BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sumber-sumber agraria seperti tanah, air dan udara dalam sosiologi agraria dikenal  sebagai  salah  satu  faktor  produksi  strategis  bagi  kegiatan  pembangunan
untuk  meningkatkan  kesejahteraan manusia.  Hampir  semua  sektor  pembangunan fisik  memerlukan  lahan,  seperti  perumahan,  industri,  pertambangan,  pertanian,
peternakan,  perikanan,  kehutanan  dan  lain  sebagainya.  Namun  seiring bertambahnya jumlah penduduk mengakibatkan terjadinya peningkatan kebutuhan
akan  lahan,  sementara  luas  lahan  pada  dasarnya  tidak  berubah.  Hal  tersebut mengakibatkan terjadinya peristiwa alih fungsi lahan.
Alih  fungsi  lahan atau  konversi  lahan  mengandung  pengertian  perubahan penggunaan  lahan  oleh  manusia,  yang  dapat  bersifat  permanen  maupun
sementara.  Dikatakan  bersifat  permanen,  jika  lahan  pertanian  beralih  fungsi menjadi  lahan  non-pertanian.  Akan  tetapi  apabila  lahan  tersebut  berubah  fungsi
dari  persawahan  menjadi  perkebunan,  maka  alih  fungsi  lahan  tersebut  bersifat sementara. Alih fungsi lahan yang bersifat permanen dampaknya lebih besar dari
pada alih fungsi lahan yang bersifat sementara Kivell, 1993. Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama konversi lahan, pihak pelaku,
pemanfaat  konversi  dan  proses  konversi  dilakukan,  Sihaloho  2004  membagi konversi  ke  dalam  tujuh  tipologi,  yaitu:  1  konversi  gradual-berpola  sporadis.
Diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang kurang produktif dan  “keterdesakan  ekonomi”  pelaku  konversi;  2  konversi  sistematik  berpola
“enclave”.  Pola  konversi  mencakup  wilayah  dalam  bentuk  “sehamparan  tanah” secara serentak dalam waktu yang  relatif sama; 3  konversi adaptasi demografi.
Terjadi  karena  kebutuhan  tempat  tinggalpermukiman  akibat  pertumbuhan penduduk;  4  konversi  yang  disebabkan  oleh  masalah  sosial.  Terjadi  karena
motivasi  untuk  berubah dari  masyarakat  dengan meninggalkan  kondisi lama  dan bahkan  keluar  dari  sektor  pertanian;  5  konversi  tanpa  beban.  Konversi  yang
dilakukan untuk melakukan aktivitas menjual tanah kepada pihak pemanfaat yang selanjutnya  dimanfaatkan  untuk  peruntukan  lain;  6  konversi  adaptasi  agraris.
Terjadi  karena  ingin  meningkatkan  hasil  pertanian  dan  minat  untuk  bertani  di tempat lain yang lebih produktif, dan; 7 konversi multi bentuk atau tanpa pola.
Disebabkan  oleh  berbagai faktor  khusunya faktor  peruntukan  untuk  perkantoran, sekolah, koperasi, untuk perdagangan, termasuk sistem waris.
Telah  banyak  usaha  yang  dilakukan  oleh  pemerintah  untuk  mensiasati fenomena  konversi  lahan  pertanian  tersebut.  Salah  satunya  ialah  dengan
melakukan  ekstensifikasi  pertanian  atau  usaha  pencetakan  sawah  di  luar  Pulau Jawa.  Menurut  data  Badan  Pusat  Statistik,  pada  periode  1981-1999,  pemerintah
dan  masyarakat  telah  membangun  sawah  ekstensifikasi  sekitar  3,2  juta  hektar 84  persen  di  luar  Pulau  Jawa.  Namun,  dalam kurun  yang  sama sekitar  1,6  juta
hektar  sawah  62,5  persen  di  Pulau  Jawa  berubah  fungsi  menjadi  kawasan perumahan,  industri  dan  perdagangan,  perkantoran,  atau jalan.  Pada  tahun  1999-
2002 lebih dramatis lagi, yaitu sekitar 188.000 hektar 70 persen sawah per tahun di  Pulau  Jawa  berubah  fungsi,  sementara  pencetakan  sawah  baru  hanya  46.400
hektar per tahun di luar Pulau Jawa. Kelurahan Mulyaharja, merupakan salah satu wilayah di Pulau Jawa yang
mengalami peristiwa konversi lahan pertanian. Luas Kelurahan ini ialah 477,005 hektar. Dari 477,005 hektar tersebut, sebanyak 70 persen telah diambil oleh pihak
swasta untuk kepentingan “pengembangan pembangunan”.
1
Petani dan buruh tani sulit  mendapatkan  tanah  untuk  digarap,  sementara  mereka  menggantungkan
hidupnya  dari  sektor  pertanian.  Pada  akhirnya,  apabila  lahan  terkonversi seluruhnya  maka  akan  berdampak  pada  kemunduran  ekonomi  atau  terjadinya
proses pemiskinan karena hilang atau berkurangnya akses atas tanah. Fenomena  konversi  lahan  pertanian  sesungguhnya  berimplikasi  pada
perubahan  struktur  agraria.  Penelitian  yang  dilakukan  oleh  Sihaloho  2004  di Kelurahan  Mulyaharja  menunjukkan  perubahan  dalam  pola  penguasaan  lahan,
pola  penggunaan  lahan,  pola  hubungan  agraria,  pola  nafkah  agraria,  dan  lain sebagainya.  Jika  dilihat  dalam  hal  pola  penguasaan  lahan,  terjadi  perubahan
jumlah  penguasaan  lahan.  Petani  yang  tadinya  sebagai  pemilik  lahan  berubah menjadi petani penggarap. Petani yang tadinya penggarap, berubah menjadi buruh
1
Berdasarkan  hasil  wawancara  mendalam  dengan  Kepala  Kelurahan  Mulyaharja,  Bapak Usman, TZ.
tani.  Dalam  perubahan  pola  nafkah  agraria,  terjadi  pergeseran  sumber  mata pencaharian  dari  sektor  pertanian  ke  sektor  non-pertanian  sebagai  akibat
keterbatasan lahan dan terdesaknya ekonomi rumahtangga. Kini  masyarakat  Mulyaharja  banyak  beralih  kepada  sumber  mata
pencaharian  non-pertanian, seperti pedagang dan tukang ojeg. Namun masih ada masyarakat yang tetap mempertahankan pekerjaannya sebagai petani. Siasat yang
dilakukannya  untuk  tetap  menghasilkan  pendapatan  di  jalan  pertanian  ialah memanfaatkan  satu  lahan  untuk  ditanami  oleh  berbagai  macam  komoditas
pertanian yang  ditanam  dalam  musim  yang  sama  atau  dikenal  dengan  istilah
sistem  penanaman  tumpang  sari .  Tanaman  yang  banyak  ditanam  ialah  talas,
singkong,  bambu,  pisang  dan  padi.  Perilaku  yang  ditunjukkan  oleh  masyarakat Kelurahan Mulyaharja merupakan gambaran strategi hidup yang diusahakan agar
mampu bertahan di sektor pertanian. Komoditas pertanian yang dipilih didasarkan atas  kebutuhan  pasar  pada  saat  ini.  Oleh  karena  itu,  penelitian  ini  bermaksud
menggali  faktor  yang  melatarbelakangi  masih  bertahannya  masyarakat  tani Kelurahan Mulyaharja di sektor pertanian serta usaha yang dilakukan untuk tetap
menghasilkan pendapatan di jalan pertanian. Penelitian  yang  dilakukan  oleh  Savitri  dan  Purwandari  2006  di  Desa
Sungai  Aur  dan  Sungai  Rambut,  Propinsi  Jambi,  menjelaskan  bahwa  terdapat perbedaan  stratifikasi  sosial  antara  masyarakat  asli  dan  pendatang.  Stratifikasi
sosial  masyarakat  asli  berdasarkan  pada  kepemimpinan  dan  kekuasaan  atas komunitas.  Sedangkan  pada  masyarakat  pendatang  berdasarkan  pada  kondisi
ekonomi.  Akan  tetapi,  stratifikasi  tertinggi  dikuasai  oleh  masyarakat asli,  karena mereka yang bisa memiliki lahan paling banyak. Dengan demikian, dapat diambil
kesimpulan bahwa struktur agraria terkait dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakat.  Oleh  karena  itu,  penting  untuk  melihat  apakah  perubahan  struktur
agraria  pada  lahan  sisa  konversi  pertanian  berkenaan  dengan  pola  pemilikan, penguasaan  dan  pemanfaatan  lahan  pertanian  berhubungan  dengan  perubahan
struktur sosial yang dialami oleh masyarakat tani Kelurahan Mulyaharja.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan  penjabaran  di  atas,  maka  perumusan  masalah  yang  penting untuk diangkat ialah:
1 Bagaimana hubungan perubahan struktur agraria
pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan  lahan  pertanian
pada  lahan  sisa  konversi  terhadap  perubahan
struktur sosial masyarakat tani?
2 Mengapa  sebagian  masyarakat  tani  masih  mempertahankan  lahan
pertaniannya  “dibalik”  fenomena  konversi  lahan  pertanian  menjadi  non-
pertanian?
3 Bagaimana  usaha  yang  dilakukan  masyarakat  tani  untuk  tetap  “bertahan”  di
sektor pertanian? 1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan  latar  belakang  masalah  yang  telah  diuraikan  di  atas,  maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1 Menganalisis  bagaimana  hubungan  perubahan  struktur  agraria
pemilikan, penguasaan  dan  pemanfaatan  lahan  pertanian
pada  lahan  sisa  konversi
terhadap perubahan struktur sosial masyarakat tani.
2 Menganalisis  mengapa  sebagian  masyarakat  tani  masih  mempertahankan
lahannya “dibalik” fenomena konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian.
3 Menganalisis  bagaimana  usaha  yang  dilakukan  masyarakat  tani  untuk  tetap
“bertahan” di sektor pertanian. 1.4. Kegunaan Penelitian
1
Bagi  mahasiswa,
penelitian  ini  diharapkan  dapat  menjadi  proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di lapangan.
2
Bagi  pemerintah,  sebagai  masukan  bagi  pemerintah  dalam  upaya
mengembalikan  ”semangat  pertanian”  di  tengah-tengah  masyarakat  agar
terciptanya ketahanan pangan dan kelestarian pertanian Indonesia.
3
Bagi swasta, sebagai masukan bagi pihak swasta private sector agar lebih
menyadari arti pentingnya penjagaan sistem ekologi sawah agar tidak dengan
mudah mengeksploitasi sumberdaya lahan pertanian untuk kepentingan pasar.
Komunitas
Swasta Sumber-sumber agraria
Pemerintah Keterangan:
hubungan teknis agraria kerja hubungan sosial agraria
BAB II PENDEKATAN TEORITIS