Era Pra Kemerdekaan PROSES POLITIK PERUBAHAN KEBIJAKAN

110

BAB VI PROSES POLITIK PERUBAHAN KEBIJAKAN

Ketika penelitian ini berlangsung, hutan Gunung Ciremai memiliki status sebagai kawasan konservasi Taman Nasional. Status ini berlaku sejak terbitnya SK Menteri No. 424Menhut-II tahun 2004. Sebelum itu hutan Gunung Ciremai masih berstatus sebagai hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani. Pada saat statusnya sebagai hutan produksi, hutan Gunung Ciremai mengalami beberapa perubahan pola hubungan antara Perum Perhutani, masyarakat dan hutan itu sendiri. Melalui beberapa program perhutanan sosial, Perhutani mengalami beberapa modifikasi kebijakan dalam mengakomodir kepentingan masyarakat khususnya petani Gunung Ciremai untuk memanfaatkan sumberdaya hutan Ciremai. Lebih jauh lagi, ketika hutan Gunung Ciremai memasuki periode sebelum kemerdekaan, hutan Gunung Ciremai diduga kuat mengalami perubahan struktur penguasaan wilayah beberapa kali sejak masa penjajahan baik Belanda maupun Jepang sampai masa tertua ketika struktur kekuasaan masih dijalankan sebagai sistem Monarki kerajaan. Perubahan ini sedikit banyak mempengaruhi lansekap hutan Gunung Ciremai termasuk juga pendapatan para petani disekitarnya. Pada tiap periode tersebut, Gunung Ciremai mengalami berbagai pola-pola kebijakan yang berbeda baik yang disebabkan oleh kewenangan penguasa maupun proses-proses yang melibatkan masyarakat sipil.

6.1 Era Pra Kemerdekaan

Sesudah Mojopahit jatuh 1478, Mataram berkembang sebagai kerajaan adikuasa di Jawa. Pada masa gemilangnya kerajaan ini, VOC Vereenigde Oost Indische Compagnie , atau disingkat ―\Kompeni‖ dapat menancapkan kakinya di Jawa. Pada mulanya VOC itu sangat takut menghadapi Mataram, tetapi akhirnya kerajaan ini malah mengemis bantuan dari Kompeni dan kemudian Kompeni ini 111 menjadi lebih berkuasa dari Mataram sehingga pada pertengahan abad ke-18, daerah yang dikuasai Kompeni sudah sama luasnya dengan Mataram. Di daerah yang secara berangsur-angsur tunduk di bawah kedaulatan Kompeni, lembaga pemerintahan dari Mataram masih berfungsi. Pada mulanya Kompeni tidak mencampuri keadaan dalam negeri, juga urusan yang berkaitan dengan kehutanan, asal saja para Bupati memenuhi herendiest kerja rodi, Contingent jatah penyerahan wajib dan sumbangan komoditi Hardjodarsono, 1986:28. Setelah Kompeni mengambil alih daerah yang diserahkan sunan, tata pemerintahannya dibiarkan seperti sediakala. Kompeni mengangkat Bupati, yang ditugasi mengelola hutan, yang menunjukan bahwa dibawah pemerintahan Mataram, pekerjaan mereka juga mengelola hutan. Tetapi para Bupati itu tidak menerima gaji dari Kompeni, sehingga sesudah melunasi berbagai contingent kepada Kompeni, masing-masing harus berusaha menggaruk keuntungan dari jabatannya sendiri, dari sumberdaya alam diantaranya ialah hutan yang ada di daerahnya. Hardjodarsono 1986:29. Pada saat sistem Monarki melemah di Kabupaten Kuningan setelah beberapa tahun kemudian, Kuningan ditinggalkan oleh Susuhunan Gunung Jati sebagai bagian dari wilayah satelite Cirebon dan mulai merembesnya kekuasaan Mataram memasuki daratan Pasundan yang diakhiri dengan pelimpahan kekuasaan wilayah Pasundan kepada VOC atas negosiasi politik. Setelah VOC bangkrut, kekuasaan didaratan Nusantara termasuk Kuningan diambil alih oleh Pemerintahan Kolonial Hindia- Belanda. Pemerintahan Hindia-Belanda menjalankan roda pemerintahan dengan menunjuk wakilnya yang merupakan penguasa tertinggi dalam Pemerintahan Hindia- Belanda yaitu Gubernur Jenderal. Seorang Gubernur Jenderal diangkat dan diberhentikan oleh Kerajaan Belandayang memiliki tugas untuk menjalankan roda kekuasaan negara Hindia-Belanda sebagai negara koloni dari Kerajaan Belanda yang tentu dalam menjalankan tata pemerintahannya harus menguntungkan pihak kerajaan untuk kepentingan ekonomi-politik. Pemerintahan Hindia-Belanda sejak peresmiannya sebagai bagian dari negara koloni Kerajaan Belanda memiliki 72 3 orang oleh pemerintahan inggris Gubernur Jenderal yang diakhiri oleh Gubernur Jenderal Antonius Hermanus Johannes Lovink yang menjabat hanya 7 bulan saja 112 sampai dengan 27 Desember 1949 yang merupakan hari diakuinya kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Beberapa Gubernur Jenderal memiliki pola yang berbeda untuk melaksanakan berbagai kebijakan negara Kolonial. Beberapa dari Gubernur Jenderal yang telah menjabat di Hindia-Belanda, dua nama yang sering disebut dalam catatan sejarah karena memiliki beberapa kebijakan yang kontroversial maupun revolusioner yang merupakan peletak dasar berbagai kebijakan berikutnya. Gubernur Jenderal tersebut adalah Daendles dan Raffless. Pada saat Pemerintahan Hindia- Belanda menerima kenyataan kerusakan hutan maka gagasan reforestasi mulai dicanangkan oleh beberapa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda termasuk Daendles. Bersamaan dengan itu, perubahan pemikiran penguasaan kayu menjadi penguasaan tanah hutan sudah muncul sebagai tindakan penyelamatan kondisi hutan. Namun demikian, upaya Daendels untuk melakukan reforestasi dan membatasi penebangan kayu jati di Jawa dan Madura tidak dapat berlanjut dan mencapai hasil yang optimal, selain karena keterbatasan tenaga kehutanan, pengetahuan dan teknologi kehutanan yang dimiliki petugas-petugas kehutanan, juga karena pada tahun 1830-1870 Van Den Bosch memberlakukan sistem tanam paksa Cultuurstelsel yang menimbulkan perubahan drastis terhadap kondisi hutan di Jawa, dimana banyak kawasan hutan dibuka dan dikonversi menjadi perkebunan-perkebunan kopi untuk meningkatkan komoditi eksport. Sementara itu, kebutuhan kayu jati untuk memasok perusahaan- perusahaan kapal kayu, membangun gudang-gudang pengeringan tembakau, pabrik gula, dan membangun barak-barak pekerja dan perumahan pegawai perkebunan, terus meningkat pada periode Cultuurstelsel Simon, 1993:31 114 . Meskipun Van Den Bosch hanya memimpin Hindia-Belanda sampai tahun 1834, namun ide dan penerapan Culturstelsel ini telah mempengaruhi Gubernur Jenderal berikutnya dan Jean baron Baud 1834-1836 yang merupakan pengganti Van Den Bosch mendukung kuat penerapan Culturstelsel 115 . Kebijakan Culturstelsel pada zaman itu diberlakukan juga pada Residen Cirebon termasuk Kuningan sebagai bagian dari 114 Simon, Hasanu, 1993, Hutan Jati dan Kemakmuran, Problematika dan Strategi Pemecahannya, Aditya Media, Yogyakarta 115 Lihat http:id.wikipedia.orgwikiJean_ChrC3A9tien_Baud. Diunduh tanggal 24 September 2012. Pukul 11.48 113 kekuasaan Residen Cirebon. Penanaman kopi sebagai bagian proyek Culturestelsel tidak lain karena kopi merupakan komoditas perdagangan dunia. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal bukan merupakan kebijakan yang muncul atas kekuasaan Gubernur, namun pengaruh Dewan Hindia- Belanda dan para staf administrasi Belanda termasuk para peneliti serta para bangsawan pengusaha asing yang menetap di Hindia-Belanda, sedikit banyaknya telah mempengaruhi Gubernur Jenderal dalam membuat kebijakan. Kebijakan ini juga berlaku pada hukum kehutanan dan tanah di Hindia-Belanda. Dengan SK tanggal 3 Desember 1858 no. 28 sudah dicetuskan gagasan untuk membentuk sebuah komisi perancangan peraturan yang anggotanya terdiri dari seorang pejabat kehutanan yang layak untuk itu, seorang pejabat administrativ yang cakap dan seorang ahli hukum, untuk meninjau kembali semua peraturan dan ketentuan yang berlaku tentang hutan kayu Hardjodarsono et al, 1986:73. Para pejabat kehutanan menyarankan untuk segera mengangkat komisi yang akan menyusun peraturan mengenai pemangkuan dan eksploitasi hutan kayu, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu. Sesuai dengan saran ini, Gubernur Jenderal Pakaud masa jabatan 1855- 1861 dengan keputusan 6 Maret 1860 no. 16, mengangkat sebuah komisi yang terdiri atas 3 anggota yaitu Mr. F.H. der Kinderen panitian pada Mahkamah Agung, F.G. Bloemen Waanders Inspektur Tanaman Budidaya, E. van Roessler Inspektur Kehutanan. Komisi bertugas menyusun rancangan Reglement peraturan untuk pemangkuan dan eksploitasi hutan, serta pemberian izin penebangan, dan cara pemberantasan perdagangan kayu gelap Hardjodarsono et al, 1986:74. Pada tahun 1862, oleh Dewan Direktur dan Direktur Hasil Bumi dan Gudang Sipil disusun nota tanggapan atas rancangan itu, dan pada tahun yang sama Algemene Rekenkamer sekarang setara dengan Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan sarannya. Direktur keberatan dengan usul komisi yang menempatkan kedudukan houtvester dibawah Residen dalam semua masalah non-teknis. Direktur itu juga menghendaki supaya dalam Reglement dimasukan ketentuan tentang penggundulan hutan di daerah pegunungan Hardjodarsono et al, 1986:74. Pada tahun 1863, Pokrol Jenderal dari Mahkamah Agung memberi sarannya atas rancangan itu. Pokrol Jenderal keberatan, 114 bahwa dalam rancangan itu ada sebutan hutan gemeente desa. Ia menganggap tidak tepat, kalau suatu hutan dianggap sebagai milik gemeente seperti diinginkan komisi, hanya karena hutan itu terletak di lingkungan daerah desa. Kalau begitu semua hutan menjadi hutan gemeente. Namun menurut Pokrol Jenderal tidak menutup kemungkinan bahwa beberapa desa diakui mempunyai hak tertentu atas hutan Hardjodarsono et al, 1986:74. Sementara itu, ketentuan tentang pidana atas pencurian kayu yang sudah dirancang sejak tahun 1860 sudah menempuh jalan sendiri ke pengesahan, untuk diundangkan dalam Staatsblad. Mengenai usul ini tidak ada kesesuaian faham antara Pokrol Jenderal, Direktur Tanaman Budidaya dan para penasehat lainnya. Direktur itu menolak pengaturan parsial dan tidak dapat menyetujui ketentuan dalam rancangan komisi bahwa peraturan itu diberlakukan juga untuk kayu rimba. Ia merasa perlu agar bagi kayu rimba dibuatkan ketentuan yang lebih lunak dan harus ada penunjukan hutan rimba mana yang dapat digolongkan sebagai hutan negara Hardjodarsono et al, 1986:76. Larangan membuat api di dalam hutan, yang ingin dicantumkan Komisi, dianggapnya terlalu keras. Ia menginginkan agar rakyat yang sedang melakukan perjalanan dalam hutan janganlah dicegah menanak nasi. Terhadap ketentuan tentang penyulutan kebakaran ia juga keberatan, dan ia mengingatkan bahwa bertahun-tahun lamanya ada amar dalam Reglement, bahwa hutan jati harus dibakar setiap tahun agar bersih dan untuk merangsang daya tumbuhnya. Ia juga merasa perlu menaruh perhatian pada kegemaran rakyat untuk membuat api. Penyantuman tindak pencurian kayu dalam rancangan itu dianggapnya tidak tepat, sebab kejahatan ini dapat disamakan saja dengan pencurian biasa. Ia merasa sangat sukar menghalangi masuknya ternak ke lahan tanaman muda dan menyatakan bersyukur bahwa daun jati tidak menarik ternak. Pokrol Jenderal setuju kalau pencurian kecil cukup dihukum dengan denda saja. Ia juga menyatakan, bahwa selamanya dapat dijatuhkan hukuman lebih ringan dari sanksi minimum, berdasarkan pasal 6 dari ketentuan yang mengatur beberapa masalah hukum pidana Hardjodarsono et al, 1986:76. Setelah melalui proses perdebatan dalam perancangan peraturan kehutanan, pada tahun 1864 hukum kehutanan untuk Jawa diperkenalkan pertama kali bersamaan 115 dengan domeinverklaring tahun 1870 untuk tanah di luar Jawa yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak diklaim, termasuk hutan, sebagai domain dari negara 116 . Sejak saat itu, hutan semakin berada dibawah kendali pemerintah. Kebijakan ini hampir selalu berfokus pada hutan karena ini dipandang sebagai alasan hidrologis yang penting. Dalam hukum kehutanan ini, telah dibahas tentang perbuatan yang dianggap kejahatan dan pelanggaran terhadap hutan yaitu meliputi 1 pembakaran sengaja; 2 pencurian kayu; 3 pencurian hutan; 4 dan pelanggaran lain yang berupa : melepas ternak dalam hutan tanaman muda, menyulut api dalam hutan, menempuh jalan hutan di luar jalur dengan kereta atau gerobak atau ternak, melanggar pas kayu, merusak tanda batas, melanggar ketentuan izin penebangan, penjualan kayu dari hutan partikelir tanpa pembayaran pajak. Namun penetapan aturan pelanggaran dan kejahatan hutan hasil rancangan ini tidak seluruhnya dipakai pada tahun 1864 karena banyak diskusi dan debat yang terjadi antara Pokrol Jenderal dari Mahkamah Agung dengan anggota komisi. Mollier anggota komisi yang mengganti Roessler menganggap rancangan sebelumnya terlalu keras, terlebih lagi selain hukuman kurungan juga dapat dijatuhkan hukuman denda berat, padahal sebelumnya telah ada banyak perkara yang tidak dihukum atau hanya dikenakan hukuman yang sangat ringan. Khususnya ia mengusulkan agar hukuman terhadap pembakaran hutan diperingan, karena rakyat berdasarkan staatsblad no. 125 tahun 1829 sudah diakui biasa membakar hutan, dan baru dilarang pada tahun 1857 Hardjodarsono et al, 1986:76. Reglement hutan beberapa kali telah dirubah dari tahun 1864, 1875, 1897. Reglement yang sudah dirubah berkali-kali dengan berbagai Ordonansi hanya berlaku selama kira-kira 16 tahun. Dengan Ordonansi Kolonial 30 Juli 1913 ditetapkan lagi Reglement baru untuk Jawa dan Madura tetapi aturan pelaksanaannya berlaku untuk seluruh Hindia Belanda. 116 Galudra and Sirait, 2006., The Unfinished Debate : Socio-Legal and Science Discourse on Forest Land-Use and Tenure Policy in 20 th Century Indonesia . The 11 th Biennial Congress of the International Association for the Study of Common Property, Bali, Indonesia, 19-23 June 2006. Panel on Resurgent Commons within Public or Private Property of Working Group Tenure, Centre of Agrarian Studies PKA-IPB and ICRAF-SEA 116 Pada akhir abad 19, banyak rimbawan Belanda sangat dipengaruhi oleh keyakinan bahwa keberadaan hutan memiliki pengaruh sangat signifikan pada pengaturan air kondisi hidrologis. Artikel oleh de Jong pada tahun 1892 dan Ham pada tahun 1909 menggambarkan peran hutan dalam pengaturan air untuk menjadi serupa dengan spons 117 . Beberapa artikel pada tahun 1880 sampai 1915 juga mengamati pentingnya hidrologi hutan di beberapa kabupaten. Penurunan aliran sungai pada musim kemarau dan banjir selama musim hujan dianggap indikator masalah hidrologi. Deforestasi oleh pertanian lokal dan penjualan tanah yang disewakan dalam jangka waktu panjang untuk perkebunan kopi milik pemerintah dikaitkan sebagai penyebab utama dari masalah-masalah hidrologi. Artikel-artikel tersebut menyarankan tindakan reboisasi dan juga membangun hutan lindung sebagai kebijakan strategis untuk menjaga fungsi hidrologi. Namun, data kuantitatif sangat sedikit disediakan untuk mendukung argumen ini dan tampaknya mungkin bahwa preferensi kebijakan sebenarnya faktor pendorong. Pada tahun 1920 pemerintah memutuskan bahwa sedikitnya seperlima dari permukaan pulau jawa harus tetap berhutan untuk melestarikan sistem hidrologi. Kepercayaan dari para ilmuwan dimasa itu mengenai peran penting hutan dalam situasi hidrologi dan rekomendasi reboisasi dari mereka memiliki efek langsung pada pihak berwenang Gubernur 118 . Pembelian dan penghutanan kembali lahan pertanian juga perluasan hutan cadangan telah dilakukan untuk memecahkan masalah hidrologi. Pada waktu itu Pemerintah Kolonial menyetujui pembentukan cadangan hutan dan reboisasi untuk memperbaiki kondisi hidrologi yang dianggap sangat dipengaruhi oleh deforestasi. Pada periode itu, 117 de Jong, A. 1892. De Ontwouding van Java: Een Nagelaten Geschrift van Wijlen den Houtvester. Tijdschrift voor Nijverheid en Landbouw in Nederlandsch-Indie 43: 208-221; Ham, S.P. 1909. Beginselen en Regels voor de Plaatselijke Vaststelling van Boschreserveterreinen . Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur 39: 165-217; Galudra and Sirait, 2006., The Unfinished Debate : Socio-Legal and Science Discourse on Forest Land-Use and Tenure Policy in 20 th Century Indonesia 118 Anonymous. 1922. Devastatie en Reboisatie in de Preanger Regentschappen. Tectona 15: 706 ; Anonymous. 1923. Ontbossching. De Woudlooze Bergen der Preanger. Tectona 16: 915-917 ; Anonymous. 1924. Reboisatie. Tectona 17: 644-645 ; Galudra and Sirait, 2006., The Unfinished Debate : Socio-Legal and Science Discourse on Forest Land-Use and Tenure Policy in 20 th Century Indonesia . 117 tampaknya tidak ada kebijakan alternatif untuk mengatasi masalah hidrologi selain reboisasi dan hutan lindung 119 . Sejak Reglement 1874 diberlakukan, Kuningan memiliki Houtvester yang bertugas sebagai rimbawan patroli untuk mengawasi hutan Gunung Ciremai dan beberapa hutan rimba lainnya di Kuningan. Karena penataan batas hutan belum sepenuhnya dilakukan di hutan rimba, maka kebun kopi milik petani sepeninggalan masa Culturstelsel dibiarkan saja tanpa ada larangan apapun dari Houtvester. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan menggunakan Ordonansi 6 Mei 1882 dan Ordonansi 21 Nopember 1894, dan kemudian dengan Ordonansi Kolonial 9 Februari 1897, maka Reglement tahun 1874diperbarui dengan Bosch Reglementt 1897 Reglement Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1897, dilengkapi dengan Dienst Reglement 1897 Reglement Dinas melalui Keputusan Pemerintah tanggal 9 Februari 1897 No. 21 yang secara khusus memuat peraturan pelaksanaan Bosch Reglementt 1897 dan pengaturan organisasi Jawatan Kehutanan 120 . Dalam perancangan Reglement ini, banyak tarik menarik kebijakan untuk mulai memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal khususnya pada mereka-mereka yang tinggal di sekitar hutan jati. Para perancang kebijakan yang didukung oleh Dewan Hindia-Belanda dan Gubernur Jenderal membuat pengaturan yang lebih longgar pada pemanfaatan hutan jati oleh masyarakat lokal. Hutan rimba tidak begitu diperhatikan kecuali pada hutan rimba yang memiliki fungsi sebagai cadangan hutan dan penyangga air hidrologi . Reglement hutan tahun 1897 ditetapkan ketika Hindia- Belanda dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal Jonkheer Carel Herman Aart Van Der Wijck 121 1893-1899. Atas berlakunya Reglement ini, hutan rimba Gunung Ciremai pada saat itu mulai menjadi sorotan yang menimbulkan gesekan ditingkat lokal meskipun Reglement ini memberikan akses pada masyarakat lokal. Ini dikarenakan hutan Gunung Ciremai mulai dikategorikan pada kelompok hutan rimba 119 Galudra and Sirait, 2006., The Unfinished Debate : Socio-Legal and Science Discourse on Forest Land-Use and Tenure Policy in 20 th Century Indonesia . 120 Lihat Hardjodarsono et al, 1986. Sejarah Kehutanan 121 Jangan dikelirukan dengan Carel van der Wijck, perwira yang terlibat dalam Perang Bali Kedua dan Ketiga 118 tetap mengingat lansekapnya masuk pada daerah pegunungan. Petani kopi Gunung Ciremai merasa terganggu dengan keputusan ini, meskipun era Culturstelsel sudah tidak berlaku lagi namun jaringan perdagangan kopi tetap ada dan petani tetap menjalankan pertanian kopi untuk mendapatkan hasil sewa tanah dan pengganti upah kerja sedangkan hasil panennya dipasok kepada parapengusaha orang asing Eropa dan Cina. Alasan dasar Binnelands Bestuur dan Houtvester mengkategorikan hutan rimba tetap pada hutan Gunung Ciremai termasuk didalamnya kebun kopi rakyat adalah karena pengaturan kebijakan tentang perlindungan hutan baik sebagai cadangan hutan maupun sebagai pemeliharaan mata air terutama pada hutan-hutan dataran tinggi seperti Gunung Ciremai. S ejatinya sudah sejak lama pengaturan fungsi hutan sebagai hutan cadangan dan peraturan-peraturan mengenai penjagaan tanah untuk menghindari bahaya erosi dan mempertahankan kesuburan tanah-tanah, peraturan tersebut diantaranya 1 Stbl. 1819 no. 15 Landrente bepalingen; 2 Stbl. 1870 no. 55 dan 118 Agraris Wet dan Agraris Besluit; 3 Stbl. 1865 no. 96, 1e BoschReglementt; 4 Stbl. 1874 no. 79 1e Ontginnings ordonnatie; 5 Stbl. 1874 no. 110 2e BoschReglementt; 6 Stbl. 1884 no. 4060, Sirkuler Dep. B.B. 1884, tentang cadangan hutan Boschreservering; 7 Stbl. 1890 no. 115, tentang cadangan hutan di Jawa Boschreserving op Java; 8 Stbl. 1896 no. 44, 2e Ontginningsordonnantie; 9 Stbl. 1905 no. 41, perubahan Stbl. 1896 no. 44; 10 Stbl. 1905 no. 42, pembatasan sementara cadangan hutan; 11 Stbl. 1935 no.. 483; 12 G.B. 13 Mei 1934 no. 2 dan 13 B.W. pasal 720-736 Tauchid, 2009:448 122 . Meskipun peraturan perlindungan hutan telah ada sejak bahkan Reglement 1865 namun kebijakan perlindungan hutan rimba belum sepenuhnya menjadi perhatian ditingkat tapak karena pada saat itu Pemerintah Kolonial memaksimalkan personil tenaga kehutanan untuk pengurusan hutan jati semata sebagai aset yang penting bagi mereka. Pembersihan dan pengusiran petani kopi Gunung Ciremai pada era ini dipengaruhi juga tindakan reboisasi dan reforestasi hutan Gunung Ciremai. Petugas 122 Tauchid. M. 2009. Masalah Agraria Sebagai Masalah Pendapatan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Edisi Kedua. STPN Press. Yogyakarta 119 kehutanan Binnelands Bestuur dan Houtvester mulai memilih tanah-tanah hutan Gunung Ciremai yang memang perlu direhabilitasi atau penghutanan kembali. Namun karena kebijakan reforestasi dan penghutanan kembali memiliki implikasi biaya yang tinggi maka Binnelands Bestuur dan Houtvester menunggu itu menjadi program pemerintah Kolonial 123 . Akhir abad 19 tersebut belum menjadi agenda penting untuk mereforestasi hutan rimba tetap seperti Gunung Ciremai namun tindakan pengawasan dan pengamanan telah dilakukan agar hutan rimba tersebut bebas dari kepemilikan manusia. Karakteristik politik represi yang dilakukan Pemerintah Kolonial sejak era Culturstelsel sampai era liberal telah membuat sebagian petani kopi Gunung Ciremai mengerti untuk ‗pasrah‘ meninggalkan kebun kopi mereka dan lebih fokus mengurusi tanah pertanian di desanya dan beberapa tanaman kopi yang ditanam di tanah desa.

6.2 Era Perum Perhutani