pemanfaatan yang terjadi ialah dari dapat memanfaatkan lahan pertanian menjadi tidak  dapat  memanfaatkan  lahan  pertanian.  Misalnya,  yang  terjadi  pada  petani
pemilik berubah menjadi buruh tani. Selain karena perubahan struktur sosial yang selanjutnya  mempengaruhi  pola  pemanfaatannya,  perubahan  pola  pemanfaatan
yang dialami petani juga dipengaruhi oleh faktor: 1 kondisi lahan pertanian; 2 keputusan  pemilik;  3  modal  yang  dimiliki;  4  bergantung  pada  musim  yang
dihadapi, dan; 5 luas lahan yang dimiliki Tabel 28.
Tabel 28. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari Perubahan Pemanfaatan Lahan Pertanian Cibeureum Batas, 2009
Perubahan pemilikan
lahan pertanian
Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Total
PM ke Buruh tani
Tidak berubah  PM ke PM-PG
Tetap 11
1 12
Berubah 2
3
5 Total
2 14
1 17
Keterangan: PM
: Petani pemilik PM-PG : Petani pemilik-penggarap
5.5 Ringkasan
Struktur agraria yang dibahas dalam penelitian ini berkenaan dengan pola pemilikan,  penguasaan  dan  pemanfaatan  lahan  pertanian.  Terjadi  perubahan
struktur agraria pada lahan sisa konversi pertanian sebagai akibat pembelian lahan pertanian oleh pihak swasta, terutama pada Kampung Ciharashas. Dimana terjadi
perubahan  pada  land  tenure  pattern  dalam  hal  luas  pemilikan  lahan  dan  cara perolehan  penguasaan  lahan  pertanian.  Pola  penguasaan  dengan  sistem
penggarapan banyak ditemukan di Kampung Ciharashas. Hal ini disebabkan oleh pemberian  kesempatan  menggarap  oleh  pihak  PT.  PW,  sehingga  mengakibatkan
bertambahnya  luas  penguasaan  lahan  pertanian.  Akan  tetapi,  bertambahnya  luas penguasaan  lahan  pertanian  tidak  mencerminkan  “keterjaminan”  hidup  di  masa
yang akan datang, karena pada dasarnya mereka menggarap lahan pertanian yang akan  dialihfungsikan  ke  non-pertanian.  Ketika  nantinya  lahan  tersebut  diambil
kembali,  maka  akan  hilang  pengharapan  untuk  hidup.  Sementara  itu  pada  land tenancy pattern
, terjadi perubahan pada praktik penyakapan yang digunakan serta para pelaku yang terlibat di dalamnya.
Sebaliknya  pada  Kampung  Cibeureum  Batas,  perubahan  struktur  agraria yang terjadi hanya pada hal land tenancy pattern, berkaitan dengan praktik sakap
yang digunakan Tabel 29. Tidak begitu banyak perubahan struktur agraria yang ditemukan di kampung ini. Hal ini disebabkan oleh konsistensi keberadaan lahan
pertanian.  Perbedaan  perubahan  struktur  agraria  yang  ditampilkan  oleh  kedua kampung  dipengaruhi  oleh  kondisi  geografis  lahan  pertanian  itu  sendiri.  Pada
Kampung  Ciharashas  misalnya,  karena  lahan  pertanian  berbentuk  hamparan, maka berpotensi untuk dijadikan sebagai kawasan perumahan di masa yang akan
datang.  Berbeda  halnya  dengan  kampung  Cibeureum  Batas,  dimana  lahan pertanian dikelilingi oleh jalan dan rumah penduduk sehingga pihak swasta tidak
tertarik  untuk  menjadikannya  sebagai  aset  pembangunan  perumahan,  seperti  di kampung Ciharashas.
Perubahan  struktur  agraria  erat  kaitannya  terhadap  perubahan  struktur sosial  masyarakat  tani.  Pada  Kampung  Ciharashas,  terjadi  perubahan  dari  petani
pemilik  ke  petani  penggarap,  dari  petani  pemilik  ke  petani  pemilik-penggarap, serta  non-pertanian  menjadi  petani  pemilik.  Sehingga  pada  saat  ini  terdapat  tiga
tingkatan struktur sosial petani yang ditemukan di Kampung Ciharashas, yaitu: 1 petani  pemilik-penggarap;  2  petani  pemilik;  3  petani  penggarap  tunakisma
Gambar  4.  Sedangkan  pada  kampung  Cibeureum  Batas,  terjadi  perubahan  dari petani  pemilik  ke  buruh  tani  dan  dari  petani  pemilik  menjadi  petani  pemilik-
penggarap.  Dengan  demikian  terdapat  tiga  tingkatan  struktur  sosial  yang  ada  di kampung  Cibeureum  Batas,  yaitu:  1  petani  pemilik-penggarap;  2  petani
pemilik, dan; 3 buruh tani tunakisma. Tingkatan struktur sosial petani tersebut didasarkan  kepada  luas  pemilikan  dan  penguasaan  terhadap  lahan  pertanian
Gambar 5.
Gambar 4. Tingkatan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ciharashas
Gambar 5. Tingkatan Struktur Sosial Masyarakat Tani Cibeureum Batas
Pemilik- Penggarap
Pemilik Penggarap tunakisma
Pemilik- Penggarap
Pemilik Buruh
tani tunakisma
Tabel 29. Perbedaan Perubahan Struktur Agraria pada Lahan Sisa Konversi Pertanian di Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas, 2009
Keterangan Indikator
Ciharashas Cibeureum Batas
Sebelum Sesudah
Sebelum Sesudah
Land tenure pattern
1 Status hak pemilikan
Surat desa dan segel Surat desa
2 Cara perolehan lahan
Beli dan warisan Warisan
3 Luas pemilikan lahan
Berlahan sempit Tunakisma
Berlahan sempit 4
Luas penguasaan lahan Bertambah, akan tetapi masih pada kategori lahan sempit
Berlahan sempit 5
Cara perolehan penguasaan lahan
Milik saja Menggarap
Milik saja Land
tenancy pattern
1 Pola hubungan produksi   Bagi hasil dan sistem gadai
Bagi hasil dan sistem gadai 2
Praktik penyakapan Maro
atau 50:50 70:30 dan 80:20
Maro atau 50:50
80:  20,  75:25,  70:30  dan 50:50
3 Para pelaku
Masyarakat tani yang tinggal di dalam dan luar
Mulyaharja Pihak swasta, masyarakat
tani yang tinggal di dalam dan luar Mulyaharja
Masyarakat tani yang tinggal di dalam dan luar Mulyaharja
4 Hubungan antar pelaku
Orang lain Orang lain
5 Tanaman yang
disakapkan Padi
Padi 6
Hak dan kewajiban pemilik dan penggarap
Pemilik: menyediakan lahan pertanian dan berhak memperoleh hasil pertanian.
Penggarap: menggarap lahan pertanian. Pemilik: menyediakan lahan pertanian dan berhak
memperoleh hasil pertanian. Penggarap: menggarap lahan pertanian.
Pola pemanfaatan
1 Jenis komoditi
Padi Palawija
2 Alasan memilih
komoditi Keputusan pemilik dan keterbatasan modal yang dimiliki
Mengikuti siklus 3
Perlakuan terhadap hasil pertanian
Dijual Dijual
4 Pola tanam
Monokultur sistem tumpang sari
BAB VI KETAHANAN PERSISTENCE MASYARAKAT TANI
PADA SEKTOR PERTANIAN
6.1. Kasus Kampung Ciharashas: Pemberian Hak Garap dari Perusahaan Petani  yang  paling  banyak  ditemukan  di  Kampung  Ciharashas  ini  ialah
petani  penggarap.  Mayoritas  lahan  pertanian  yang  menjadi  garapan  para  petani Kampung  Ciharashas  ialah  lahan  pertanian  milik  PT.  PW.  Sebagian  lagi
menggarap  lahan  pertanian  milik  petani  kaya  yang  bertempat  tinggal  di  luar Kelurahan  Mulyaharja.  Baik  petani  kaya  maupun  PT.  PW  berstatus  sebagai
majikan,  yaitu  pihak  yang  memberikan  kesempatan  kepada  petani  untuk menggarap  lahan  miliknya.  Pola  hubungan  produksi  yang  dipergunakan  ialah
sistem bagi hasil. Penetapan  sistem  bagi  hasil  ini  hanya  digunakan  ketika  petani  menanam
padi. Sementara ketika petani menanam palawija, tidak menggunakan sistem bagi hasil.  Hal  ini  disebabkan  oleh  perhitungan  biaya  produksi  yang  lebih  rumit  jika
dibandingkan  pada  saat  menanam  padi.  Hasil  pertanian  yang  diperoleh  nantinya akan diberikan kepada PT. PW, selaku pihak yang telah memberikan kesempatan
menggarap.  Masing-masing  besar  pembagian  didasarkan  kepada  kesepakatan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Penetapan pola hubungan produksi
yang  ditetapkan  merupakan  hasil  musyawarah  diantara  kedua  pihak,  yaitu  pihak penggarap dan majikan.
Terdapat  perbedaan  sistem  bagi  hasil  dalam  penggarapan  lahan  pertanian milik  PT.  PW  dan  pada  petani  kaya.  Jika  menggarap  lahan  pertanian  milik  PT.
PW,  sistem  yang  biasa  dipergunakan  ialah  per  tilu  atau  70:30.  Dalam  artian,  70 persen  diperuntukkan  bagi  penggarap,  sementara  30  persen  diperuntukkan  bagi
PT.  PW.  Misalnya,  jika  hasil  pertanian  yang  diperoleh  ialah  10  karung,  maka  3 karung  akan  diserahkan  kepada  PT.  PW.  Hasil  yang  diserahkan  bukanlah  dalam
bentuk  berasgabah.  Melainkan  jumlah  uang  yang  setara  dengan  “hak”  yang diperoleh PT. PW.