47
strategi ―intensifikasi‖ sehingga penghasilan mereka meningkat. Akan tetapi, implementasi strategi tersebut sangat tergantung pada sejauhmana penguasaan petani
atas faktor produksi lain, terutama tenaga kerja, bahan dan alat, serta modal financial Wolf, 1985. Upaya yang paling sulit dilakukan petani kecil adalah akumulasi modal
finansial karena harus bersaing dengan pemenuhan biaya kebutuhan sehari-hari keluarga dan pemenuhan biaya lainnya terutama biaya seremonial yang berperan
menopang ikatan sosial tradisional dengan sesamanya. Oleh sebab itu, Scott 1989 menyangsikan dapat berlangsungnya intensifikasi oleh para petani subsisten karena
perhatian utama mereka adalah bagaimana memenuhi kepentingan hari ini, bukan bagaimana mencapai cita-cita masa depan. Bahkan dalam situasi ini, upaya yang
dilakukan petani cenderung menghindari kegagalan risk oversion atau memilih ―dahulukan selamat‖ safety first. Dengan kata lain, petani tidak dapat berjiwa
wiraswasta. Namun demikian, berbeda dengan pendapat Scott, Popkin 1986
berpendapat bahwa para petani di pedesaan sebenarnya merupakan petani pemecah masalah yang rasional. Para petani terus menerus berupaya keras selain melindungi
diri juga untuk menaikan tingkat subsistensi mereka. Walaupun para petani pedesaan sangat miskin dan sangat dekat dengan garis bahaya, namun mereka masih memiliki
sedikit kelebihan untuk melakukan tindakan investasi yang beresiko, baik melalui investasi jangka panjang maupun jangka pendek. Logika investasi tersebut mereka
aplikasikan dalam pertukaran pasar maupun bukan pasar.
2.4 Rumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran Penelitian
Akses yang didefinisikan oleh Peluso dan Ribot 2003 adalah kemampuan menghasilkan keuntungan dari sesuatu, termasuk diantaranya objek material,
perorangan, institusi, dan simbol. Dalam teoritisasi ini, akses dibentuk dalam jaringan sosial-politik yang dapat memberikan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam. Peluso dan ribot 2003 melihat bahwa ada semacam susunan jaringan akses. Perhatian Peluso memungkinkan ahli dan lainnya memetakan perubahan proses dan
hubungan akses dengan sumberdaya. Konsep akses disini ditempatkan pada analisa siapa yang sebenarnya beruntung dari sesuatu dan melalui proses apa yang mereka
48
lakukan. Selanjutnya, pengendalian akses menurut Peluso 2003 adalah kemampuan untuk memediasi akses lainnya. Pengendalian mengarah pada pemeriksaan dan
pengawasan tindakan, fungsi atau kekuatan yang mengawasi dan mengatur tindakan bebas. Mempertahankan akses memerlukan kekuasaan untuk menjaga sebagian
sumber daya akses yang terbuka. Baik pengendalian dan pengontrolan merupakan dua hal yang saling melengkapi. Keduanya membentuk hubungan diantara aktor
dalam hubungan terhadap sumberdaya, manajemen, dan penggunaan Peluso dan Ribot, 2003. Pengertian akses dan control dalam konteks penelitian ini mengikuti
pandangan yang diberikan oleh Peluso dan Ribot tersebut. Dalam catatan sejarahnya, kawasan hutan Gunung Ciremai memiliki
periodesasi pengelolaan yang berbeda-beda pada tiap era rezim. Perubahan status kawasan hutan Gunung Ciremai dalam tiap periode merupakan hasil dari konstruksi
politik dari aktor-aktor yang memiliki kepentingan atas sumberdaya hutan Gunung Ciremai baik aktor pada aras lokal dan nasional atau perpaduan dari keduanya yang
berkontribusi pada perubahan kebijakan pada status pengelolaan hutan Gunung Ciremai. Pada awal tahun 70-an, Kawasan hutan negara di wilayah Jawa Barat telah
dilimpahkan pengelolaannya pada Perusahaan Negara Perum Perhutani dimana Jawa Barat merupakan daerah yang benar-benar baru diolah oleh Perum Perhutani tidak
seperti kawasan hutan Perum Perhutani di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang merupakan warisan dari perusahaan Pemeritah Kolonial Belanda. Begitu juga pada
kawasan hutan Gunung Ciremai, dimana pada tahun 70-an telah berubah status pengeloaannya menjadi hutan produksi dan hutan produksi terbatas yang dikelola
oleh Perum Perhutani. Namun pada tahun 2004, status hutan Gunung Ciremai sebagai hutan produksi telah berubah menjadi kawasan konservasi Taman Nasional.
Perubahan ini bukan tanpa perjuangan bahkan perubahan tersebut merupakan hasil kontestasi politik antara aktor yang pro petani dan pro konservasi karena pada saat itu
terjadi pertentangan- pertentangan di level petani bersama ‗kolega politik‘ nya yang
49
menolak keras perubahan status karena akan berdampak pada program PHBM
1
mereka. Berbagai perubahan status pengelolaan yang terjadi di kawasan hutan Gunung
Ciremai memiliki implikasi tersendiri pada pola akses dan control sumberdayanya, terutama bagi petani yang sangat tergantung dengan sumberdaya hutan. Berdasarkan
definisi akses dari Peluso bahwa akses merupakan kemampuan bukan kepemilikan hak yang dibentuk dari hubungan ekonomi-politik aktornya maka kejadian-kejadian
pemanfaatan sumberdaya hutan Gunung Ciremai dalam konteks akses ini bukan hanya dilihat dari kacamata status formal penguasaannya saja. Dalam studi awal yang
dilakukan peneliti, yang terjadi pada kawasan hutan Gunung Ciremai adalah ‗penyimpangan-penympangan‘ dari hokum formal atas pemanfaatan sumbedaya
hutan . Satu contoh yang baru ditelusuri peneliti adalah penyimpanagan pemanfaatan
akses PHBM yang dikuasasi oleh pelaku agribisnis dan bukan pada kelompok tani kecil dengan luasan yang telah ditentukan. Kenyataan dari penyimpangan berikutnya
adalah pada perubahan statusnya sebagai Taman Nasional TNGC, dimana secara hokum formal hak kepemilikan dan penguasaan pengelolaan sumberdaya hutan
ditentukan oleh Balai Taman Nasional yang merupakan UPT dari Departemen Kehutanan, namun pada kenyataannya masih saja ada penggarapan lahan hutan untuk
praktek pertanian bekas kerja PHBM para petani. ‗Penyimpanan-penyimpangan‘ ini
membuktikan kebenaran tentang akses yang dikonsepsikan oleh Peluso bahwa kepemilikan hak bukan semata-mata praksis riil yang terjadi di lapangan namun ada
konteks hubungan politik dan kekuatan para aktor pemanfaat sumberdaya hutan yang membentuk pemanfaat ‗bayangan‘ yang nota bene tidak memiliki kekuatan hokum
formal.
Untuk kerja penelitian ini, mengungkap relasi aktor dan relasi kekuasaan serta kekuatan politik menjadi salah satu tujuan dalam memahami pemanfaatan
sumberdaya hutan. Bahwasannya dinamika yang cepat menyebabkan terjadinya pola
1
PHBM singkatan dari Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat yang merupakan program dari Perum Perhutani. Program ini telah diterapkan di kawasan hutan produksi Gunung Ciremai bersama dengan
Kelompok Tani hutan sekitar kawasan hutan Gunung Ciremai yang dibentuk dan dibina oleh Perum Perhutani sejak tahun 2001.
50
yang cepat pula dalam struktur pemanfaatan sumberdaya hutan. Strategi dan upaya para aktor dalam membuat relasi politik dan intervensi-intevensi baru menjadikan
dinamika pemanfaatan dan akses sumberdaya hutan terus berkembang dan berubah. Ini yang memerlukan penelusuran yang lebih mendalam pada konteks kerja
penelitian. Sehingga mengamati akses sumberdaya hutan seperti mengamati kontestasi para aktor yang bersaing memperebutkan penguasaan sumberdaya hutan.
Disatu sisi, pendapatan petani dalam kaitannya sebagai aktor yang berkontestasi tentu mengalami pasang surut ketidakpastian. Diluar dari itu semua, sebenarnya ada
golongan petani miskin yang sama sekali luput dan seolah-olah tidak masuk pada relasi aktor yang berkontestasi dalam memperebutkan pendapatan. Ini menarik untuk
menjadi perhatian penelitian ini terutama untuk mengungkap sebab-sebab tindakan mereka dalam konteks akses sumberdaya hutan. Seperti yang dijelaskan oleh Peluso
bahwa
s
eseorang mungkin memiliki hak untuk mendapatkan keuntungan dari tanah tetapi mungkin tidak dapat melakukannya tanpa akses ke tenaga kerja atau modal. Ini
akan menjadicontoh dari memiliki properti hak untuk memperoleh manfaat tanpa akses kemampuan untukmanfaat. Mungkin saja petani miskin yang luput dari
kontestasi tersebut merupakan gambaran petani yang dijelaskan Peluso tersebut. Ketika mereka petani miskin memiliki partisipasi program PHBM dan secara
formal dapat menguasai sebidang lahan yang dapat mereka garap namun pada kenyataannya lahan garapan tersebut tidak digarap, digarap olehnya sebagai buruh,
atau dipersewakan kepada para pengusaha agribisnis. Selain relasi aktor dan pendapatan petani, yang menjadi perhatian utama dalam
sintesis penelitian ini adalah negara. Terutama konteksnya sebagai pengendali akses sumberdaya hutan. Kepentingan negara dalam pengawasan penggunaan sumberdaya
terutama sekali ada 2 hal yaitu terkait dengan : 1 Power kekuasaan--- yang mencakup pengawasan dan kemampuan untuk mengatur; 2 ekonomi. Perjuangan
kekuasaan dilakukan secara terus menerus di dalam hal alokasi, kontrol dan akses sumberdaya. Kontrol terhadap sumberdaya meningkatkan kontrol sosial oleh negara
Barber, 1989; Peluso, 1996:138; Poffenberger, 1990.
51
Selama ini, pengelola sumberdaya alam milik negara mungkin menggunakan paksaan kekerasan untuk memantapkan pengawasan kepada masyarakat dan sering
dengan alasan konservasi dan ekonomi, dengan maksud argumen tersebut digunakan untuk menjauhi masyarakat dari sumberdaya yang bernilai tinggi. Ketika aktor-aktor
negara menggunakan kekerasan untuk mendapatkan kontrol pada sumberdaya alam, maka pengawasan mereka terhadap sumberdaya tersebut dipertanyakan oleh
pengguna sumberdaya lainnya.
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
ERA REZIM :
Masa Kolonial Masa Orde Lama
Masa Orde Baru Masa Reformasi
AKSES DAN KONTROL SUMBERDAYA HUTAN
GUNUNG CIREMAI
AKTOR :
Pemerintah Kolonial Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah Organisasi
Masyarakat Sipil LSM NGO
Akademisi
PERUBAHAN KEBIJAKAN :
Agrarische Wet UUPA tahun 1960
UU Kehutanan tahun 1967
Penetapan Perum Perhutani Jawa Barat
UU Kehutanan tahun 1999 dan penerapan
program PHBM Penetapan Taman
Nasional Gunung Ciremeai
Pendapatan Petani Gunung Ciremai Pola Penguasaan Lahan
Akses Sumberdaya Alam Pendapatan rumah tangga
52
Penilaian dan peningkatan kemampuan negara untuk mengontrol sumberdaya mungkin meningkatkan penolakan masyarakat tingkat lokal atau melakukan
pemberontakan melawan kontrol negara atau pihak Internasional terhadap sumberdaya lokal yang ada di sekitar masyarakat.. Namun demikian, negara
seringkali tidak perduli dengan perlawanan dan pemberontakan masyarakat lokal tersebut. Bahkan dengan menggunakan retorika konservasi untuk memperoleh
legitimasi dari kelompok-kelompok lingkungan yang berasal dari luar negeri, negara mungkin berhasil dalam penguatan kapasitasnya untuk mengatur sasaran konservasi
melalui penggunaan kekuatan Migdal, 1988; Awang, 2004. Penelitian ini, ingin memperlihatkan perjalanan sejarah periodisasi kebijakan
pengelolaan hutan Gunung Ciremai dimana analisis empiris terhadap relasi sosial- politik dari konstruksi kebijakan menjadi penelusuran kritis. Dalam kerangka pikir
diatas menunjukan bahwa dalam penelitian ini, akan memberikan gambaran perjalanan kebijakan pemanfaatan kawasan hutan negara yang berimplikasi terhadap
tipe kontrol dan akses petani pada sumberdaya hutan. Penelitian ini menggunakan studi kasus kawasan hutan Gunung Ciremai dimana dalam penelitian ini, selain akan
merekonstruksi proses perubahan kebijakan yang berimplikasi pada tipe akses dan kontrol sumberdaya hutan, peneliti juga akan mengamati dampak yang dihasilkan
dari berbagai perubahan kebijakan tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengamati petani sebagai objek hasil konstruksi kebijakan pengelolaan kawasan
hutan sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat menjelaskan hubungan perubahan kebijakan yang berimplikasi pada tipe akses dan kontrol sumberdaya hutan
serta dampaknya pada pendapatan petani.
53
BAB III METODOLOGI