lebih jelas untuk menyambung hidup daripada uang dalam jumlah yang besar dari hasil menjual lahan. Selain dapat memenuhi kebutuhan rumahtangga sehari-hari,
lahan dapat dijadikan sebagai jaminan masa depan bagi anak dan cucu. Pola inilah yang kerap ditemukan pada masyarakat tani Kampung Cibeureum batas. Seperti
yang terangkup dalam pernyataan Bapak S petani pemilik: “ uang itu cepet habis. Kalo lahan asalkan digarap terus, gak
bakalan pernah habis. Makanya saya gak mau jual. Bisa-bisa nanti anak istri saya gak makan. Informan. ”
6.3. Ringkasan
Kampung Ciharashas dan Kampung Cibeureum Batas memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal pemilikan lahan pertanian. Di Kampung Ciharashas,
lahan pertaniannya mayoritas dimiliki oleh pihak swasta, sehingga mayoritas penduduknya merupakan petani penggarap. Petani pemilik, pemilik-penggarap
dan buruh tani sedikit ditemukan. Sedangkan pada Kampung Cibeureum Batas, lahan pertaniannya masih banyak yang dimiliki oleh masyarakat setempat.
Intervensi pihak swasta tidak banyak ditemukan di kampung ini. Hal ini disebabkan oleh kondisi lahan pertanian yang dikelilingi oleh jalan dan rumah
penduduk, sehingga kampung ini tidak menjadi prioritas utama dalam wilayah yang akan dijadikan sasaran “pembangunan” yang dilakukan pihak swasta.
Terdapat perbedaan yang ditampilkan oleh masyarakat tani di kedua kampung ini berkaitan dengan alasan untuk masih bertahan di sektor pertanian.
Secara umum, masih bertahannya masyarakat tani Kampung Ciharashas pada sektor pertanian disebabkan oleh pemberian hak garap dari PT. PW kepada
masyarakat tani. Dengan demikian, penguasaan efektif mereka berada pada lahan peruntukan pembangunan kompleks perumahan. Sedangkan pada Kampung
Cibeureum Batas, masih bertahannya masyrakat tani pada sektor pertanian disebabkan oleh keberadaan lahan pertanian yang masih terjaga konsistensinya.
Terdapat perbedaan alasan masih bertahannya masyarakat tani di sektor pertanian berkaitan dengan faktor sosial dan ekonomi yang ada di lingkungannya. Maka
untuk mempermudah pembaca, peneliti berusaha menyimpulkan dan merumuskan analisis tersebut ke dalam sebuah matriks Tabel 31
Tabel 31. Alasan Masih Bertahannya Masyarakat Tani di Sektor Pertanian Kasus
Alasan Bertahan Aspek Sosial
Aspek Ekonomi
Kampung Ciharashas
1 Cultural core nya adalah
bertani. Tidak bisa berpindah kepada mata pencaharian
yang lain. 2
Tingkat kekerabatan yang tinggi, sehingga sering terjadi
pinjam meminjam alat pertanian.
3 Bagi petani pemilik,
keinginan untuk mewariskan lahan pertaniannya.
1 Latar belakang keluarga yang
berasal dari golongan ekonomi lemah, sehingga tidak dapat
mengakses pekerjaan yang lebih “menjanjikan” sebagai
konsekuensi dari rendahnya pendidikan yang dimiliki.
2 Lahan merupakan satu-satunya
aset yang dapat diandalkan untuk menyambung hidup.
Kampung Cibeureum
Batas 1
Lahan yang dimiliki mayoritas merupakan warisan
dari kedua orang tua. 2
Keinginan untuk mewariskan kembali lahan pertanian yang
dimiliki, kepada generasi penerus.
Kesadaran masyarakat tani akan kontinuitas lahan pertanian
dibandingkan dengan uang yang sangat besar dari hasil menjual
lahan pertanian.
Sumber: Hasil sintesis data primer
BAB VII USAHA BERTAHAN MASYARAKAT TANI
DI SEKTOR PERTANIAN
Terdapat berbagai usaha yang dilakukan masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian. Usaha tersebut dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
1 strategi dalam bertani; 2 dengan melakukan mata pencaharian ganda, dan; 3 melakukan pinjaman atau yang disebut dengan “gali lubang tutup lubang”. Untuk
usaha yang kedua dan ketiga, pada masyarakat tani Ciharashas maupun Cibeureum Batas tidak menunjukkan perbedaan. Akan tetapi terdapat perbedaan
dalam hal strategi bertani diantara kedua masyarakat tani tersebut. Untuk keterangan lebih lanjut, dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini.
7.1. Strategi dalam Bertani 7.1.1. Kasus Kampung Ciharashas: Pindah Lokasi pertanian dan Budaya
Gotong Royong
Bagi petani pemilik yang mempunyai lahan diantara lahan pertanian milik PT. PW, maka kemungkinan besar akan terkena pengalihan fungsi lahan ketika
nanti lahan pertanian tersebut akan dibangun untuk kepentingan pengembangan pembangunan oleh PT. GASP. Menanggapi kemungkinan tersebut, sebagian besar
petani bersikap pasrah namun sudah berancang-ancang untuk mengambil langkah selanjutnya.
Petani cenderung pasrah, karena menyadari posisi tawar yang rendah jika dibandingkan dengan pihak manapun, apalagi dengan pihak swasta yang memiliki
modal dan kekuasaan yang besar. Ketika petani memutuskan untuk tidak menjual, maka para biong akan siap beraksi untuk membujuk petani setiap harinya hingga
terpaksa menjual lahannya. Akan tetapi ternyata petani memiliki strategi tersendiri, yaitu dengan memasang harga tinggi ketika ditawar oleh biong. Dengan
harapan agar nantinya dapat membeli lahan di tempat lain atau pindah lokasi pertanian. Hal yang dapat dilakukan selanjutnya ialah merancang masa depan
dengan menyesuaikan terhadap “kondisi” yang ada. Masyarakat tani percaya,