108
5.4 Ikhtisar Akses dan kontrol atas sumberdaya hutan Gunung Ciremai secara dinamis
berubah sejak Era Kolonial berikut aktor yang memegang kekuasaan politik untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumberdaya hutan. Pada era Kolonial,
intervensi kebijakan akses dan kontrol diatur oleh VOC dan Pemerintahan Kolonial pasca bangkrutnya VOC. Dampak nyata kebijakan akses dan kontrol di Gunung
Ciremai pada era Kolonial berlaku ketika mulai diterapkannya Culturstelsel dan pemberlakuan perlindungan hutan dataran tinggi oleh Pemerintah Kolonial dengan
diberlakukannya Reglement hutan tahun 1874 dan 1879. Era kedua pengelolaan hutan Gunung Ciremai terjadi pada era Perhutani dimulai melalui pembangunan hutan
tahun 1978 dengan mengubah sebagain lansekap hutan menjadi hutan tanaman dengan jenis terutama Pinus. Pada tahap pembangunan ini, mekanisme akses dan
kontrol hutan Gunung Ciremai dilakukan melalui proyek penanaman dengan metode tumpang sari. Metode tumpang sari dengan tanaman pertanian rakyat mulai dilakukan
dengan pemberian hak garap pada sekelompok petani yang juga memiliki kewajiban dalam menanam pinus, merawat dan memeliharanya dalam tempo 2 tahun. Pada
tahun 1999, Perhutani mengakomodir keinginan masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk mewujudkan konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dan menjadikan
Kabupaten Kuningan sebagai model dalam menerapkan sistem PHBM. Dalam sistem PHBM ini, masyarakat sekitar hutan tidak lagi menjadi sebatas pelaksana
semata, melainkan posisinya sebagai mitra yang sejajar yang mampu bekerja sama membangun, melindungi, dan memanfaatkan sumberdaya hutan. Pada tahun 2004,
pengelolaan hutan Gunung Ciremai masuk pada Era Taman Nasional dengan menggunakan pengendalian akses dan kontrol sumberdaya melalui sistem zonasi.
Sistem zonasi dibuat dan dikendalikan oleh Balai Besar Taman Nasional dengan inisiatif konsesus dalam pembuatannya. Namun sistem zonasi dalam pengelolaan
Taman Nasional tidak saja sebagai acuan dalam menentukan gerak langkah pengelolaan dan pengembangan konservasi di Taman Nasional, tetapi sekaligus juga
merupakan ―penumpahruahan‖ konsep-konsep dan tujuan-tujuan sistem perlindungan dan pelestarian yang akan mengendalikan kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan
109
didalamnya
112
. Tujuan-tujuan zonasi Taman Nasional adalah untuk; mengklasifikasikan zona konservasi dan pemanfataan lestari pada suatu kawasan
Taman Nasional berdasarkan data ilmiah; menunjukan prioritas dari suatu area yang difokuskan untuk pengelolaan rencana aksi; dan mendapatkan konsensus masyarakat
untuk rencana pengelolaan
113
.
112
Srianto, Agus. 1998. Penataan Batas dan Sistem Zonasi Taman Nasional. Paper Pada Lokakarya Kepala Unit dan Kepala Balai Taman Nasional se-Indonesia. Dephut dan USAID-NRMP. Jakarta
113
Robi Royana. 2009. Masterplan Penanganan Perambah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
110
BAB VI PROSES POLITIK PERUBAHAN KEBIJAKAN
Ketika penelitian ini berlangsung, hutan Gunung Ciremai memiliki status sebagai kawasan konservasi Taman Nasional. Status ini berlaku sejak terbitnya SK
Menteri No. 424Menhut-II tahun 2004. Sebelum itu hutan Gunung Ciremai masih berstatus sebagai hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani. Pada saat
statusnya sebagai hutan produksi, hutan Gunung Ciremai mengalami beberapa perubahan pola hubungan antara Perum Perhutani, masyarakat dan hutan itu sendiri.
Melalui beberapa program perhutanan sosial, Perhutani mengalami beberapa modifikasi kebijakan dalam mengakomodir kepentingan masyarakat khususnya
petani Gunung Ciremai untuk memanfaatkan sumberdaya hutan Ciremai. Lebih jauh lagi, ketika hutan Gunung Ciremai memasuki periode sebelum kemerdekaan, hutan
Gunung Ciremai diduga kuat mengalami perubahan struktur penguasaan wilayah beberapa kali sejak masa penjajahan baik Belanda maupun Jepang sampai masa tertua
ketika struktur kekuasaan masih dijalankan sebagai sistem Monarki kerajaan. Perubahan ini sedikit banyak mempengaruhi lansekap hutan Gunung Ciremai
termasuk juga pendapatan para petani disekitarnya. Pada tiap periode tersebut, Gunung Ciremai mengalami berbagai pola-pola kebijakan yang berbeda baik yang
disebabkan oleh kewenangan penguasa maupun proses-proses yang melibatkan masyarakat sipil.
6.1 Era Pra Kemerdekaan
Sesudah Mojopahit jatuh 1478, Mataram berkembang sebagai kerajaan adikuasa di Jawa. Pada masa gemilangnya kerajaan ini, VOC Vereenigde Oost
Indische Compagnie , atau disingkat ―\Kompeni‖ dapat menancapkan kakinya di
Jawa. Pada mulanya VOC itu sangat takut menghadapi Mataram, tetapi akhirnya kerajaan ini malah mengemis bantuan dari Kompeni dan kemudian Kompeni ini