mereka tidak begitu jauh dari rumah, sehingga kondisi lahan pertanian yang ada di Kampung Cibeureum Batas mayoritas dikelilingi oleh rumah dan jalan setapak
yang biasa dilalui penduduk Lampiran 5. Secara umum, masih bertahannya masyarakat tani di Kampung Cibeureum
Batas di sektor pertanian karena dipaksa oleh keadaan. Hal ini sama halnya dengan kasus masyarakat tani Kampung Ciharashas. Peristiwa ini disebabkan oleh
generasi muda yang mereka harapkan sudah tidak berminat lagi kepada pertanian. Mereka lebih tertarik pada pekerjaan yang tidak menggunakan fisik terlalu keras,
tidak panas dan kotor seperti skill pembuatan sandal dan sepatu, sehingga hanya mereka yang berusia tua yang bekerja di sawah.
Masih bertahannya masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas di sektor pertanian, didukung oleh masih tersisanya lahan pertanian warisan orang tua
mereka. Sudah menjadi kewajiban untuk menjaganya dan memanfaatkan aset turun temurun keluarga. Mereka tidak tertarik untuk menjual lahan pertanian yang
mereka miliki. Selain itu, mereka juga mencari penghasilan tambahan dari pekerjaan yang dapat diusahakan olehnya. Alasan masyarakat tani masih bertahan
di sektor pertanian selanjutnya akan ditelusuri lebih lanjut ditinjau dari faktor sosial dan ekonominya. Untuk lebih jelasnya, akan dibahas pada sub-bab berikut.
6.2.1. Lahan Pertanian: Harta Warisan Turun-temurun
Ketahanan persistence yang ditunjukkan oleh masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas sesungguhnya menggambarkan keinginan untuk mewariskan
kembali lahan pertaniannya. Hak waris selanjutnya akan jatuh ke tangan anak mereka. Biasanya, masing-masing anak akan mendapatkan luasan yang sama,
agar tidak terjadi pertengkaran diantara keluarga. Pewarisan tanah ini ditujukan agar lahan pertanian mereka dapat “dimanfaatkan” oleh penerusnya kelak.
Masalah lahan akan tetap dijadikan perumahan atau sawah kembali, itu terserah kepada anak mereka nantinya. Hal terpenting ialah telah terpenuhinya tanggung
jawab sebagai orang tua. Peristiwa ini terangkum ke dalam pernyataan Bapak AR petani pemilik:
“lahan ini tidak akan saya jual. Nanti akan saya wariskan kepada anak-anak saya. Supaya hidupnya sedikit lebih terjamin.“
Sepertinya petani telah menyadari bahwa nilai lahan akan meningkat tajam di masa yang akan datang. Hal ini didorong oleh lokasi lahan pertanian
yang strategis dan sebagai akibat naikturunnya nilai uang inflasi, sehingga walaupun hidup pas-pasan pada saat ini, harapan petani agar anak-anaknya tidak
merasakan kesusahan seperti yang mereka alami. Ada juga petani yang tidak ingin menjual lahan pertaniannya dikarenakan
teguh memegang pertanian dan sangat menghormati lahan pemberian orang tuanya, seperti kasus Bapak O. Hal ini disebabkan oleh lahan yang diperoleh
merupakan hasil kerja keras antara dirinya dan orang tuanya dahulu. Bapak O telah merasakan betapa susahnya mendapatkan lahan pertanian yang kini digarap.
Anak-anaknya juga menjadi petani dan menggarap lahan pertanian miliknya. Jika dilihat berdasarkan luasan lahan yang dimiliki oleh petani Kampung
Cibeureum Batas, maka Bapak O ditempatkan sebagai petani kaya. Bapak O telah berniat untuk mewariskan lahan pertanian miliknya kepada anak-anaknya kelak
jika ia meninggal dunia. Tetapi, lahan pertanian yang diperoleh sebaiknya tetap difungsikan sebagai mana bentuk asalnya. Apabila nanti anaknya sudah tidak
sanggup menggarapnya kembali, maka sebaiknya dilimpahkan kepada petani penggarap. Hal ini seperti pernyataan Bapak O petani kaya:
“ saya tidak mau jual lahan saya. Dapatnya juga dulu susah. Saya udah jadi tani dari dulu neng. Banting tulang sama bapak saya
supaya bisa beli lahan. Alhamdulillah anak saya juga tani. Jadi lahan saya pasti terjamin masih jadi lahan ke depannya. Jadi jerih
payah saya gak sia-sia.” Sama halnya dengan masyarakat tani Kampung Ciharashas, masyarakat
tani Kampung Cibeureum Batas merasa pertanian adalah bagian dari dirinya. Petani tidak bisa pindah ke pekerjaan lainnya, meskipun telah mencoba untuk
pindah pekerjaan seperti buruh bangunan, petani tetap kembali pada pekerjaannya semula, yaitu bertani. Hal ini disebabkan oleh rasa ketidaknyamanan bekerja di
sektor lain.
6.2.2. Kesadaran Masyarakat Tani terhadap Nilai Kontinuitas Lahan Pertanian