terluas dan terbanyak juga terdapat di nagari Lawang Mandahiling yakni seluas 270 ha 38,3 persen dan 68,05 33 persen.
Jadi, nagari Tabek Patah bukan sentra produksi kayu manis di kecamatan Salimpaung, karena yang menjadi sentra produksi kayu manis itu adalah di nagari
Lawang Mandahiling dan nagari Salimpaung, meskipun demikian, sentra perdagangan kayu manis di kecamatan Salimpaung ini berada di pasar nagari
Tabek Patah.
4.5.3. Nagari Salimpaung
Nagari Salimpaung memiliki luas 12,30 km
2
20,5 persen, terletak di kecamatan Salimpaung, merupakan salah satu dari 6 nagari di kecamatan
Salimpaung yang memiliki luas lahan perkebunan kayu manis terluas di kecamatan Salimpaung. Nagari Salimpaung ini terdiri dari tiga jorong yakni: jorong Koto Tuo
277 ha, jorong Salimpaung 670,5 ha, dan jorong Padang Jaya 147 ha, ketiga jorong ini dahulu merupakan sebuah desa dalam sistem pemerintah desa
berdasarkan UU No: 5 tahun 1979, baru setelah adanya UU Otonomi Daerah yakni UU No: 22 tahun 1999 dan diperkuat oleh Perda Provinsi Sumatera Barat No: 9
tahun 2000 dengan Perda Tanah Datar No: 17 tahun 2001 tentang kembali ke sistem pemerintahan nagari, maka desa-desa di nagari Salimpaung digabung
kembali menjadi nagari Salimpaung. Secara fisik wilayah, nagari Salimpaung terletak pada ketinggian 900 m dpl
dengan curah hujan rata-rata pertahun cukup tinggi yakni 2.713,5 mmtahun dan suhu rata-rata sebesar 28
C. Nagari ini berada di lereng pergunungan, sehingga topografinya dapat di lihat dari luas lahan perbukitan pergunungan adalah seluas
630,65 ha 51,3 persen lebih dominan dari luas dataran yakni hanya seluas 384,2 ha 31,2 persen. Lahan pergunungan inilah yang dijadikan lahan perkebunan
penduduk untuk tanaman kayu manis dan kopi. Jumlah penduduk nagari Salimpaung tahun 2005 berjumlah 5.061 jiwa yang
terdiri dari 2.444 jiwa jenis kelamin laki-laki dan sebanyak 2.617 jiwa perempuan dengan jumlah rumahtangga seluruhnya adalah 1.098 KK.
Tabel 12 di bawah ini memperlihatkan bahwa penggunaan lahan di nagari Salimpaung adalah sebahagian besar untuk perkebunan rakyat dimana dari luas
lahan perkebunannya 636 ha sebanyak 606 ha 95,3 persen, adalah lahan
126
perkebunaan kayu manis, sisanya 4,7 persen adalah untuk tanaman kopi dan pisang.
Bila dilihat dari luas lahan sawah di nagari Salimpaung, adalah seluas 217 ha 17,6 persen, berarti rata-rata kepemilikan setiap KK adalah 0,19 haKK dan luas
lahan perkebunan adalah 606 ha 49,26 persen yang berarti rata-rata kepemilikan lahan perkebunan ini adalah 0,55 haKK. Kepemilikan tanah baik untuk sawah
maupun perkebunan hanya di kuasai oleh sebanyak 1.296 jiwa 25,6 persen dimana luas kepemilikan terbesar berada pada luas antara 0,6- 1 ha sebanyak 359
jiwa 27,7 persen, dan luas antara 1,1 sd 1,5 ha sebanyak 331 jiwa 25,5 persen. Oleh karena nagari Salimpaung ini berada di lereng gunung Merapi dengan
ketinggian maka luas hutan konservasi -- yang oleh masyarakat nagari di sebut sebagai “rimbo larangan” -- adalah seluas 173 ha 14 persen, lahan hutan ini
merupakan lahan hutan milik komunal masyarakat nagari Salimpaung hak ulayat adat yang belum digarap dan tidak akan dibuka untuk kepentingan perkebunan. Ini
merupakan areal konservasi yang menjadi wilayah tangkapan air cachtment area bagi sistem persawahan penduduknya, yang airnya sangat tergantung kepada aliran
sungai Batang Ino. Tabel 12 Jenis Penggunaan Lahan di Nagari Salimpaung
No Jenis Penggunaan Tanah
Jumlah ha Persentase
1 Perumahan dan pekarangan pemukiman
64,0 5,2
2 Sawah: - Setengah
teknis - SederhanaTadah
Hujan -
217 17,6
3 Perkebunan Rakyat
636,0 51,7
4 Hutan konversi
173 14,1
5 Tebattambakkolam 2,4
0,2 6 Lain-lain
137,4 11,2
Jumlah 1.230
100 Sumber: Daftar Isian Data Dasar Potensi dan Profil Nagari Salimpaung. Dinas
Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana Kabupaten Tanah Datar, Tahun 2005.
Data di atas memperlihatkan bahwa di nagari Salimpaung penguasaan dan kepemilikan lahan hanya dikuasai oleh 25,6 persen penduduk, mereka umumnya
adalah orang yang tinggal di pusat nagari yang dianggap sebagai orang asal nagari. Selebihnya adalah petani pengarap yang menyewa lahan sawah dan perkebunan
milik orang lain dengan sistem “pasudoan”. Mengingat besarnya ketimpangan hak
127
kepemilikan lahan di nagari Salimpaung ini, ditambah dengan kurang bergairahnya harga komoditi pertanian seperti kayu manis, tomat, cabe yang menjadi andalan
tanaman palawija, telah mendorong penduduknya untuk menjadi pedagang sebagai mata pencaharian utama disamping bertani.
Bila dilihat dari tingkat pendidikan penduduk nagari Salimpaung, penduduk yang terdidik berjumlah 4300 jiwa 84,9 persen terdiri dari tamat SD sebanyak 2.592
jiwa 60,3 persen, tamat SLTP dan SLTA sebanyak 789 jiwa 32,4 persen dan pendidikan tingkat perguruan tinggi sebanyak 183 jiwa 4,3 persen. Masih
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat tercermin dari tidak adanya sarana pendidikan SLTP dan SLTA di nagari Salimpaung ini, sedangkan SD sudah terdapat
pada setiap jorong. Baru sejak tahun 2004 telah berdiri Madrasah Aliyah Swasta MAS di nagari ini. Pada umumnya penduduk yang berpendidikan rendah dan
kecilnya luas penguasaan dan pengusahaan lahan pertanian, inilah yang menyebabkan banyak penduduk yang memilih mata pencaharian menjadi pedagang
di pasar nagari dan menjadi pedagang pengumpul kayu manis di pasar-pasar nagari di kecamatan Salimpaung. Hanya penduduk yang melanjutkan sekolah ke wilayah
supra nagarilah yang berpendidikan tinggi dan sekarang bekerja di luar sektor pertanian, dan pada umumnya menjadi pengawai negeri.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa mata pencaharian penduduk nagari Salimpaung adalah pada sektor pertanian padi sawah dan perkebunan terutama
tanaman palawija, dan untuk tanaman perkebunan mayoritas ditanami kayu manis. Hal ini tentunya sangat erat kaitannya dengan adat perkawinan di nagari
Salimpaung yakni “Adat Tambilang Besi”. Sehingga memiliki lahan kayu manis bagi masyarakat nagari Salimpaung adalah merupakan “prestise” tersendiri di tengah
masyarakat. Inilah yang mendorong kenapa di nagari ini budidaya tanaman kayu manis terus dilanggengkan atau tetap bertahan hingga sekarang.
4.5.4. Nagari Rao-Rao