BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
Sebagai  akibat  konversi  lahan  pertanian,  mengakibatkan  terjadinya perubahan  struktur  agraria  pada  lahan  sisa  konversi  pertanian.  Pada  Kampung
Ciharashas, terjadi perubahan pada land tenure pattern dalam hal luas pemilikan
lahan  dan  cara  perolehan  penguasaan  lahan  pertanian.  Pola  penguasaan  dengan sistem  penggarapan  banyak  ditemukan  di  Kampung  Ciharashas.  Hal  ini
disebabkan oleh pemberian kesempatan menggarap oleh pihak PT. PW, sehingga mengakibatkan  bertambahnya  luas  penguasaan  lahan  pertanian.  Akan  tetapi,
bertambahnya luas
penguasaan lahan
pertanian tidak
mencerminkan “keterjaminan”  hidup  di  masa  yang  akan  datang,  karena  pada  dasarnya  mereka
menggarap  lahan  pertanian  yang  akan  dialihfungsikan  ke  non-pertanian.  Ketika nantinya  lahan  tersebut  diambil  kembali,  maka  akan  hilang  pengharapan  untuk
hidup.  Sementara  itu  pada  land  tenancy  pattern,  terjadi  perubahan  pada  praktik penyakapan yang digunakan serta para pelaku yang terlibat di dalamnya.
Sebaliknya  pada  Kampung  Cibeureum  Batas,  perubahan  struktur  agraria yang terjadi hanya pada hal land tenancy pattern, berkaitan dengan praktik sakap
yang digunakan. Tidak begitu banyak perubahan struktur agraria yang ditemukan di kampung  ini. Hal ini disebabkan oleh konsistensi keberadaan lahan pertanian.
Perbedaan  perubahan  struktur  agraria  yang  ditampilkan  oleh  kedua  kampung dipengaruhi  oleh  kondisi  geografis  lahan  pertanian  itu  sendiri.  Kampung
Ciharashas  misalnya,  karena  lahan  pertanian  berbentuk  hamparan,  maka berpotensi  untuk  dijadikan  sebagai  kawasan  perumahan  di  masa  yang  akan
datang.  Berbeda  halnya  dengan  kampung  Cibeureum  Batas,  dimana  lahan pertanian dikelilingi oleh jalan dan rumah penduduk sehingga pihak swasta tidak
tertarik  untuk  menjadikannya  sebagai  aset  pembangunan  perumahan,  seperti  di kampung Ciharashas.
Perubahan  struktur  agraria  erat  kaitannya  terhadap  perubahan  struktur sosial  masyarakat  tani.  Pada  Kampung  Ciharashas,  terjadi  perubahan  dari  petani
pemilik  ke  petani  penggarap,  dari  petani  pemilik  ke  petani  pemilik-penggarap,
serta  non-pertanian  menjadi  petani  pemilik.  Sehingga  pada  saat  ini  terdapat  tiga tingkatan struktur sosial petani yang ditemukan di Kampung Ciharashas, yaitu: 1
petani  pemilik-penggarap;  2  petani  pemilik;  3  petani  penggarap  tunakisma. Sedangkan pada kampung Cibeureum Batas, terjadi perubahan dari petani pemilik
ke buruh tani dan dari petani pemilik menjadi petani pemilik-penggarap. Dengan demikian terdapat tiga tingkatan struktur sosial yang ada di kampung Cibeureum
Batas, yaitu: 1 petani pemilik-penggarap; 2 petani pemilik, dan; 3 buruh tani tunakisma.  Tingkatan  struktur  sosial  petani  tersebut  didasarkan  kepada  luas
pemilikan dan penguasaan terhadap lahan pertanian. Ketahanan persistence yang ditampilkan oleh masyarakat tani Kampung
Ciharashas  dan  Cibeureum  Batas  disebabkan  oleh  masih  eratnya  kekerabatan yang  dimiliki  oleh  petani.  Apabila  melihat  perbedaan  di  antara  kedua  kampung,
pada  Kampung  Ciharashas  ketahanan  persistence  masyarakat  tani  disebabkan masih  diberikannya  kesempatan  menggarap  oleh  pihak  swasta.  Ketika  lahan
tersebut diambil, maka putus harapan untuk menyambung hidup. Sedangkan pada kasus  Kampung  Cibeureum  Batas,  masih  bertahannya  masyarakat  tani  di  sektor
pertanian  disebabkan  oleh  keberadaan  lahan  pertanian  yang  tidak  terjamah  oleh pihak  swasta.  Hal  ini  dilatarbelakangi  oleh  kondisi  lahan  pertanian  yang  terletak
di antara permukiman penduduk. Terdapat  tiga  macam  usaha  yang  dilakukan  oleh  masyarakat  tani  untuk
tetap “bertahan” di sektor pertanian, yaitu: 1 melakukan strategi dalam bertani; 2  melakukan  mata  pencaharian  ganda,  dan;  3  melakukan  pinjaman  kepada
keluarga  maupun  tetangga.  Ada  perbedaan  strategi  yang  ditampilkan  oleh masyarakat tani dikedua kampung. Perbedaan tersebut didasari oleh karakteristik
yang  dimiliki  petani.  Lahirnya  perbedaan  karakteristik  tersebut  disebabkan  oleh bentuk  lahan  pertanian  dan  letak  perumahan  petani.  Pada  Kampung  Ciharashas,
lahan pertanian berbentuk hamparan dan rumah petani tidak dekat dengan lahan, melainkan  terkumpul  pada  suatu  titik.  Oleh  karena  itu  strategi  yang  ditampilkan
ialah  liuran,  yaitu  budaya  gotong  royong  antar  petani  untuk  menghemat pengeluaran  mengupah  buruh.  Sedangkan  pada  Kampung  Cibeureum  Batas
menekankan  pada  penghematan  pupuk  yang  digunakan.  Hal  ini  dilatarbelakangi
oleh  letak  lahan  yang  berdekatan  dengan  rumah,  dan  terpencar-pencar  antara petani satu tani dan yang lainnya.
8.2. Saran