warga nagari. Itulah sebabnya, budidaya dan tataniaga kayu manis masih akan tetap berlanjut di tengah masyarakat nagari di pasar nagari di Minangkabau,
khususnya di daerah penelitian. Realitas ini mengindikasikan bahwa tindakan ekonomi disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan sosial personal yang
sedang berlangsung diantara para aktor, sebagaimana yang dikemukakan oleh para pendukung aliran sosiologi ekonomi baru NES.
6.2. Kayu Manis Sebagai Katup Pengaman Ekonomi Rumah Tangga
Berikut ini akan dibahas bagaimana pentingnya budidaya kayu manis dan perdagangan kayu manis bagi masyarakat nagari di Minangkabau seperti pada
nagari Salimpaung, luas panen kayu manis adalah seluas 210 ha. Rata-rata kepemilikan lahan kayu manis berkisar antara 0,25 ha sampai pada 1 ha dan rata-
rata kepemilikan lahan sawah berkisar antara 0,15 ha sampai dengan 2 ha Tabel 22.
Tabel 22 Luas Panen dan Produksi Kayu manis Setiap Nagari Pada Wilayah Penelitian
No Nagari Luas
Panen ha
Produksi ton
1. Nagari Salimpaung
210 15,9
57,41 15,6
2. Nagari Rao-Rao
26,5 3,7
- 3.
Nagari Tabek Patah 145
11 23,01
6,2 4.
Nagari Sungai Tarab 209
29,1 -
5. Nagari Tabek Panjang Baso
616 -
6. Kecamatan Salimpaung
1.315 25
369 25,2
7. Kecamatan Sungai Tarab
717 13,6
275,5 18,8
8. Kecamatan Baso
- -
Sumber: Kecamatan Salimpaung dan Sungai Tarab dalam Angka, 2004 Data Diolah Sebenarnya, kondisi perekonomian rumahtangga petani kayu manis di nagari
Salimpaung dapat dikategorikan menurut waktu panennya yakni: pertama, rumahtangga petani kayu manis dengan waktu panen tak menentu, yang berarti
memanen kayu manis untuk dapat memenuhi kehidupan rumahtangga sehari-hari
177
atau dengan kata lain kayu manis menjadi katup pengaman ekonomi rumahtangga, waktu panennya di hitung dalam bulanan. Bisa satu kali sebulan, satu kali 2 bulan
atau satu kali tiga bulan. Kedua rumahtangga petani kayu manis dengan waktu panen satu kali setahun; yang berarti memanen kayu manis guna memperoleh uang
untuk keperluan besar, seperti membayar biaya dan kebutuhan anak sekolah, keperluan pesta perkawinan dan hajatan lainnya. Ketiga rumahtangga petani kayu
manis dengan waktu panen lebih dari 2 tahun sekali yang berarti kebun kayu manis dijadikan sebagai tanaman tabungan dan di panen apabila membutuhkan uang
dalam jumlah besar, seperti biaya untuk pergi haji, membeli dan memperbaiki rumah, atau rumah gadang mereka.
Hasil penelitian menunjukan bahwa di nagari Salimpaung, terdapat sebanyak 2 rumahtangga 10 persen yang melakukan panen tidak menentu, dengan volume
di bawah 70 kg, itu pun dengan kualitas KB dan C. Alasan melakukan panen kayu manis ini adalah untuk biaya menanam tanaman muda yang tengah diusahakan dan
biaya belanja anak sekolah sehari-hari menjelang tanaman mudo di lahan sawah mereka mendatangkan hasil. Sedangkan petani kayu manis yang melakukan panen
sekali setahun sebanyak 8 rumahtangga 40 persen dengan volume panen berkisar antara 75 kg sampai dengan 100 kg kayu manis kering dengan kadar air lebih
kurang 15 persen. Kemudian sebanyak 10 rumahtangga 50 persen melakukan panen sekali diatas 2 tahun dengan volume panen berkisar antara 150 kg sampai
dengan 300 kg. Sebenarnya, semakin lama waktu panen semakin banyak hasil panen yang
diperoleh dan semakin tinggi kualitas kayu manisnya, pada gilirannya juga semakin besar pendapatan diperoleh dari hasil penjualan kayu manis tersebut. Sehingga
rumahtangga yang melakukan panen sekali di atas dua tahun, akan mendapatkan uang yang lebih besar. Itulah sebabnya, waktu panen dalam jangka waktu lama,
hanyalah dilakukan oleh petani yang berlahan luas, dan menjadikan tanaman kayu manis mereka sebagai tanaman simbolik dan tanaman tabungan.
Pada nagari Salimpaung, yang memiliki bentangan alam yang memungkinkan untuk melaksanakan pertanian padi sawah dan pertanian
perkebunan, budidaya kayu manis hanyalah bentuk usaha pertanian kedua setelah pertanian padi sawah tanaman palawija. Secara ekonomis, mengusahakan
tanaman mudo seperti tomat, cabe, jagung, kentang, buncis dll tanaman pertanian
178
semusim, malah lebih menguntungkan dengan waktu panen yang singkat hanya lebih kurang empat bulan. Pada saat harga ”tanaman palawija” ini tinggi, tanaman
kayu manis tidak akan dipanen oleh petani. Artinya, tanaman kayu manis benar-benar sebagai katup pengaman ekonomi
rumahtangga penduduk nagari. Dimana penentuan waktu panen lebih terkait dengan fluktuasi harga tanaman mudo yang diusahakan dalam pertanian padi sawah.
Sehingga, jika dianalisis lebih lanjut, sebenarnya fluktuasi harga kayu manis di pasar nagari mengikuti perkembangan harga ”tanaman mudo” ini. Pada saat harga
tanaman mudo sedang naik, maka petani lebih terkonsentrasi kepada usaha tani ”tanaman mudo”, mengabaikan tanaman kayu manis. Akibatnya, untuk rentangan
waktu kenaikan harga ”tanaman mudo” ini, maka volume pembelian kayu manis pedagang di pasar nagari menurun. Sehingga jika pedagang tingkat eksportir belum
terpenuhi kuota ekspornya, maka pedagang besar dan eksportir mulai menaikan harga kayu manis, untuk mendorong petani panen. Ini jelas merupakan politik
ekonomi pedagang supra lokal terhadap pedagang lokal dan petani kayu manis. Kebanyakan petani kayu manis yang melakukan panen sekali setahun,
mengikuti trend kenaikan harga oleh pedagang besar demi memenuhi quota eksportnya. Menurut para petani kayu manis yang sudah berpengalaman, ini
biasanya terjadi antara bulan Agustus setiap tahun. Sehingga untuk mendapatkan harga kayu manis yang lebih baik, maka panen dilakukan sekali setahun.
Sebaliknya, pada saat quota ekspor pedagang besar atau eksportir telah terpenuhi, maka pedagang besar dan eksportir kembali menurunkan harga.
Namun pada tahun-tahun terakhir ini, kenaikan harga kayu manis justru terjadi pada sekitar bulan Januari sampai April 2006 dan pada bulan Maret- Juni
2007, ketika penelitian ini dilaksanakan, yang disebabkan oleh tingginya permintaan pasar domestik yakni pasar dari Bali. Dua pedagang besar di kabupaten Tanah
Datar yakni H. WN dan C.V. SAS justru saat ini mengalami defisit volume perdagangan mereka, akibat tingginya permintaan kayu manis dari Bali ; yang
digunakan untuk upacara-upacara keagamaan dan konsumsi turis. Meskipun adanya pergeseran pola kenaikan harga kayu manis, yang selama
ini hanya pada bulan-bulan Agustus sampai dengan Desember, tetapi saat ini kenaikan harga juga terjadi pada bulan-bulan Januari - April dan Juni, ternyata tidak
berpengaruh nyata terhadap peningkatan pendapatan petani, malah lebih
179
menguntungkan para pedagang perantara. Namun pergeseran ini pada satu sisi, memberikan kebaikan kepada petani, dalam artian terjadi kontinuitas pembelian
kayu manis petani dari minggu ke minggu dan ini sangat dibutuhkan atau telah membantu petani kayu manis yang waktu panennya tidak menentu. Faktanya
mereka adalah yang memiliki ladang kayu manis berkisar 0,25 ha, yang menjadikan tanaman kayu manis sebagai katup pengaman ekonomi rumahtangga.
Frekwensi panen petani kayu manis disamping tergantung kepada hasil panen tanaman mudo, juga sangat tergantung kepada luas lahan kayu manis dan
lahan sawah yang dimiliki. Panen tidak menentu hanya dapat dilakukan apabila luas lahan kayu manis diatas 1 ha atau jika petani berlahan kurang dari 1 ha dan, panen
tidak menentu, hanya dapat dilakukan dengan mengurangi jumlah berat volume panen. Volume panen paling tinggi untuk satu kali waktu panen hanya berkisar
antara 50 kg sampai dengan 70 kg. Menurut mereka, melakukan panen dengan berat volume yang sedikit dari minggu ke minggu juga dalam rangka menjaga
kenaikan harga yang fluktuatif, disamping sebagai salah satu cara sebuah keluarga dapat bertahan survive menjelang tanaman palawija mereka panen.
Tabel 23 Profil Luas Lahan, Frekwensi Waktu Panen, dan Volume Penjualan Petani Kayu Manis di Daerah Penelitian
Luas Lahan ha Frekwensi
Panen persen
No Pasar Nagari
Jumlah Responden
Kayu manis
Sawah 1 x 1
Tahun Tak
Tentu Volume
Penjualan kg
1. Salimpaung 20
23,00 1,2
13,1 0,66
80 20 2.081 104
2. Tabek Patah
10 10,50
1.05 7,00
0,7 60 40
822 82,2
3. Baso 15
12,63 0,84
5,38 0,36
33 67 1.188 79,2
4. Rao-Rao 17
15, 25
0,89 3,55
0,21 5,8 94,2
1.331 78,3
5. Sungai Tarab
22 18,75
0,85 10,87
0,49 50 50 2.440
110,9 Total
84 Sumber: Hasil Penelitian data diolah
Tabel 23 memperlihatkan bahwa petani yang melakukan panen tak menentu di dominasi oleh petani di nagari Rao-Rao, Baso dan Sungai Tarab. Para petani ini
180
menjadikan lahan kayu manis mereka sebagai lahan usaha tempat bertahan hidup untuk keperluan membeli kebutuhan sehari-hari.
Alasan melakukan panen menurut petani dengan frekwensi panen tidak menentu ini adalah membutuhkan biaya untuk membeli beras, karena usaha tani
padi sawah dan palawija sedang mengalami stagnasi dan baru mulai di tanam. Bagi petani yang melakukan panen 1 kali satu tahun, alasan melakukan panen cenderung
karena pahon kayu manisnya sudah tua, dan harus segera di panen karena dengan pohon kayu manis yang sudah tua, maka kulit akan menjadi tebal, dan susah
mengulung. Pada hal sebenarnya, ukuran, bentuk gulungan semuanya itu hanyalah akal-akalan pedagang, karena tentunya semakin tebal kulit kayu manis akan
memberikan kualitas minyak atsiri yang lebih baik. Apabila dilihat dari segi luas lahan kayu manis, maka petani kayu manis di
nagari Salimpaung dan Tabek Patah memiliki luas lahan yang paling luas yakni dengan rata-rata seluas 1,2 ha dan 1,5 ha. Di kedua nagari ini, frekwensi waktu
panen kayu manis dominan dilakukan satu kali setahun. Jika dibandingkan dengan volume penjualan kayu manis mereka di pasar nagari adalah masing-masing
sebanyak 2.081 kg dan 822 kg, yang berarti masing-masing petani mampu memanen kayu manis mereka sebanyak 104 kg dan 82,2 kg per petani pada satu
kali dibukanya hari pasar nagari tersebut. Pada nagari Baso dan Rao-Rao luas lahan petani kayu manis yang relatif kecil yakni masing-masing 0,84 ha dan 0,89 ha pada
umumnya mereka melakukan frekwensi panen tak menentu, dengan alasan utama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, akibat sistem pertanian palawija
mereka belum mendatangkan hasil, atau hasil panennya relatif kecil. Artinya, semakin kecil luas lahan padi sawahnya, semakin tergantung
ekonomi mereka terhadap hasil panen kayu manis ini, hal ini ditandai dengan waktu panen mereka yang dilakukan secara tidak menentu dan kecilnya volume penjualan
mereka di pasar nagari. Ternyata di kedua nagari ini, tanaman kayu manis telah dijadikan penyanggah ekonomi rumahtangga mereka, menjelang mereka
memperoleh sumber pendapatan alternatif dari sistem pertanian padi sawah dan palawija.
Dalam kaitannya dengan bentuk hubungan antara petani dengan pedagang, jika dilihat untuk tipe petani kayu manis yang berlahan sempit, mereka tidak
memperhitungkan kemana akan menjual kayu manisnya. Petani kayu manis tipe ini
181
lebih suka menjual kayu manisnya di pasar nagari
3
. tanpa menghiraukan kepada pedagang mana akan menjual. Di Pasar bagari biasanya mereka cenderung menjual
kayu manisnya kepada pedagang yang sudah biasa ditemui membeli kayu manis mereka, sudah kenal tetapi tidak terlalu dekat. Seperti yang ditemui pada petani di
nagari Rao-Rao dan Sungai Tarab, dengan volume penjualan kayu manis mereka yang relatif kecil dan frekwensi waktu panen yang tidak menentu atau lebih sering,
apalagi kalau usaha pertanian padi sawah sedang tidak berproduksi, maka memanen dan menjual kayu manis setiap minggu merupakan upaya pengamanan
subsistensi ekonomi rumahtangga mereka, tidak peduli dijual kemana dan kepada siapa, yang penting mereka memperoleh uang untuk membeli kebutuhan beras dan
kebutuhan dapur lainnya. Oleh karena itu, bentuk hubungan antara petani kayu manis dengan tipe
panen tidak menentu dengan pedagang pengumpul kayu manis di pasar nagari lebih cenderung ditentukan oleh; motivasi utama melakukan panen, luas lahan kayu
manis yang dimiliki dan frekwensi waktu panen yang dilakukan. Sementara itu, jika dilihat untuk tipe petani kayu manis yang berlahan luas
1 ha dengan frekwensi panen sekali setahun atau lebih, bentuk hubungan antara mereka petani dan pedagang lebih didasari atas adanya hubungan pertalian darah
atau ada hubungan kekerabatan. Petani tipe ini melakukan panen cenderung dengan alasan karena memang harga kayu manis sedang mengalami kenaikan, dan
pemanenan bukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang mendesak, tetapi untuk keperluan lain seperti tambahan ongkos naik haji, biaya melakukan pesta
perkawinan, dan biaya sekolah anak-anak. Bahkan, transaksi dapat dengan mudah terjadi karena si petani kayu manis telah mengenal pedagang perantara dengan baik
karena adanya hubungan kekerabatan sebagaimana yang disebutkan diatas. Bahkan tawar menawar berjalan lancar dan tidak begitu alot sebagaimana yang
ditemui pada petani tipe pertama. Ini tentunya memperlihatkan ekonomi moral si petani dalam artian petani memiliki pertimbangan-pertimbangan moral tertentu
dalam memutuskan kepada siapa petani harus menjual kayu manisnya cf. Evers, 1994.
3
Ada perasaan tidak nyaman atau malu bila waktu ke pasar mereka tidak membawa hasil ladang untuk dijual ke pasar. Jadi menurut mereka ada kebanggan tersendiri bagi mereka membawa hasil
panennya ke pasar sambil berbelanja kebutuhan sehari-hari mereka.
182
Kemudian, dari sisi pedagang pengumpul, keuntungan yang paling besar diperoleh dari petani kayu manis yang belum dikenalnya, atau dikenal tidak terlalu
dekat. Sehingga lebih mudah untuk melakukan penentuan harga dan berat timbangan kayu manis petani; yang biasanya cenderung selalu dikurangi dari harga
timbangan sebenarnya dengan mengatakan bahwa terlalu besar airnya kadar airnya terlalu tinggi, atau terlalu banyak kotoran, bahkan terlalu banyak kayu manis
yang patah-patah broken. Ternyata komoditi kayu manis sebagai katup pengaman ekonomi rumah
tangga, bukan hanya berlaku untuk petani kayu manis dengan tipe waktu panen tidak menentu saja tetapi juga berlaku bagi pedagang kayu manis di pasar nagari
terutama bagi pedagang tanpa modal dengan sebutan bahasa aslinya di pasar nagari adalah ”kalene” atau ”cingkariak”
4
pemberi isyarat. Bagi pedagang tanpa modal dalam perdagangan kayu manis di pasar nagari, membeli kayu manis dari
petani di hari keramaian pasar nagari merupakan bentuk dari diversifikasi usaha pertanian mereka yang kurang memadai untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga
mereka. Para pedagang ”cingkariak” tree node ini memperoleh modal pada saat hari
keramaian pasar nagari dari pedagang besar tingkat kabupaten. Kedatangannya di pasar nagari untuk membeli kayu manis dan kemudian menjualnya kembali ke
pedagang besar kabupaten yang juga hadir sebagai aktor player di pasar nagari. Jadi mereka mendapatkan keuntungan dari selisih harga yang diberikan oleh
pedagang besar tingkat kabupaten ini rata-rata berkisar antara Rp 50,-kg sampai dengan Rp.500kg. Tetapi waktu transaksinya dengan pedagang besar akan terjadi
setelah semua transaksi dengan petani kayu manis selesai seluruhnya, atau petani yang menjual kayu manisnya telah masuk pasar untuk membeli kebutuhan mereka
sehari-hari. Ternyata para pedagang tanpa modal kalene akan melakukan transaksi
dengan pedagang besar tingkat kebupaten yakni dengan langsung menimbang berapa besarnya volume pembelian pedagang tanpa modal pada saat itu. Disini
rata-rata pendapatan pedagang tanpa modal ini untuk satu kali pasar nagari di buka
4
“Kalene” atau “cingkariak” adalah sebutan bagi pedagang kayu manis tanpa modal di pasar nagari yang tugasnya memberi isyarat bagi pedagang lainnya untuk informasi harga dalam bertransaksi
dengan petani.
183
adalah berkisar antara Rp 150 ribu sampai Rp 400. ribu. Besarnya pendapatan ini sangat tergantung kepada kelihaian mereka membujuk petani kayu manis untuk
mau menjual kayu manis mereka. Pedagang tanpa modal akan berebutan untuk membeli kayu manis petani yang datang di pasar nagari. Biasanya pedagang besar
tingkat kabupaten hanya melihat saja dari jauh, cenderung hanya membiarkan pedagang tanpa modal untuk melakukan transaksi dengan petani kayu manis. Dapat
dikatakan dalam menghadapi petani di pasar nagari, semakin kecil modal si pedagang semakin agresif mereka mengejar atau menawar kayu manis petani.
Penentuan harga kayu manis antara pedagang ”tanpa modal” pemberi isyarat dengan pedagang perantara lainnya, dilakukan sejak dini ketika pasar nagari
mulai buka dan pedagang tanpa modal meminjam uang untuk modal kepada pedagang besar tingkat kabupaten. Artinya sebelum pedagang tipe ini membeli kayu
manis petani, maka mereka sudah mendapat isyarat harga penjualan mereka nanti kepada pedagang besar palantuak
5
. Bahkan menurut hasil wawancara dengan mereka dikatakan bahwa harga penjualan mereka nanti, diinformasikan kepada
pedagang besar tingkat kabupaten telah ditanyakan seharibeberapa hari sebelumnya melalui komunikasi telepon, atau melalui interaksi diantara mereka
pada pasar nagari sebelumnya. Keunikan yang ditemui dalam transaksi kayu manis rakyat di pasar nagari
yang dilakukan oleh pedagang adalah: adanya jaringan sosial tertentu atau ”klientisasi” antara pedagang tanpa modal dengan pedagang besar tingkat
kabupaten. Jika dalam transaksi itu petani berusaha akan menjualnya langsung ke pedagang besar tingkat kabupaten seperti H. WN, walaupun sudah di tawar oleh
pedagang tanpa modal, tetapi petani ini tetap berusaha menemui H. WN agar membeli kayu manisnya. H. WN akan menawar kayu manis petani ini dengan harga
di bawah harga yang ditawarkan oleh pedagang tanpa modal sebelumnya. Karena semakin rendahnya harga, maka petani kayu manis akan kembali menawarkan kayu
manisnya kepada pedagang yang menawar sebelumnya, bahkan bisa dengan harga yang lebih rendah dari awalnya, dan kadang lebih rendah dari harga penawaran
pedagang tingkat kabupaten. Keadaan ini merupakan bentuk ekonomi moral
5
“Palantuak” artinya tukang tumpuk, adalah sebutan kurang baik yang diberikan kepada pedagang besar dan mereka dianggap petani sebagai pihak yang sangat suka mempermainkan harga.
184
pedagang besar kabupaten terhadap pedagang pengumpul yang yang merupakan perpanjangan tangannya di pasar nagari. Sehingga usaha petani memperpendek
saluran pemasaran kayu manis mengalami kegagalan. Bentuk perlakuan tidak atau enggan membeli kayu manis petani kembali,
apabila sudah ditawar pedagang tanpa modal dan tidak mau menjualnya ke pedagang tanpa modal, setelah petani mencoba menjualnya langsung kepada
pedagang besar tingkat kabupaten, adalah wujud dari kuatnya dominasi pedagang atas petani kayu manis. Dengan membeli cassaivera petani di bawah harga pasar
yang telah di tawarkannya sebelumnya. Bentuk hukuman punishment yang diberikan pedagang tanpa modal atau pedagang perantara ini terhadap petani kayu
manis merupakan upaya pedagang tanpa modal untuk tetap mempertahankan posisi dan peran mereka dalam transaksi kayu manis di setiap pasar nagari monopoli
status grup. Mencari keuntungan sebagai pemberi isyarat atau ”cingkariak” merupakan salah satu bentuk sumber mata pencaharian masyarakat nagari dalam
kaitannya dengan perdagangan kayu manis di pasar nagari. Tentu saja petani yang menjadi sasaran mereka adalah petani dengan waktu panen tak menentu.
Tabel 24 Karakteristik Pedagang Pengumpul di Wilayah Penelitian Tingkat pendidikan
Luas Lahan ha Sawah Ladangcass
No Pasar Nagari
Jumlah Pedagang
TTSD SMP SLTA 1
1 1
1 Volume
pembelian kg
1. Salimpaung 14
8 57
4 28.6
2 14.3
8 57
4 29
8 57
4 29
9.200 657
2. Tabek Patah
6 1
17 5
83 2
33 5
83 2
33 4
67 10.100
1.683 3. Rao-Rao
1 1
100 1
100 1
100 0 1.050
4. Sungai Tarab
4 3
75 1
25 2
50 2
50 1
25 3
75 12.300
3.075 5. Baso
23 16
70 3
13 4
17 18
75 5
22 22
96 1
4 13.952
606 Jumlah:
48 25 55
11 24
12 25
31 65
16 33
34 71
12 25
Sumber: Hasil Penelitian, 2006 data diolah Tabel 24 memperlihatkan bahwa ditinjau dari segi tingkat pendidikan
pedagang pengumpul kayu manis relatif rendah, hanya berpendidikan SD sebanyak 55 persen, dan dari jumlah itu pedagang dengan pendidikan rendah paling banyak
ditemui di Pasar nagari Baso 70 persen dan Pasar nagari Salimpaung 57 persen.
185
Pilihan pekerjaan menjadi pedagang kebanyakan dilakukan atas dasar warisan pekerjaan dari orang tua. Dorongan untuk memilih pekerjaan berdagang kayu manis
juga lebih didorong oleh kondisi pendidikan menengah yang tidak terselesaikan. Pada umumnya, pedagang kayu manis ini merupakan pedagang tanpa modal, dan
hanya memanfaatkan social relationship dengan pedagang besar tingkat kabupaten. Boleh dikatakan mereka ini merupakan ”perpanjangan tangan” pedagang besar
pedagang tingkat kabupaten. Hal ini dapat dilihat bahwa di pasar nagari Salimpaung dan Baso yang banyak memiliki pedagang tanpa modal, maka volume
perdagangan mereka untuk satu kali dibukanya pasar nagari itu lebih kurang setengah ton. Sedangkan pada pasar nagari Tabek Patah dan Sungai Tarab yang
volume pembelian di pasar nagari ini adalah lebih dari satu ton pada setiap di bukanya pasar nagari, artinya, para pedagangnya memiliki kemampuan modal yang
cukup besar. Selanjutnya, apabila di lihat dari profil luas lahan rumahtangga pedagang
kayu manis, maka para pedagang kayu manis ini mayoritas adalah penduduk nagari yang kepemilikan lahan pertaniannya relatif kecil berkisar antara 0,25 sd 1 ha lahan
sawah dan 0,25 sd 1,5 ha lahan kayu manis. Pada nagari Salimpaung hanya sebanyak 4 orang pedagang 29 persen yang memiliki lahan sawah mencapai 1 ha,
hal itupun dengan rata-rata jumlah anggota keluarga berkisar antara 5 - 9 orang. Mayoritas pedagang kayu manis di wilayah penelitian adalah petani berlahan sempit
dengan rata-rata kepemilihan luas lahan sawah berkisar antara 0,25 sd 0,50 ha dan lahan kayu manis adalah berkisar antara 0,25 ha sd 1,5 ha. Pada nagari Tabek
Patah dan Sungai Tarab, mayoritas pedagang kayu manis memiliki luas lahan sawah dan ladang kayu manis di atas 1 ha.
Bila dilihat dari besarnya jumlah volume pembelian pedagang kayu manis, maka pasar nagari Baso, Sungai Tarab, dan Tabek Patah merupakan pasar nagari
yang paling banyak memperdagangkan kayu manis yang mencapai lebih kurang masing-masing adalah 14 ton, 12 ton dan 10 ton untuk satu kali dibukanya pasar
nagari. Sebenarnya, jika diperhatikan bahwa pasar nagari Salimpaung sebagai pasar di tingkat nagari, dimana pasar nagari ini merupakan pasar tipe A dalam
tipologi pemerintahan yakni pasar antar desa nagari, bukan seperti pasar nagari Sungai Tarab, Tabek patah dan bahkan Pasar Baso yang tergolong kepada pasar
tipe C. Sehingga besarnya volume perdagangan kayu manis di pasar nagari yang
186
bertipe A ini, dibandingkan dengan pasar nagari Tabek Patah, Sungai Tarab, bahkan pasar nagari Baso, maka pasar nagari Salimpaung dengan tipe pasar nagari yang
hanya selingkup nagari di sekelilingnya, dengan kapasitas volume pembelian kayu manis yang hampir mencapai setengah ton pada setiap di bukanya pasar nagari,
merupakan potensi yang sangat besar untuk perdagangan kayu manis di daerah kabupatan Tanah Datar.
Selanjutnya, karakteristik pedagang pengumpul kayu manis di pasar nagari dapat pula ditinjau dari segi pola pemukiman, sumber modal, luas lahan, dan makna
berdagang bagi mereka, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 25 di bawah ini. Tabel 25 Tipologi Pedagang Pengumpul Kayu manis di Pasar Nagari
Luas Lahan No Kategori
Pedagang Pola
Pemukiman Sumber Modal
Sawah ha
Ladang ha
Makna Berdagang
1. Pedagang Modal
Kuat Pusat
nagari, elite orang asa
sendiri ≥ 1
0,5 Prestiseakumulasi
modal budaya dan finansial
Pedagang besar 0,5- 1 0,5- 1
2. Pedagang tanpa
Modalpemberi isyaratcingkariak
Pinggiran nagari, suku
pendatang Inang-inang 0-0,5 0-0,5
Diversifikasi mata pencaharian
katup pengaman 3. Pedagang
besar palantuak
Supra nagari
Sendiripinjaman dari bank, dan
pemerintah - - Akumulasi
modal profit oriented
Sumber: Hasil Penelitian, 2006-2007 data diolah Berdasarkan pada tabel 25 di atas, terlihat bahwa pedagang dengan modal
kuat pada umumnya bermukim di pusat nagari dan mereka menjadikan pekerjaan berdagang kayu manis sebagai prestise dan memupuk modal budaya masyarakat
mereka. Berbeda dengan pedagang tanpa modal yang lebih dikenal dengan pemberi isyarat atau cingkariak, mereka umumnya bermukim di pinggiran nagari, sumber
modal sebagian besar merupakan modal sendiri dan dari pinjaman Inang-inang, tetapi makna berdagang bagi mereka adalah untuk melakukan diversifikasi usaha
dalam kerangka katup pengaman ekonomi rumahtangga mereka. Besarnya kapasitas perdagangan kayu manis ini di pasar nagari Salimpaung
di sebabkan oleh beberapa hal; pertama kayu manis merupakan komoditi andalan bagi ekonomi rumahtangga petani berlahan sawah sempit dan pedagang tanpa
modal di nagari Salimpaung. Kedua, potensi luas lahan kayu manis yang lebih besar
187
di bandingkan dengan potensi yang dimiliki oleh nagari lain. Ketiga berkaitan dengan tradisi adat perkawinan masyarakat setempat, telah menempatkan tanaman kayu
manis sebagai tanaman adat dan simbol bagi kekuatan ekonomi masyarkat nagari Salimpaung.
Kedudukan dan status sosial sebuah keluarga di nagari Salimpaung sebagian dilihat dari seberapa besar luas lahan kayu manis yang dimiliki oleh
keluarga tersebut. Semakin besar luas lahan kayu manis yang dimiliki, sebuah keluarga semakin dipandang tinggi keluarga tersebut di tengah masyarakat,
walaupun menurut stratifikasi sosial yang didasarkan atas jabatan adat dan orang asa nagari
6
, keluarga itu berasal bukan dari orang asa nagari. Artinya, luas kepemilikan lahan kayu manis merupakan salah satu cara untuk melakukan
mobilitas antar kelas di tengah masyarakat. Jika dilihat lebih dalam, sebenarnya pengusahaan dan penguasaan luas
lahan kayu manis di sebuah nagari pada mulanya dibuka oleh orang yang bukan asal nagari atau ”orang dangau”
7
, tetapi setelah berkembangnya jumlah penduduk, maka orang dangau ini kemudian lebih banyak menguasai luas lahan kayu manis
tetapi lebih sedikit menguasai luas lahan sawah. Dalam perkembangan selanjutnya, karena terbatasnya luas lahan sawah yang dimiliki pada umumnya merekalah yang
menjadi pedagang kayu manis di pasar nagari. Namun karena perdagangan kayu manis ini banyak memberikan keuntungan bagi pedagang kayu manis, maka
sebagian besar orang asa nagari ikut pula menjadi pedagang kayu manis dengan modal yang lebih besar.
Jadi pedagang kayu manis yang tanpa modal pada umumnya adalah mereka yang berasal dari orang dangau dahulunya dengan luas lahan sawah yang sempit.
Sedangkan pedagang yang bermodal besar adalah orang asa nagari dengan luas lahan sawah dan ladang kayu manis yang relatif luas, tetapi ikut terjun menjadi
pedagang semata-mata lebih melihat pada besarnya keuntungan yang diperoleh. Pedagang bermodal besar ini bersifat lebih rasional dan berorientasi mencari
keuntungan profit motive. Sangat berbeda dengan pedagang kayu manis yang
6
Orang asa nagari merupakan sebutan bagi penduduk pusat nagari yang dianggap sebagai orang yang ”manaruko” ancestor dan dianggap tinggi stratifikasi sosialnya di mata adat.
7
Orang dangau adalah istilah bagi penduduk pendatang di sebuah nagari dan kemudian membuka lahan hutan yang jauh dari pusat nagari untuk bermukim dan berladang wawancara dengan pemuka
adat, H. Bachtiar, 5 dan 12 Mei 206.
188
berasal dari orang dangau yang lebih mengutamakan dan tetap menjaga trust dengan petani kayu manis yang menjadi pelanggannya.
Sikap pedagang kayu manis tanpa modal yang lebih mengutamakan terciptanya saling percaya trust building antara pedagang dan petani kayu manis
di pasar nagari adalah karena secara historis, posisi dan kedudukan mereka merupakan orang dangau dan ditambah lagi dengan kenyataan bahwa, bagi mereka
berdagang kayu manis di pasar nagari merupakan salah satu cara untuk menambah pendapatan di luar sektor pertanian. Dengan berdagang kayu manis mereka
memperoleh pendapatan tambahan yang cukup besar untuk setiap kali dibukanya pasar nagari. Dua alasan itulah kenapa pedagang kayu manis pada kelompok
pedagang tanpa modal pemberi isyarat lebih memperhatikan dan memelihara relasi sosial dengan mitra dagangnya baik dengan petani sendiri apalagi dengan
sesama pedagang.
6.3. Relasi Sosial dan Jaringan Kerja Antar Pedagang Lokal dan Supra Lokal serta Kemunculan Pedagang Kayu manis Sebagai Kelompok Elite
Ekonomi
Pada saat ini pedagang kayu manis merupakan kelompok elite ekonomi di tengah masyarakat nagari. Keuntungan yang mereka peroleh dari perdagangan
kayu manis disamping telah digunakan untuk membangun simbol-simbol status sosial seperti membangun rumah yang lebih megah, mengangkat penghulu baru
bahkan menjadi penghulu, juga telah diakumulasikan guna menjalin jaringan kerja yang lebih luas dengan para pedagang besar di tingkat supra nagari.
Kenyataan saat sekarang kebanyakan pedagang di pasar nagari merupakan kelompok pedagang tanpa modal, hal itu disebabkan oleh sistem tata niaga kayu
manis yang dikuasai oleh pedagang dari etnis China. Para pedagang kayu manis di pasar nagari yang ditemui di daerah penelitian, sebagian besar sudah pernah
menjadi pedagang besar dan pedagang pengumpul bagi eksportir, tetapi karena politik perdagangan
8
eksportir yang cenderung menunda pembayaran setelah kayu
8
Politik perdagangan dagang, dimaksudkan sebagai aktivitas-aktivitas yang dilakukan individu sebagai aktor ekonomi yang merupakan respon terhadap peristiwa yang mengitarinya, sekaligus
sebagai salah satu cara untuk dapat keluar sebagai pemenang c.f. Sarmini dalam Putra, 2003; 263- 269.
189
manis berikutnya dikirim dikirim 2 kali di bayar 1 kali, maka hanyalah pedagang yang bermodal kuat dan berlapis yang mampu menjadi kaki tangan eksportir.
Menurut pengalaman seorang pedagang kayu manis Salimpaung yang bernama Jamaris 52 tahun saat sekarang menjadi pedagang tanpa modal, yang
pernah menjadi pedagang besar dan menjual ke eksportir di Padang: ”....Aden pernah ditipu dek Cino di Padang nan punyo PT. NTO, katiko kulik den
bawo dengan mobil truk colt diesel ka Padang lebih kurang 2 ton untuk kualitas AA, samulo harago alah disapakati sebesar Rp 7.500kg. Satibo di gudang PT. NTO,
kabek kulik dibukaknyo dan dilihatnya banyak kulik patah-patah, langsung harago dijatuahkan menjadi Rp 6.000kg. Den ndak amuah, dan minta kasapatan samulo.
Kamudian wak den jua pulo ke toke lain PT. RS. Ruponyo nyo ago labiah randah pulo lai dari nandiago dek PT NTO, karano inyolah telpon PT RS maso kulik den lah
diagonyo. Daripado den baok pulang kulik tu, tapaso den lapeh juo ka PT. NTO tu. Sajak itu den ndak talok mengaleh ka Padang lai, ancak den mangumpuan kulik di
pasar sajo untuak di jua ka H. WN atau ka UD Misril lebih banyak untuangnyo tembak diateh kudo sajo...” wawancara dengan Jamaris pedagang kayu manis di
pasar nagari Salimpaung, 2006. Saya pernah ditipu oleh pedagang Cina di Padang yang punya PT NTO, ketika kulit
manis saya bawa dengan truk ke Padang lebih kurang 2 ton dengan kualitas AA. Semula harga sudah disepakati sebesar Rp 7.500kg. Setiba di gudang PT NTO
ikatan kulit manis mereka buka dan dikatakan banyak kulit manis yang patah, harga langsung diturunkan menjadi Rp 6.000kg. Saya tidak mau dan minta harga seperti
kesepakatan semula. Kemudian saya bawa ke toke lain yaitu PT. RS. Rupanya harga lebih rendah lagi dari harga yang ditawar PT. NTO, karena mereka telah
menelpon PT. NTO bahwa kulit manis sudah ditawar Rp 6.000kg. Daripada saya bawa pulang kembali kulit manisnya terpaksa dilepas juga ke PT. NTO. Sejak itu
saya tidak mau lagi berdagang ke Padang, lebih baik saya mengumpulkan kulit manis di pasar nagari saja untuk dijual ke H. WN atau ke UD.ML Lebih banyak
untungnya sebagai free rider saja....”
Petikan hasil wawancara dengan Jamaris di atas memperlihatkan ia telah menjadi korban sistem tata niaga kayu manis yang didominasi oleh ekportir dengan
melakukan perilaku curang mencari cacat barang dalam melakukan transaksi perdagangan. Dahulu Jamaris merupakan pedagang besar di Nagari Salimpaung,
dia pernah membeli kayu manis di atas satu ton untuk satu kali pasar dan diangkut dengan 2 buah truknya ke rumahnya, setelah dilakukan prosesing kemudian dijual
ke H. WN dan Guru Eti di Batu Sangkar sebagai pedagang tingkat Kabupaten. Namun sesudah beberapa kali mencoba memutus mata rantai atau saluran
pemasaran kayu manis untuk langsung menjual kayu manis ke tingkat eksportir, maka Jamaris mengalami kegagalan dan kerugian karena ulah politik perdagangan
eksportir yang menekan harga sangat rendah.
190
Upaya perdagangan yang dilakukan eksportir Cina untuk menekan pedagang tingkat pasar nagari untuk memutuskan mata rantai pemasaran kayu manis
merupakan politik perdagangan mereka untuk tetap mendominasi perdagangan kayu manis di Provinsi Sumatera Barat. Hanya dengan menciptakan jaringan kerja
dengan satu pedagang kabupaten saja, memungkinkan eksportir dapat mengendalikan harga kayu manis di tingkat pedagang pasar nagari. Semakin ke
bawah jumlah pedagang kayu manis semakin banyak, sebaliknya semakin ke atas pedagang kayu manis semakin sedikit dan semakin terjadi monopsoni tersembunyi
oleh eksportir, sebagaimana dapat dilihat dalam gambar berikut:
Gambar: 11 Perbandingan Jumlah Pedagang pengumpul di Pasar Nagari dan Pedagang Pengumpul di Tingkat Kabupaten dan Eksportir
Hubungan pedagang pengumpul di pasar nagari dengan pedagang tingkat
kabupaten lebih berbentuk pada hubungan Patron-klien. Pedagang pengumpul tingkat nagari dan kecamatan merupakan pedagang yang menjadi perpanjangan
tangan pedagang tingkat kabupaten. Pedagang tingkat kabupaten supra lokal bertindak sebagai bapak buah Patron dan pedagang pengumpul di pasar nagari
bertindak sebagai anak buah klien, yang sebagian memperoleh pinjaman modal untuk membeli kayu manis kepada petani, kemudian kayu manis yang dibeli oleh
pedagang pengumpul tingkat nagari akan dijual kembali ke pada Patronnya dengan harga yang telah disepakati sebelumnya.
191
Seorang Patron memiliki 5 sampai 7 orang agen di pasar-pasar nagari, mereka inilah yang dikategorikan dalam penelitian ini dengan pedagang modal kecil
dan pedagang tanpa modal pemberi isyarat. Para pedagang yang membentuk hubungan Patron- klien inilah yang membentuk jaringan network berkelompok.
Artinya ada kelompok-kelompok clique members pedagang kayu manis untuk menghadapi pembelian kayu manis petani di pasar nagari. Kelompok-kelompok
pedagang inilah yang melakukan transaksi di pasar dengan menekan harga serendah mungkin, agar memperoleh keuntungan besar, dengan cara membuat
penawaran berkelompok. Dalam wilayah penelitian, pedagang tingkat kabupaten yang bertindak
sebagai Patron diantaranya H. WN 56 Tahun, GuruEti 52 tahun, CN 54 tahun, WR 38 Tahun, H. KTR 68 Tahun masing-masing mereka memiliki perpanjangan
tangan klien sebagai pedagang pengumpul kayu manis di setiap pasar nagari. Para pedagang pengumpul pasar nagari inilah yang sebagian diberi modal untuk
membeli kayu manis di pasar-pasar nagari kepada petani. Meskipun demikian, seorang pedagang pengumpul pasar nagari terkadang bukan hanya menjadi
anggota dari satu clique members saja, tetapi lebih dari satu, sangat tergantung kepada bagaimana Patronnya menjaga hubungan dengan kliennya dan sebaliknya.
Kelanggengan bentuk hubungan Patron-klien diantara pedagang kayu manis ini sangat tergantung kepada pemupukan saling percaya trust diantara mereka.
Kesetiaan seorang klien sangat tergantung kepada pertama: seberapa besar modal untuk membeli kayu manis di pasar nagari pada setiap kali dibukanya pasar nagari
dapat diberikan oleh Patronnya, semakin besar pinjaman modal dapat diberikan, maka semakin terikat seorang klien kepada Patronnya dan semakin kokoh jalinan
perdagangan mereka. Kedua: seberapa besar selisih margin yang diberikan oleh Patron terhadap kliennya, semakin besar marginnya semakin besar keuntungan
yang akan diperoleh klien dalam pembelian kayu manis kepada petani, sebab para klien ini harus juga memelihara hubungan baik klientisasi dalam bentuk relasi
sosial dengan petani kayu manis, agar petani kayu manis terikat dan mau menjual kayu manisnya kepada klien ini, dengan cara membeli kayu manis dengan harga
yang wajar menurut petani. Bahkan dalam hubungan ini juga terjadi permainan aspek ruang antara pedagang dengan petani kayu manis. Ketiga: seberapa besar
perhatian Patron yang diberikan kepada kliennya dalam menjaga hubungan sosial
192
social relationship mereka dengan memberikan hadiah-hadiah pada saat hari-hari besar keagamaan, seperti pembagian infak, zakat, daging korban, kado pesta
pernikahan anak klien, bantuan pembangunan mesjid dan mushalla di kampung klien, dan kunjungan-kunjungan pada saat-saat waktu tertentu untuk memberikan
penguatan kepada kedudukan sosial para klien klientisasi. Tabel 26 Jaringan Patron-klien Pedagang Kayu manis di Pasar Nagari
Jumlah Klien di Pasar Nagari No Pedagang
Tingkat Kabupaten sebagai
Patron Baso
23 Tabek
Patah 6
Salimpaung 14
Rao- Rao
1 Sungai
Tarab 4
Jumlah
1. H. WN
Simpuruik 15
4 9
1 2
31 2. WR
Salimpaung 8
8 3.
H. GuruHj. Eti Sungayang
4. CN Payakumbuh
2 4
4 10
5 H. KTR Jati
6. MS Lintau
7. UD.Misril Pasie Laweh
2 1
3 Sumber: Hasil Penelitian, 2006 data diolah
Berdasar tabel 26 terlihat bahwa Patron yang paling besar jaringannya adalah H. WN 56 Tahun dari Simpuruik Batu Sangkar, WR 38 Tahun dari Nagari
Salimpaung, dan CN 48 tahun dari Payakumbuh. Jaringan kerja yang dibangun oleh H. WN hampir mencakup semua pasar nagari, sedangkan CN Payakumbuh
jaringan kerjanya hanya pada tiga pasar nagari yakni Baso, Tabek Patah, dan Salimpaung, untuk pasar nagari Rao-Rao dan Sungai Tarab dikuasai oleh H. WN
dan UD. ML, WR 38 tahun hanya memiliki jaringan kerja di pasar Baso, di pasar nagari lainnya, WR relatif kurang dipercayai karena dianggap sering mengecewakan
kliennya, sehingga WR lebih banyak memperoleh kayu manis dari luar kabupaten Tanah Datar seperti di Baso, dan Matur kabupaten Agam.
Ada tiga orang Patron yang tidak mengaktifkan para kliennya pada saat penelitian dilakukan yakni H. GuruEti 52 tahun dari Sungayang, H. KTR 68
Tahun dari Jati Batu Sangkar, dan MS 54 tahun dari Lintau, menurut para klien di pasar nagari yang pernah menjadi anggota kelompok mereka, Patron mereka tidak
aktif karena sedang memiliki stok yang berlimpah di gudang mereka, dan untuk sementara menghentikan pembelian melalui para kliennya. Sehingga para klien ini
193
beralih menjadi anggota Patron lainnya. Jadi, ada beberapa klien yang menjadi anggota dari dua atau lebih Patronnya. Artinya ikatan diantara Patron dan klien agak
longgar dan sangat tergantung pada seberapa besar Patron mampu secara kontinu membeli kayu manis pada kliennya.
Menurut pengakuan bekas klien H. GuruEti di Pasar nagari Tabek Patah Dt. Rajo Sampono 73 Tahun, ia hanya sementara menjadi klien H. WN, menjelang H.
GuruEti aktif kembali menerima kiriman membutuhkan kayu manis yang dikumpulkannya di Tabek Patah, sebab menurutnya H. GuruEti lebih banyak
memberikan kemudahan baginya dalam meminjam modal dan memberikan harga yang lebih baik ketimbang H. WN, seperti dikatakan Dt. Rajo Sampono ” saya sulit
lepas dari H. GuruEti karena merekalah yang membantu usaha saya sejak awal sehingga menjadi kokoh saat sekarang”. Jadi keterikatan secara emosional
reciprositas mutualism dengan Patronnya masih menjadi pertimbangan dalam membangun jaringan kerja, sekali pedagang pengumpul pasar nagari ini dikhianati,
mereka tidak percaya kepada Patronnya, seperti yang dialami oleh WR di nagari Salimpaung.
Dengan adanya relasi sosial interpersonal terutama dalam bentuk klientisasi antara pedagang pengumpul pasar nagari dengan pedagang besar supra lokal di
tingkat kabupaten yang membentuk hubungan Patron-klien reciprocal mutualism telah menyebabkan para pedagang pasar nagari memiliki kemapanan ekonomi yang
lebih di tengah masyarakat nagari. Para pedagang pengumpul di pasar nagari ini telah menjadi kaum elite ekonomi nagari dengan membangun simbol-simbol,
kedudukan dan posisi sosial mereka di tengah masyarakat nagari seperti titel Haji, Datuak atau Penghulu, membangun rumah toko permanen, donatur tetap di mesjid
dan mushalla bahkan menjadi donatur untuk kegiatan pemuda seperti olahraga, dan kesenian. Kedudukan mereka sebagai orang kaya di nagari, telah menyebabkan
mereka memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dengan kepentingan masyarakat nagari. Fenomena ini sesuai dengan yang
diindikasikan oleh Evers 1994, bahwa pedagang dalam menghadapi petani di desanya menghadapi dillema tidak hanya berorientasi mengakumulasi modal tetapi
juga harus menjaga citranya di tengah masyarakat dalam bentuk melakukan akumulasi modal budaya. Di samping itu pedagang juga harus berbagi keuntungan
dengan masyarakat sekitarnya dalam bentuk memberi sumbangan atau menjadi
194
donatur dalam berbagai kegiatan kampung hubungan klientisasi. Namun dalam bertransaksi dengan petani, ekonomi moral pedagang terlihat ”sangat tipis”,
sementara ekonomi moral petani lebih kental terlihat. Bila dilihat dari lokasi tempat tinggal, mereka para pedagang pengumpul di
pasar nagari yang semula adalah orang-orang dangau yang bermukim jauh dari pusat nagari, maka dengan pendapatan yang besar dari perdagangan kayu manis,
para elite ekonomi baru ini membeli tanah untuk membangun rumahnya di pusat nagari dan dekat dengan pasar nagari. Bahkan mereka banyak menguasai lahan-
lahan sawah dan ladang dengan sistem pagang gadai. Pada umumnya pedagang kayu manis di pasar nagari ini membangun rumah dan gudang kayu manisnya lebih
dekat ke pinggiran jalan raya, agar aksessibilitas ke patronnya dapat berjalan dengan baik.
Tabel 27 Kedudukan dan Posisi Sosial Pedagang Pengumpul Pasar Nagari di Tengah Masyarakat Nagari
Jumlah Pedagang Memiliki Kedudukan dan Posisi Sosial
No Pasar Nagari
Datuak pemangku
adat Haji Mantan
Walinagari Kepala Desa
Jumlah
1 Salimpaung 3
4 7
2. Tabek Patah
3 2
1 6
3. Baso 1
3 4
4. Rao-Rao 1
1 5. Sungai
Tarab 1
1 2
Jumlah 8
11 1
20 Sumber: Hasil Penelitian, 2006 data diolah
Berdasarkan tabel 27 di atas dapat dikemukakan bahwa pedagang pengumpul pasar nagari yang telah menjadi kaum elite ekonomi nagari, kemudian
mendapat promosi untuk menduduki jabatan dan posisi penting di tengah masyarakat nagari. Ada 8 orang 17 persen pedagang pengumpul pasar nagari
memangku gelar Datuak dan pemangku adat, paling banyak di pasar nagari Salimpaung dan Tabek Patah. Selanjutnya, memperoleh gelar haji sebanyak 11
orang 23 persen yang paling banyak di pasar nagari Salimpaung, Baso dan Tabek Patah. Kemudian ada satu pedagang pengumpul di pasar nagari yang pernah
menjabat sebagai mantan wali nagari Tabek Patah. Apabila dilihat per nagari, jumlah pedagang yang memiliki kedudukan dan
posisi sosial politik di tengah masyarakat nagari sangat dominan, adalah di nagari
195
Salimpaung, ada 7 orang 58 persen pedagang pengumpul kayu manis di pasar nagari memiliki kedudukan dan posisi sebagai Datuak, dan Haji. Di nagari Tabek
Patah terdapat 6 orang 100 persen pedagang pengumpul pasar nagari memiliki simbol-simbol sosial ekonomi yang menguntungkan praktek bisnis mereka, karena
mendapat kepercayaan dan kekuatan sosial dalam menghadapi petani kayu manis dalam transaksi kayu manis di pasar nagari. Di nagari Sungai Tarab ada 2 orang 50
persen pedagang pengumpul yang memiliki gelar Haji, yang diyakini sumber kepercayaan masyarakat untuk menarik pelanggan petani kayu manis untuk mau
menjual kayu manis kepada pedagang yang bertitel haji ini. Titel haji bagi pedagang memperlihatkan simbol-simbol sifat jujur, taat beribadah dan tidak akan mau
melakukan penipuan terhadap mitra bisnisnya. Titel haji juga akan memberikan kedudukan sosial ekonomi mereka di tengah masyarakat tergolong kepada orang
yang ekonominya mampu atau memiliki kekayaan yang berlebih dari masyarakat biasa. Sehingga, salah satu tanda sukses anggota masyarakat nagari adalah
apabila sudah beribadah haji ke Mekah, apalagi bila pergi haji lebih dari sekali. Jabatan Datuak dan pemangku adat serta titel haji merupakan simbol-simbol
yang besar maknanya bagi pedagang pengumpul di pasar nagari untuk kontinuitas bisnis kayu manis mereka di tengah masyarakat nagari. Jabatan Datuak memiliki
konsekwensi bahwa pedagang pengumpul memiliki keuntungan sosial ekonomi dalam bisnis, karena dengan sendirinya petani kayu manis yang menjadi anggota
kaum atau sukunya akan menjual kayu manis mereka kepada pedagang pengumpul ini. Walaupun petani kayu manis yang menjadi anggota kaumnya atau sukunya akan
memiliki daya tawar menawar bargaining yang lemah, tetapi ini adalah kewajiban sosial ekonomi moral yang harus dijalani oleh petani kayu manis. Sering dalam
transaksi antara pedagang pengumpul pasar nagari dengan petani kayu manis yang memiliki hubungan kekerabatan ini melakukan pembelian, langsung di kebun-kebun
petani kayu manis. Realitas ini memperlihatkan dalam transaksi antara pedagang dan petani kayu manis telah terjadi “permainan aspek ruang dan waktu” yang
dilakukan oleh pedagang. Artinya, kayu manis terkadang di jual masih dalam keadaan yang belum
dipanen dan kadang pula dalam keadaan masih basah baru siap di panen, tetapi belum di jemur. Hal ini dilakukan oleh petani kayu manis karena terpaksa
menjualnya karena desakan ekonomi dan kewajiban sosial terhadap pemimpin
196
mereka. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang petani kayu manis di nagari Tabek Patah:
…Awak manjua kulik awak ka mamak awak Datuak Sinaro Rajo 53 tahun, karano inyo mangaleh kulik. Kalau awak jua ka urang lain, nampak dek inyo, sagan awak,
nanti awak susah apabilo ado kaperluan jo inyo. Biasonya kalau awak mangulik awak antakan sajo ka rumahnyo nan masih basah tu, mamak wak tu nan
manjamuanyo, kadang-kadang inyo mambali batagak sajo bagainyoh. Haragonyo awak sarahan sajo ka mamak wak tu, rugi saketek kan untuk anak pisang wak juo
tunyo… wawancara dengan Nurleili 42 tahun di Tabek Patah, 2006. “….Saya menjual kulit manis ke paman saya Datuk Sinaro Rajo 53 tahun, karena
dia berjualan kulit manis. Kalau saya jual kepada orang lain, kelihatan oleh paman saya, saya segan, nanti saya susah apabila ada keperluan dengannya. Biasanya
jika saya panen kulit manis saya antarkan saja ke rumahnya dalam bentuk kulit yang masih basah. Paman yang akan menjemurnya, kadang-kadang paman membelinya
dalam bentuk batangan. Soal harga saya serahkan saja ke paman, rugi sedikit kan untuk ponakan saya juga…..
Ungkapan petani kayu manis di pasar nagari Tabek Patah di atas mengambarkan bentuk ekonomi moral petani kayu manis dalam perdagangan kayu
manis, sekaligus mengambarkan bentuk perdagangan yang melekat embedded dalam sistem kekerabatan di tengah masyarakat nagari. Petani kayu manis tidak
pernah mengetahui dan mendapatkan harga yang sebenarnya dari komoditi kayu manis mereka, karena informasi harga diperoleh dari pedagang pengumpul pasar
nagari yang menjadi pimpinan tradisional mereka. Kepercayaan itu akan berakhir tatkala petani kayu manis mencoba menjualnya ke pedagang lain tanpa
sepengetahuan pedagang yang menjadi karib kerabatnya. Bentuk transaksi yang mirip dengan sistem ijon ini, kemudian di larang oleh
keputusan Kerapatan Adat Nagari KAN di daerah penelitian terutama di nagari Salimpaung dan Tabek patah, karena dianggap sangat merugikan petani kayu
manis, dan juga telah mendorong maraknya pencurian kayu manis di ladang-ladang penduduk. Penduduk di nagari Salimpaung, dan Tabek Patah, di larang menjual
kayu manisnya dalam keadaan basah, apalagi dalam keadaan masih dalam batang kayu manis. Bentuk transaksi jual beli dalam bentuk batangan yang masih basah
telah membuka kesempatan bagi pencuri untuk memanen kayu manis bukan miliknya dan dengan gampang dapat dijual ke pedagang pengumpul nagari dalam
keadaan masih belum di proses dijemur dan dibersihkan. Kejadian ini marak terjadi tahun 1980-an di daerah penelitian, terutama pada saat harga kayu manis sedang
tinggi.
197
Memanen kayu manis merupakan suatu kebanggaan bagi masyarakat nagari, biasanya di butuhkan tenaga kerja yang banyak untuk melakukan
pemanenan dan pengolahan kayu manis menguliti, membersihkan, dan menjemur. Pada setiap tahap-tahap pekerjaan pemanenan biasanya di upahkan kepada petani
lain yang tidak memiliki lahan, mereka disebut “urang sarayo” atau “urang kongsi” yang mendapat upah harian atau borongan. Semakin banyak “urang sarayo” dan
tenaga kongsi digunakan, maka prestise keluarga pemilik lahan kayu manis semakin tinggi di tengah masyarakat, karena semakin banyak memberikan perkerjaan
kepada orang nagari, kedudukan dan martabatnya semakin baik di tengah masyarakat nagari.
Bisnis kayu manis di pasar nagari dan di tengah masyarakat nagari telah membuka lapangan perkerjaan bagi sebagian penduduk nagari mulai dari saat
memelihara lahan kayu manis seperti membutuhkan tenaga upahan untuk “menyiang” untuk membersihkan lahan kayu manis dari tumbuhan pengganggu dan
melakukan penyisipan ketika pohon kayu manis ada yang mengalami pertumbuhan tidak sempurna, sampai kepada munculnya tukang pungut kayu manis yang tercecer
di pasar nagari yang kemudian di jual pada pedagang dengan imbalan berkisar Rp.10 ribu sd Rp. 15 ribu, mereka disebut “kalene” yang mendapat keuntungan
dengan memilih sisa-sisa kayu manis yang jatuh, patah-patah akibat penimbangan, mengangkat ke truk.
Budidaya dan bisnis kayu manis telah mendatangkan keuntungan besar bagi pedagang kayu manis, sehingga secara sosial ekonomi kedudukan dan peran
mereka di tengah masyarakat menjadi semakin menonjol dengan memperoleh simbol-simbol sebagai kaum elite ekonomi nagari yang dihormati oleh masyarakat
nagari. Penguasaan dan pengusahaan bisnis kayu manis telah membantu terbentuknya kapitalisme kecil petty capitalism di tengah masyarakat nagari, dan
kemudian mendorong terjadinya mobilitas sosial di tengah masyarakat nagari. Kekuatan ekonomi supra lokal telah mendorong masyarakat nagari di Minangkabau
lebih mementingkan simbol-simbol materi daripada simbol-simbol sosial budaya dan keagamaan. Status atau kedudukan seseorang tidak lagi hanya dilihat dari
penguasaan pengetahuan adat dan agama, tetapi saat ini lebih ditentukan oleh kekuatan ekonomi yang dimilikinya.
198
Secara tradisional, kekuatan ekonomi yang menentukan status dan kedudukan seseorang di tengah masyarakat nagari tergantung kepada penguasaan
dan pengusahaan lahan sawah dan ladang secara turun temurun harta pusaka. Namun semenjak komersialisme melanda masyarakat nagari karena keterlibatannya
dengan perdagangan komoditi ekspor seperti kayu manis, maka status dan kedudukan seseorang di tengah masyarakat nagari tergantung kepada besarnya
skala usaha perdagangan yang dilakukannya dengan membangun jaringan sosial inter personal kerjasama bisnis dengan pelaku ekonomi dari wilayah supra nagari.
Pekerjaan menjadi pedagang pengumpul wholesaler dan pedagang keliling peddler antar nagari mangaleh babelok lebih menjanjikan keuntungan finansial
yang sangat besar, sehingga yang bersangkutan mampu membangun kembali simsol-simbol status dan kedudukan mereka secara sosial budaya di tengah
masyarakat. Aliran benefit yang besar, telah membuat mereka menjadi orang kaya baru dan mampu kembali membangun simbol-simbol kaum elite nagari walaupun
asalnya dahulu adalah orang dangau. Menjadi pedagang telah memberikan kedudukan terhormat seorang
penghulu di tengah kaumnya, karena dapat terhindar dari konflik pengusahaan dan penguasaan lahan pertanian yang diwarisi sebagai harta pusaka, dan yang tidak
kalah penting adalah bahwa menjadi pedagang merupakan cara lain untuk tetap menguasai ekonomi kaumnya. Oleh sebab itu, hubungan antara petani kayu manis
dengan pedagang pengumpul kayu manis sebenarnya berakar dari hubungan antara pemimpin dengan kaum yang di pimpinnya.
6.4. Perilaku Pertukaran dan Tindakan Ekonomi Petani dan Pedagang Dalam Proses Transaksi Kayu Manis.