Simpulan Akhir Bab BASIS KETAHANAN PASAR NAGARI: KETERLEKATAN PASAR KAYU MANIS

diminta oleh eksportir bahkan konsumen akhir. Para petani tidak pernah diinformasikan tentang kualitas yang paling banyak diminta oleh eksportir, bahkan menurut mereka, itulah rahasia dagangnya selama ini, yakni melakukan prosesing dan melakukan penimbunan kayu manis. Jadi social relationship antara petani kayu manis dengan pedagang kayu manis hanya tercipta antara petani dengan pedagang pengumpul nagari, antara pedagang pengumpul nagari dengan pedagang besar kabupaten. Dapat dikatakan social relationship yang tercipta dan terbina adalah dalam bentuk berhirarkhi hubungan sosial berlapis. Dalam konteks ekonomi dunia, aktifitas yang terbentuk dalam sistem perdagangan kayu manis di pasar nagari sebagaimana yang dijelaskan di atas, memperlihatkan bahwa petani memiliki peran yang paling besar dalam mensubsidi pasar dunia, artinya mereka menyumbang sebagian besar biaya untuk ketahanan pasar nagari dari waktu ke waktu.

6.6. Simpulan Akhir Bab

Sebagai tanaman yang telah menyatu dengan sistem nilai budaya masyarakat terutama dengan sistem perkawinan masyarakat nagari di Minangkabau dan ditambah dengan sistem tata niaganya yang cenderung dalam pertukarannya masih mempertimbangkan aspek-aspek ikatan kesukuan primordial, maka walaupun budidaya tanaman kayu manis kurang menguntungkan secara finansial tetapi secara sosial budaya mendatangkan benefit yang cukup besar pemersatu warga nagari. Itulah sebabnya, budidaya dan tataniaga kayu manis masih tetap berlanjut di tengah masyarakat nagari di Minangkabau. Artinya konstruksi sosial atas tanaman kayu manis sebagai tanaman sosial budaya, adalah sebagai salah satu faktor yang telah menjadikan pasar nagari mampu bertahan dari waktu ke waktu-- sebagai institusi sosial dan ekonomi yang terintegrasi dengan pasar supra lokal. Jadi, mengusahakan kayu manis maupun memperdagangkannya sama- sama memiliki motivasi sosial budaya dari individu yang melakoninya disamping mencari keuntungan semata. Petani maupun pedagang menempatkan komoditi kayu manis sebagai komoditi andalan baik untuk keuntungan ekonomi maupun untuk presitise di tengah masyarakat. Mulai sejak menanam, memelihara, memanen sampai menjualnya di pasar dianggap sebagai pekerjaan yang lebih terhormat dan elegan, jika dibandingkan dengan tanaman mudo lainnya. Itulah sebabnya, 211 dikatakan bahwa tanaman kayu manis tidak hanya merupakan tanaman yang berfungsi ekonomi tetapi juga memiliki fungsi sosial budaya. Komoditi kayu manis sebagai katup pengaman ekonomi rumah tangga, bukan hanya berlaku untuk petani kayu manis dengan tipe waktu panen tidak menentu saja, tetapi juga berlaku bagi pedagang kayu manis di pasar nagari terutama bagi pedagang tanpa modal dengan sebutan bahasa aslinya di pasar nagari adalah ”kalene” atau ”cingkariak” pemberi isyarat. Penguasaan dan pengusahaan bisnis kayu manis telah membantu terbentuknya kapitalisme kecil petty capitalism di tengah masyarakat nagari, dan kemudian mendorong terjadinya mobilitas sosial di tengah masyarakat nagari. Kekuatan ekonomi supra lokal telah mendorong masyarakat nagari di Minangkabau lebih mementingkan simbol-simbol materi daripada simbol-simbol sosial budaya dan keagamaan. Status atau kedudukan seseorang tidak lagi hanya dilihat dari penguasaan pengetahuan adat dan agama, tetapi saat ini lebih ditentukan oleh kekuatan ekonomi yang dimilikinya. Pertukaran yang terjadi antara pedagang pengumpul dengan petani kayu manis di pasar nagari sebagian besar didasarkan atas ikatan kekerabatan dan budaya. Transaksi yang terjadi sering antara kemenakan paruik dengan mamak, kemenakan suku dengan mamak sukunya, atau langgganan dan sudah saling kenal sejak lama, dan transaksi kayu manis di pasar nagari selalu antara petani kayu manis dengan pedagang pengumpul nagari dulu, jarang sekali terjadi transaksi antara petani kayu manis dengan pedagang kabupaten di pasar nagari, walaupun pedagang kabupaten datang ke pasar nagari. Hal ini dikarenakan antara pedagang pengumpul dan pedagang besar punya kode etik tertentu dan jaringan sosial tertentu dalam bertransaksi. Terlihat sekali adanya kesepakatan tidak tertulis diantara mereka, baik yang berada dalam satu kelompok clique members maupun dalam kelompok yang berbeda. Artinya pedagang besar punya pertimbangan moral tertentu terhadap pedagang pengumpul pasar nagari sehingga tidak terlalu agresif dalam menghadapi petani di pasar nagari ekonomi moral vertikal yang tipis, dengan menggunakan terminologi Tjondronegoro 2005 dikenal dengan istilah ”cognitive social capital”. Gejala ini menciptakan proses pelanggengan kasus pertukaran yang tidak seimbang. 212

BAB VII KETAHANAN PASAR NAGARI DALAM PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI