Pilihan Paradigma METODOLOGI PENELITIAN

3.4. Pilihan Paradigma

2 Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian sosiologi dengan bidang kajian sosiologi ekonomi. Lazimnya sebuah penelitian, khususnya bidang kajian sosiologi ekonomi, penelitian ini memiliki ciri tertentu yang menjadi ciri khas dari penelitian sosiologi, yakni merupakan penelitian kualitatif, yang bersifat naturalistik atau alamiah, yang dilakukan pada suatu latar alamiah tertentu, dan memiliki kasus tertentu. Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan, maka untuk mendekati subjek penelitian dan menciptakan pemahaman yang disepakati bersama antara tineliti dengan peneliti maka studi ini menggunakan pendekatan multi metode guna mendekati persoalan yang diajukan. Pilihan metodologi penelitian—juga metode penelitian--sekaligus menentukan pilihan paradigma dalam penelitian ini. Penelitian ini, secara paradigmatik, memposisikan diri pada paradigma non- positivistik, yang muncul sebagai kritik atas paradigma positivistik, yang menganggap bahwa realitas di luar sana sepenuhnya dikendalikan oleh hukum- hukum alam, sehingga tugas peneliti adalah menemukan dan merumuskan hukum- hukum alam yang bersifat objektif dan universal. Akan tetapi paradigma ini telah dianggap memiliki kelemahan, karena pada dasarnya indra manusia terbatas dan tidak mampu melihat dan memahami realitas keseluruhan secara utuh Guba dan Lincoln, 2000; Lubis, 2004. Dengan demikian dalam pandangan non-positivistik, karena terdapatnya keterbatasan indera manusia untuk memahami realitas sepenuhnya, akibatnya setiap peneliti melihat dan memahaminya secara berbeda sesuai dengan sudut pandangnya yang subyektif Guba dan Lincoln, 2000. Sehinggga, sebagai penelitian yang memposisikan diri pada paradigma non-positivistik, tujuan penelitiannya tidak diarahkan pada penemuan hukum-hukum atau teori yang berlaku secara universal dan dapat digeneralisir, tetapi diarahkan pada pengembangan teori 2 Paradigma disini dimaksudkan adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok kajian yang semestinya harus dipelajari sebagai displin ilmu Ritzer, 1981. Keragaman paradigmatik dapat terjadi disebabkan adanya perbedaan pandangan philosopis, konsekwensi logis dari perbedaan teori dan sifat metodologis yang digunakan untuk mencapai kebenaran. Dapat juga dikatakan bahwa paradigma adalah seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun tindakan seseorang baik dalam keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah Guba, 1990 dalam Salim, 2001. Bahwa seperangkat keyakinan dasar atau pandangan dunia worldview tentang sifat dunia, tempat individu di dalamnya dan bentuk hubungan terhadap dunia tersebut beserta bagian-bagiannya, mencakup unsur-unsur ontologi, epistimologi, dan metodologi tersendiri yang satu dan lainnya saling terkait Guba dan Lincoln, 1994, dan Sitorus, 1999:45. 66 yang mampu memberikan pemahaman yang mendalam tentang subjek kajiannya, sekaligus menemukan berbagai variasi yang terjadi di dalamnya Guba, 1990 dalam Lubis, 2004. Pilihan paradigma membimbing peneliti untuk melihat realitas yang diteliti serta bagaimana prosedur penelitian dilakukan Lubis, 2004. Guba dan Lincoln 2000, 163-186, mengemukakan empat paradigma utama yang bersaing dalam ilmu pengetahuan dengan berbagai asumsi-asumsi yang mendasarinya, yaitu positivisme, post-positivisme, teori kritis critical theory, dan paradigma konstruktivisme constructivism. Guna mengarahkan penelitian ini, paradigma konstruktivis telah digunakan. Pilihan atas paradigma konstruktivis dilatarbelakangi oleh pertimbangan ontologi dan epistemologi yang dianut paradigma ini. Secara ontologi, paradigma konstruktivis adalah bersifat relativis, artinya realitas yang dipahami bersifat plural multiple realitas. Realitas tidak dapat dinyatakan secara jelas dan pasti intangible, konstruksi mental, didasarkan atas pengalaman yang bersifat sosial-budaya, lokal dan spesifik, sehingga konstruksi ilmu pengetahuan tidak bersifat obyektif-universal. Ilmuwan akan selalu memahami realitas dari ontologi yang relatif perspektif, paradigma, kerangka teori tertentu, sehingga ilmuwan tidak melihat realitas secara utuh atau tidak secara lengkap Lubis, 2004. Sedangkan secara epistemologi, paradigma konstruktivis bersifat transaksional dan subyektivis. Dimana antara peneliti dengan subyek penelitian saling terkait dan interaktif. Dari segi metodologi, paradigma konstruktivis, muncul dengan metodologi hermeneutik dan dialektis partisipatif, yang menggunakan metode interpretatif fenomenologi, interpretatif hermeneutik, dan yang lainnya, yang oleh Swant dalam Lubis, 2004 dimasukkan sebagai metode konstruktivis. Dengan menggunakan paradigma konstruktivis, kiranya dapat memotret realitas sosial dan aktifitas ekonomi yang terjadi di pasar, karena realitas yang dimaksud--menggunakan terminologinya Hardiman 2003--tidak hanya realitas objektif—yaitu realitas yang berada di luar diri orang yang kita teliti, tetapi juga realitas subyektif, yaitu realitas yang berada di dalam diri orang yang kita teliti yang menyangkut kehendak dan kesadarannya. Antara kedua realitas ini memiliki hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. 67 Lebih jauh Hardiman 2003 menjelaskan bahwa realitas yang kita temukan dalam bentuk objektif, berupa data kemudian kita terus mencari penjelasannya, kaitan sebab akibatnya, sehingga ada harapan peneliti menembus gejala dan menemukan realitas subjektif. Namun untuk sampai kesana peneliti harus; Pertama, berjumpa dengan pribadi orang tersebut, bertanya dan mendapatkan jawaban. Kedua, dengan sungguh-sungguh mau memahami verstehen 3 realitas itu. Jika kedua langkah tersebut dilakukan, barulah kita dinamakan ‘mempersoalkan realitas’ atau ‘mempersoalkan kewajaran’. Dengan demikian, menurut Hardiman 2003, untuk melihat realitas, kita harus meneropongnya dari ‘luar’ dan dari ‘dalamnya’ kita perlu mengambil bagian di dalam realitas tersebut. Artinya disini kita ikut berbagi harapan, perasaan, perjuangan, cita-cita, kekecewaan, dan seterusnya. Inilah yang dinamakan memahami ‘dari dalam’ menyelami realitas bathin. Meneropong pemahaman ‘dari luar’, ini hanya sebuah refleksi tahap awal. Kita akan mendapatkan perbandingan, mencari kaitansebab-akibat, menelusuri sejarahnya, dan sebagainya. Dengan demikian kita menemukan struktur-struktur yang membuat individu atau masyarakat seperti itu. Disini didapat sebuah analisis empiris tentang realitas. Barulah kemudian dilakukan upaya meneropong pemahaman ‘dari dalam’. Disinilah kita menemukan komplek-komplek perasaan, keinginan, pikiran-pikiran yang berkaitan dengan persoalan yang kita sorot. Peneliti menemukan bahwa suatu masalah itu bukan hanya soal material yang objektif, melainkan juga menembus penghayatan bathin dan kesadaran individu yang bersangkutan. Ini dinamakan refleksi tahap ke dua. Dari upaya melakukan penyelaman terhadap realitas bathin yang paling dalam, disamping menelusuri realitas lahiriah seluas-luasnya, tentunya ditemukan : 3 Bagi Weber, verstehen interpretative understanding adalah sebuah upaya atau pendekatan untuk memahami makna perilaku sosial social behavior, jadi tidak hanya sekedar mencari hubungan sebab akibat semata dari sebuah realitas sosial Turner, 1998;352, yang dalam terminologinya Geertz-- sebagai seorang Weberian—disebut dengan “thick description” lukisan mendalam Geertz, 1992; 3- 39. 68 1. Struktur-Struktur umum yang paling luas dan niscaya akan berdiri di luar orang yang bersangkutan tineliti dan berkaitan dengan dirinya. Kita menemukan sejarahnya, susunan kelasnya, tuntutan kebudayaannya, dan sebagainya. 2. Menemukan struktur-struktur subyektif paling dalam yang berkaitan dengan kesadaran orang yang kita teliti tineliti. Kita memperoleh persepsi-persepsi cara berfikir, sikap-sikap, disposisi, cita-cita dan seterusnya. Secara luas tidak hanya tineliti yang dapat kita pahami tetapi secara luas masyarakatnya juga dapat dipahami. Namun disadari bahwa mempersoalkan realitas bukanlah sebuah persoalan yang gampang dan gamblang. Ada kaitannya dengan realitas yang sangat khusus ke bahagian yang paling total atau holistik dan ke kesadaran yang paling subyektif sampai ke idiologi yang paling objektif Hardiman, 2003. Juga ditegaskan, yang harus dipahami realitas tidak selalu mirip dengan potret sebelumnya karena ia bersifat dinamis, bergerak, mengalir dalam proses ‘menjadi’. Sehingga jadilah realitas itu menurut penafsiran yang diyakini, karena yang berkuasa menafsirkan realitas sebagai realitas adalah ilmu-ilmu pengetahuan 4 .

3.5. Metode Penelitian