Ciri Masyarakat Tani Tinjauan Pustaka 1. Tatanan Teoritik dan Empiris Struktur Agraria

sosial 2 dan kelembagaan di suatu masyarakat. Struktur agraria yang akan dilihat pada penelitian ini ialah hubungan antara subyek dengan sumber-sumber agraria berkenaan dengan penguasaan lahan, pemilikan lahan dan pemanfaatan lahan. Sistem tenurial 3 yang umum diterapkan petani jika dilihat dari segi penguasaan lahan ialah sistem bagi hasil dan sistem gadai. Setiap sistem yang diterapkan memiliki latar belakang yang berbeda-beda, tergantung kepada “kondisi” yang dialami oleh petani pemilik dan petani penggarap tunakisma. Perubahan struktur agraria yang dimaksudkan mencakup perubahan pola pemilikan lahan, pola penguasaan lahan dan pemanfaatan lahan pertanian masyarakat. Konsep pemilikan pada penelitian ini berkaitan dengan jenis status hak pemilikan, cara perolehan lahan pertanian, perubahan luas lahan yang dimiliki dan pola hubungan produksi yang diterapkan pemilik. Sementara itu pola penguasaan lahan pada penelitian ini mencakup penguasaan tetap pemilikan perorangan dan penguasaan sementara. Selain itu, konsep penguasaan menunjuk pada penguasaan efektif. 4 Hal-hal yang akan dilihat selanjutnya dalam penguasaan lahan ini berkenaan dengan hubungan penggarapan tanah land tenancy pattern, seperti praktik penyakapan yang digunakan berikut istilahnya, para pelaku, hubungan antara pelaku, jenis tanaman yang biasa disakapkan, hak dan kewajiban pemilik maupun penggarap. Sementara itu untuk gambaran pemanfaatan lahan pertanian akan dilihat melalui jenis komoditi pertanian yang ditanam, alasan memilih komoditi, perlakuan terhadap hasil komoditi dan pola tanam yang dilakukan masyarakat monokultur dan tumpang sari.

2.1.2. Ciri Masyarakat Tani

Bahari 2002 menyatakan bahwa secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada petani pedesaan, yaitu kepemilikan lahan secara de facto, sub- 2 Struktur sosial yang dimaksudkan dalam penelitian ini mengacu pada lima pembagian penduduk pedesaan yang dikemukakan oleh Gunawan Wiradi. 3 Suatu sistem yang hadir di dalam masyarakat dan menentukan hubungan sosial antara subyek-subyek agraria. 4 Misalnya, jika sebidang lahan disewakan kepada orang lain, maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Oleh sebab itu, jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri seluas 2 hektar dan juga menggarap lahan orang lain seluas 3 hektar, maka ia sedang menguasai 5 hektar lahan. ordinasi legal dan kekhususan kultural. Lahan bagi petani bukan hanya memiliki arti material-ekonomi melainkan lebih dari itu, memiliki arti sosial-budaya. Luas lahan yang dimiliki petani merupakan simbol derajat sosial-ekonomi seseorang di komunitas desanya. Petani yang tidak memiliki lahan menjadi lapisan masyarakat yang paling rendah status sosialnya. Menurut Shanin 1971 dalam Subali 2005, terdapat empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua, menggantungkan kehidupan kepada lahan. Bagi petani, lahan pertanian adalah segalanya. Lahan dijadikan sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang lebih tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta solidaritas sosial. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya keterbukaan petani berlahan luas untuk mempekerjakan petani yang tidak memiliki lahan atau berlahan sempit. Semua itu didorong oleh rasa solidaritas diantara sesama petani. Keempat , petani cenderung sebagai pihak yang tersubordinasi namun tidak dengan mudah ditaklukan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Husken 1998 di Desa Gondosari, Pati, Jawa Tengah dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan mengenai ciri-ciri petani di Indonesia pada saat ini, yaitu: 1 Petani bermata pencaharian ganda. Selain bertani, masyarakat tani pada saat sekarang ini juga memiliki pekerjaan sampingan. Misalnya sebagai pedagang, buruh, supir dan lain sebagainya. Melihat kenyataan yang ada, pekerjaan sampingan tersebut ternyata merupakan pekerjaan pokoknya. 2 Tanaman yang diproduksi ialah tanaman yang tidak beresiko tinggi, artinya teknologinya dapat dengan mudah dikuasai. Misalnya tanaman talas, pisang, dan umbi-umbian. Pertimbangan lainnya ialah petani paham akan peluang pasar bagi tanaman yang diusahakan serta menguntungkan secara ekonomi. 3 Motif berusaha ialah mencari keuntungan, yang dilakukan dengan mengintensifkan penggunaan lahan yang hasilnya akan dijual untuk mendapatkan uang tunai. 4 Petani ialah bagian dari sistem politik yang lebih besar, yang ditunjukkan dengan adanya partai-partai politik yang berpengaruh juga terhadap kepemimpinan di desa. 5 Petani subsisten secara mutlak tidak ada tetapi petani mempunyai hubungan yang kuat terhadap pasar tempat menjual hasil pertaniannya atau bahkan membeli barang di pasar untuk dijual di desanya dengan harapan memperoleh keuntungan. Berbeda halnya dengan yang telah diungkapkan oleh Scott 1994 dalam Purwandari 2006, bahwa petani merupakan golongan komunitas kecil yang memiliki prinsip “safety first” yang merupakan konsekuensi dari ketergantungan ekologis yang dikembangkan petani. Prinsip ini kemudian mempengaruhi pengaruh teknis, sosial dan moral dalam tatanan agraris pra-kapitalis. Kecenderungan menyukai kestabilan jangka panjang mempengaruhi sikap petani dalam merespon perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian, dimana petani tidak “betah” bekerja di sektor tersebut. Kondisi demikian berangkat dari posisi petani yang masih terikat dalam tatanan nilai-nilai feodalistik. Nilai-nilai ini lebih mendahulukan sikap nrimo terhadap berbagai kondisi, bahkan ketika lahan mereka untuk tempat mencari makan telah terkonversi menjadi perumahan sekalipun.

2.1.3. Integrasi Masyarakat Tani