Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan

studi yang mempunyai hasil bertolak belakang tersebut, justru menguatkan hipotesis dari Kuznets dengan kurva U terbalik. Kuznets menyimpulkan bahwa pola hubungan yang positif kemudian menjadi negatif dalam jangka panjang, hal tersebut mengindikasikan terjadinya proses evolusi dari distribusi pendapatan dari masa transisi ekonomi pedesaan ke suatu ekonomi perkotaan atau ekonomi industri.

2.4. Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan

Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa konsep yang berkaitan dengan distribusi pendapatan dan kemiskinan. Hal ini perlu diketahui mengingat distribusi pendapatan dan kemiskinan yang sifatnya multidimesional. Penjelasan ini akan diawali dengan konsep dan ukuran distribusi pendapatan selanjutnya diikuti dengan konsep dan ukuran kemiskinan.

2.4.1. Konsep dan Ukuran Distribusi Pendapatan

Para ahli ekonomi secara umum membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan yang digunakan untuk tujuan analisis kuantitatif. Kedua ukuran tersebut adalah ukuran distribusi pendapatan, yaitu besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang, dan distribusi fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi. Distribusi pendapatan perorangan personal distribution of income merupakan ukuran yang paling sering digunakan oleh para ahli ekonomi. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga, tanpa mempersoalkan cara mendapatkannya dan tidak menghiraukan dari mana sumbernya, apakah itu berasal dari gaji, laba, sewa atau dari kegiatan yang menjadi sumber penghasilannya. Distribusi pendapatan fungsional, ukuran yang terfokus pada bagian pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi tanah, tenaga kerja, dan modal atau dengan kata lain bahwa konsep distribusi pendapatan fungsional ini berusaha untuk menjelaskan pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi tersebut, misalnya antara pendapatan yang diterima pekerja, pemilik modal dan kekayaan. Dengan demikian akan dapat diketahui besarnya pendapatan yang diperoleh karena perbedaan upah dan gaji dan pendapatan yang diterima karena sewa rumah, bunga modal dan deviden. Pada prinsipnya pendekatan ini dapat dijabarkan dengan menggunakan fungsi produksi Q = fK, L ……………………………………………… 2.1 Asumsikan dalam menghasilkan output, Q, hanya menggunakan dua faktor produksi yaitu: capital, K dan labour, L. Dengan menggunakan model fungsi produksi Cobb Douglas dapat dihasilkan kontribusi masing-masing faktor terhadap output yang dihasilkan suatu perekonomian Beattie and Taylor, 1985; Debertin, 1986 sebagai berikut: Q = A K α L β , dimana: α + β = 1 …………………………….... 2.2 Dengan menggunakan diferensiasi parsial dari fungsi produksi Cobb Douglas dapat dihasilkan dua persamaan produk marjinal modal δQδK dan produk marjinal tenaga kerja δQ δL, yaitu: δQ δK = α A K α-1 L β = α K Q K L AK α α = β ……………………… 2.3 δQ δL = β A K α L β-1 = β L Q L L AK β α = β …………………….. 2.4 Dengan mengetahui besarnya MP L dan MP K akan dapat diketahui pembagian pendapatan atau keluaran phisik yang dihasilkan oleh masing-masing faktor produksi menurut harga pasar. Euler’s Theorem mengatakan dalam sebuah fungsi produksi berderajat satu K=1, maka output akan dihabiskan untuk membayar faktor-faktor sesuai dengan produk marginal masing-masing faktor. Sehingga dengan menggunakan dua faktor K dan L, maka PQ = rK + wL. Dari persamaan ini dapat diturunkan produk marjinal modal dan tenaga kerja masing-masing, δQδK = rP dan δQδL = wP. Persamaan ini juga berarti bahwa dalam pasar bersaing sempurna, produsen akan beroperasi sampai titik dimana produk marjinal masing-masing faktor sama dengan rasio harga faktor dan produk. Dengan mensubstitusikan masing-masing produk marjinal ini ke dalam persamaan produk marjinal yang berhubungan sebelumnya diperoleh: K Q α = P r α = PQ rK ………………………………… 2.5 L Q β = P w β = PQ wL ……………………………….. 2.6 Dimana Q = produk, K = modal, L = tenaga kerja, dan P = harga produk, r dan w masing-masing sewa modal dan upah tenaga kerja, α dan β masing-masing dugaan parameter elastisitas faktor modal dan tenaga kerja. Dalam format PDRB, rK = nilai tambah modal surplus usaha dan penyusutan, wL = nilai tambah tenaga kerja upah dan gaji, dan PQ = Y = pendapatan nilai tambah sektor-sektor ekonomi. Dua persamaan terakhir dapat didefinisikan bahwa elastisitas faktor produksi dari fungsi Cobb Douglas merupakan kontribusi faktor factor share terhadap produksi. Secara matematis, kontribusi faktor modal α = rKPQ, kontribusi faktor tenaga kerja β = wLPQ. Perlu diingat bahwa kondisi ini hanya terpenuhi apabila produsen berhasil mengalokasikan faktor produksi secara optimal, sebagai respon produsen terhadap faktor-faktor eksternal harga faktor dan produk. Elastisitas faktor dapat berubah bilamana terjadi perubahan- perubahan penggunaan faktor produksi, produk marjinal, dan produktivitas, atau ketiga-tiganya berubah. Kelemahan yang sering dijumpai dengan pendekatan ini terletak pada anggapan yang menyertainya. Misalnya: anggapan adanya pasar persaingan sempurna, motif mendapatkan keuntungan maksimum, penalaran dan inforrnasi sempurna Varian, 1992. Anggapan tersebut sangat mudah diungkapkan dalam teori, namun dalam kenyataannya sangat sulit dijumpai. Ukuran lain yang sering digunakan untuk menghitung distribusi pendapatan adalah Gini rasio, Theil index, Statistik beta distribusi function. Dalam penelitian ini distribusi dilihat dengan menggunakan Beta Distribusi Function , yang dijelaskan pada Bab 4. Kriteria Bank Dunia telah umum dipakai dan diterapkan di Indonesia. Menurut kriteria ini ketimpangan distribusi pendapatan ditentukan sebagai berikut: 1. Jika 40 jumlah penduduk dengan pendapatan terendah menerima lebih kecil dari 12 jumlah pendapatan suatu wilayahnegara, maka distribusi pendapatan di daerah tersebut mempunyai ketimpangan yang tinggi. 2. Jika 40 jumlah penduduk dengan pendapatan terendah menerima antara 12 - 17 jumlah pendapatan suatu wilayahnegara, maka distribusi pendapatan di daerah tersebut mempunyai ketimpangan sedang. 3. Jika 40 jumlah penduduk dengan pendapatan terendah menerima lebih besar dari pada 17 jumlah pendapatan suatu daerahnegara, maka distribusi pendapatan di daerah tersebut mempunyai ketimpangan rendah. Dengan kriteria ini dapat diketahui, misalnya jika 40 penduduk Indonesia dengan pendapatan terendah menerima 20 jumlah pendapatan nasional, maka dapat dikatakan bahwa distribusi pendapatan di Indonesia relatif rendah.

2.4.2. Konsep dan Ukuran Kemiskinan

Kemiskinan absolut bermaksud memberi indikator mengenai keadaan perekonomian suatu daerah yang sebagian penduduknya mendapatkan nafkah yang hanya dapat dipakai untuk memenuhi taraf kehidupan minimum. Konsep ini memberi arti bahwa kemiskinan absolut berhubungan erat dengan pemenuhan kebutuhan dasar minimum agar seseorang dapat hidup layak. Jika seseorang mempunyai pendapatan dan tidak dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum, maka orang tersebut dikatakan miskin. Tingkat pendapatan minimum sering disebut juga garis batas kemiskinan poverty line. Konsep ini seringkali digunakan untuk menentukan tingkat pendapatan minimum yang dapat dipakai seseorang untuk memenuhi kebutuhannya akan makan, pakaian dan perumahan yang diharapkan mampu menjamin kehidupannya Todaro, 2000. Dari kriteria ini tidak terlalu sulit untuk mengatakan, bahwa orang yang miskin akan terlihat pada kurangnya bahan makanan, pakaian dan perumahan yang dimiliki seseorang atau kelompoknya agar mereka dapat hidup layak. Permasalahan yang sering muncul dari konsep kemiskinan absolut adalah bagaimana menentukan komposisi dan tingkat kebutuhan minimum. Sebab kedua aspek tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya adat istiadat lokasi, iklim, tingkat kemajuan masyarakat dan faktor-faktor lain. Sayogyo 1971, misalnya, menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan, dengan membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk daerah pedesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 320 kg per kapita per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 480 kg beras per kapita per tahun. Selain itu BPS juga membuat kriteria garis batas kemiskinan dengan memperhatikan pendapatan minimum yang diperlukan agar masyarakat atau kelompok dapat melepaskan diri dari kategori miskin Lihat Tabel 3. Pada Tabel 3 tersebut dapat diketahui bahwa batas garis kemiskinan di daerah perkotaan lebih besar daripada di daerah pedesaan. Hal yang demikian terjadi karena faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan minimum masyarakat perkotaan tidaklah sama dengan masyarakat di daerah pedesaan. Penduduk yang tinggal di daerah perkotaan mempunyai kebutuhan yang relatif lebih banyak dan beragam bila dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah pedesaan. Dari dua indikator kemiskinan tersebut sekilas terlihat bahwa konsep kemiskinan yang didasarkan atas perkiraan kebutuhan dasar minimum merupakan konsep yang mudah dimengerti, akan tetapi menentukan garis kemiskinan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Hal itu disebabkan oleh banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Dengan demikian sangat dimungkinkan bahwa garis kemiskinan berbeda antara satu tempat dengan tempat lain atau antara negara yang satu dengan negara lainnya. Konsep kemiskinan absolut di atas telah membicarakan kriteria yang dapat menentukan apakah seseorang atau kelompok tertentu dapat dikategorikan miskin atau tidak. Pada prinsipnya, orang yang sudah mempunyai pendapatan dan pendapatannya dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum, maka yang bersangkutan dikatakan tidak miskin. Namun demikian banyak ahli berpendapat bahwa walaupun pendapatan seseorang sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat disekitarnya, maka orang tersebut masih berada dalam keadaaan miskin Todaro, 2000. Berdasarkan konsep tersebut jelas bahwa kemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat hidup masyarakat berubah. Konsep di atas sering disebut sebagai kemiskinan relatif dan merupakan perbaikan dari konsep kemiskinan absolut. Konsep kemiskinan relatif biasanya bersifat dinamis, sehingga kemiskinan akan selalu ada. Kriteria ini akan terlihat jika kita mengamati distribusi pendapatan masyarakat. Sumodiningrat 1999 mengklasifikasikan kemiskinan dalam lima kelas, yaitu kemiskinan absolut, relatif, kultural, kronis dan kemiskinan sementara. Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya dan tidak mau memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha pihak luar membantunya. Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, yaitu 1 kondisi sosial budaya yang mendorong sikap kebiasaan masyarakat yang tidak produktif 2 keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian, 3 rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasan lapangan pekerjaan dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara, terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan musiman, bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunya tingkat kesejahteraan masyarakat.

2.5. Profil Kemiskinan di Indonesia