikembangkan oleh Amartya Sen’s, yang menyatakan bahwa:
Living may be seen as consisting of a set of interrelated ’functionings’, consisting of beings and doings. A person’s
achievement in this respect can be seen as the vector of his or her functionings. The relevant functionings can vary from such
elementary things as being adequately nourished, being in good health, avoiding escapable morbidity and premature mortality,
etc., to more complex achievements such as being happy, having self-respect, taking part in the life of the community, and so on
Sen, 1997.
Pandangan functionings ini dapat dipahami menjadi suatu konstitusi dari unsur-unsur kesejahteraan atau well-being. Seseorang hidup baik jika ia cukup
besar menikmati tingkatan manfaatnya. Pendekatan functionings umumnya tidak mencoba membandingkan unsur multidemensional ke dalam dimensi tunggal
seperti utility atau kebahagiaan. Pendekatan functionings umumnya fokus untuk menilai multiple specific dan separate outcomes, seperti kenikmatan dari jenis
konsumsi komoditas tertentu, menjadi sehat, terpelajar, berpakaian baik, rumah baik, tidak dalam keadaan sakit Duclos, et. al. 2004
.
Pendekatan functionings lebih mendekati yang berhubungan dengan pendekatan kebutuhan dasar basic-needs, dan keduanya sukar untuk dibedakan
di dalam praktek. Bagaimanapun, functionings tidak sinonim dengan basic-needs. Kebutuhan dasar dapat dipahami sebagai input fisik yang umumnya diperlukan
individu untuk mencapai beberapa manfaat. Oleh karena itu kebutuhan dasar umumnya digambarkan dalam istilah rata-rata mean daripada hasil outcomes.
Streeten and Al, 1981 mendefiniskan kebutuhan dasar basic needs sebagai berikut:
Basic needs may be interpreted in terms of minimum specified quantities of such things as food, shelter, water and sanitation that
are necessary to prevent ill health, undernourishment and the like Streeten and Al, 1981.
Tidak seperti functionings, basid needs dapat didefinisikan untuk semua
individu, spesifikasi dari basic needs tergantung pada karakteristik individu dan masyarakat di mana mereka tinggal. Sebagai contoh, kebutuhan komoditi dasar
untuk seseorang dalam keadaan baik dan tidak kurang makan akan tergantung pada iklim dan karakteristik fisiologis dari individu. Oleh karena itu, walaupun
pemenuhan kebutuhan dasar merupakan suatu unsur penting di dalam menilai apakah seseorang telah mencapai beberapa functionings, penilaian tersebut harus
menggunakan informasi pada karakteristik seseorang dan lingkungan sosial ekonomi.
Alternatif kedua pendekatan non-welfarist disebut sebagai pendekatan kemampuan capability yang juga dipelopori oleh Sen. Pendekatan capability
digambarkan dengan kapasitas untuk mencapai functionings. Sen 1997 mengatakan bahwa:
the capability to function represents the various combinations of functionings beings and doings that the person can achieve.
Capability is, thus, a set of vectors of functionings, reflecting the person’s freedom to lead one type of life or another.
Perbedaan antara pendekatan capability, basic needs dan functionings, pada kenyataannya sedikit banyaknya dapat dianalogkan dalam hal penggunaan
indikator pendapatan dan konsumsi sebagai standard hidup. Pendapatan menunjukkan kemampuan untuk mengkonsumsi, dan consumption functionings
sebagai hasil dari capability. Di dalam pendekatan basic needs dan functionings, kemiskinan langsung datang dari kekurangan konsumsi. Di dalam pendekatan
capabilitiy, kemiskinan meningkat berasal dari kekurangan pendapatan dan capability, yang secara tidak sempurna dihubungkan dengan manfaat aktual yang
dicapai. Terlepas dari kelebihan dan kelemahan pendekatan diatas, dalam penelitian ini konsep kemiskinan yang digunakan merupakan kebutuhan dasar
basic needs yang disebut sebagai kemiskina absolut.
2.3. Pertumbuhan Ekonomi, Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan