“ kalo lagi susah modal mah, biasanya pinjem sama keluarga. Nanti kalo udah panen, kita ganti. Sama aja kayak ‘gali lubang
tutup lubang’. Tapi iya kalo lagi bagus. Kalo lagi jelek mah repot. Nombokin lagi yang ada. Belom lagi buat majikan, buat yang
dihutangin juga. Syukur Alhamdulillah kalo keluarga mau ngerti. Tapi kadang kitanya gak enakeun.”
Cara yang dilakukan untuk menghindari banyaknya pinjaman, masyarakat tani biasanya tidak memberi pupuk pada tanamannya. Baru setelah mendapatkan
sedikit rezeki, pemberian pupuk dapat dilakukan. Perlakuan seperti ini biasanya berdampak pada hasil panen yang tidak memuaskan. Bulir padi yang dihasilkan
kecil-kecil dan banyak yang tidak berisi atau kopong. Petani menganggap, bahwa ini lebih baik daripada terus menerus meminjam, meskipun kepada keluarga
sendiri. Para petani takut, malu dan segan jika nantinya tidak bisa membayar hutang yang sudah menumpuk. Peristiwa ini terangkum ke dalam pernyataan
Bapak S petani pemilik: “ malu neng, kalo minjem terus. pas lagi gak ada duit buat mupuk
ya kita antepin dulu. Baru nanti kalo lagi ada uang, kita kasih pupuk. Ngaruhnya ya ke panennya ntar. Banyakan gak berisi
padinya. Pada kopong. Tapi ya mau gimana lagi. ”
7.4 Ringkasan
Terdapat tiga macam usaha yang dilakukan oleh masyarakat tani untuk tetap “bertahan” di sektor pertanian, yaitu: 1 melakukan strategi dalam bertani;
2 melakukan mata pencaharian ganda, dan; 3 melakukan pinjaman kepada keluarga maupun tetangga. Ditemukan perbedaan dalam hal strategi untuk tetap
“bertahan” di sektor pertanian yang ditampilkan oleh masyarakat tani Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas. Keterangan lebih lanjut dapat diamati pada
matriks di bawah ini Tabel 32.
Tabel 32. Rumusan Strategi Bertahan Masyarakat Tani di Sektor Pertanian
Ket. Kampung
Ciharashas Kampung
Cibeureum Batas
Strategi dalam
bertani 1
Bagi petani pemilik, cenderung memasang harga tinggi pada lahan pertanian yang
dimiliki ketika ditawar oleh biong. Dengan harapan agar nantinya dapat membeli lahan
di tempat lain atau pindah lokasi pertanian.
2 Budaya gotong royong atau yang biasa
disebut liuran, pada waktu panen, nandur dan pada saat membersihkan lahan untuk
ditanami kembali. Upaya ini dilakukan untuk dapat menghemat biaya pengeluaran
untuk buruh. 1
Memasang harga lahan setinggi mungkin sehingga para biong
tidak dapat menjangkaunya. Dengan begitu lahan pertanian
tidak jatuh dengan mudah kepada pihak swasta.
2 Menghemat biaya pertanian.
Seperti biaya binih atau bibit, pupuk dan pestisida.
Mata pencaha-
rian ganda
Pekerjaan yang biasa digeluti oleh masyarakat tani di kedua kampung tersebut ialah sebagai pedagang, buruh tani, kuli bangunan, maupun bekerja di home industry
pembuatan sandal dan sepatu.
Melaku- kan
pinjaman Upaya lain yang dilakukan oleh masyarakat tani ialah dengan meminta pinjaman
kepada keluarga dekat maupun tetangga. Peminjaman dilakukan ketika petani kehabisan modal untuk melakukan penanaman berikutnya, membayar upah buruh dan
biaya untuk membeli pupuk. Uang tersebut akan diganti setelah petani mendapatkan keuntungan dari hasil pertaniannya. Akan tetapi, ketika hasil panen tidak begitu
memuaskan, maka uang tersebut akan diganti dengan beras atau tanaman palawija.
Sumber: Hasil sintesis data primer
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
Sebagai akibat konversi lahan pertanian, mengakibatkan terjadinya perubahan struktur agraria pada lahan sisa konversi pertanian. Pada Kampung
Ciharashas, terjadi perubahan pada land tenure pattern dalam hal luas pemilikan
lahan dan cara perolehan penguasaan lahan pertanian. Pola penguasaan dengan sistem penggarapan banyak ditemukan di Kampung Ciharashas. Hal ini
disebabkan oleh pemberian kesempatan menggarap oleh pihak PT. PW, sehingga mengakibatkan bertambahnya luas penguasaan lahan pertanian. Akan tetapi,
bertambahnya luas
penguasaan lahan
pertanian tidak
mencerminkan “keterjaminan” hidup di masa yang akan datang, karena pada dasarnya mereka
menggarap lahan pertanian yang akan dialihfungsikan ke non-pertanian. Ketika nantinya lahan tersebut diambil kembali, maka akan hilang pengharapan untuk
hidup. Sementara itu pada land tenancy pattern, terjadi perubahan pada praktik penyakapan yang digunakan serta para pelaku yang terlibat di dalamnya.
Sebaliknya pada Kampung Cibeureum Batas, perubahan struktur agraria yang terjadi hanya pada hal land tenancy pattern, berkaitan dengan praktik sakap
yang digunakan. Tidak begitu banyak perubahan struktur agraria yang ditemukan di kampung ini. Hal ini disebabkan oleh konsistensi keberadaan lahan pertanian.
Perbedaan perubahan struktur agraria yang ditampilkan oleh kedua kampung dipengaruhi oleh kondisi geografis lahan pertanian itu sendiri. Kampung
Ciharashas misalnya, karena lahan pertanian berbentuk hamparan, maka berpotensi untuk dijadikan sebagai kawasan perumahan di masa yang akan
datang. Berbeda halnya dengan kampung Cibeureum Batas, dimana lahan pertanian dikelilingi oleh jalan dan rumah penduduk sehingga pihak swasta tidak
tertarik untuk menjadikannya sebagai aset pembangunan perumahan, seperti di kampung Ciharashas.
Perubahan struktur agraria erat kaitannya terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani. Pada Kampung Ciharashas, terjadi perubahan dari petani
pemilik ke petani penggarap, dari petani pemilik ke petani pemilik-penggarap,