Profil Kemiskinan di Indonesia

beberapa hal, yaitu 1 kondisi sosial budaya yang mendorong sikap kebiasaan masyarakat yang tidak produktif 2 keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian, 3 rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasan lapangan pekerjaan dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara, terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan musiman, bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunya tingkat kesejahteraan masyarakat.

2.5. Profil Kemiskinan di Indonesia

Pada bagian ini akan diuraikan profil kemiskinan yang dilihat dari kemiskinan secara nasional, profil kemiskinan regional dan profil kemiskinan sektoral.

2.5.1. Profil Kemiskinan Nasional

Kemiskinan di Indonesia telah menjadi perhatian pemerintah sejak Pelita I dalam era Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama PJPT I yang dimulai tahun anggaran 19691970. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengurangi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hasilnya sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 5. Pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa jumlah dan persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan terus mengalami penurunan yang cukup signifikan. Selama kurun waktu 1976 - 1996, jumlah penduduk miskin secara keseluruhan mengalami penurunan rata-rata sebesar 6.50 persen per tahun. Bahkan di daerah perdesaan jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 7.26 persen, namun di daerah perkotaan, jumlah penduduk miskin hanya turun dengan persentase yang lebih kecil yaitu sebesar 3.11 persen. Tabel 5. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun 1976– 2004 Garis Kemiskinan Rpkapitabulan Jumlah Penduduk Miskin Juta orang Tingkat Kemiskinan Tahun K D K D K+D K D K+D 1976 4 522 2 849 10.0 44.2 54.2 38.79 40.37 40.08 1978 4 969 2 981 8.3 38.9 47.2 30.84 33.38 33.31 1980 6 831 4 449 9.5 32.8 42.3 29.04 28.42 28.56 1981 9 777 5 877 9.3 31.3 40.6 28.06 26.49 26.85 1984 13 731 7 746 9.3 25.7 35.0 23.14 21.18 21.64 1987 17 381 10 294 9.7 20.3 30.0 20.14 16.14 17.42 1990 20 614 13 295 9.4 17.8 27.2 16.75 14.33 15.08 1993 27 905 18 244 8.7 17.2 25.9 13.45 13.79 13.67 1996 38 246 27 413 7.2 15.3 22.5 9.71 12.3 11.34 Change 1976-1996 - - -3.11 -7.26 -6.50 - - - 1996 1 42 032 31 366 9.6 24.9 34.5 13.60 19.90 17.70 1998 2 96 959 72 780 17.6 31.9 49.5 21.92 25.72 24.23 1999 3 92 409 74 272 15.6 32.3 48.0 19.40 26.00 23.40 2000 3 91 632 73 648 12.3 26.4 38.7 14.60 22.38 19.14 2001 3 100 011 80 382 8.6 29.3 37.9 9.76 24.84 18.41 2002 3 130 499 96 512 13.3 25.1 38.4 14.46 21.10 18.20 2003 3 138 803 105 888 12.3 25.0 37.3 13.57 20.23 17.42 2004 3 143 455 108 725 11.4 24.8 36.2 12.13 20.11 16.66 Change 1996-2004 - - 2.34 -0.05 0.62 - - - Catatan: 1 Menggunakan Metode tahun 1962. 2 Menggunakan Data Susenas Desember 1998 khusus 3 Menggunakan Data Susenas 1998 Pebruari, Reguler. Sumber: 1. Statistik Indonesia berbagai tahun. BPS Jakarta. 2. Data dan Informasi Kemiskinan berbagai tahun, Buku 1 : Provinsi. BPS Jakarta. 3. Metodologi dan Profil Kemiskinan Tahun 2002. BPS Jakarta. Penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin juga diikuti dengan membaiknya pendapatan rata-rata penduduk miskin, yang tercermin dari semakin mengecilnya jurang kemiskinan poverty gap dari 21 persen menjadi 11 persen selama 1984-1996 Ikhsan, 2001. Penurunan yang signifikan terhadap jumlah kemiskinan, terutama selama kurun waktu 1976 - 1996, salah satu faktor penyebabnya adalah kondisi ekonomi makro yang selama kurun waktu tersebut relatif cukup baik. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun waktu 1976 - 1996 diperkirakan mencapai angka pertumbuhan rata-rata sebesar 6.91 persen per tahun. Sementara, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan rata-rata sebesar 6.50 persen per tahun dalam kurun waktu yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan secara agregat memiliki hubungan yang nyaris elastis dengan laju pertumbuhan ekonomi. Koefisien elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi adalah sebesar -0.94, lebih kecil dari satu atau tidak elastis. Di perdesaan, ternyata kemiskinan memiliki hubungan yang elastis dengan laju pertumbuhan ekonomi, dengan koefisien elastisitas sebesar -1.05, sedangkan untuk daerah perkotaan koefisien elastisitasnya hanya sebesar -0.45, yang berarti kemiskinan di daerah perkotaan tidak mempunyai hubungan yang elastis dengan laju pertumbuhan ekonomi. Dalam kurun waktu 1996 - 2004 kondisinya lebih parah lagi, dimana jumlah penduduk miskin di Indonesia, secara keseluruhan justru mengalami peningkatan dengan persentase kenaikan rata-rata sebesar 0.62 persen per tahun, sementara di daerah perdesaan mengalami penurunan tetapi dengan persentase yang sangat kecil sekali yaitu sebesar 0.05 persen per tahun. Sebaliknya, jumlah penduduk miskin yang berada daerah perkotaan mengalami kenaikan yang cukup tinggi yaitu rata-rata sebesar 2.34 persen per tahun. Kenaikan jumlah penduduk miskin yang terjadi selama kurun waktu 1996 - 2004, merupakan salah satu akibat dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, dimana perekonomian Indonesia benar-benar mengalami kemerosotan yang luar biasa. Pada masa krisis tersebut, sekitar tahun 1998 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan dan bahkan negatif, yaitu sebesar -13.43 persen.

2.5.2. Profil Kemiskinan Regional

Dilihat dari persebaran penduduk miskin menurut pulau dan provinsi, data yang ada menunjukkan bahwa sekitar 20.48 juta orang atau sekitar 56.67 persen diantaranya terdapat di pulau Jawa, sisanya tersebar di pulau-pulau lain seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan beberapa pulau di wilayah Nusa Tenggara dan Maluku lihat Tabel 6. Dengan kenyataan seperti ini menunjukkan bahwa pulau Jawa menanggung beban yang sangat berat, apalagi kalau dikaitkan dengan kondisi lahan pertanian di Jawa yang semakin menipis akibat pertambahan penduduk yang masih relatif cukup tinggi, dan meningkatnya konversi lahan pertanian untuk kepentingan perumahan dan industri. Keadaan ini telah menyebabkan meningkatnya jumlah petani gurem yaitu petani yang menguasai lahan rata-rata 0.25 hektar. Pada saat ini diperkirakan rumah tangga petani gurem sudah mencapai 75 persen dari total rumah tangga petani di Jawa, padahal tahun 1993 masih 70 persen. Berdasarkan hasil Supas tahun 1995, diperkirakan sebanyak 63.8 persen rumah tangga perdesaan di Jawa dan Bali tidak memiliki lahan, atau hanya memiliki lahan dengan luas kurang dari 0.25 hektar Arifin, 2005. Dilihat dari tingkat kemiskinan, umumnya provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi terdapat di luar Jawa yaitu Papua 38.60 persen, Maluku 32.12 persen, Gorontalo 29.01 persen, NAD 28.47 persen, NTT 27.86 persen, dan NTB 25.38 persen, jauh di atas rata-rata tingkat kemiskinan Indonesia tahun 2004, yaitu 16.66 persen. Jumlah penduduk miskin di 5 provinsi tersebut hanya 4.97 juta orang atau 13.75 persen dari total penduduk miskin di Indonesia. Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi, Tahun 2004 Jumlah Penduduk Miskin ribuan jiwa Tingkat Kemiskinan No. Provinsi Kota Desa Total Kota Desa Total 1. Nangroe Aceh Darusalam 198.4 958.8 1157.2 17.58 32.66 28.47 2. Sumatera Utara 633.4 1166.7 1800.1 12.02 17.19 14.93 3. Sumatera Barat 167.8 304.6 472.4 12.28 9.67 10.46 4. Riau 160.5 583.9 744.4 6.44 18.36 13.12 5. Jambi 130.8 194.3 325.1 17.34 10.46 12.45 6. Sumatera Selatan 455.1 924.2 1379.3 20.13 21.33 20.92 7. Bengkulu 112.8 232.3 345.1 25.43 21.16 22.39 8. Lampung 317.3 1244.4 1561.7 20.17 22.81 22.22 9. Bangka Belitung 33.0 58.8 91.8 7.73 10.06 9.07 10. DKI Jakarta 277.1 - 277.1 3.18 - 3.18 11. Jawa Barat 2243.2 2411.0 4654.2 11.21 13.08 12.10 12. Jawa Tengah 2346.5 4497.3 6843.8 17.52 23.64 21.11 13. D.I. Yogyakarta 301.4 314.8 616.2 15.96 23.65 19.14 14. Jawa Timur 2230.6 5081.9 7312.5 14.62 24.02 20.08 15. Banten 279.9 499.3 779.2 5.69 11.99 8.58 16. Bali 87.0 144.9 231.9 5.05 8.71 6.85 17. Nusa Tenggara Barat 492.5 539.1 1031.6 32.66 21.09 25.38 18. Nusa Tenggara Timur 122.7 1029.4 1152.1 18.11 29.77 27.86 19. Kalimantan Barat 143.8 414.4 558.2 13.29 14.15 13.91 20. Kalimantan Tengah 33.0 161.1 194.1 6.13 12.20 10.44 21. Kalimantan Selatan 63.5 167.5 231.0 5.28 8.33 7.19 22. Kalimantan Timur 84.3 233.9 318.2 5.63 18.68 11.57 23. Sulawesi Utara 35.9 156.3 192.2 4.37 11.76 8.94 24. Sulawesi Tengah 70.5 415.8 486.3 15.33 23.33 21.69 25. Sulawesi Selatan 152.2 1089.3 1241.5 6.11 18.65 14.90 26. Sulawesi Tenggara 38.0 380.4 418.4 9.21 25.39 21.90 27. Gorontalo 43.7 215.4 259.1 18.63 32.70 29.01 28. Maluku 41.1 356.5 397.6 11.99 39.86 32.13 29. Maluku Utara 23.0 83.9 107.8 10.50 13.10 12.42 30. Papua 49.1 917.7 966.8 7.71 49.28 38.69 Indonesia 11369.0 24777.9 36146.9 12.13 20.11 16.66 Sumber: BPS, Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004 Buku 1 : Provinsi Pulau Jawa yang memiliki luas kurang dari 10 persen wilayah Indonesia, harus menampung sekitar 20.48 juta jiwa penduduk miskin atau sekitar 56.67 persen dari total penduduk miskin di Indonesia. Dari Tabel 6 juga dapat diketahui bahwa, provinsi yang paling banyak menampung jumlah penduduk yang termasuk kategori miskin selain pulau Jawa adalah Provinsi Jawa Barat, Pulau Jawa Tengah dan Pulau Jawa Timur. Kondisi ini tentu saja relatif kurang baik dan oleh karenanya tidak bisa dibiarkan terus berlangsung sehingga harus segera dicarikan solusi pemecahannya di masa-masa mendatang.

2.5.3. Profil Kemiskinan Sektoral

Dilihat dari persebaran penduduk miskin menurut desa dan kota, data Badan Pusat Statistik 2004, menunjukkan sebanyak 24.8 juta orang atau 68.51 persen dari total penduduk miskin terdapat di daerah-daerah perdesaan, dan sisanya di perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia seperti halnya di negara-negara berkembang lainnya merupakan fenomena perdesaan, seperti dikemukakan antara lain oleh Killick 1981, dan Todaro dan Smith 2004. Implikasi penting dari fakta ini adalah untuk memecahkan persoalan kemiskinan tidak ada cara lain kecuali membangun daerah perdesaan yang merupakan tempat tinggal dan sektor pertanian yang menjadi lapangan kerja utama dari kaum miskin tersebut. Data Badan Pusat Statistik tahun 2004 menunjukkan bahwa sebanyak 62.4 persen kepala rumah tangga miskin di Indonesia bekerja di sektor pertanian, 22.8 persen di sektor non pertanian, dan sisanya sebanyak 14.82 persen adalah pengangguran. Ikhsan 2001 yang melakukan dekomposisi kemiskinan di Indonesia menurut wilayah desa-kota dan sektor ekonomi pertanian dan non pertanian, bahkan sampai pada subsektor, mengungkapkan bahwa sektor pertanian selain merupakan sektor penyumbang atau kontributor terbesar terhadap poverty incidence, yaitu sebesar 67 persen pada tahun 1999, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi sebesar 68.2 persen terhadap total orang miskin secara agregat desa + kota dan 76.5 persen terhadap total orang miskin di daerah perdesaan Suryahadi, et al, 2005, juga memiliki tingkat kemiskinan yang paling tinggi dilihat dari semua ukuran kemiskinan yang ada. Poverty gap yang menggambarkan perbedaan antara pendapatan rata-rata kelompok miskin dengan garis kemiskinan, dan severity poverty gap yang menggambarkan intensitas atau keparahan kemiskinan, di sektor pertanian juga tergolong tinggi, dimana kedua ukuran kemiskinan tersebut dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan poverty gap dan severity poverty gap sektor non pertanian. Gambaran ini mempunyai implikasi kebijakan yang sangat luas, yaitu 1 sektor pertanian masih memerlukan perhatian dan prioritas utama, 2 alokasi anggaran untuk mengatasi kemiskinan tetap harus mendapatkan prioritas mengingat besarnya kedalaman kemiskinan di daerah perdesaan dan pertanian, dan 3 tingginya intensitas kemiskinan akan membuat program anti kemiskinan di sektor pertanian mesti didesain lebih hati-hati mengingat heterogenitas dalam faktor- faktor yang menyebabkan kemiskinan tersebut. Apabila status pekerjaan dipilah ke dalam sektor formal dan informal, maka dapat diketahui bahwa sebanyak 67.74 persen kepala rumahtangga miskin adalah terdapat di sektor informal, 17.44 persen di sektor formal, dan sisanya sebanyak 14.82 persen adalah pengangguran. Fakta ini menunjukkan bahwa Usaha Mikro, Kecil dan Menengah UMKM yang sebagian besar merupakan usaha informal memiliki peranan yang amat penting dalam pemecahan masalah kemiskinan di Indonesia. Dilihat dari tingkat pendidikan, sebanyak 47.97 persen penduduk miskin di Indonesia hanya berpendidikan tamat SD ke bawah. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan aspek lain dari kemiskinan yang perlu mendapatkan perhatian. Oleh karena itu, dalam menelaah profil kemiskinan seharusnya juga menelaah tentang kualitas hidup penduduk miskin yang berkaitan dengan status kesehatan dan tingkat pendidikan serta seberapa jauh mereka memperoleh akses pada pelayanan kesehatan dasar, pendidikan dasar, air bersih dan sanitasi Imawan, 2004.

2.6. Bantuan Pembangunan