yang tidak termanfaatkan. Ini dimaksudkan agar lahan pertanian dapat dimanfaatkan seefektif mungkin.
Manfaat penggiliran ini ialah lahan pertanian akan menjadi lebih subur dan tekstur tanahnya menjadi lebih gembur daripada menanam dengan satu jenis
tanaman sajamonokultur. Menurut Rusman et.al. 1992, masyarakat dapat memperoleh manfaat yang bersifat ekonomis dan teknis berkaitan dengan sistem
tumpang sari ini. Manfaat teknis tumpang sari, yaitu: 1 menghindari kegagalan
panen akibat serangan hama; 2 membantu mengendalikan erosi; 3 melalui kombinasi tanaman yang tepat dapat memperbaiki kesuburan tanah. Sedangkan
manfaat ekonomisnya ialah: 1 memberikan beranekaragam komoditi yang diperlukan masyarakat; 2 memberikan kesempatan kerja lebih banyak kepada
para petani; 3 membantu menghadapi musim paceklik; dan 4 memperkecil resiko kemerosotan harga salah satu jenis komoditi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk menggunakan sistem penanaman tumpang sari atau monokultur, antara lain: 1
kondisi lahan pertanian; apabila kondisi lahan pertanian cenderung basah, maka petani lebih memilih untuk menanam padi, 2 keputusan pemilik; bagi petani
penggarap, keputusan jenis tanaman yang akan ditanam berdasarkan keputusan pemilik, 3 modal yang dimiliki; pada saat memiliki modal lebih, petani dapat
menggilir lahannya untuk ditanami palawija, 4 bergantung pada musim; pada saat musim kemarau tiba, petani memilih untuk menanam palawija, 5 Luas
lahan yang dimiliki; petani yang memiliki lahan yang lebih luas biasanya dapat melakukan sistem tumpang sari. Ini disebabkan oleh persediaan padi yang
berlebih, sehingga sebagian lagi dapat dijual untuk mendapatkan modal pada masa tanam berikutnya. Berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai karakteristik
pemanfaatan lahan pertanian yang ditampilkan oleh masyarakat tani Ciharashas dan Cibeureum Batas.
5.3.1. Kampung Ciharashas
Mayoritas pola tanam yang diterapkan masyarakat tani Kampung Ciharashas ialah monokultur atau satu jenis tanaman saja, yaitu sebesar 60,9
persen dan sebesar 39,1 persen petani lainnya menerapkan pola tanam campur
atau sistem tumpang sari. Petani yang melakukan penggiliran ini hanya bagi mereka yang mempunyai modal lebih. Tidak terjadi perubahan dalam hal
frekuensi tanam yang diterapkan di Kampung Ciharashas. Dari dulu hingga sekarang, dalam waktu satu tahun frekuensi tanam berkisar tiga kali dalam
setahun. Akan tetapi terjadi perubahan pada pola tanam yang diterapkan pada Kampung Ciharashas. Mereka yang dahulunya menanam dengan pola monokultur
beralih ke pola tanam campur atau tumpang sari, dan sebaliknya. Hal ini dipengaruhi oleh salah satu atau beberapa faktor yang telah disebutkan di atas.
Tabel 17.
Tabel 17. Perubahan Pemanfaatan Lahan Pertanian Ciharashas, 2009 Pemanfaatan
Lahan Pertanian Kondisi
Dahulu Sekarang
F F
Monokultur 17
73,9 14
60,9 Campurtumpang sari
6 26,1
9 39,1
Total 23
100 23
100
Terdapat berbagai alasan yang dikemukakan oleh masyarakat tani menyangkut komoditi yang ditanam pada lahan pertanian berkenaan dengan pola
tanam yang digunakan, diantaranya ialah: 1 mudah untuk dijual; 2 mengikuti siklus; 3 keputusan pemilik; 4 keterbatasan modal; 5 untuk kebutuhan
pangan, dan; 6 makin tua, semakin bagus hasilnya Tabel 18.
Tabel 18. Alasan Pemilihan Komoditas Pertanian Masyarakat Tani Kampung Ciharashas, 2009
Pola Tanam Mu-
dah untuk
dijual
Mengi- kuti
siklus Kepu-
tusan pemilik
Keter- batasan
modal Untuk
kebutu- han
pangan Makin
tua, semakin
bagus F
F F
F F
F
Monokultur 1
4,4 5 21,7
5 21,7 2
8,7 1 4,4
Tumpang sari
1 4,4
8 34,7
Setelah panen, terdapat dua perlakuan terhadap hasil pertanian, yaitu dijual dan tidak dijual. Hal ini bergantung kepada luas lahan yang dimanfaatkan. Makin
luas lahan yang dimanfaatkan, maka semakin besar peluang untuk menjualnya karena hasil yang didapat juga semakin banyak. Sebesar 34,8 persen petani yang
menerapkan pola tanam monokultur
16
memutuskan untuk tidak menjual lahan pertaniannya. Ini disebabkan oleh lahan pertanian yang dimanfaatkan relatif
sempit dan diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari. Sekitar 26,1 persen petani yang menerapkan pola tanam monokultur
memutuskan untuk menjual hasil pertanian mereka. Sama halnya dengan petani yang menerapkan pola tanam campurtumpang sari, sebagian besar hasil pertanian
mereka juga dijual. Sedangkan sebagian kecil lagi akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Terdapat sekitar 39,1 persen petani yang
menerapkan pola tanam campur memutuskan untuk menjual sebagian besar hasil pertanian mereka.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi petani untuk menjual hasil pertaniannya, antara lain ialah: 1 lahan pertanian yang dimanfaatkan relatif lebih
luas, sehingga hasilnya berkemungkinan untuk dijual; 2 penjualan sebagian besar hasil komoditi tersebut memang dimaksudkan sebagai modalbiaya untuk
masa tanam berikutnya. Hasil dari penjualan tersebut nantinya akan dimanfaatkan untuk masa tanam berikutnya Tabel 19.
Tabel 19. Keputusan Penjualan Komoditas Hasil Pertanian di Kampung
Ciharashas, 2009 Penjualan Komoditas
Pertanian Pola tanam
Jumlah Monokultur
Campur F
F
Ya 6
26,1 9
39,1 15
Tidak 8
34,8 8
Total 23
5.3.2. Kampung Cibeureum Batas