Kayu Manis Sebagai Tanaman Sosial Budaya

BAB VI BASIS KETAHANAN PASAR NAGARI: KETERLEKATAN PASAR KAYU MANIS

DENGAN PASAR SUPRA LOKAL DAN MASYARAKAT MINANGKABAU Bab ini menjelaskan basis ketahanan pasar nagari dalam kaitannya dengan keterlekatan pasar kayu manis dengan masyarakat Minangkabau, dan pasar supra lokal. Basis ketahanan pasar nagari dibangun dari sejumlah unsur yakni: konstruksi sosial masyarakat atas tanaman kayu manis sebagai tanaman sosial budaya, kayu manis sebagai katup pengaman ekonomi rumahtangga, relasi sosial dan jaringan kerja inter personal antar pedagang lokal dan pedagang supra lokal yang kemudian ikut mempengaruhi perilaku pertukaran dan tindakan ekonomi petani dan pedagang dalam proses transaksi kayu manis di pasar nagari. Inilah yang menjadikan pasar nagari dapat bertahan dari waktu ke waktu .

6.1. Kayu Manis Sebagai Tanaman Sosial Budaya

Kayu manis yang dalam bahasa latinnya adalah Cinamomum burmani merupakan tanaman yang memiliki banyak fungsi dan kegunaannya dalam industri manufaktur saat ini. Kegunaan utama bagi penduduk lokal adalah sebagai bahan penyedap masakan, tetapi bagi konsumen domestik dan luar negeri, kegunaan kayu manis sangat dominan untuk industri manufaktur seperti minyak wangi, sabun mandi, bumbu masakan dan obat-obatan. Kayu manis mengandung berbagai macam bahan kimia seperti tannin, pati, gula, zat warna, fixed oil serta minyak atsiri AECI, 2003. Pemakaiannya dapat digunakan secara langsung dari bentuk aslinya atau diolah menjadi bubuk, minyak atsiri, dan oleoresin. Minyak atsiri diperoleh dengan penyulingan terhadap kulit batang, ranting serta daun kayu manis. Sedangkan oleoresin diperoleh dengan cara ekstraksi kulit kayu manis dengan menggunakan pelarut organik. Kulit kayu manis, yang sudah dijemur dan dikeringkan dalam bahasa perdagangan disebut dengan kayu manis, dan hasil olahannya banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, farmasi, pasta gigi, sabun, kosmetika, rokok, dan lain sebagainya. Dalam industri makanan dan minuman kayu manis berfungsi sebagai pewangi dan penambah cita rasa. Dalam industri farmasi kayu manis berfungsi sebagai pembunuh mikroorganisme. Dalam industri sabun, kayu manis berfungsi sebagai penyegar, 166 sedangkan dalam industri kosmetika kayu manis berfungsi sebagai pewangi, lotion, dan cream. Besarnya kegunaan dan manfaat kayu manis tersebut diatas, ternyata dalam usaha ekonominya belum memberikan keuntungan yang memadai bagi petani produsen. Meskipun tanaman ini telah dibudidayakan dalam skala yang cukup luas, terutama sebagai tanaman utama dalam sistem pertanian perkebunan di wilayah dataran tinggi dan pedalaman Minangkabau. Keuntungan dari perdagangan kayu manis lebih besar dinikmati oleh pedagang dan eskportir, seperti diakui sendiri oleh Dinas Perkebunan kabupaten Tanah Datar, dibandingkan dengan pasar lokal, pasar eksport lebih menjanjikan keuntungan Disbun Tanah Datar, 2006, tt. Meskipun demikian petani tetap menanam kayu manis pada kebun-kebun milik mereka, karena usaha penanaman kayu manis ini, telah terkait dengan sistem adat istiadat perkawinan di tengah masyarakat di wilayah Tanah Datar. Disamping itu, lahan pertanian yang dijadikan lahan kayu manis adalah lahan perkebunan yang memang sebagai penyangga bagi sistem pertanian padi sawah. Sehingga menanam kayu manis adalah pekerjaan yang dilakukan disela pekerjaan di sawah telah selesai. Sejalan dengan hal itu, ekspor kayu manis setiap tahun selalu meningkat seiring dengan semakin banyaknya industri makanan, minuman, dan obat-obatan yang menggunakan produk kayu manis. Sehingga saat ini prospek kayu manis masih terbuka luas. lihat gambar 4 hal 110. Di tingkat petani pengolahan kayu manis masih dilakukan secara manual. Namun jika dilihat dari segi kualitas kayu manis yang dihasilkan dari hasil pengamatan petani sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan Koperindagtam. Ini terbukti disaat peneliti mengunjungi gudang-gudang pedagang tingkat kabupaten tidak terjadi lagi proses up grading terhadap kayu manis yang dibeli dari petani. Pedagang besar hanya memilah-milah dan melakukan pemotongan kayu manis sesuai dengan jenis atau permintaan eksportir. Akan tetapi isu yang dimunculkan baik oleh pedagang, Dinas Perkebunan dan Dinas Koperindagtam bahwa petani dalam pemanenan atau pengolahan kayu manis masih mengabaikan mutu atau tidak sesuai dengan kualitas yang diharapkan pasar. Dikatakan bahwa: 1. Petani sering melakukan panen pada musim hujan, hal ini disebabkan karena pada musim tersebut petani akan memulai pekerjaan menanam padi di sawah. Secara ekonomi 167 mereka membutuhkan sejumlah uang untuk biaya mengolah sawah, membeli pupuk dan biaya kebutuhan hidup sampai masa panen padi mendatang. Kebutuhan uang untuk usaha tani palawija merupakan alasan untuk melakukan panen cassivera. Artinya panen kayu manis merupakan upaya penyangga ekonomi keluarga ketika usaha tani padi sawah belum mendatangkan hasil. 2. Proses pengeringan sering tidak sempurna, sehingga kadar air kulit masih tinggi yaitu berkisar antara 30-35 persen, pada hal kadar air produk untuk ekspor hanya berkisar antara 5-6 persen. 3. Kulit kayu manis sering bercampur dengan tanah, pasir atau debu karena dijemur di tempat asalan atau di pinggirkan jalan. 4. Waktu panen kayu manis yang belum cukup umur, dengan kondisi kulit yang masih tipis mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas minyak atsirinya. wawancara tanggal 19 April 2006. Sebaliknya, temuan di lapang menunjukkan bahwa petani melakukan panen bukan pada musim hujan, tetapi dikatakan bahwa panen cenderung dilakukan biasanya setelah 2-3 kali hujan turun, dengan maksud akan mempermudah pengupasan kulit karena lendir pohonbatang lebih banyak. Terlihat bahwa pola pengupasan kulit dilakukan dengan dua cara: 1. Pengupasan kulit dilakukan pada saat daun mudanya sudah berwarna hijau dan masa berbuah. Apabila panen dilakukan pada saat daun mudanya berwarna merah, maka pengupasan kulit menjadi sulit. 2. Pemanenan dilakukan dengan cara mengelupaskan kulit bagian bawah pohon pada ketinggian 5-80 cm di atas leher akar, dan diiris melingkari batang. Kemudian kulit batang setinggi 80-100 cm dengan membuat irisan selebar 3-5 cm dikelupaskan dengan arah vertikal. 7 – 10 hari setelah pengupasan tersebut barulah dilakukan penebangan pohon. Untuk kondisi sekarang sistem yang terakhir ini Sistem Situmbuak lebih banyak dipakai petani karena dianggap lebih menguntungkan dari segi pengupasan dan dapat panen tanpa harus menunggu daun pujuk menghijau terlebih dahulu. Disamping itu juga, sistem ini memudahkan tumbuhnya tunascarang baru di pangkal pohon untuk regenerasi selanjutnya. Selanjutnya, usaha petani untuk mencapai kualitas kulit yang bagus, dilakukan dengan membersihkan batang bagian bawah pada ketinggian 60-150 cm dengan menggunakan daun pakis dan ilalang dari gangguan lumut. Biasanya kulit batang inilah yang akan menjadi kualitas AA dan KA sebagai kualitas yang paling baik. Dahan batang lainnya yang berdiameter 4-6 cm biasanya hanya bisa dijadikan kualitas KB atau B karena kulitnya tipis banyak berlobang dan sulit untuk dikikis. 168 Untuk rantingnya dapat dijadikan kualitas C yang diperoleh dengan cara memukul- mukul dahan ranting agar kulitnya terkelupas. Setelah kulit dikelupaskan seluruhnya, kemudian dilakukan pengikisan di rumah, yang biasanya dilakukan pada malam hari kualitas AA. Setelah itu baru dilakukan penjemuran di atas tikar untuk menjaga agar kotoran tidak melekat. Lama waktu penjemuran adalah 2 sampai 3 hari bila cuaca bagus, sampai kulit mengulung dari dua arah membentuk tongkat cassia stick. Kualitas KA dan A adalah kualitas yang dikikis bersih, licin dengan gulungan yang lebih tebal dan lebih besar yang terbentuk dari satu arah saja. Kondisi ini memperlihatkan bahwa sebetulnya dari segi kualitas yang dihasilkan petani sudah tidak ada masalah dan sesuai dengan tuntutan pasar. Sehingga dapat dikatakan bahwa berbagai kelemahan yang dikatakan oleh Dinas Perkebunan kabupaten Tanah Datar, Dinas Koperindagtam dan pedagang diatas, sebagian tidak benar atau tidak terbukti. Pengamatan yang dilakukan di daerah penelitian dalam jangka waktu yang lama memberikan pemahaman bahwa ”permainan” kualitas kayu manis petani merupakan salah satu usaha pedagang untuk menekan harga. Sebab dari hasil wawancara dengan pedagang besar dan eksportir, pembagian kualitas yang ada di pasar hanyalah akal-akalan bagi pedagang sesuai dengan keinginan pedagang saja dan untuk menekan membedakan harga. Artinya, setelah dilakukan prosesing up- grade oleh pedagang pengumpul, akan memperoleh perbedaan harga yang siginifikan. Jika dianalisis lebih lanjut, beberapa pertimbangan pedagang dalam menetapkan harga kayu manis yang diproduksi oleh petani tersebut di atas telah menjadi sumber keuntungan bagi pedagang, sebab para pedagang pengumpul yang langsung berhadapan dengan para petani produsen. Bahkan dalam menjualnya ke pedagang tingkat kabupaten, tidak lagi memperhatikan kadar air, tetapi jenis produk yang ada, seperti kualitas AAA, AA, A, KA, KB, KC dan C dengan perbedaan harga yang sangat berarti. 169 Tabel 20 Perbedaan Standar Kualitas yang Digunakan dalam Pemasaran Kayu manis pada saat penelitian Standar Eksportir No Standar Koperindagtam Standar Pedagang ke Petani Ke Pedagang Besar Kabupaten Ke Konsumen Akhir Luar Negeri 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. AA A B C KA KB KC Asalan - - AAA AA A B KB C Asalan - - - AAA AA A B KA KB KC C KM KF Ind Cass AA Sticks Ind Cass AA cut and washed Ind Cass AA unwashed Ind Cass AA cuttings Ind Cass A sticks Ind Cass A cut unwashed Ind Cass A Broken Ind Cass B sticks Ind Cass B brokens Ind Cass C brokens Sumber: Koperindagtam 2006, data diolah. Dari Tabel 20, dapat dilihat bahwa dalam hal penetapan standar kualitas masih belum transparan, sehingga petani selalu dalam posisi yang sangat lemah. Di tingkat petani hanya terdapat tujuh jenis kualitas, dan itupun sangat terikat dengan panjangnya yang berkisar antara 80 cm sd 100 cm. apabila panjangnya ini tidak dipenuhi oleh petani, maka pedagang akan menjatuhkan harga, atau tidak mau membeli kayu manis yang dibawa petani, dengan alasan kayu manis yang dihasilkan tidak sesuai dengan syaratketentuan yang ada. Pada hal di tingkat pedagang besar kabupaten ke eksportir, masalah panjang kayu manis tidak lagi menjadi salah satu syarat. Selanjutnya bagi eksportir, kayu manis yang telah dibeli dari pedagang besar kabupaten dengan berbagai kualitas, khususnya kualitas AAA, AA, A, KA, dan KB dengan ukuran 80 cm sd 100 cm, setelah diproses menjadi kualitas ekspor seperti cassia AA stick, cassia AA cut and washed dan panjangnya hanya 6-10 cm dan dikepak seperti bungkus rokok yang berisi 20 sd 25 batang dengan harga US 2 bungkus Wawancara dengan Eksportir, Maret 2006. Jadi satu batang kualitas AA dari petani dan pedagang pengumpul pasar nagari, dapat menghasilkan 10 sd 13 batang atau stick yang siap diekspor. Ini jelas dapat diperkirakan besarnya keuntungan yang diperoleh eksportir. 170 Ke delapan grade kualitas yang ditemui dalam pemasaran kayu manis di pasar nagari ini, sebenarnya hanyalah akalan-akalan pedagang saja, karena setelah dibandingkan dengan grade kualitas yang dibutuhkan untuk konsumen luar negeri dan keperluan ekspor ternyata ada sepuluh tingkatan kualitas. Sebaliknya, kualitas B, KB, KC, dan C itu semua akan dijadikan bentuk bubuk kayu manis untuk dikirim dalam bentuk cassia powder ground cassia. Perbedaaan keempat grade kualitas di atas tidak berpengaruh terhadap kualitas cassia powder hanya kebersihannya saja yang menentukan harganya, bukan bentuk gradenya. Keuntungan yang besar diperoleh pedagang dan eksportir karena perbedaan harga yang menjolok seperti kualitas AAA dan AA atau kualitas AAA dengan kualitas KB di tingkat petani, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel di bawah. Tabel 21 Harga dan Kualitas Kayu manis di Tingkat Petani dan Pedagang di Pasar Nagari No Grade Kualitas di tingkat Petani Harga Jual di tingkat Petani Rp Kg Harga Jual Di tingkat Pedagang Perantara RpKg Margin keuntungan pedagang perantara RpKg Margin keuntungan pedagang besar RpKg 1. AAA 5500 5800 300 2. AA 4500 4800 300 3. A 3250 3500 250 2.250 4. KB 2000 2500 250 5. C 1800 2200 400 900 Sumber: Hasil Pengamatan di Pasar Nagari Baso, Tgl 10 April 2006. Berdasarkan atas tabel 21 di atas, terlihat jelas bahwa perbedaan antara grade kualitas AAA dengan A adalah sebesar Rp 2250,- per Kg, pada hal di tingkat eksportir dan konsumen akhir perbedaan grade kualitas itu tidak ada, semuanya dikelompokan dengan whole stick cassia , yang dapat diperoleh dari ketiga kualitas bagus yakni AAA, AA, dan A. Jika volume pembelian kayu manis kualitas AAA, AA, dan A di pasar nagari untuk satu kali dibukanya pasar nagari adalah berkisar antara 5- 6 ton, maka besarnya keuntungan pedagang besar dan eksportir dari ketidak jelasan kualitas kayu manis satu kali di bukanya pasar nagari adalah berkisar antara Rp 11.250.000,- sampai dengan Rp 13.500.000,- jumlah ini sangat kontras dengan keuntungan petani kayu manis itu sendiri yang telah menunggu bertahun-tahun dan 171 menghabiskan tenaga, waktu dan biaya untuk merawat tanaman mereka, tetapi keuntungan jatuh ketangan pedagang perantara dan eksportir. Besarnya keuntungan dari sisi permainan kualitas mencari cacat barang oleh pedagang terhadap petani, ditambah lagi dengan perbedaan margin penjualan di tingkat petani dengan di tingkat pedagang perantara yakni rata-rata berkisar antara Rp 250kg sampai Rp 400kg, inilah yang menjadi pendapatan pedagang perantara selama waktu pasar. Jika dikalikan dengan volume kayu manis yang berhasil ditransaksikan oleh pedagang ini dengan petani kayu manis, dimana rata- rata volume transaksi pedagang perantara dengan petani kayu manis dalam satu kali di bukanya pasar nagari adalah berkisar antara 300 kg sampai 1 ton. maka jumlah pendapatan pedagang perantara pada satu hari pasar nagari adalah sebesar Rp 75.000 sampai dengan Rp 250.000,- ini adalah pendapatan untuk satu kali di bukanya pasar nagari. Jika di wilayah penelitian ada tiga sampai empat pasar nagari yang dibuka dalam satu minggu, maka dalam sebulan pendapatan kotor pedagang perantara kayu manis rata-rata adalah Rp.750.000 atau Rp 1 juta. Hasil kalkulasi diatas memperlihatkan adanya ketimpangan pembagian keuntungan yang menyolok antara pedagang kayu manis dengan petani kayu manis. Oleh karena itu dapat dikatakan sistem perdagangan kayu manis selama ini hanyalah menguntungkan pedagang mulai dari pedagang perantara sampai pedagang tingkat eksportir. Walaupun demikian petani tetap melalukan penanaman kayu manis, meskipun keuntungannya dinikmati oleh pedagang yang menjadi penentu dari tata niaga kayu manis. Satu-satunya jalan untuk meningkatkan kesejahteraan petani kayu manis hanyalah dengan memperbaiki sistem tata niaga kayu manis. Diperlukan campurtangan pemerintah state intervention dalam tata niaga kayu manis seperti, dalam bentuk peraturan daerah tentang perlindungan petani kayu manis dari permainan kualitas, harga dan akal-akalan cheating pedagang. Campur tangan pemerintah di tingkat Dinas Perkebunan dan apalagi Dinas Perindustran dan Perdagang tampaknya tidak dapat diharapkan lagi, karena, ketika pemerintah turut campur terhadap tata niaga kayu manis ini agar lebih menguntungkan petani, ternyata Dinas Perindustrian dan Perdagang kabupaten Tanah Datar juga ikut berbisnis kayu manis menjadi aktor di pasar nagari, disamping membentuk koperasi yang menurut masyarakat di sebut KPRR Salimpaung, tetapi secara 172 terselubung dikendalikan oleh CV. SAS 1 , dimana Dinas Perindustrian dan Perdagangan kabupaten Tanah Datar menjadi ketua komisinya. Berkedok atas nama koperasi, tetapi dalam operasional tidak mengarah kepada manajemen koperasi dan lebih memperlihatkan bisnis CV. SAS yang dikendalikan dan di back up oleh Dinas Perindustrian Perdagangan. Fenomena ini mengindikasikan adanya relasi stuktural ekonomi politik tersembunyi pemerintahan daerah Tanah Datar Dinas Koperindagtam dengan CV. SAS yang berkembang menjadi dominasi individu dan negara state atas ”institusi sosial”. Realitas yang demikian semakin memperkuat kecurigaan, ketika peneliti berusaha untuk melakukan wawancara dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan kabupaten Tanah Datar yang selalu di tolak dengan alasan yang tidak masuk akal. Pada hal anggota mereka yang ikut sebagai aktor selalu ketemu dengan peneliti di pasar-pasar nagari dan ikut melakukan pembelian kayu manis petani atau kayu manis dari pedagang pengumpul tingkat nagari seperti di pasar nagari Baso dan Tabek Patah dan Pasar Lelang Lokal PLL. Peneliti menilai ini merupakan bentuk state capitalism yang dipertontonkan oleh jajaran Dinas Perindustrian dan Perdagangan kabupaten Tanah Datar di tengah pemerintahan pusat sedang giat-giatnya melakukan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh pemerintahan. Bisnis Dinas Perindustrian dan Perdagangan kabupaten Tanah Datar ini justru telah menambah besarnya kerugian petani kayu manis di wilayah kabupaten Tanah Datar 2 . Walaupun adanya perbedaan keuntungan yang diperoleh antara petani dan pedagang dan petani selalu dirugikan ini telah disadari oleh petani kayu manis, namun mereka tetap melakukan penanaman kayu manis di lahan-lahan perkebunan mereka. Hal ini terkait dengan kebiasan adat istiadat masyarakat di daerah penelitian ini. Dalam sistem perkawinan di masyarakat di daerah penelitian dan 1 Dari hasil wawancara dengan pengurus CV. SAS, tanggal 31 Maret 2006: mereka menolak kalau institusi yang mereka kelola dikatakan koperasi KPRR, bahkan mereka mengatakan bahwa CV. SAS adalah perpanjangan tangan dari Koperindagtam Tanah Datar untuk menambah kompetitor dalam transaksi kayu manis dengan petani. Idealnya, menurut Manager CV SAS, dengan bertambahnya kompetitor sebagai pembeli kayu manis rakyat, diharapkan harga kayu manis di tingkat petani dapat meningkat. 2 Dari hasil wawancara dengan beberapa petani kayu manis di nagari Salimpaung dan pedagang pengumpul tingkat nagari di Tabek Patah dan Baso, serta Sungai Tarab, harga jual kayu manis yang ditetapkan CV. SAS lebih rendah “mancakiak” jika dibandingkan dengan harga yang ditetapkan oleh pedagang besar lainnya. Jadi mereka tidak suka menjual kayu manisnya kepada CV SAS. 173 kabupaten Tanah Datar umumnya, berlaku aturan adat bahwa penganten pria berkewajiban untuk menanam seribu batang bibit anak kayu manis di kebun milik calon istrinya. Aturan ini disebut dengan istilah ”tambilang basi”. Adat tambilang basi ini mengambarkan kesungguhan penganten pria untuk mampu memberikan jaminan kehidupan yan lebih baik kepada penganten wanitanya, dimana pada saat mereka berumahtangga nanti dan memiliki keturunan, maka kayu manis yang ditanam oleh suaminya sejak awal pernikahan dapat dipanen setelah anak-anak mereka tumbuh dan membutuhkan biaya untuk pendidikan, dan lainnya. Adat tambilang basi ini sampai saat penelitian dilakukan masih dilaksanakan oleh penduduk setempat, walaupun semua mengetahui bahwa harga kayu manis mereka ditekan ke tingkat harga yang terendah oleh pedagang dan secara finansial menanam tanaman kayu manis tidak menguntungkan, namun kayu manis tetap di tanam di ladang dan di kebun mereka. Ada beberapa alasan kenapa kayu manis tetap ditanam dan dijadikan tanaman utama di ladang dan kebun penduduk. Pertama; tanaman kayu manis ini merupakan tanaman tabungan untuk masa depan, baik untuk keperluan biaya pendidikan anak-anak setelah sampai ke perguruan tinggi, maupun untuk pesta perkawinan anak-anak perempuan mereka dikemudian hari, bahkan juga untuk biaya menunaikan ibadah haji. Artinya tanaman kayu manis dengan waktu panen yang sampai mencapai 8 sampai 20 tahun umurnya, maka sangat cocok untuk di jadikan sebagai tanaman tabungan. Kedua; tanaman kayu manis ini tidak membutuhkan banyak tenaga dan waktu untuk merawatnya setelah berumur lebih dari 2 tahun, sehingga tidak dibutuhkan biaya untuk sampai saat panen. Oleh karenannya cocok untuk tanaman sambilan dalam sistem perkebunan dan perladangan penduduk yang jauh dan bertopografi miring dan sistem pertanian padi sawah sebagai aktifitas utama. Sejalan dengan yang dikatakan Darussaman 2001:48, bahwa pada umumnya masyarakat dalam membudidayakan tanaman kayu manis lebih pada pertimbangan; jauh dekatnya lokasi lahan dari tempat tinggal, tingkat kesuburan tanah dan kemiringan lahan. Ini tentunya terkait dengan sifat tanaman kayu manis yang bisa tumbuh pada jenis tanah yang marginal dan tidak menuntut perawatan yang intensif. Ketiga; tanaman kayu manis sebagai simbol prestise di tengah masyarakat. Semakin luas kebun kayu manis semakin meningkat status sebuah keluarga di 174 tengah masyarakat. Hal ini karena menyangkut dengan adat tambilang besi yang menandakan terjaminnya kelangsungan sosial ekonomi sebuah keluarga dalam masyarakat nagari. Disamping itu rumah tangga yang memiliki lahan kayu manis yang luas akan mampu menjalankan fungsi sosial budaya atau mempertahankan konstruksi budaya atas tanaman kayu manis. Keempat; terpeliharanya dan adanya kebun kayu manis menandakan bahwa keluarga yang bersangkutan masih mampu untuk menjalankan adat tambilang besi. Artinya, mempertahankan ketersediaan lahan untuk kebun kayu manis merupakan suatu kewajiban budaya, agar calon menantu pria mereka dapat menunaikan kewajibannya untuk menanam seribu batang kayu manis di ladang calon istrinya. Kelima; untuk mengunjungi pasar nagari yang memerlukan biaya terutama untuk mengikuti pembicaraan di lapau-lapau atau kios-kios pasar nagari, maka menjual kayu manis merupakan suatu style tersendiri, dan mendapatkan uang dengan memanen kayu manis merupakan cara yang lebih elegan ketimbang yang lainnya. Artinya, bagi si penjual kayu manis merupakan suatu kebanggaan tersendiri untuk mendapatkan uang dengan cara yang lebih terhormat, khususnya bagi kaum lelaki. Apalagi kayu manis yang dijual jenis kualitasnya bagus seperti AA, AA, dan A. Sejalan dengan hal itu, bagi pedagang, pemilihan jenis komoditi yang akan didagangkan juga tidak semata-mata atas dasar pilihan pada keuntungan semata, melainkan juga berdasarkan prestise, menjaga gengsi atau posisinya di tengah masyarakat nagari. Membeli dan memperdagangkan kayu manis merupakan suatu prestise tersendiri diantara sesama pedagang, karena akan mencerminkan betapa si pedagang yang bersangkutan memiliki kemampuan keuangan yang memadai memiliki jaringan bisnis yang luas di supra nagari, dan merasa menjadi lebih terhormat di tengah masyarakat nagari. Sebagaimana diungkapkan dalam hasil wawancara dengan salah seorang pedagang: ”...Manjua dan mambali kulik manih lebih rancak ketimbang mengaleh barang mudo, disamping untuangnya alah jaleh dan dapek sakali dibaok pulang pedagang perantara, kawan-kawan nan jauh tacaliek juo, kalau nasib sadang rancak, awak dapek pulo saketek dari kawan yang alah gadang pokoknyo itu ”..... Wawancara tanggal 20 Maret 2006 dengan Jamaris pedagang perantara di nagari Salimpaung. menjual dan membeli kayu manis lebih bagus dibanding berjualan palawija, selain untungnya sudah jelas dan dapat langsung dibawa pulang pedagang perantara, kawan yang jauh bisa ketemu, jika nasib sedang bagus kita mendapat bagian sedikit keuntungan dari kawan yang modalnya sudah besar 175 Jadi, mengusahakan kayu manis maupun memperdagangkan kayu manisnya sama-sama memiliki motivasi sosial budaya dari individu yang melakoninya disamping mencari keuntungan semata. Petani maupun pedagang menempatkan komoditi kayu manis sebagai komoditi andalan baik untuk keuntungan ekonomi maupun untuk presitise di tengah masyarakat. Mulai sejak menanam, memelihara, memanen sampai menjualnya di pasar dianggap sebagai pekerjaan yang lebih terhormat dan elegan, jika dibandingkan dengan tanaman mudo lainnya. Itulah sebabnya, dikatakan bahwa tanaman kayu manis tidak hanya merupakan tanaman yang berfungsi ekonomi tetapi juga memiliki fungsi sosial budaya. Dengan demikian untuk kelangsungan budidaya tanaman kayu manis ini diyakini akan terus berlanjut dan telah menyatu dengan aktifitas sosial budaya masyarakat Minangkabau, meskipun dalam sistem tata niaganya cenderung tidak menguntungkan petani. Bahkan jika dilihat dari karakteristik pedagang kayu manis di pasar nagari kebanyakan mereka adalah ”niniak mamak” kaum dan orang terpandang nagari, artinya ini merupakan salah satu bentuk dominasi kaum penghulu dan orang kaya elite nagari terhadap aktifitas ekonomi masyarakat bawahannya. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, menjual dan membeli kayu manis merupakan bentuk interaksi sosial masyarakat Minangkabau di pasar nagari. Jika yang menjual kayu manis ini dari kalangan orang kaya atau penghulu adat, maka menjual kayu manis ke sesama kelompok sosialnya yang setara merupakan sebuah unjuk kekuatan sebagai kelompok yang berpunya. Kemudian jika yang menjual kayu manis itu berasal dari masyarakat biasa, maka menjual kayu manis ke pedagang dengan stratifikasi sosial seperti penghulu kaumnya merupakan suatu kewajiban sosial budaya resiprositas sosial yang harus dilakukan. Akan menjadi malu dan rikuh apabila menjual kayu manisnya ke pedagang lain yang tidak terikat secara kesukuan atau se nagari dengan si pembeli. Jadi sebagai tanaman yang telah menyatu dengan sistem nilai budaya masyarakat terutama dengan sistem perkawinan masyarakat nagari di Minangkabau dan ditambah dengan sistem tata niaganya yang cenderung dalam pertukarannya masih mempertimbangkan aspek-aspek ikatan kesukuan primordial, maka walaupun budidaya tanaman kayu manis kurang menguntungkan secara finansial tetapi secara sosial budaya mendatangkan benefit yang cukup besar pemersatu 176 warga nagari. Itulah sebabnya, budidaya dan tataniaga kayu manis masih akan tetap berlanjut di tengah masyarakat nagari di pasar nagari di Minangkabau, khususnya di daerah penelitian. Realitas ini mengindikasikan bahwa tindakan ekonomi disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung diantara para aktor, sebagaimana yang dikemukakan oleh para pendukung aliran sosiologi ekonomi baru NES.

6.2. Kayu Manis Sebagai Katup Pengaman Ekonomi Rumah Tangga