Perubahan Struktur Agraria Pada Lahan Sisa Konversi Pertanian Dan Ketahanan (Persistence) Masyarakat Tani

(1)

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA

PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN

DAN KETAHANAN (

PERSISTENCE

) MASYARAKAT TANI

(Studi Kasus: Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas,

Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor)

TRISNA DAMAYANTI

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(2)

ABSTRACT

TRISNA DAMAYANTI. The Change of Agrarian Structure in Farm Rest of Agriculture Conversion and Persistence of Farmer Society. (Supervised by:

HERU PURWANDARI)

The aim of this research is first to analyze how the connection of the change of agrarian structure between ownership, mastery and agriculture tune utilization in farm rest of agriculture conversion towards social structure change of farmer society. Second, to analyze why a part of farmer society still defend agriculture farm at the “opposite” of phenomenon agriculture conversion. Third, to analyze how effort that done by farmer society to stand by at agricultural sector. This research is done at village Ciharashas and Cibeureum Batas, sub-district Mulyaharja, district Bogor South, city Bogor with focus in farm rest of agriculture conversion. This research is done with fuse two approach, qualitative and quantitative. Result from this research unfolds that found connection between the change of agrarian structure towards social structure change of farmer society. There are difference reason to stand at bay in agricultural sector between farmer society of Ciharashas and Cibeureum Batas. There are three kind of effort done by farmer society to be “defensive” in agricultural sector, that is: conducting strategy in farming; (2) conducting double living, and; (3) conducting loan to family and also neighbour.


(3)

RINGKASAN

TRISNA DAMAYANTI. PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA

LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN

(PERSISTENCE) MASYARAKAT TANI. Studi Kasus: Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. (Di Bawah Bimbingan HERU PURWANDARI)

Konversi lahan pertanian sesungguhnya berimplikasi pada perubahan struktur agraria. Struktur agraria dalam konteks ini ialah hubungan antara subyek dengan sumber-sumber agraria berkenaan dengan penguasaan lahan, pemilikan lahan dan pemanfaatan lahan. Jika dilihat dalam hal pola penguasaan lahan, terjadi perubahan jumlah penguasaan lahan. Petani yang tadinya sebagai pemilik lahan berubah menjadi petani penggarap, sedangkan petani yang tadinya penggarap, berubah menjadi buruh tani. Perubahan struktur agraria juga mengakibatkan pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian sebagai akibat keterbatasan lahan dan terdesaknya ekonomi rumahtangga.

Fenomena konversi lahan yang terjadi di wilayah tertentu ternyata masih menyisakan masyarakat yang bertahan di sektor pertanian. Tujuan penelitian ini adalah pertama menganalisis bagaimana hubungan perubahan struktur agraria (pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian) pada lahan sisa konversi terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani. Kedua menganalisis mengapa sebagian masyarakat tani masih mempertahankan lahannya “dibalik” fenomena konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian. Ketiga menganalisis bagaimana usaha yang dilakukan masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian.

Penelitian ini dilakukan di Kampung Ciharashas dan Cibereum Batas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor dengan memfokuskan pada daerah yang menjadi “sisa” konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Penelitian ini dilakukan dengan memadukan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dan survei. Studi kasus dilakukan untuk menjelaskan alasan mengapa masyarakat tani masih bertahan di sektor pertanian, sedangkan survei


(4)

digunakan untuk menggali hubungan perubahan struktur agraria yang terjadi pada lahan sisa konversi dengan perubahan posisi petani.

Sebagai akibat konversi lahan pertanian, mengakibatkan terjadinya perubahan struktur agraria pada lahan sisa konversi pertanian. Hal ini seperti yang ditemukan pada Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas. Pada Kampung Ciharashas, terjadi perubahan pada land tenure pattern dalam hal luas pemilikan lahan dan cara perolehan penguasaan lahan pertanian. Pola penguasaan dengan sistem penggarapan banyak ditemukan di Kampung Ciharashas. Hal ini disebabkan oleh pemberian kesempatan menggarap oleh pihak PT. PW, sehingga mengakibatkan bertambahnya luas penguasaan lahan pertanian. Akan tetapi, bertambahnya luas penguasaan lahan pertanian tidak mencerminkan “keterjaminan” hidup di masa yang akan datang, karena pada dasarnya mereka menggarap lahan pertanian yang akan dialihfungsikan ke non-pertanian. Sementara itu pada land tenancy pattern, terjadi perubahan pada praktik penyakapan yang digunakan serta para pelaku yang terlibat di dalamnya.

Sebaliknya pada Kampung Cibeureum Batas, perubahan struktur agraria yang terjadi hanya pada hal land tenancy pattern, berkaitan dengan praktik sakap yang digunakan. Tidak begitu banyak perubahan struktur agraria yang ditemukan di kampung ini. Hal ini disebabkan oleh konsistensi keberadaan lahan pertanian. Perbedaan perubahan struktur agraria yang ditampilkan oleh kedua kampung dipengaruhi oleh kondisi geografis lahan pertanian itu sendiri.

Perubahan struktur agraria erat kaitannya terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani. Pada Kampung Ciharashas, terjadi perubahan dari petani pemilik ke petani penggarap, dari petani pemilik ke petani pemilik-penggarap, serta non-pertanian menjadi petani pemilik. Sedangkan pada kampung Cibeureum Batas, terjadi perubahan dari petani pemilik ke buruh tani dan dari petani pemilik menjadi petani pemilik-penggarap. Perubahan struktur sosial yang dialami oleh masyarakat tani tersebut erat kaitannya terhadap perubahan pemilikan sebagai akibat aktivitas menjual lahan pertanian.

Ketahanan (persistence) yang ditampilkan oleh masyarakat tani Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas dibedakan ke dalam dua aspek, yaitu sosial dan ekonomi. Ditinjau dari aspek sosial, alasan masih bertahannya masyarakat tani


(5)

Kampung Ciharashas pada sektor pertanian disebabkan oleh tingkat kekerabatan yang erat antar petani. Sedangkan pada Kampung Cibeureum Batas, lebih disebabkan oleh pemilikan lahan pertanian yang berasal dari sistem waris. Apabila ditinjau dari aspek ekonomi, alasan masih bertahannya masyarakat tani Kampung Ciharashas di sektor pertanian karena lahan merupakan satu-satunya aset yang dapat diandalkan untuk menyambung hidup. Sebaliknya pada kampung Cibeureum Batas memaknai lahan sebagai “tabungan jangka panjang” berdasarkan kesadaran akan nilai kontinuitas lahan pertanian.

Berdasarkan berbagai alasan yang telah diungkapkan untuk tetap bertahan di sektor pertanian, maka masyarakat juga mempunyai berbagai usaha konkrit dalam mempertahankan lahan pertanian yang dimilikinya. Terdapat tiga macam usaha yang dilakukan oleh masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian, yaitu: (1) melakukan strategi dalam bertani; (2) melakukan mata pencaharian ganda, dan; (3) melakukan pinjaman kepada keluarga maupun tetangga. Usaha yang ditampilkan masyarakat tani pada kedua kampung tersebut sama-sama memasang harga lahan yang tinggi, tetapi alasan memasang harga tinggi tersebut berbeda satu sama lain. Pada Kampung Ciharashas, usaha mempertahankan lahan pertanian dengan memasang harga lahan yang tinggi karena dengan harapan dapat memperoleh uang dalam jumlah yang besar dan digunakan untuk membeli lahan pertanian di tempat lain yang jauh lebih murah. Sebaliknya alasan memasang harga lahan yang tinggi pada masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas agar biong tidak dapat “menjangkau” lahan pertanian mereka.


(6)

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA

PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN

DAN KETAHANAN (

PERSISTENCE

) MASYARAKAT TANI

(Studi Kasus: Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas,

Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor)

Oleh: Trisna Damayanti

I34050300

SKRIPSI

Sebagai bagian Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(7)

SKRIPSI

Judul : Perubahan Struktur Agraria pada Lahan Sisa Konversi Pertanian dan Ketahanan (Persistence) Masyarakat Tani. Studi Kasus: Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor

Nama Mahasiswa : Trisna Damayanti

NRP : I34050300

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Heru Purwandari, SP, M.Si NIP. 19790524 200701 2 001

Mengetahui, Ketua Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001


(8)

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG

BERJUDUL PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA

KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN (PERSISTENCE)

MASYARAKAT TANI ” BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA

YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI MANAPUN DAN JUGA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI. TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK

MANAPUN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG

DINYATAKAN DALAM NASKAH SAYA. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNG JAWABKAN PERNYATAAN INI

Bogor, September 2009

Trisna Damayanti I34050300


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru, pada tanggal 3 Oktober 1987 di Air tiris, Propinsi Riau. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Drs. H. Zafril Yakub, M.Pd. dan Hj. Armiati Abbas, S.Pd. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1999 di SD Negeri 034 Pekanbaru, Riau. Pendidikan sekolah menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTP Negeri 9 Pekanbaru, Riau. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 8 Pekanbaru dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Propinsi Riau.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis meraih prestasi sebagai juara II Lomba Karya Tulis Ilmiah BRI pada Communication and Community Development Expo 2008 (Commnex’2008) dan berhasil mendapatkan dana dalam proposal Program Kreatifitas Mahasiswa tahun 2008 dalam bidang Pengabdian Masyarakat sebanyak dua proposal.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam skripsi ini ialah “Perubahan Struktur Agraria Pada Lahan Sisa Konversi Pertanian dan Ketahanan (Persistence) Masyarakat Tani”.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis bagaimana hubungan perubahan struktur agraria (pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian) pada lahan sisa konversi terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani; (2) menganalisis mengapa sebagian masyarakat tani masih mempertahankan lahan mereka “dibalik” fenomena konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian, dan; (3) menganalisis bagaimana usaha yang dilakukan masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian.

Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2009


(11)

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA

PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN

DAN KETAHANAN (

PERSISTENCE

) MASYARAKAT TANI

(Studi Kasus: Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas,

Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor)

TRISNA DAMAYANTI

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(12)

ABSTRACT

TRISNA DAMAYANTI. The Change of Agrarian Structure in Farm Rest of Agriculture Conversion and Persistence of Farmer Society. (Supervised by:

HERU PURWANDARI)

The aim of this research is first to analyze how the connection of the change of agrarian structure between ownership, mastery and agriculture tune utilization in farm rest of agriculture conversion towards social structure change of farmer society. Second, to analyze why a part of farmer society still defend agriculture farm at the “opposite” of phenomenon agriculture conversion. Third, to analyze how effort that done by farmer society to stand by at agricultural sector. This research is done at village Ciharashas and Cibeureum Batas, sub-district Mulyaharja, district Bogor South, city Bogor with focus in farm rest of agriculture conversion. This research is done with fuse two approach, qualitative and quantitative. Result from this research unfolds that found connection between the change of agrarian structure towards social structure change of farmer society. There are difference reason to stand at bay in agricultural sector between farmer society of Ciharashas and Cibeureum Batas. There are three kind of effort done by farmer society to be “defensive” in agricultural sector, that is: conducting strategy in farming; (2) conducting double living, and; (3) conducting loan to family and also neighbour.


(13)

RINGKASAN

TRISNA DAMAYANTI. PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA

LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN

(PERSISTENCE) MASYARAKAT TANI. Studi Kasus: Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. (Di Bawah Bimbingan HERU PURWANDARI)

Konversi lahan pertanian sesungguhnya berimplikasi pada perubahan struktur agraria. Struktur agraria dalam konteks ini ialah hubungan antara subyek dengan sumber-sumber agraria berkenaan dengan penguasaan lahan, pemilikan lahan dan pemanfaatan lahan. Jika dilihat dalam hal pola penguasaan lahan, terjadi perubahan jumlah penguasaan lahan. Petani yang tadinya sebagai pemilik lahan berubah menjadi petani penggarap, sedangkan petani yang tadinya penggarap, berubah menjadi buruh tani. Perubahan struktur agraria juga mengakibatkan pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian sebagai akibat keterbatasan lahan dan terdesaknya ekonomi rumahtangga.

Fenomena konversi lahan yang terjadi di wilayah tertentu ternyata masih menyisakan masyarakat yang bertahan di sektor pertanian. Tujuan penelitian ini adalah pertama menganalisis bagaimana hubungan perubahan struktur agraria (pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian) pada lahan sisa konversi terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani. Kedua menganalisis mengapa sebagian masyarakat tani masih mempertahankan lahannya “dibalik” fenomena konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian. Ketiga menganalisis bagaimana usaha yang dilakukan masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian.

Penelitian ini dilakukan di Kampung Ciharashas dan Cibereum Batas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor dengan memfokuskan pada daerah yang menjadi “sisa” konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Penelitian ini dilakukan dengan memadukan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dan survei. Studi kasus dilakukan untuk menjelaskan alasan mengapa masyarakat tani masih bertahan di sektor pertanian, sedangkan survei


(14)

digunakan untuk menggali hubungan perubahan struktur agraria yang terjadi pada lahan sisa konversi dengan perubahan posisi petani.

Sebagai akibat konversi lahan pertanian, mengakibatkan terjadinya perubahan struktur agraria pada lahan sisa konversi pertanian. Hal ini seperti yang ditemukan pada Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas. Pada Kampung Ciharashas, terjadi perubahan pada land tenure pattern dalam hal luas pemilikan lahan dan cara perolehan penguasaan lahan pertanian. Pola penguasaan dengan sistem penggarapan banyak ditemukan di Kampung Ciharashas. Hal ini disebabkan oleh pemberian kesempatan menggarap oleh pihak PT. PW, sehingga mengakibatkan bertambahnya luas penguasaan lahan pertanian. Akan tetapi, bertambahnya luas penguasaan lahan pertanian tidak mencerminkan “keterjaminan” hidup di masa yang akan datang, karena pada dasarnya mereka menggarap lahan pertanian yang akan dialihfungsikan ke non-pertanian. Sementara itu pada land tenancy pattern, terjadi perubahan pada praktik penyakapan yang digunakan serta para pelaku yang terlibat di dalamnya.

Sebaliknya pada Kampung Cibeureum Batas, perubahan struktur agraria yang terjadi hanya pada hal land tenancy pattern, berkaitan dengan praktik sakap yang digunakan. Tidak begitu banyak perubahan struktur agraria yang ditemukan di kampung ini. Hal ini disebabkan oleh konsistensi keberadaan lahan pertanian. Perbedaan perubahan struktur agraria yang ditampilkan oleh kedua kampung dipengaruhi oleh kondisi geografis lahan pertanian itu sendiri.

Perubahan struktur agraria erat kaitannya terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani. Pada Kampung Ciharashas, terjadi perubahan dari petani pemilik ke petani penggarap, dari petani pemilik ke petani pemilik-penggarap, serta non-pertanian menjadi petani pemilik. Sedangkan pada kampung Cibeureum Batas, terjadi perubahan dari petani pemilik ke buruh tani dan dari petani pemilik menjadi petani pemilik-penggarap. Perubahan struktur sosial yang dialami oleh masyarakat tani tersebut erat kaitannya terhadap perubahan pemilikan sebagai akibat aktivitas menjual lahan pertanian.

Ketahanan (persistence) yang ditampilkan oleh masyarakat tani Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas dibedakan ke dalam dua aspek, yaitu sosial dan ekonomi. Ditinjau dari aspek sosial, alasan masih bertahannya masyarakat tani


(15)

Kampung Ciharashas pada sektor pertanian disebabkan oleh tingkat kekerabatan yang erat antar petani. Sedangkan pada Kampung Cibeureum Batas, lebih disebabkan oleh pemilikan lahan pertanian yang berasal dari sistem waris. Apabila ditinjau dari aspek ekonomi, alasan masih bertahannya masyarakat tani Kampung Ciharashas di sektor pertanian karena lahan merupakan satu-satunya aset yang dapat diandalkan untuk menyambung hidup. Sebaliknya pada kampung Cibeureum Batas memaknai lahan sebagai “tabungan jangka panjang” berdasarkan kesadaran akan nilai kontinuitas lahan pertanian.

Berdasarkan berbagai alasan yang telah diungkapkan untuk tetap bertahan di sektor pertanian, maka masyarakat juga mempunyai berbagai usaha konkrit dalam mempertahankan lahan pertanian yang dimilikinya. Terdapat tiga macam usaha yang dilakukan oleh masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian, yaitu: (1) melakukan strategi dalam bertani; (2) melakukan mata pencaharian ganda, dan; (3) melakukan pinjaman kepada keluarga maupun tetangga. Usaha yang ditampilkan masyarakat tani pada kedua kampung tersebut sama-sama memasang harga lahan yang tinggi, tetapi alasan memasang harga tinggi tersebut berbeda satu sama lain. Pada Kampung Ciharashas, usaha mempertahankan lahan pertanian dengan memasang harga lahan yang tinggi karena dengan harapan dapat memperoleh uang dalam jumlah yang besar dan digunakan untuk membeli lahan pertanian di tempat lain yang jauh lebih murah. Sebaliknya alasan memasang harga lahan yang tinggi pada masyarakat tani Kampung Cibeureum Batas agar biong tidak dapat “menjangkau” lahan pertanian mereka.


(16)

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA

PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN

DAN KETAHANAN (

PERSISTENCE

) MASYARAKAT TANI

(Studi Kasus: Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas,

Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor)

Oleh: Trisna Damayanti

I34050300

SKRIPSI

Sebagai bagian Persyaratan untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(17)

SKRIPSI

Judul : Perubahan Struktur Agraria pada Lahan Sisa Konversi Pertanian dan Ketahanan (Persistence) Masyarakat Tani. Studi Kasus: Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor

Nama Mahasiswa : Trisna Damayanti

NRP : I34050300

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Heru Purwandari, SP, M.Si NIP. 19790524 200701 2 001

Mengetahui, Ketua Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001


(18)

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG

BERJUDUL PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA

KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN (PERSISTENCE)

MASYARAKAT TANI ” BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA

YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI MANAPUN DAN JUGA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI. TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK

MANAPUN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG

DINYATAKAN DALAM NASKAH SAYA. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNG JAWABKAN PERNYATAAN INI

Bogor, September 2009

Trisna Damayanti I34050300


(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru, pada tanggal 3 Oktober 1987 di Air tiris, Propinsi Riau. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Drs. H. Zafril Yakub, M.Pd. dan Hj. Armiati Abbas, S.Pd. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1999 di SD Negeri 034 Pekanbaru, Riau. Pendidikan sekolah menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTP Negeri 9 Pekanbaru, Riau. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 8 Pekanbaru dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Propinsi Riau.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis meraih prestasi sebagai juara II Lomba Karya Tulis Ilmiah BRI pada Communication and Community Development Expo 2008 (Commnex’2008) dan berhasil mendapatkan dana dalam proposal Program Kreatifitas Mahasiswa tahun 2008 dalam bidang Pengabdian Masyarakat sebanyak dua proposal.


(20)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam skripsi ini ialah “Perubahan Struktur Agraria Pada Lahan Sisa Konversi Pertanian dan Ketahanan (Persistence) Masyarakat Tani”.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis bagaimana hubungan perubahan struktur agraria (pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian) pada lahan sisa konversi terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani; (2) menganalisis mengapa sebagian masyarakat tani masih mempertahankan lahan mereka “dibalik” fenomena konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian, dan; (3) menganalisis bagaimana usaha yang dilakukan masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian.

Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2009


(21)

UCAPAN TERIMA KASIH

Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis hendak memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat, karunia dan hidayahnya yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini pula, penulis hendak menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1) Ibu Heru Purwandari, SP, MSi., sebagai dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas ilmu, bimbingan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis selama proses penulisan skripsi hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikannya.

2) Bapak Satyawan Sunito, sebagai dosen penguji utama. Terimakasih atas saran, masukan dan kritikan yang telah diberikan bagi kesempurnaan skripsi.

3) Bapak Dwi Sadono, sebagai dosen penguji wakil departemen. Terimakasih atas kritikan mengenai penulisan yang telah diberikan bagi kesempurnaan skripsi.

4) Keluarga penulis. Ayah, Ibu, Datuk, Nenek, Abang, Adik, Tante, Paman, yang telah memberikan bantuan moral dan materiil selama penulis menimba ilmu sejak bangku sekolah hingga kuliah.

5) Ibu Megawati Simanjuntak, SP. yang telah memberikan pengetahuan dan pengalaman dalam proses pembelajaran menulis dengan baik dan benar. 6) Anton Supriyadi, MSi dan Mas Ucup atas dukungan, ide dan diskusinya

kepada penulis.

7) Seluruh staf pengajar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah memberikan ilmu dan berbagi pengalaman.

8) Seluruh penggiat agraria yang ada di Sains, terimakasih atas informasi, literatur dan ilmu yang telah diberikan dalam memahami ilmu keagrariaan. 9) Kepala Desa dan jajaran pemerintahan Kelurahan Mulyaharja, Bapak Usman,

TZ, Bapak Benny, Bapak Aneng, dan Bapak Eman atas kesediannya berbagi informasi, pengetahuan dan pengalaman dalam rangka penyelesaian penelitian skripsi ini.


(22)

10)Umi Nasih dan Mamih Cucu atas kasih sayang dan informasi yang diberikan selama proses penelitian di lapangan.

11)Nur Ahmad Azizul Furqon, atas pelajaran, pengajaran, perhatian, do’a, motivasi, semangat, dan waktu yang telah diberikan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat waktu.

12)Rekan satu bimbingan Annisa Rizkina Rossa dan Reni Sanjaya, terima kasih atas perhatian, dukungan dan kebersamaannya dalam menjalankan proses tugas akhir.

13)Sahabat-sahabat karibku: Ciwow, Ewen, Satya, Eka, Iya, Mimi, Oel, Aida, Andi, Rofian, Reza, Miun, Sinta, Anggi, Methun, Luci, Anvina, Bang Oji, Idham, Edu, dll yang telah menjadi sahabat penulis dalam keadaan suku maupun duka.

14)Teman satu kosan, para BISMA’ers: Mbak Di, Itio, Dincut, Mak Cik, Dude, Mbak Imonk, Midun, Mbak Betet, Mbak Anggi, Mbak Asti. Terima kasih atas kebersamaannya, kasih sayang dan support yang telah diberikan selama ini. 15)Keluarga besar KPM 42 dan FEMA IPB yang tidak bisa penulis sebutkan satu

per satu. Terima kasih atas kebersamaanya selama tiga tahun terakhir.

16)Mba Hana dan Mba Rahma di Dokis, yang selalu siap membantu mencari pustaka untuk penyelesaian penulisan skripsi.


(23)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xvi DAFTAR GAMBAR ... xix DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1.Latar Belakang ... 1 1.2.Perumusan Masalah ... 4 1.3.Tujuan Penelitian ... 4 1.4.Kegunaan Penelitian ... 4

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 5 2.1. Tinjauan Pustaka ... 5 2.1.1. Tatanan Teoritik dan Empiris Struktur Agraria ... 5 2.1.2. Ciri Masyarakat Tani ... 7 2.1.3. Integrasi Masyarakat Tani ... 9

2.1.3.1. Mereka yang ”Menerima” Konversi Lahan

Pertanian ... 9 2.1.3.2. Ketahanan (persistence) Masyarakat Tani:

Mereka yang ”Menolak” Konversi

Lahan Pertanian ... 10 2.1.4. Konversi Lahan Pertanian ... 11 2.1.4.1. Pengertian Konversi Lahan Pertanian ... 11 2.1.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi

Lahan Pertanian ... 12 2.2. Kerangka Pemikiran ... 14 2.3. Definisi Konseptual ... 14 2.4. Definisi Operasional ... 15 2.5. Hipotesa Penelitian ... 17

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 18 3.1. Strategi Penelitian ... 18 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 19 3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 19 3.4. Teknik Analisis Data ... 20

BAB IV POTRET PERTANIAN KAMPUNG CIHARASHAS

DAN CIBEUREUM BATAS ... 22 4.1. Kampung Ciharashas ... 23

4.1.1. Proses Konversi Lahan Pertanian di Kampung

Cirahashas ... 23 4.1.2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Tani Ciharashas .. 26


(24)

xiv 4.2. Kampung Cibeureum Batas ... 27

4.2.1. Dinamika Sejarah Pertanian Cibeureum Batas ... 27 4.2.2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Tani Cibeureum

Batas ... 29

BAB V PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA

PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN ... 31 5.1. Pemilikan Lahan Pertanian ... 32 5.1.1. Kampung Ciharashas ... 32 5.1.2. Kampung Cibeureum Batas ... 35 5.2. Penguasaan Lahan ... 38

5.2.1. Kampung Ciharashas ... 39 5.2.2. Kampung Cibeureum Batas ... 42 5.3 Pemanfaatan Lahan ... 45

5.3.1. Kampung Ciharashas ... 46 5.3.2. Kampung Cibeureum Batas ... 48 5.4. Hubungan Perubahan Struktur Agraria terhadap Perubahan

Struktur Sosial Masyarakat Tani ... 50 5.4.1. Kampung Ciharashas ... 50 5.4.2. Kampung Cibeureum Batas ... 52 5.5 Ringkasan ... 54

BAB VI KETAHANAN (PERSISTENCE) MASYARAKAT

TANI PADA SEKTOR PERTANIAN ... 58 6.1. Kasus Kampung Ciharashas: Pemberian Hak Garap dari

Perusahaan ... 58 6.1.1. Pertanian sebagai Cultural Core Masyarakat Tani ... 62 6.1.2. Keterpaksaan dan Pilihan Menjadi Petani ... 64 6.2. Kasus Kampung Cibeureum Batas: Lahan Pertanian Milik

Sendiri ... 65 6.2.1. Lahan Pertanian: Harta Warisan Turun-temurun ... 66 6.2.2. Kesadaran Masyarakat terhadap Nilai Kontinuitas

Lahan Pertanian ... 68 6.3. Ringkasan ... 69

BAB VII USAHA BERTAHAN MASYARAKAT TANI

DI SEKTOR PERTANIAN ... 71 7.1. Strategi dalam Bertani ... 71

7.1.1. Kasus Kampung Ciharashas: Pindah Lokasi pertanian dan Budaya Gotong Royong ... 71 7.1.2. Kasus Kampung Cibeureum Batas: Pemasangan Harga

Lahan yang tinggi dan Budaya “Berhemat” ... 73 7.2. Bermata Pencaharian Ganda ... 75 7.3. Pinjam Meminjam Modal Produksi Pertanian ... 77 7.4 Ringkasan ... 78


(25)

xv BAB VIIIKESIMPULAN DAN SARAN ... 80

8.1. Kesimpulan ... 80 8.2. Saran ... 82


(26)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Cara Perolehan Lahan Petani Pemilik Kampung

Ciharashas, 2009 ... 33

Tabel 2. Jenis Petani Kampung Cirahashas, 2009 ... 33 Tabel 3. Status Hukum Lahan Petani Pemilik Kampung

Ciharashas, 2009 ... 34 Tabel 4. Perubahan Kepemilikan Lahan Pertanian Kampung

Ciharashas, 2009 ... 34 Tabel 5. Penggarap Lahan Pertanian Kampung Ciharashas, 2009 ... 35 Tabel 6. Jenis Petani Kampung Cibeureum Batas, 2009 ... 36 Tabel 7. Cara Perolehan Lahan Petani Pemilik Cibeureum Batas

2009 ... 36 Tabel 8. Status Hukum Lahan Petani Pemilik Kampung Cibeureum

Batas, 2009 ... 37 Tabel 9. Perubahan Kepemilikan Lahan Pertanian Cibeureum

Batas, 2009 ... 37 Tabel 10. Penggarap Lahan Pertanian Kampung Cibeureum Batas,

2009 ... 38 Tabel 11. Perubahan Penguasaan Lahan Pertanian di Kampung

Ciharashas, 2009 ... 39 Tabel 12. Keterangan Penguasaan Pertanian di Kampung

Ciharashas, 2009 ... 40 Tabel 13. Hubungan Sosial Antara Penggarap dan Majikan, Kampung

Ciharashas, 2009 ... 42 Tabel 14. Perubahan Penguasaan Lahan Pertanian Kampung

Cibeurem Batas, 2009 ... 42 Tabel 15. Keterangan Penguasaan Pertanian di Kampung Cibeureum

Batas, 2009 ... 43 Tabel 16. Hubungan Sosial Antara Penggarap dan Majikan,


(27)

xvii Tabel 17. Perubahan Pemanfaatan Lahan Pertanian Ciharashas,

2009 ... 47 Tabel 18. Alasan Pemilihan Komoditas Pertanian Masyarakat Tani

Kampung Ciharashas, 2009 ... 47 Tabel 19. Keputusan Penjualan Komoditas Hasil Pertanian di

Kampung Ciharashas, 2009 ... 48 Tabel 20. Perubahan Pemanfaatan Lahan Pertanian Cibeureum

Batas, 2009 ... 49 Tabel 21. Alasan Pemilihan Komoditas Pertanian Masyarakat Tani

Kampung Cibeureum Batas, 2009 ... 49 Tabel 22. Keputusan Penjualan Komoditas Hasil Pertanian

Masyarakat Tani Kampung Cibeureum Batas, 2009 ... 50 Tabel 23. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari

Perubahan Kepemilikan Lahan Pertanian Cirahashas,

2009 ... 51 Tabel 24. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari

Perubahan Penguasaan Lahan Pertanian Cirahashas,

2009 ... 52 Tabel 25. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari

Perubahan Pemanfaatan Lahan Pertanian CIrahashas,

2009 ... 52 Tabel 26. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari

Perubahan Kepemilikan Lahan Pertanian Cibeureum

Batas, 2009 ... 53 Tabel 27. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari

Perubahan Penguasaan Lahan Pertanian Cibeureum

Batas, 2009 ... 53 Tabel 28. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ditinjau dari

Perubahan Pemanfaatan Lahan Pertanian Cibeureum

Batas, 2009 ... 54 Tabel 29. Perbedaan Struktur Agraria Kampung Ciharashas dan

Cibeureum Batas ... 57 Tabel 30. Tiga Tipe Hubungan Produksi yang ditetapkan oleh Petani


(28)

xviii Tabel 31. Alasan Masih Bertahannya Masyarakat Tani di Sektor

Pertanian ... 70 Tabel 32. Rumusan Strategi Bertahan Masyarakat Tani di Sektor


(29)

xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lingkup Hubungan-hubungan Agraria ... 5 Gambar 2. Kerangka Pemikiran . ... 15 Gambar 3. Lingkup Hubungan Agraria Kampung Ciharashas dan

Cibeureum Batas ... 32 Gambar 4. Tingkatan Struktur Sosial Masyarakat Tani Ciharashas ... 56 Gambar 5. Tingkatan Struktur Sosial Masyarakat Tani Cibeureum


(30)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Kelurahan Mulyaharja ... 87 Lampiran 2. Potret Lokasi Pertanian Kampung Ciharashas ... 88 Lampiran 3. Potret Lokasi Pertanian Kampung Cibeureum Batas ... 89 Lampiran 4. Dokumentasi ... 90


(31)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Sumber-sumber agraria seperti tanah, air dan udara dalam sosiologi agraria dikenal sebagai salah satu faktor produksi strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti perumahan, industri, pertambangan, pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan lain sebagainya. Namun seiring bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan terjadinya peningkatan kebutuhan akan lahan, sementara luas lahan pada dasarnya tidak berubah. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya peristiwa alih fungsi lahan.

Alih fungsi lahan atau konversi lahan mengandung pengertian perubahan penggunaan lahan oleh manusia, yang dapat bersifat permanen maupun sementara. Dikatakan bersifat permanen, jika lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Akan tetapi apabila lahan tersebut berubah fungsi dari persawahan menjadi perkebunan, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara. Alih fungsi lahan yang bersifat permanen dampaknya lebih besar dari pada alih fungsi lahan yang bersifat sementara (Kivell, 1993).

Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama konversi lahan, pihak pelaku, pemanfaat konversi dan proses konversi dilakukan, Sihaloho (2004) membagi konversi ke dalam tujuh tipologi, yaitu: (1) konversi gradual-berpola sporadis. Diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang kurang produktif dan “keterdesakan ekonomi” pelaku konversi; (2) konversi sistematik berpola “enclave”. Pola konversi mencakup wilayah dalam bentuk “sehamparan tanah” secara serentak dalam waktu yang relatif sama; (3) konversi adaptasi demografi. Terjadi karena kebutuhan tempat tinggal/permukiman akibat pertumbuhan penduduk; (4) konversi yang disebabkan oleh masalah sosial. Terjadi karena motivasi untuk berubah dari masyarakat dengan meninggalkan kondisi lama dan bahkan keluar dari sektor pertanian; (5) konversi tanpa beban. Konversi yang dilakukan untuk melakukan aktivitas menjual tanah kepada pihak pemanfaat yang selanjutnya dimanfaatkan untuk peruntukan lain; (6) konversi adaptasi agraris.


(32)

2

Terjadi karena ingin meningkatkan hasil pertanian dan minat untuk bertani di tempat lain yang lebih produktif, dan; (7) konversi multi bentuk atau tanpa pola. Disebabkan oleh berbagai faktor khusunya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, untuk perdagangan, termasuk sistem waris.

Telah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk mensiasati fenomena konversi lahan pertanian tersebut. Salah satunya ialah dengan melakukan ekstensifikasi pertanian atau usaha pencetakan sawah di luar Pulau Jawa. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada periode 1981-1999, pemerintah dan masyarakat telah membangun sawah (ekstensifikasi) sekitar 3,2 juta hektar (84 persen) di luar Pulau Jawa. Namun, dalam kurun yang sama sekitar 1,6 juta hektar sawah (62,5 persen) di Pulau Jawa berubah fungsi menjadi kawasan perumahan, industri dan perdagangan, perkantoran, atau jalan. Pada tahun 1999-2002 lebih dramatis lagi, yaitu sekitar 188.000 hektar (70 persen) sawah per tahun di Pulau Jawa berubah fungsi, sementara pencetakan sawah baru hanya 46.400 hektar per tahun di luar Pulau Jawa.

Kelurahan Mulyaharja, merupakan salah satu wilayah di Pulau Jawa yang mengalami peristiwa konversi lahan pertanian. Luas Kelurahan ini ialah 477,005 hektar. Dari 477,005 hektar tersebut, sebanyak 70 persen telah diambil oleh pihak swasta untuk kepentingan “pengembangan pembangunan”.1 Petani dan buruh tani sulit mendapatkan tanah untuk digarap, sementara mereka menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Pada akhirnya, apabila lahan terkonversi seluruhnya maka akan berdampak pada kemunduran ekonomi atau terjadinya proses pemiskinan karena hilang atau berkurangnya akses atas tanah.

Fenomena konversi lahan pertanian sesungguhnya berimplikasi pada perubahan struktur agraria. Penelitian yang dilakukan oleh Sihaloho (2004) di Kelurahan Mulyaharja menunjukkan perubahan dalam pola penguasaan lahan, pola penggunaan lahan, pola hubungan agraria, pola nafkah agraria, dan lain sebagainya. Jika dilihat dalam hal pola penguasaan lahan, terjadi perubahan jumlah penguasaan lahan. Petani yang tadinya sebagai pemilik lahan berubah menjadi petani penggarap. Petani yang tadinya penggarap, berubah menjadi buruh

1

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan Kepala Kelurahan Mulyaharja, Bapak Usman, TZ.


(33)

3

tani. Dalam perubahan pola nafkah agraria, terjadi pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian sebagai akibat keterbatasan lahan dan terdesaknya ekonomi rumahtangga.

Kini masyarakat Mulyaharja banyak beralih kepada sumber mata pencaharian non-pertanian, seperti pedagang dan tukang ojeg. Namun masih ada masyarakat yang tetap mempertahankan pekerjaannya sebagai petani. Siasat yang dilakukannya untuk tetap menghasilkan pendapatan di jalan pertanian ialah memanfaatkan satu lahan untuk ditanami oleh berbagai macam komoditas pertanian yang ditanam dalam musim yang sama atau dikenal dengan istilah sistem penanaman tumpang sari. Tanaman yang banyak ditanam ialah talas, singkong, bambu, pisang dan padi. Perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat Kelurahan Mulyaharja merupakan gambaran strategi hidup yang diusahakan agar mampu bertahan di sektor pertanian. Komoditas pertanian yang dipilih didasarkan atas kebutuhan pasar pada saat ini. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud menggali faktor yang melatarbelakangi masih bertahannya masyarakat tani Kelurahan Mulyaharja di sektor pertanian serta usaha yang dilakukan untuk tetap menghasilkan pendapatan di jalan pertanian.

Penelitian yang dilakukan oleh Savitri dan Purwandari (2006) di Desa Sungai Aur dan Sungai Rambut, Propinsi Jambi, menjelaskan bahwa terdapat perbedaan stratifikasi sosial antara masyarakat asli dan pendatang. Stratifikasi sosial masyarakat asli berdasarkan pada kepemimpinan dan kekuasaan atas komunitas. Sedangkan pada masyarakat pendatang berdasarkan pada kondisi ekonomi. Akan tetapi, stratifikasi tertinggi dikuasai oleh masyarakat asli, karena mereka yang bisa memiliki lahan paling banyak. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa struktur agraria terkait dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk melihat apakah perubahan struktur agraria pada lahan sisa konversi pertanian berkenaan dengan pola pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian berhubungan dengan perubahan struktur sosial yang dialami oleh masyarakat tani Kelurahan Mulyaharja.


(34)

4

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan penjabaran di atas, maka perumusan masalah yang penting untuk diangkat ialah:

1) Bagaimana hubungan perubahan struktur agraria (pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian) pada lahan sisa konversi terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani?

2) Mengapa sebagian masyarakat tani masih mempertahankan lahan pertaniannya “dibalik” fenomena konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian?

3) Bagaimana usaha yang dilakukan masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Menganalisis bagaimana hubungan perubahan struktur agraria (pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian) pada lahan sisa konversi terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani.

2) Menganalisis mengapa sebagian masyarakat tani masih mempertahankan lahannya “dibalik” fenomena konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian. 3) Menganalisis bagaimana usaha yang dilakukan masyarakat tani untuk tetap

“bertahan” di sektor pertanian.

1.4. Kegunaan Penelitian

1) Bagi mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di lapangan.

2) Bagi pemerintah, sebagai masukan bagi pemerintah dalam upaya mengembalikan ”semangat pertanian” di tengah-tengah masyarakat agar terciptanya ketahanan pangan dan kelestarian pertanian Indonesia.

3) Bagi swasta, sebagai masukan bagi pihak swasta (private sector) agar lebih menyadari arti pentingnya penjagaan sistem ekologi sawah agar tidak dengan mudah mengeksploitasi sumberdaya lahan pertanian untuk kepentingan pasar.


(35)

5

Komunitas

Swasta

Sumber-sumber agraria

Pemerintah

Keterangan:

hubungan teknis agraria (kerja) hubungan sosial agraria

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Tatanan Teoritik dan Empiris Struktur Agraria

Secara kategoris, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumahtangga), pemerintah (sebagai representasi negara) dan swasta (private sector). Ketiga kategori sosial tersebut adalah pemanfaat sumber agraria, yang memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan (tenure institution). Hubungan pemanfaatan tersebut menunjuk pada dimensi teknis, atau lebih spesifik dimensi kerja. Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan seperti sumber-sumber agraria menunjuk pada dimensi sosial dalam hubungan-hubungan agraria. Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan membawa implikasi terbentuknya ragam hubungan sosial, sekaligus interaksi sosial, antara ketiga kategori subyek agraria (Sitorus, 2002) (Gambar 1).

Gambar 1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria

(Sumber: Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi)


(36)

6

Penguasaan lahan dan kepemilikan lahan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Menurut Wiradi (2008) bahwa konsep antara kepemilikan, dan penguasaan lahan perlu dibedakan. Kata “pemilikan” menunjuk pada penguasaan formal. Hak milik atas tanah berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki seseorang atas tanah, yaitu hak yang sah untuk menggunakannya, mengolahnya, menjualnya dan memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari permukaan tanah. Hal tersebut menyebabkan pemilikan atas tanah tidak hanya mengenai hak milik saja melainkan juga termasuk hak guna atas tanah yaitu suatu hak untuk memperoleh hasil dari tanah bukan miliknya dengan cara menyewa, menggarap dan lain sebagainya. Sedangkan kata penguasaan menunjukkan pada penguasaan efektif. Misalnya jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Kata pengusahaan/pemanfaatan nampaknya cukup jelas, yaitu menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif.

Pemilikan lahan tidak selalu mencerminkan penguasaan lahan, karena memang ada berbagai jalan untuk menguasai lahan, misalnya melalui sewa, sakap, gadai, dan sebagainya. Pemilik lahan luas biasanya tidak selalu menggarapnya sendiri. Sebaliknya pemilik tanah sempit dapat pula menggarap tanah orang lain melalui sewa atau sakap, di samping menggarap lahannya sendiri. Dengan demikian, penduduk pedesaan dapat dikelompokkan menjadi: (1) pemilik pengarap murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahannya sendiri; (2) penyewa dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan tetapi mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil; (3) pemilik penyewa dan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahan miliknya sendiri juga menggarap lahan milik orang lain; (4) pemilik bukan penggarap; dan (5) tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan dan tidak mempunyai lahan garapan (Wiradi, 2008).

Struktur agraria bukan saja bagian dari sistem produksi, namun merupakan faktor mendasar dari organisasi sosial dan politik dari masyarakat pedesaan. Karena itu terdapat keterkaitan yang erat antara struktur agraria dengan struktur


(37)

7

sosial2 dan kelembagaan di suatu masyarakat. Struktur agraria yang akan dilihat pada penelitian ini ialah hubungan antara subyek dengan sumber-sumber agraria berkenaan dengan penguasaan lahan, pemilikan lahan dan pemanfaatan lahan. Sistem tenurial3 yang umum diterapkan petani jika dilihat dari segi penguasaan lahan ialah sistem bagi hasil dan sistem gadai. Setiap sistem yang diterapkan memiliki latar belakang yang berbeda-beda, tergantung kepada “kondisi” yang dialami oleh petani pemilik dan petani penggarap (tunakisma).

Perubahan struktur agraria yang dimaksudkan mencakup perubahan pola pemilikan lahan, pola penguasaan lahan dan pemanfaatan lahan pertanian masyarakat. Konsep pemilikan pada penelitian ini berkaitan dengan jenis status hak pemilikan, cara perolehan lahan pertanian, perubahan luas lahan yang dimiliki dan pola hubungan produksi yang diterapkan pemilik. Sementara itu pola penguasaan lahan pada penelitian ini mencakup penguasaan tetap (pemilikan perorangan) dan penguasaan sementara. Selain itu, konsep penguasaan menunjuk pada penguasaan efektif.4

Hal-hal yang akan dilihat selanjutnya dalam penguasaan lahan ini berkenaan dengan hubungan penggarapan tanah (land tenancy pattern), seperti praktik penyakapan yang digunakan berikut istilahnya, para pelaku, hubungan antara pelaku, jenis tanaman yang biasa disakapkan, hak dan kewajiban pemilik maupun penggarap. Sementara itu untuk gambaran pemanfaatan lahan pertanian akan dilihat melalui jenis komoditi pertanian yang ditanam, alasan memilih komoditi, perlakuan terhadap hasil komoditi dan pola tanam yang dilakukan masyarakat (monokultur dan tumpang sari).

2.1.2. Ciri Masyarakat Tani

Bahari (2002) menyatakan bahwa secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada petani pedesaan, yaitu kepemilikan lahan secara de facto,

sub-2

Struktur sosial yang dimaksudkan dalam penelitian ini mengacu pada lima pembagian penduduk pedesaan yang dikemukakan oleh Gunawan Wiradi.

3

Suatu sistem yang hadir di dalam masyarakat dan menentukan hubungan sosial antara subyek-subyek agraria.

4

Misalnya, jika sebidang lahan disewakan kepada orang lain, maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Oleh sebab itu, jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri seluas 2 hektar dan juga menggarap lahan orang lain seluas 3 hektar, maka ia sedang menguasai 5 hektar lahan.


(38)

8

ordinasi legal dan kekhususan kultural. Lahan bagi petani bukan hanya memiliki arti material-ekonomi melainkan lebih dari itu, memiliki arti sosial-budaya. Luas lahan yang dimiliki petani merupakan simbol derajat sosial-ekonomi seseorang di komunitas desanya. Petani yang tidak memiliki lahan menjadi lapisan masyarakat yang paling rendah status sosialnya.

Menurut Shanin (1971) dalam Subali (2005), terdapat empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua, menggantungkan kehidupan kepada lahan. Bagi petani, lahan pertanian adalah segalanya. Lahan dijadikan sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang lebih tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta solidaritas sosial. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya keterbukaan petani berlahan luas untuk mempekerjakan petani yang tidak memiliki lahan atau berlahan sempit. Semua itu didorong oleh rasa solidaritas diantara sesama petani.

Keempat, petani cenderung sebagai pihak yang tersubordinasi namun tidak dengan mudah ditaklukan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka.

Penelitian yang dilakukan oleh Husken (1998) di Desa Gondosari, Pati, Jawa Tengah dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan mengenai ciri-ciri petani di Indonesia pada saat ini, yaitu:

1) Petani bermata pencaharian ganda. Selain bertani, masyarakat tani pada saat sekarang ini juga memiliki pekerjaan sampingan. Misalnya sebagai pedagang, buruh, supir dan lain sebagainya. Melihat kenyataan yang ada, pekerjaan sampingan tersebut ternyata merupakan pekerjaan pokoknya.

2) Tanaman yang diproduksi ialah tanaman yang tidak beresiko tinggi, artinya teknologinya dapat dengan mudah dikuasai. Misalnya tanaman talas, pisang, dan umbi-umbian. Pertimbangan lainnya ialah petani paham akan peluang pasar bagi tanaman yang diusahakan serta menguntungkan secara ekonomi. 3) Motif berusaha ialah mencari keuntungan, yang dilakukan dengan

mengintensifkan penggunaan lahan yang hasilnya akan dijual untuk mendapatkan uang tunai.


(39)

9

4) Petani ialah bagian dari sistem politik yang lebih besar, yang ditunjukkan dengan adanya partai-partai politik yang berpengaruh juga terhadap kepemimpinan di desa.

5) Petani subsisten secara mutlak tidak ada tetapi petani mempunyai hubungan yang kuat terhadap pasar tempat menjual hasil pertaniannya atau bahkan membeli barang di pasar untuk dijual di desanya dengan harapan memperoleh keuntungan.

Berbeda halnya dengan yang telah diungkapkan oleh Scott (1994) dalam

Purwandari (2006), bahwa petani merupakan golongan komunitas kecil yang memiliki prinsip “safety first” yang merupakan konsekuensi dari ketergantungan ekologis yang dikembangkan petani. Prinsip ini kemudian mempengaruhi pengaruh teknis, sosial dan moral dalam tatanan agraris pra-kapitalis. Kecenderungan menyukai kestabilan jangka panjang mempengaruhi sikap petani dalam merespon perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian, dimana petani tidak “betah” bekerja di sektor tersebut. Kondisi demikian berangkat dari posisi petani yang masih terikat dalam tatanan nilai-nilai feodalistik. Nilai-nilai ini lebih mendahulukan sikap nrimo terhadap berbagai kondisi, bahkan ketika lahan mereka untuk tempat mencari makan telah terkonversi menjadi perumahan sekalipun.

2.1.3. Integrasi Masyarakat Tani

2.1.3.1 Mereka yang ”Menerima” Konversi Lahan Pertanian

Menurut Redfield (1982), petani dapat juga didefinisikan sebagai seseorang yang mengendalikan secara efektif sebidang tanah yang dia sendiri sudah lama terikat oleh ikatan-ikatan tradisi dan perasaan. Tanah dan dirinya adalah bagian dari suatu hal, suatu kerangka hubungan yang telah berdiri lama. Seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya era globalisasi, terdapat beragam pandangan yang berbeda mengenai tanah/lahan pertanian. Pandangan masyarakat terhadap lahan sangat bermakna ekonomis. Lahan dianggap sebagai bentuk harta yang dengan mudah dilepas jika harga jualnya tinggi dan dijadikan sebagai alat untuk meningkatkan taraf hidup petani melalui pengembangan usaha


(40)

10

taninya. Sehingga makin tinggi nilai jual lahan yang ditawarkan, maka semakin besar pula kemungkinan untuk menjual lahan tersebut.

Peristiwa di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa petani telah terintegrasi ke dalam sistem ekonomi makro. Fenomena tersebut didukung oleh tulisan Friedmann (1992) dalam Purwandari (2006) tentang peasant dalam konteks sistem ekonomi. Ketika petani terintegrasi ke dalam sistem ekonomi, pada saat itu ciri-ciri kehidupan petani dalam berbagai segi akan mengadaptasikan diri sedemikian rupa sehingga perubahan-perubahan yang muncul akan terkait dengan sistem ekonomi dan juga budaya daerah setempat. Perubahan utama yang terlihat perubahan dalam orientasi produksi, penyesuaian strategi hidup yang dilakukan serta berubahnya nilai-nilai hidup yang dianut.

2.1.3.2. Ketahanan (persistence) Masyarakat Tani: Mereka yang “Menolak” Konversi Lahan Pertanian

Bagi masyarakat tani yang bertahan, berbagai daya upaya tetap dilakukan agar dapat terus “hidup” di sektor pertanian. Daryanto (2007) menjelaskan dua aspek penting ketahanan (persistence) masyarakat, yaitu (1) suatu keadaan untuk kembali pada situasi yang normal; (2) arah serta besaran dari perubahan di mana suatu lingkungan mampu menyesuaikan diri sehingga tidak terjadi pengaruh yang negatif. Dalam perkembangannya, konsep dan teori ketahanan masyarakat ini tidak semata-semata digunakan untuk menganalisis daya adaptasi ekologi apabila terjadi perubahan, tetapi juga banyak digunakan pada cabang ilmu pengetahuan sosial, temasuk di dalamnya sosiologi5.

Aktivitas sehari-hari masyarakat pedesaan sangat bergantung pada sumberdaya alam yang ditemui di sekitar mereka sehingga kesinambungan keberadaan sumberdaya alam tersebut merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi untuk mendukung keberlanjutan dari kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, Daryanto (2007) memaknai konsep ketahanan masyarakat sebagai suatu kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang berkelanjutan dengan dicirikan oleh

5

Sosiologi sendiri adalah salah satu cara pandang dalam khasanah ilmu pengetahuan yang tergolong ke dalam gugus ilmu-ilmu sosial. Semua ilmu sosial mengkaji objek yang sama yaitu realitas sosial berkenaan dengan kehidupan sosial manusia. Realitas sosial itu bersifat multi-dimensional sehingga tidak mungkin dipahami dengan hanya satu disiplin ilmu sosial.


(41)

11

(1) kemampuan untuk mengatasi tekanan, guncangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya; (2) kemampuan untuk mengelola dan meningkatkan kapabilitas serta aset yang dimiliki baik pada saat ini dan pada masa yang akan datang. Menurut Zusmelia (2007)6 sejumlah aspek yang mempengaruhi persistensi mayarakat dalam proses perubahan yang terjadiantara lain: aspek kekerabatan, kesukuan (culture), religi, kode etik yang disepakati di tingkat aktor dan derajat ketertanaman aktor dalam komunitas tersebut.

2.1.4. Konversi Lahan Pertanian

2.1.4.1. Pengertian Konversi Lahan Pertanian

Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan sumber hasil-hasil pertanian yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh. Faktor produksi lahan mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima dari lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya. Bagi petani, lahan mempunyai arti yang sangat penting. Karena dari situlah mereka dapat mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam dan beternak. Karena lahan merupakan faktor produksi dalam berusaha tani, maka keadaan status penggunaan terhadap lahan menjadi sangat penting.

Utomo et.al. (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazim disebut dengan konversi lahan sebagai perubahan penggunaan atau fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan sendiri. Sedangkan menurut Kustiawan (1997) pengertian konversi atau alih fungsi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya.

Sumaryanto et.al. (1994) menjelaskan alih guna tanah dari segi pengembangan sumberdaya merupakan suatu bentuk dari perubahan alokasi

6

Fokus dalam disertasi Zusmelia (2007) adalah keberadaan pasar nagari sebagai urat nadi perekonomian masyarakat nagari, sedangkan bias dari kekuatan ekonomi dunia telah membawa perubahan dalam pasar nagari itu sendiri, baik dari segi aktor yang terlibat, regulasi yang tercipta ataupun jaringan kerja sosial yang hidup dan terbina di dalamnya. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis bagaimana pasar nagari dapat bertahan dalam proses perubahan yang terjadi, bagaimana proses perubahan tersebut, kenapa demikian dan bagaimana dampaknya terhadap kelangsungan pasar dan ekonomi Masyarakat Nagari di Minangkabau.


(42)

12

sumberdaya antar sektor penggunaan. Akibat struktur transformasi perekonomian yang mengarah pada semakin meningkatnya peranan sektor non-pertanian, menyebabkan terjadinya komposisi, besaran dan laju penggunaan sumberdaya (tenaga kerja, modal dan tanah) antar sektor. Berdasarkan hal tersebut maka konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan penduduk terhadap lahan terus meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit dihindari.

2.1.4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian

Winoto (1996) dalam Priatno (1999) mengemukakan bahwa alih guna lahan merupakan suatu fenomena dinamik yang menyangkut aspek fisik dan aspek kehidupan masyarakat. Alih guna lahan pertanian ke non-pertanian, di samping berubahnya fenomena fisik luasan tanah pertanian juga berkaitan erat dengan berubahnya orientasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat. Menurut Nasoetion dan Winoto (1996), faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor: (1) ekonomi; (2) sosial, dan; (3) peraturan pertanahan yang ada.

Konversi lahan pertanian ini tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Di berbagai negara berkembang, konversi lahan tersebut umumnya dirangsang oleh transformasi struktur ekonomi yang semula bertumpu kepada sektor pertanian ke sektor ekonomi yang lebih bersifat industrial. Penelitian Syafa’at et.al. (2001) pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menentukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian adalah: (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan dan daya saing usaha tani meningkat. Faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu: perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat (Witjaksono, 1996).


(43)

13

Menurut Kustiawan (1997) faktor yang mempengaruhi kecenderungan dan pola spasial konversi lahan pertanian, yaitu privatisasi pembangunan kawasan industri, pembangunan permukiman skala besar serta deregulasi investasi dan perizinan. Permainan politik ini terdapat dalam kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri tertuang dalam Keputusan Presiden No. 53/1989 telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasi sesuai dengan mekanisme pasar. Hal inilah yang memacu peningkatan harga lahan, yang kemudian menjadi “penarik” bagi pemilik lahan pertanian untuk menjual atau melepaskan pemilikan lahannya untuk penggunaan non-pertanian. Kebijakan tersebut kembali diperkuat oleh kebijakan pembangunan permukiman skala besar serta deregulasi dalam penanaman modal dan perizinan, yang tertuang dalam Pakto-23/1993.7

Pandangan Kustiawan tersebut didukung oleh Pierce (1981), yang menyatakan bahwa konsumsi terhadap lahan merupakan manifestasi dari kekuatan-kekuatan demografis dan ekonomi. Selain dua hal tersebut, terdapat tujuh variabel yang secara konseptual berpengaruh, yaitu perubahan penduduk, fungsi ekonomi yang dominan, ukuran kota, rata-rata nilai lahan residensial, kepadatan penduduk, wilayah geografis dan kemampuan lahan untuk pertanian. Dalam perspektif lain, menurut Lyon dalam Setiawan (1994), terdapat tiga faktor eksternal yang mempengaruhi proses konversi lahan, yaitu (1) tingkat urbanisasi, (2) situasi perekonomian makro, dan (3) kebijakan dan program pembangunan pemerintah.

Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, secara garis besar disebabkan oleh keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin banyak jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Menurut Sihaloho (2004), konversi lahan pertanian disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) pertumbuhan penduduk; mengakibatkan meningkatnya kebutuhan lahan untuk permukiman. (2) Desakan

7

Di bidang pertanahan, dalam rangka pelaksanaan Pakto-23 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 2/1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah bagi Perusahaan dalam rangka Penanaman Modal, yang pada intinya memberikan berbagai kemudahan dalam perizinan lokasi.


(44)

14

ekonomi; yang mendorong motivasi untuk berubah. (3) Investasi pihak swasta; yang menawarkan membeli tanah dan tidak jarang disertai dengan paksaan dan “iming-iming” pekerjaan. (4) Intervensi pemerintah; yang berusaha mengikuti RTRW yang telah ada, dan (5) proses pengadaan tanah; yang lebih mendahulukan pihak yang lebih “dominan”.

2.2. Kerangka Pemikiran

Fenomena konversi lahan pertanian mengakibatkan terjadinya perubahan struktur agraria pada lahan pertanian (Sihaloho, 2004). Sehingga bagi masyarakat tani yang kehilangan lahan garapannya cenderung untuk mengalihkan mata pencaharian ke sektor non-pertanian. Di sisi lain, konversi lahan pertanian juga menyumbang terjadinya perubahan struktur agraria pada lahan yang menjadi sisa konversi tersebut. Diduga bahwa perubahan struktur agraria pada lahan sisa konversi tersebut berkaitan erat dengan perubahan struktur sosial masyarakat tani. Terjadinya perubahan struktur agraria dalam hal pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian sesungguhnya menggambarkan masih ada sebagian masyarakat tani yang bertahan di sektor pertanian. Ketahanan (persistence) masyarakat tani ini diduga berhubungan erat dengan kondisi sosial dan ekonomi yang ada di lingkungannya. Seperti rendahnya pendidikan yang dimiliki, serta kurangnya keterampilan/skill pada sektor non-pertanian. Sementara itu, usaha yang dilakukan oleh masyarakat tani untuk tetap bertahan diduga berkaitan erat dengan mata pencaharian ganda yang dilakukan, strategi yang dilakukan dalam bertani serta peminjaman alat dan biaya produksi (Gambar 2).

2.3. Definisi Konseptual

Sejumlah definisi konseptual yang menjadi pegangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Konversi lahan adalah adanya peristiwa alih fungsi lahan di luar kegiatan pertanian baik sebagian, maupun keseluruhan. Dalam hal ini, alih fungsi lahan yang dimaksud ialah pembangunan kompleks perumahan.

2. Struktur agraria adalah pola hubungan berbagai pihak yang terkait terhadap sumber-sumber agraria yang mencakup hubungan sosial dan teknis agraria,


(45)

15

Konversi lahan pertanian

Perubahan struktur agraria pada lahan pertanian (Sihaloho,

2004) X1

Perubahan struktur agraria pada lahan sisa

konversi pertanian

Masyarakat tani kehilangan lahan

garapan

Beralih kepada sektor

non-pertanian Masih ada sebagian

masyarakat tani yang “bertahan” di sektor pertanian

Strategi “bertahan” Y1

Perubahan struktur sosial masyarakat tani

Sosial Ekonomi

Keterangan:

:Mempengaruhi

Alasan “bertahan”

serta berkaitan erat dengan pola pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian.

3. Ketahanan masyarakat tani adalah kemampuan masyarakat tani untuk mengatasi tekanan, guncangan dan perubahan yang terkait dengan lingkungannya untuk kembali pada situasi yang normal.

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

2.4. Definisi Operasional

Pengukuran variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada perumusan penjabaran masing-masing variabel tersebut secara operasional. Variabel-variabel tersebut adalah:

1) Perubahan struktur sosial masyarakat tani (Y) ialah perubahan struktur sosial yang dialami oleh masyarakat tani berkaitan dengan perubahan pemilikan,


(46)

16

penguasaan dan pemanfaatan lahan pertanian pada lahan sisa konversi pertanian, dengan indikator:

a. Buruh tani/tunakisma mutlak ialah petani yang tidak memiliki lahan dan tidak memiliki penguasaan efektif terhadap lahan pertanian yang diusahakan.

b. Petani penggarap/penyewa dan penyakap murni ialah petani yang memiliki penguasaan efektif terhadap lahan yang dimiliki oleh pihak lain. c. Petani pemilik/pemilik penggarap murni dan pemilik bukan penggarap

ialah petani yang memiliki lahan pertanian dengan atau tanpa memiliki status hukum lahan pertanian.

d. Petani pemilik-penggarap/pemilik penyewa dan/atau pemilik penyakap ialah petani yang memiliki lahan pertanian sekaligus memiliki penguasaan efektif terhadap lahan yang dimiliki oleh orang lain.

2) Perubahan luas lahan yang dimilki (X1) ialah besar kisaran perubahan luas lahan pertanian yang dimiliki oleh rumahtangga tani dalam satuan hektar dari periode bertani sejak awal hingga 2009, dengan indikator:

a. Tunakisma : 0 hektar

b. Sempit : 0,01-0,49 hektar c. Sedang : 0,5-0,99 hektar d. Luas : 1 hektar

3) Perubahan luas penguasaan lahan pertanian (X2)ialah perubahan penguasaan lahan pertanian secara efektif dalam satuan hektar dari periode bertani sejak awal hingga 2009, dengan indikator:

a. Sempit : 0,01-0,49 hektar b. Sedang : 0,5-0,99 hektar c. Luas : 1 hektar

4) Perubahan pemanfaatan lahan pertanian (X3) ialah perubahan pola tanam yang diterapkan oleh masyarakat tani, dengan indikator:

a. Monokultur ialah penerapan pola tanam dengan satu jenis tanaman pada satu lahan.

b. Campur/sistem tumpang sari ialah penerapan pola tanam dengan berbagai jenis tanaman pada satu lahan berdasarkan musim.


(47)

17

2.5. Hipotesa Penelitian

Untuk kepentingan penelitian ini, sesuai dengan tujuannya diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1) Diduga bahwa terdapat hubungan antara perubahan struktur agraria dalam hal kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan pada lahan sisa konversi pertanian terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani.

2) Ketahanan (persistence) masyarakat tani berkaitan erat dengan faktor ekonomi dan sosial yang ada di lingkungannya.

3) Usaha yang dilakukan masyarakat tani agar tetap bertahan di sektor pertanian diduga berkaitan erat dengan: (1) strategi yang dilakukan dalam bertani; (2) mata pencaharian ganda, dan; (3) pinjaman alat dan biaya produksi.


(48)

18

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Strategi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan memadukan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dipilih karena mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci tentang suatu gejala sosial. Dimana peneliti hendak mengkaji realitas sosial yang menggambarkan mengapa masyarakat tani dapat bertahan “dibalik” semakin banyaknya lahan pertanian dikonversi menjadi non-pertanian dan bagaimana proses ataupun pola-pola adaptasi yang dibangun masyarakat tani itu sendiri dalam mempertahankan lahan pertanian mereka. Pendekatan kuantitatif dipilih bertujuan untuk melengkapi pendekatan kualitatif yang dilakukan terutama dalam menggambarkan pengaruh perubahan struktur agraria pada lahan sisa8 konversi pertanian yang mencakup pola pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan terhadap perubahan struktur masyarakat tani pada lahan sisa konversi pertanian.

Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dan survei. Studi kasus merupakan studi aras mikro (menyoroti satu atau beberapa kasus) dan studi kasus merupakan strategi penelitian yang bersifat multi-metode (wawancara, observasi dan analisis dokumen). Diharapkan dengan strategi tersebut, peneliti dapat lebih mudah memahami permasalahan penelitian secara lebih mendalam dan menyeluruh. Metode studi kasus yang digunakan adalah bersifat eksplanasi. Artinya, penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan alasan mengapa masyarakat tani masih bertahan di sektor pertanian. Selain itu, suvei digunakan peneliti untuk menggali perubahan struktur agraria yang terjadi pada lahan sisa konversi tersebut. Adapun unit kasus dalam penelitian ini adalah komunitas dan unit survei dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani.

8

Maksud lahan sisa konversi pada penelitian ini ialah masih tersisanya lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja sebagai salah satu wilayah sasaran untuk pengembangan pembangunan.


(49)

19

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor dengan memfokuskan pada daerah yang menjadi “sisa” konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Pemilihan lokasi penelitian tersebut dilakukan secara purposive karena masih menyisakan lahan pertanian terluas dan merepresentasikan dua kasus yang berbeda. Pada Kampung Ciharashas, mayoritas lahan pertaniannya telah dimiliki oleh pihak swasta. Sementara itu pada Kampung Cibeureum Batas, mayoritas lahan pertaniannya masih dimiliki oleh masyarakat setempat. Peneliti bermaksud untuk melihat alasan masih bertahannya masyarakat tani di sektor pertanian serta strategi bertahan yang dilakukan masyarakat tani di kedua kawasan tersebut.

Penelitian (dari proses penjajagan lapangan, menentukan informan, pelaksanaan penelitian hingga proses penulisan laporan penelitian) dilaksanakan mulai Bulan Maret-Agustus 2009. Dalam pengambilan data peneliti tinggal bersama tineliti objek penelitian di lapangan dalam jangka waktu lebih kurang satu bulan lamanya. Proses ini dilakukan peneliti untuk dapat mengetahui bagaimana kondisi demografis lokasi penelitian dan dalam rangka membangun hubungan sosial yang dekat antara peneliti dengan tineliti.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dari pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi metodologi (kombinasi beberapa metode pengumpulan data), yaitu: wawancara mendalam (indepth interview), observasi lapang dan penelusuran dokumen atau literatur. Hal ini dilakukan peneliti agar dapat memperoleh kombinasi data yang akurat, sehingga dapat menjelaskan gejala sosial yang berkaitan dengan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian dan perubahan struktur agraria masyarakat yang terjadi pada lahan sisa konversi.

Wawancara mendalam dilakukan dengan informan yang dipilih secara purposive, yaitu informan yang sesuai dan dianggap mampu menjelaskan berbagai realitas sosial yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Dalam proses mendapatkan informan, peneliti akan melakukan wawancara mendalam dengan


(50)

20

tokoh masyarakat (seperti pemuka agama, lurah dan lain sebagainya) yang ada di kelurahan tersebut yang kemudian diteruskan dengan cara snowball (efek bola salju). Informan tersebut akan mentransfer informasi dengan cara menceritakan kembali gejala sosial yang terjadi di masyarakat ketika proses konversi lahan pertanian terjadi.

Selain melakukan wawancara mendalam, peneliti juga melakukan observasi berperanserta terbatas. Artinya, pengamatan dilakukan oleh peneliti dengan wawancara informal dan formal dengan berperanserta dalam beberapa kegiatan tineliti, seperti ngarambet. Ini merupakan kegiatan menggemburkan tanah sekaligus menghilangkan gulma pada permukaan tanah. Pengamatan ini dilakukan agar memudahkan peneliti dalam memahami kondisi di sekitar tineliti secara langsung mengenai keadaan masyarakat setempat, merasakan, dan melihat beragam fenomena/peristiwa yang diharapkan dapat diperoleh pemaknaan yang sama antara peneliti dan tineliti.

Pengumpulan data dengan pendekatan kuantitatif melalui teknik penggunaan instrumen kuesioner yang telah dibuat sebelumnya. Responden diperoleh melalui metode pemilihan sampel secara simple random sampling yang berasal dari dua wilayah yang merepresentasikan dua kasus berbeda. Total responden yang diambil pada kedua kampung tersebut berjumlah 40 KK. Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer penelitian diperoleh dari informan dan responden. Data yang bersumber dari informan meliputi data mengenai bentuk atau pola-pola adaptasi yang dibangun oleh masyarakat tani pada lahan sisa konversi pertanian. Data yang bersumber dari responden adalah gambaran perubahan struktur agraria berdasarkan kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan rumahtangga petani. Data sekunder penelitian diperoleh melalui dokumen-dokumen tertulis baik yang berupa tulisan ilmiah ataupun dokumen laporan yang diterbitkan oleh kelurahan setempat.

3.4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dari pendekatan kualitatif dilakukan sejak awal pengumpulan data, dimana dalam melakukan pengumpulan data peneliti juga melakukan analisis data secara bersamaan. Analisis data primer dan sekunder


(51)

21

(bahan empirik) diolah dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi (Sitorus, 1998).

Tahap pertama, reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, megeliminasi data-data yang tidak diperlukan dan mengorganisir data sedemikian sehingga didapatkan kesimpulan akhir. Peneliti juga membagi data ke dalam beberapa fokus penelitian yang disesuaikan untuk menjawab perumusan masalah yang ada. Data yang terkait dengan sejarah, dinamika dan gambaran umum desa dikelompokkan tersendiri, dan begitu pula dengan data yang menerangkan bab lain yang sejenis dikumpulkan sesuai sub-bab yang ditentukan. Tahap kedua, data yang telah direduksi akan disajikan dalam bentuk deskriptif (teks naratif) maupun matriks yang menggambarkan dinamika sejarah lahan pertanian, kemudian alasan masih bertahannya masyarakat tani beserta usaha yang dilakukannya untuk tetap bertahan di sektor pertanian, sehingga diharapkan dapat menjawab perumusan masalah yang telah ditetapkan.

Tahap ketiga adalah penarikan kesimpulan melalui verifikasi yang dilakukan peneliti sebelum peneliti menarik kesimpulan akhir. Artinya, terdapat satu tahapan dimana proses penarikan kesimpulan penelitian dilakukan bersama dengan para informan yang merupakan subyek dalam penelitian ini. Cara yang dilakukan ialah upaya kroscek data kepada informan lainnya yang dianggap mengerti terhadap suatu permasalahan sehingga dapat diketahui kualitas kebenarannya. Kemudian, tentunya dalam menarik kesimpulan akhir, peneliti mengkonsolidasikan masalah dan tujuan dengan analisis dalam penelitian ini.Data informasi yang diperoleh dari pendekatan kuantitatif akan dianalisis secara kuantitatif. Analisis data secara kuantitatif dilakukan dengan tabulasi silang dan tabulasi frekuensi yang menggambarkan pola penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan lahan pertanian serta memberikan interpretasi secara deskriptif pada data tersebut sehingga data dapat mudah dipahami maknanya.


(52)

22

BAB IV

POTRET PERTANIAN KAMPUNG CIHARASHAS

DAN CIBEUREUM BATAS

Secara harfiah, Mulyaharja berasal dari kata mulya dan harja. Mulya berarti baik dan harja berarti hati. Maka jika digabungkan Mulyaharja berarti hati yang baik. Mulyaharja sejak dahulu sudah digunakan sebagai nama sebuah daerah dan diwariskan secara turun-temurun pada generasi berikutnya hingga saat ini. Kelurahan yang luasnya ± 477,005 hektar ini terletak di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Kelurahan Mulyaharja yang mempunyai ketinggian 420 meter dari permukaan laut terbagi ke dalam 12 RW. dan 55 RT. yang berbatasan dengan:

1) Sebelah Utara : Kelurahan Cikaret 2) Sebelah Selatan : Desa Sukaharja 3) Sebelah Timur : Desa Sukamantri 4) Sebelah Barat : Kelurahan Pamoyanan

Jumlah penduduk yang ada di kelurahan ini mencapai 13.366 jiwa. Data monografi Kelurahan Mulyaharja pada Bulan Maret 2009 menunjukkan bahwa sebanyak 7.383 jiwa penduduk usia kerja produktif (16-54 tahun), yang bermata pencaharian sebagai petani ialah sebanyak 300 jiwa atau sebesar 4,06 persen.

Dahulunya, mayoritas mata pencaharian masyarakat Kelurahan Mulyaharja ialah petani. Akan tetapi sebagai akibat terjadinya peristiwa konversi lahan pertanian, maka saat ini sebagian masyarakat mengalami perubahan mata pencaharian ke sektor non-pertanian, diantaranya banyak yang menjadi buruh pada home industry sandal, berdagang dan pertukangan.9 Walaupun demikian, masih terdapat masyarakat yang “bertahan” pada sektor pertanian. Mayoritas dari masyarakat yang “bertahan” merupakan petani penggarap dan sisanya ialah petani milik serta sebagian kecil lagi merupakan buruh tani.

Luas lahan pertanian dan perkebunan yang tersisa di Kelurahan Mulyaharja saat ini hanya sebesar 135 hektar atau sebesar 28,27 persen. Wilayah

9

Berdasarkan hasil wawancara mendalam kepada pihak kelurahan mengenai dampak peristiwa konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian terhadap perubahan mata pencaharian masyarakat tani.


(53)

23

yang masih menyisakan lahan pertanian terbesar (dalam hal ini persawahan) ialah RW. 01, 02, 03 dan 11.10 Dari keempat RW. tersebut, yang menjadi pilihan lokasi penelitian ialah RW. 01 (Kampung Ciharashas) dan RW. 11 (Kampung Cibeureum Batas). Secara metodologi, kedua kampung tersebut dipilih karena merepresentasikan dua kasus yang berbeda dan merupakan wilayah pertanian terluas.

4.1. Kampung Ciharashas

4.1.1. Proses Konversi Lahan Pertanian di Kampung Ciharashas

Berdasarkan penuturan informan, para leluhur menamai kampung dengan sebutan Ciharashas dikarenakan air yang ada di kampung tersebut tidak pernah berkurang. Hal ini terbukti ketika musim kemarau tiba, air tetap mudah diakses untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pasokan air yang tidak pernah habis ini berdampak positif pada kondisi pertanian di Kampung Ciharashas. Oleh sebab itu, Kampung Ciharashas mempunyai lahan pertanian yang lebih luas jika dibandingkan dengan beberapa kampung lain di Kelurahan Mulyaharja.

Kampung Ciharashas merupakan salah satu kampung yang terletak di RW. 01 Kelurahan Mulyaharja. Tingkat pendidikan penduduk di RW. 01 adalah mayoritas merupakan lulusan Sekolah Dasar. Mata pencaharian yang paling banyak digeluti oleh penduduk RW. 01 ialah sebagai buruh. Luas keseluruhan wilayah RW. 01 ialah ± 76 hektar yang terbagi ke dalam dua kampung, yaitu Kampung Ciharashas dan Lemah Duhur. Masing-masing luas kampung tersebut ialah enam hektar dan 20 hektar (di luar peruntukan lahan pertanian). Secara administratif, Kampung Ciharashas terdiri dari lima RT. yang berbatasan dengan:

1) Sebelah Utara : RW. 06 2) Sebelah Selatan : RW. 02 3) Sebelah Timur : RW. 08 4) Sebelah Barat : RW. 11

Lahan pertanian di Kampung Ciharashas lebih luas jika dibandingkan dengan Kampung Lemah Duhur. Luas lahan pertanian di Kampung Ciharashas ini

10

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan pihak kelurahan, bagian pengembangan sumberdaya manusia dan pertanahan.


(54)

24

berkisar 40 hektar, sedangkan di Kampung Lemah Duhur hanya 10 hektar. Hal ini menyebabkan mayoritas mata pencaharian penduduk di Kampung Ciharashas ialah petani, khususnya petani penggarap. Hal ini terjadi karena mayoritas lahan pertanian yang ada di kampung tersebut dimilki oleh pihak swasta, yaitu PT. PW.

Awalnya, sebagian besar lahan pertanian yang ada di Kampung Ciharashas dimiliki oleh orang luar Kelurahan Mulyaharja, seperti yang berasal dari Desa Sukaharja, Kota Batu, dan lain-lain. Akan tetapi, setelah kontraktor dari PT. PW masuk pada tahun 1990, harga tanah mengalami perubahan, bahkan melonjak tajam. Harga tanah yang awalnya berkisar Rp. 1.800,00 per meter menjadi Rp. 5.000,00 per meter. Oleh karena itu, banyak orang yang tinggal di luar Kelurahan Mulyaharja tertarik untuk menjual lahan pertanian yang dimilikinya.

PT. PW merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang properti. Tentu saja perusahaan ini membutuhkan lahan agar dapat membangun kompleks perumahan sesuai dengan permintaan konsumen. PT. PW memiliki cara tersendiri untuk dapat membeli lahan11 yang ada di Kelurahan Mulyaharja. Pada awalnya PT. PW membeli lahan yang terletak di pinggir-pinggir kali. Setelah lahan pertanian yang ada dipinggir kali tersebut telah terjual, langkah selanjutnya ialah memberi patokan atau pagar tinggi pada lahan yang berhasil didapat. Sehingga bagi masyarakat tani yang memiliki posisi lahan di tengah-tengah kesusahan untuk mengakses lahan miliknya sendiri.

Keberhasilan PT. PW dalam memperoleh lahan tidak terlepas dari usaha para biong12 yang ada di Mulyaharja. Biong-biong tersebut berusaha mendapatkan rezeki melalui para petani yang ingin menjual lahan pertanian miliknya. Upah akan diperoleh dari lahan yang berhasil dijual. Bagi petani yang tidak mau menjual lahan miliknya, maka biong akan mendatanginya terus-menerus dan membujuk untuk segera menjual lahannya. Apabila bujuk dan rayu tidak berhasil, maka biong akan memberikan informasi palsu untuk menakut-nakuti para petani pemilik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak RT 0X (petani pemilik):

11

Lahan di sini, dalam artian berupa lahan tidur maupun lahan pertanian yang dimiliki atau sedang digarap masyarakat tani.

12

Biong adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat Kelurahan Mulyaharja kepada para makelar yang membujuk masyarakat untuk menjual lahan pertanian milik mereka.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Lampiran 4. Dokumentasi

1)

Kampung Ciharashas

Kondisi lahan pertanian yang berbentuk hamparan

Kondisi perumahan masyarakat tani Ciharashas


(6)

2)

Kampung Cibeureum Batas

Kondisi lahan pertanian yang dikelilingi oleh jalan dan rumah penduduk

Usaha home industry pembuatan sandal dan sepatu

Sistem penanaman tumpang sari Penanaman Palawija di Cibeureum Batas