Peminggiran Petani dalam Sistem Perdagangan Kayu manis di Pasar Nagari

Lingkaran dalam pada sistem dan mata rantai pemasaran kayu manis selalu bergerak secara dinamis dalam pergerakan waktu. Sejak kolonial Belanda di kabupaten Tanah Datar mendirikan gudang-gudang kayu manis di nagari Rao-Rao sebelah Timur nagari Salimpaung. Gudang-gudang ini merupakan tempat penampungan kayu manis rakyat yang dibeli oleh pemerintah kolonial Belanda di pasar-pasar nagari di sekitar kecamatan Sungai Tarab dan Salimpaung. Setelah kemerdekaan, pembelian kayu manis di pasar nagari dilakukan oleh pedagang pengumpul pasar nagari yang sampai saat penelitian dilakukan masih dominan menjadi pelaku ekonomi utama dalam pembelian kayu manis rakyat. Para pedagang pengumpul pasar nagari ini kemudian menjual kayu manis yang dibelinya ke pedagang besar kabupaten, baik melalui sistem pengiriman delivery order maupun melalui sistem penjemputan oleh pedagang besar kabupaten. Pedagang besar kabupaten menjual kayu manis yang sudah diprosesingnya ke eksportir baik di Padang, Medan, dan Pekan Baru. Barulah para eksportir mengekspornya ke nagara-negara tujuan seperti USA, Jerman, Singapura, dan Belanda. Namun sejak tahun 2003, dengan berdirinya CV SAS di nagari Salimpaung, maka mata rantai perdagangan dari pasar nagari langsung ke eksportir ke Batam dan Padang. Sehingga dengan semakin pendeknya mata rantai perdagangan kayu manis ini, telah memungkinkan volume perdagangan di sentra-sentra produksi di kabupaten Tanah Datar bertambah besar, tetapi harga yang diterima petani tetap relatif rendah dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh pedagang besar kabupaten.

7.4. Peminggiran Petani dalam Sistem Perdagangan Kayu manis di Pasar Nagari

Perkebunan kayu manis oleh masyarakat nagari di Minangkabau merupakan salah satu sumber pendapatan keluarga yang dapat diusahakan setiap minggunya. Hal ini dimungkinkan karena dominannya kayu manis di kebun-kebun penduduk, maka dengan sistem anakan dari tunas, ditambah dengan diversifikasi lahan untuk tanaman kayu manis ini, telah menyebabkan pohon kayu manis ini dapat di panen setiap minggu-- pada musim pertanian padi sawah baru mulai tumbuh-- sesuai dengan pertumbuhan anakan yang berbeda waktunya. Namun dengan harga kayu manis yang rendah di tingkat petani, maka perkebunan kayu manis ini lebih 245 ditunjukkan untuk menyambung hidup pada musim tanam ketika pertanian padi sawah belum berproduksi. Pada nagari-nagari di pedalaman Minangkabau yang dapat melaksanakan pertanian perkebunan dengan tanaman tua dan pertanian padi sawah, maka telah memungkinkan untuk melaksanakan panen kayu manis setiap minggunya pada musim pertanian padi sawah belum menghasilkan. Sistem ganda produksi pertanian ini telah lama dipraktekkan oleh masyarakat nagari di pedalaman Minangkabau. Namun pada nagari Salimpaung, Tabek Patah, dan Rao-Rao, untuk melakukan sistem pertanian ganda yakni pada musim hujan memulai pertanian padi sawah dan pada musim panas berkosentrasi mengarap ladang kayu manis mereka sudah tidak memungkinkan lagi, karena semakin berkurangnya persediaan air untuk pengairan. Hal ini disebabkan sumber air irigasi bagi persawahan penduduk berasal dari Batang Ino sebagian besar airnya telah disalurkan ke PDAM di nagari Tabek Patah, dan Lawang Mandahiliang, sehingga banyak sawah penduduk di nagari Salimpaung dan Rao-Rao tidak kebagian air, karena kecilnya debit Batang Ino. Perubahan ketersediaan air dan sistem pertanian padi sawah penduduk di pedalaman Minangkabau ini, tentu merubah pula sistem pertanian penduduk. Pada waktu harga tanaman palawija seperti tomat, cabe melonjak tinggi, karena tingginya permintaan dari wilayah Riau terutama kota Pekan Baru dan Dumai, maka sejumlah nagari di kabupaten Tanah Datar melakukan perubahan besar-besaran sistem pertanian padi sawah mereka dengan menanam tanaman tomat, palawija. Ketika harga tanaman muda ini mencapai Rp 1500kg di tingkat petani, maka banyak petani yang mendapat keuntungan besar. Sehingga untuk beberapa waktu, pertanian kayu manis ditinggalkan oleh petani, bahkan di lahan-lahan perkebunan mereka, tanaman kayu manis mulai dikurangi untuk diganti dengan tanaman tomat dan cabe, namun semakin banyaknya penyakit daun yang mewabah, untuk tanaman tomat dan cabe-- penduduk menyebutnya dengan “brekele” -- penduduk mulai berpindah untuk menanam tanaman kol sebagai pengganti tanaman tomat dan cabe. Disaat pertanian padi sawah tidak produktif, tanaman kayu manis kembali menjadi tempat pelarian untuk keberlangsungan ekonomi penduduk. Tanaman kayu manis sebagai tanaman budaya, memang sudah berkali-kali ditingggalkan, tetapi ketika terjadi penyakit endemik yang membuat pertanian palawija mengalami kegagalan panen, maka tanaman kayu manis tampil sebagai penyelamat ekonomi 246 keluarga. Artinya, kayu manis adalah tanaman katup pengaman ekonomi rumahtangga. Ini menunjukkan adanya dimensi rasional petani, dimana petani dalam melakukan tindakan ekonomi dilatar belakangi oleh pertimbangan atau adanya keinginan untuk mendapatkan keuntungan. Sebaliknya dalam pandangan ekonomi moral, ini merupakan sebuah pertimbangan ”moral” yang melekat atas sebuah tindakan ekonomi, yang bertujuan untuk memperkecil resiko atau ”mendahulukan selamat” safety first, sehingga resiko produksi dapat dihindari dan tidak sepenuhnya untuk memaksimalkan profit. Fenomena ini dapat diartikan bahwa dalam proses produksi aktivitas pertanian petani sebetulnya sudah melakukan pilihan-pilihan rasional yang berorientasi memperoleh keuntungan. Namun pada aktivitas pasca panen, seperti pilihan kepada siapa dia harus menjual kayu manisnya, proses penentuan harga oleh pedagang, petani lebih pada pertimbangan moral tertentu atas tindakan ekonomi yang dipilihnya. Berarti derajad rasionalitas petani sangat terbatas bounded rationality. Dan untuk jangka panjang pilihan dan pertimbangan petani ini akan membawa pergeseran, merobah gaya hidup dan menyeret petani pada tuntutan pasar. Pilihan mereka secara langsung atau tidak langsung akan selalu ditarik oleh aktor-aktor yang bermain dalam ruang sosial mereka. Bahkan pasar telah menjadi mediasi dan telah memberikan untuk diversifikasi usaha pertanian si petani. Inilah yang menjadi salah satu penyebab dan yang merupakan mesin penggerak persistennya pasar nagari dari waktu ke watu. Dengan demikian pada umumnya petani yang memiliki lahan perkebunan kayu manis yang kecil-rata-rata hanya memiliki 0,5 ha kk-dan terpragmentasi letaknya, telah memungkinkan petani untuk melakukan diversifikasi pertanian dengan menanam tanaman yang berbeda terutama tanaman yang sedang laku di pasar. Tetapi tanaman kayu manis tetap ditanam dan dipertahankan pada bagian lahan yang lain. Meskipun pada sistem perdagangan kayu manis, petani sangat dirugikan karena adanya solidaritas sosial dan ekonomi pedagang pengumpul pasar nagari yang menjadi anggota sebuah clique member dari pedagang besar kabupaten, yang dapat menekan harga kayu manis petani kayu manis, membuat petani tidak memiliki banyak pilihan untuk menjual kayu manisnya, namun petani kayu manis tetap bertahan dengan kondisi yang demikian, karena itulah satu-satunya tanaman 247 tempat pelarian bagi ekonomi subsistensi mereka. Petani tetap bertahan dengan perkebunan kayu manis mereka sambil menunggu pertanian padi sawah mulai bangkit lagi dan mendapatkan harga yang lebih pantas. Kekerasan ekonomi yang dialami oleh petani kayu manis dari pedagang, seperti menekan harga dengan berbagai cara, mengulur-ulur waktu pembayaran kayu manis petani walaupun volume dan harga sudah disepakati -- dengan dalih uang belum cukup sedang diambil di bank, atau sedang dipinjam ke pedagang pengumpul lain. Sementara petani kayu manis membutuhkan uang segar secepatnya untuk membeli kebutuhan sehari-hari rumahtangganya. Perlakuan yang demikian telah membuat petani kayu manis benar-benar terperangkap ke dalam struktur ekonomi masyarakat nagari yang tidak berpihak kepada mereka. Petani kayu manis terpinggirkan oleh kekerasan ekonomi dan kekerasan struktural yang terjadi dalam perdagangan kayu manis. Sebenarnya, kekerasan ekonomi yang dilakukan pedagang pengumpul pasar nagari merupakan bagian dari kekerasan struktural yang terjadi dalam perdagangan kayu manis. Pedagang supra lokal seperti eksportir melakukan kekerasan ekonomi terhadap pedagang besar kabupaten dengan menetapkan harga sesuai dengan keinginannya, jika tidak disetujui pedagang, dipersilahkan untuk membawanya kembali pulang. Pada hal pedagang besar kabupaten telah mengeluarkan biaya prosesing dan biaya transportasi menuju gudang pedagang supra lokal ini. Untuk menghindari keadaan itu, maka pedagang besar kabupaten dalam menghadapi pedagang supra lokal ini memilih untuk menumpuk dulu kayu manis yang sudah dibelinya untuk beberapa lama waktunya, menunggu permintaan pedagang supra lokal ini benar-benar membutuhkan untuk diekspor, agar tidak mengalami kekerasan dan tekanan yang membuat mereka tidak berdaya. Menghadapi situasi kekerasan ekonomi dari pedagang supra lokal ini, maka pedagang besar kabupaten akan melakukan kekerasan ekonomi pula kepada pedagang pengumpul pasar nagari dengan mengulur-ulur pembayaran dan membuat harga pembeliannya sewaktu-waktu berubah. Pada hal pedagang pengumpul pasar nagari telah sangat memperhatikan signal harga dari pedagang besar kabupaten untuk melakukan pembelian kayu manis, agar ia memperoleh keuntungan. 248 Pada sisi lain pedagang pengumpul pasar nagari juga harus mempertahankan ekonomi moralnya; dimana dengan berusaha memaksimumkan keuntungannya, juga berusaha memperhatikan kepentingan ekonomi aktor lain seperti: anggota clique member, pemberi isyarat di pasar nagari, petani kayu manis yang merupakan orang sekampungnya, “kode etik tertentu” dan kekuatan supra lokal lainnya. Akibatnya, pedagang pengumpul pasar nagari akan melakukan pula kekerasan ekonomi pada hirarki di bawahnya yakni petani kayu manis dengan menekan harga pada tingkat yang lebih rendah lagi dan sekali-sekali memberikan harga yang pantas kepada petani kayu manis agar tetap mau menjual kayu manis kepadanya. Disamping harus mengembangkan ekonomi moralnya, pedagang pengumpul pasar nagari juga harus mempertahankan kelangsungan usahanya, seperti menumpuk kayu manis menjelang pesanan datang dari pedagang besar kabupaten, harus memiliki modal yang kuat agar dapat melakukan pembelian kayu manis petani kayu manis. Oleh karena itu, pedagang pengumpul pasar nagari akan melakukan kekerasan ekonomi pula kepada petani kayu manis dengan cara menekan harga bahkan belum membayar sejumlah uang pembelian kayu manis petani. Dengan demikian, petani kayu manis merupakan mata rantai kekerasan ekonomi dan kekerasan struktural yang paling bawah dan menjadi sasaran terakhir dari mata rantai kekerasan ekonomi oleh pedagang supra lokal, pedagang besar kabupaten dan pedagang pengumpul pasar nagari. Sehingga dalam sistem perdagangan kayu manis, petani kayu manis merupakan pihak yang paling lemah di tengah sistem pedagangan kayu manis dengan bargaining petani yang lemah dalam proses penentuan harga, dan di tengah masyarakat nagari. Mengingat posisi sosial pedagang pengumpul pasar nagari yang merupakan kelompok elite nagari, maka marginalisasi petani kayu manis juga terjadi di tengah masyarakat nagari. Petani kayu manis yang tidak berdaya dalam sistem perdagangan kayu manis itu adalah petani kayu manis yang melakukan panen tidak menentu dan menempatkan kayu manis sebagai sumber pendapatan utama rumahtangga taninya, disaat tanaman muda dalam panen atau mengalami gagal panen. Tetapi bagi petani kayu manis dengan waktu panen tahunan dengan lahan kayu manis yang luas, justru pedagang pengumpul pasar nagari yang meminta agar kayu manisnya dipanen dan di jual kepadanya dengan disepakati harga sebelumnya. 249 Keterpinggiran petani kayu manis di tengah masyarakat nagari dapat juga dilihat dari segi status sosial. Pada umumnya petani kayu manis adalah penduduk yang memiliki lahan perkebunan dengan rata-rata luas antara 0,5 – 1 ha per kk, disamping lahan sawah. Melakukan pemanenan kayu manis dalam jangka waktu pendek memperlihatkan bahwa rumahtangga petani ini belum mampu mengadopsi teknologi baru untuk mengembangkan jenis tanaman lain yang lebih komersial seperti: tanaman cabe, kubis, tomat dan lain sebagainya yang membutuhkan biaya produksi besar terutama untuk pupuk dan saprodi. Oleh karena itu, petani yang masih mengandalkan kayu manis sebagai sumber pendapatan utama dipandang ditengah masyarakat adalah rumah tangga petani miskin, identik dengan petani yang kurang inovatif. Kecuali melakukan pemanenan kayu manis untuk kepentingan hajatan besar saja yang biasanya jangka waktunya tahunan. Rumahtangga petani kayu manis yang dianggap bergensi adalah rumahtangga petani yang mempertahankan lahan kayu manisnya dalam kondisi umur tahunan dengan ukuran pohon yang besar-besar. Sedangkan pendapatan rumahtangga petani sehari-hari diperoleh dari hasil pertanian padi sawah dengan menanam tanaman komersial seperti cabe, tomat, buncis, kubis, dan lain sebagainya, atau memiliki diversifikasi mata pencaharian seperti menjadi pedagang antar pasar nagari atau antar provinsi. Jadi di tengah masyarakat nagari di Minangkabau, petani kayu manis yang dipandang tinggi statusnya, apabila melakukan panen tahunan, secara besar- besaran. Rumahtangga petani kayu manis yang melakukan waktu panen tidak menentu dianggap sebagai rumah tangga kurang mampu secara sosial ekonomi. Oleh karena itu, dapat dikatakan petani kayu manis yang menjual kayu manis setiap minggu di pasar nagari adalah petani dari strata sosial ekonomi bawah di tengah masyarakat nagari. Ketidakseimbangan dalam transaksi ekonomi yang dilakukan pedagang hanya bisa dilakukan kepada kelompok petani kayu manis yang kekuatan ekonominya lemah. Kepada petani kayu manis yang ekonominya kuat, pedagang pengumpul pasar nagari biasanya agak sungkan, karena umumnya petani kayu manis yang melakukan panen tahunan adalah kelompok elite masyarakat nagari juga umumnya dari kalangan penghulu. Kedudukan sosialnya di tengah masyarakat nagari juga relatif terpandang. 250 Disinilah ekonomi moral pedagang terlihat bahwa di satu sisi pedagang menerima tekanan struktural dari pedagang besar kabupaten dengan melakukan penundaan pembayaran dan pemaksaan harga, di sisi lain, pedagang pengumpul pasar nagari tidak dapat melakukan tekanan ke petani kayu manis yang melakukan panen tahunan, ia harus menjaga hubungan baik dengan petani kayu manis tahunan ini, agar tetap menjadi langganannya, baik untuk mendapatkan volume pembelian yang besar dan berkualitas, maupun untuk memperoleh pinjaman modal dalam usaha perdagangan kayu manisnya. Sekali pedagang pengumpul pasar nagari melakukan kecurangan kepada petani kayu manis kelompok panen tahunan, maka ia akan kehilangan sumber pinjaman modal selain dari pedagang besar kabupaten resiprositas sosial. Bagi pedagang pengumpul pasar nagari lebih baik melakukan pinjaman tambahan modal kepada petani kayu manis kelompok panen tahunan ini, dengan tidak ada resiko jika dibandingkan pinjaman tambahan modal yang dilakukan kepada pedagang besar kabupaten yang akan menyebabkan bargainingnya lemah. Sikap ekonomi moral pedagang pengumpul pasar nagari lebih kental dan lebih besar dibandingkan dengan pedagang besar kabupaten. Perilaku ekonomi pedagang besar sampai ke pedagang supra lokal lebih rasional. Sehingga dalam penetapan harga pedagang besar kabupaten lebih tegas dan termotivasi untuk mencari keuntungan yang lebih besar dengan melakukan kekerasan ekonomi dan kekerasan struktural. Sedangkan, pedagang pengumpul pasar nagari dalam penetapan harga sangat tergantung kepada hubungan-hubungan sosialnya ditengah masyarakat nagari dan profil rumahtangga petani kayu manisnya. Penetapan harga dengan motivasi mencari keuntungan besar dengan menciptakan transaksi yang tidak seimbang hanya dapat dilakukan kepada petani kayu manis waktu panen tak menentu. Sedangkan penetapan harga kayu manis kepada petani kayu manis dengan waktu panen tahunan dilakukan dengan penuh pertimbangan-pertimbangan moral resiprositas sosial dan ekonomi, seperti yang terlihat pada gambar di bawah 251 ini: Gambar 14 Garis Kontinum Perilaku Ekonomi Rational - Ekonomi Moral Pedagang Kayu manis Berdasarkan gambar 14, terlihat bahwa semakin tinggi hirarki pedagang seperti pedagang besar kabupaten dan pedagang supra lokal, maka tindakan ekonominya semakin rasional, penetapan harga dengan melakukan proses transaksi yang tidak seimbang, dengan motif ekonomi dominan mencari keuntungan semata atau memaksimumkan utility. Pada sudut garis kontinum sebelah kanan, memperlihatkan hirarki pedagang yang rendah, seperti pedagang pengumpul pasar nagari tindakan ekonominya lebih berorientasi ekonomi moral, penetapan harga memperhatikan hubungan-hubungan sosial di tengah masyarakat, motif ekonominya bukan hanya mencari untung tetapi juga menjalin jaringan kerja sosial inter personal dengan petani kayu manis dan pedagang lainnya untuk menjaga tingkat subsistensi safety first mereka, sebagai pedagang, dan selalu menjaga keseimbangan antara keuntungan dengan jaringan bisnis yang mereka bangun. Namun, karena kelompok pedagang ini merupakan satu mata rantai dalam perdagangan kayu manis, maka ikatan moral solidaritas sosial diantara mereka lebih kuat dibandingkan dengan ikatan moral pedagang pengumpul pasar nagari dengan petani kayu manis. Sehingga petani kayu manis dalam mata rantai perdagangan kayu manis ini merupakan kelompok yang terpinggirkan dalam memperoleh keuntungan ekonomi. Jadi strategi untuk bertahan hidup lifelihood strategy yang cenderung mengutamakan selamat safety first membuat petani casisavera sebagai aktor yang terlibat dipasar nagari semakin termarginal. Artinya pilihan atas strategi bertahan hidup ini, membuat mereka menjadi kelompok termarginal dan resistensi tersembunyi yang dilakukan mereka dalam proses transaksi yang dilakukan pun kelihatannya tidak berarti. Ikatan kelompok diantara pedagang pengumpul pasar nagari sangat kuat, sehingga sulit untuk ditembus oleh petani kayu manis. 252

7.5. Terbentuknya Monopsoni Tersembunyi dalam Perdagangan Kayu manis