Sejarah Kuningan sebagai Tata Pemerintahan

63

BAB IV KUNINGAN DAN HUTAN GUNUNG CIREMAI

DALAM KONTEKS STUDI

4.1 Sejarah Kuningan sebagai Tata Pemerintahan

Kuningan berdasarkan tradisi lisan Legenda Kuningan memiliki nama Kajene. Kajene itu sendiri mengandung arti ―warna kuning‖ yang berasal dari bahasa Jawa. Kuning atau warna kuning bagi sebagian masyarakat pada waktu itu memberikan makna sebagai lambang keagungan. Sedangkan menurut naskah Carita Parahiyangan 2 memaparkan bahwa Kuningan sebagai nama daerah Kerajaan telah dikenal sejak zaman Kerajaan Galuh, yakni sejak akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi Ekadjati, 2003:24-25 3 . Menurut cerita mitologi setempat, nama daerah Kuningan itu diambil dari ungkapan dangiang kuning, yaitu nama ilmu kegaiban ajian yang bertalian dengan kebenaran hakiki. Ilmu ini dimiliki oleh Demunawan, salah seorang yang pernah menjadi penguasa Raja di daerah tersebut pada masa awal Kerajaan Galuh Ekadjati, 2003:25 4 . Dua naskah 5 yang ditulis pada zaman yang sama yang tertuang dalam daun lontar beraksara dan berbahasa Sunda Kuna pada abad ke-8 Masehi menyebutkan bahwa Kuningan pada waktu itu sudah disebut sebagai nama kerajaan yang terletak tidak jauh dari Kerajaan Galuh Ciamis sekarang dan Kerajaan Galunggung Tasikmalaya sekarang dimana lokasi kerajaan tersebut terletak di daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Kuningan Ekadjati, 2003:25 6 .Kerajaan Kuningan muncul bersamaan dengan munculnya kerajaan- kerajaan kecil disekitarnya setelah Kerajaan Tarumanagara turun dari panggung 2 Carita Parahiyangan merupakan sumber tertulis yang disusun di daerah Ciamis pada akhir abad ke-16 Masehi 3 Lihat Edi S. Ekadjati, 2003. Sejarah Kuningan : Dari Masa Prasejarah hingga Terbentuknya Kabupaten. PT Kiblat Buku Utama. Bandung. Hal 24-25 4 Ibid, Hal 25 5 Dua naskah tersebut meliputi naskah Carita Parahiyangan dan Fragmen naskah Carita Parahiyangan 6 Ibid, Hal 25 64 sejarah pada akhir abad ke-7 Masehi. Kerajaankerajaan lain yang muncul bersamaan Kerajaan Kuningan antara lain Kerajaan Sunda, Kendan, Galuh, serta Kerajaan Indraprhasta. Wilayah Kerajaan Sunda terletak di bagian barat Tanah Sunda dengan ibu kota di Pakuan Pajajaran sekitar kota Bogor sekarang. Kendan terletak di sekitar Nagreg, bagian timur Kabupaten Bandung. Wilayah Galuh berada di bagian timur Tanah Sunda dengan pusatnya di Bojonggaluh. Galunggung terletak di sekitar lereng Gunung Galunggung, Tasikmalaya sekarang. Indraprahasta berada di bagian pedalaman Cirebon di timur laut kaki Gunung Ciremai. Sedangkan Kerajaan Kuningan berada di daerah Kabupaten Kuningan sekarang antara Wilayah Galuh dan Indraprahasta Ekadjati, 2003:35 7 . Berdasarkan catatan sejarah dari berbagai sumber, Kerajaan Kuningan untuk pertama kalinya diperintah oleh seorang raja bernama Sang Pandawa atau Sang Wiragati. Raja ini memerintah sezaman dengan masa pemerintahan Sang Wretikandayun 612-702 Masehi, pendiri Kerajaan Galuh. Pada saat itu, meskipun Kuningan merupakan kerajaan kecil, namun kedudukannya cukup kuat dengan didukung kekuatan mileter yang tangguh. Hal itu terbukti dengan kekalahan yang diderita oleh pasukan Sanjaya raja Galuh ketika menyerang Kuningan Ekadjati, 2003:36 8 .Bersamaan munculnya Kerajaan Kuningan sejak akhir abad ke-7 Masehi ini, maka pada saat itu wilayah Kuningan telah ada organisasi sosial yang sudah teratur dengan ciri adanya kepala pemerintahan serta adanya yang diperintah rakyat. Meskipun kecil kekuasaannya, peranannya serta luas wilayahnya, Kuningan pada akhir abad ke-7 Masehi merupakan negara yang berbentuk kerajaan. Kerajaan Kuningan memiliki seorang raja yang masih memiliki hubungan keluarga darah pernikahan dengan raja-raja Sunda. Namun harus diakui bahwa data kuantitatif mengenai Kerajaan Kuningan ini, seperti jumlah penduduk, batas seluruh wilayah, struktur pemerintahan, daftar raja, peristiwa-peristiwa yang terjadi, tidak dapat diketahui secara pasti Ekadjati, 2003:39-40 9 . 7 Ibid, Hal 35 8 Ibid, Hal 36 9 Ibid, Hal 39-40 65 Kerajaan Kuningan terbagi dalam beberapa administrasi kekuasaan sekarang Kecamatan yang tersebar dibeberapa tempat disekitar Kuningan sekarang. Namun jumlah wilayah administrasi kekuasaan dapat dipastikan lebih sedikit jika dibandingkan dengan administrasi kekuasaan pada saat ini. Hal ini karena banyak terjadi pemecahan-pemecahan wilayah sebagai daerah administrasi kekuasaan terkecil di wilayah Kuningan yang dahulu merupakan satu daerah administrasi kekuasaan. Dalam Naskah Bujangga Manik 10 yang disusun pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi disebutkan beberapa nama tempat administrasi kekuasaan Kerajaan Kuningan yaitu Darmaloka, Mandirancan, Gunung Ciremai dan Timbang, sebagai tempat-tempat yang ada pada masa itu dan berada di daerah Kabupaten Kuningan sekarang Ekadjati, 2003:43-44 11 .Sebagai kerajaan kecil tentu saja struktur pemerintahan Kerajaan Kuningan sederhana, tidak kompleks atau lengkap sebagaimana dalam sebuah kerajaan besar. Meskipun Kerajaan Kuningan masih sederhana namun dalam struktur pengelolaan pemerintahannya telah ada jabatan raja, patih, komandan pasukan militer, pemimpin keagamaan, dan kepala daerah di tingkat lebih bawah. Pada waktu itu, relasi kekuasaan kerajaan kecil dengan kerajaan besar di Tanah Sunda menggunakan sistem federasi yaitu kerajaan besar berkedudukan sebagai penguasa pusat pemerintah federal yang membawahi sejumlah kerajaan-kerajaan kecil dibawahnya Ekadjati, 2003:44 12 . Menurut tradisi setempat, sekitar abad ke-15 Masehi di daerah Kuningan dikenal dua lokasi yang mempunyai kegiatan pemerintahan, yaitu Luragung dan Kajene. Pusat pemerintahan Kajene terletak sekarang di Desa Sidapurna Kecamatan Kuningan 13 . Nama Kajene saat ini tidak digunakan lagi nama daerah Luragung masih dipakai hingga sekarang, yaitu sebagai nama sebuah desa, kota Kecamatan, dan kota kewadanan dulu yang terletak sekitar 19 km sebelah timur kota Kuningan. Pada masa itu, Luragung dan Kajene bukan merupakan kerajaan, melainkan suatu daerah 10 Naskah Bujangga Manik ditulis pada daun lontar yang beraksara dan berbahasa Sunda Kuna 11 Ibid, Hal 43-44 12 Ibid, Hal 44 13 Lihat http:wartadesa2007.wordpress.com200809page4, diunduh tanggal 24 Juni 2012 Pukul 9.39 66 administrasi pemerintahan saja. Secara formal kedua daerah tersebut masih dipengaruhi agama Hindu dan kepercayaan lama animism yang dalam tradisi setempat disebut agama Sanghiyang Ekadjati, 2003:45-46 14 . Tampilnya tokoh Arya Kemuning, Ki Gedeng Luragung dan Sang Adipati Kuningan menjadi tonggak masa keadipatian di wilayah Kuningan dimana Arya Kamuning dan Ki Gedeng Luragung menjadi pemimpin daerah Luragung sedangkan Sang Adipati Kuningan sebagai pemimpin daerah Kuningan. Awalnya Arya Kemuning, Ki Gedeng Luragung dan Sang Adipati Kuningan berada dibawah kuasa Raja Sunda, tetapi seiring dengan makin mundurnya peranan Kerajaan Sunda dan makin majunya pengaruh agama Islam di Tanah Sunda, maka lama-kelamaan mereka beralih orientasi dan pengakuan yang semula berada dibawah kuasa raja Sunda menjadi berada dibawah kuasa Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati. Pada proses pengalihan kekuasaan ini dimulai dari proses dakwah Susuhunan Gunung Jati di wilayah Kuningan. Arya Kamuning yang menjadi kepala daerah Kuningan pada waktu itu beragama Sanghiyang. Atas upaya dakwah Susuhunan Gunung Jati, kemudian Arya Kamuning beralih agama dengan memasuki agama Islam. Sang Adipati Kuningan sendiri merupakan kepala daerah Kuningan pertama yang sejak awal beragama Islam dan diangkat oleh Susuhunan Jati. Pada waktu itulah Luragung dan Kuningan digabungkan menjadi satu daerah administrasi pemerintahan keadipatian dengan nama Kuningan dan Luragung menjadi bagian daerah Kuningan Ekadjati, 2003:47 15 . Masa ini dapat dikatakan sebagai masa peralihan sejarah. Disebut demikian karena pada saat itu telah terjadi perubahan dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Kuningan. Perubahan-perubahan dimaksud adalah 1 agama dari HinduBudha atau Sanghiyang ke Islam, 2 garis hak waris pemegang pemerintahan dari Arya Kamuning kepada Sang Adipati Kuningan, 3 lokasi pusat pemerintahan dari Saunggalah melalui Luragung ke Kuningan, 4 tingkat kepemimpinan dari raja menjadi adipati, dan 5 orientasi pengabdian dari Galuh Sunda ke Cirebon. Perubahan tersebut dalam konteks sejarah dan juga legenda berlangsung melalui 14 Ibid, Hal 45-46 15 Ibid, Hal 47 67 proses perpaduan yang harmonis antara unsur lama dengan unsur baru sehingga tidak terjadi ketegangan atau konflik sosial Ekadjati, 2003:48 16 . Menurut berbagai sumber, sepeninggalan Sang Adipati Kuningan, yang menggantikan kedudukannya sebagai kepala daerah di Kuningan adalah tokoh bernama Geusan Ulun Kusumajaya 17 . Ia adalah putera Sang Adipati Kuningan. Masa pemerintahan Geusan Ulun Kuningan diperkirakan sekitar akhir abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-17 Masehi. Jika dilihat dari periode kekuasaannya, Geusan Ulun Kuningan tidak banyak membantu Susuhunan Jati seperti ayahnya Sang Adipati Kuningan karena Susuhunan Jati telah wafat pada tahun 1568. Kesultanan Cirebon sendiri sepeninggal Susuhunan Jati, diperintah oleh Fatahillah 1568-1570 dan Panembahan Ratu 1570-1650 Ekadjati, 2003:62-63 18 . Sepeninggalan Geusan Ulun, Kuningan dilimpahkan kekuasaannya kepada putera tertuanya yang dikenal dengan sebutan Dalem Mangkubumi. Namun Dalem Mangkubumi hanya menguasai daerah yang lebih kecil Ekadjati, 2003:66 19 . Setelah kepemimpinan Dalem Mangkubumi, tidak diketahui lagi siapa yang memerintah di daerah Keadipatian Kuningan dan bagaimana pemerintahan berlangsung. Tampaknya status administrasi pemerintahan keadipatian pun mengalami perubahan tetapi apa bentuk pemerintahan yang baru tidaklah diketahui. Hal itu terjadi, karena daerah ini menjadi rebutan tiga pusat kekuasaan besar. Ketiga pusat kekuasaan besar dimaksud adalah 1 Kesultanan Cirebon yang sejak akhir abad ke-15 memang menguasai wilayah Kuningan, 2 Kesultanan Mataram yang berpusat di Kartasura yang sejak akhir abad ke-16 berambisi untuk memperluas wilayah kekuasaan di Pulau Jawa termasuk Jawa Barat, dan 3 Kompeni Belanda VOC yang berkedudukan di Batavia Jakarta sekarang yang berkeinginan untuk mengeduk keuntungan sebanyak-banyaknya. 16 Ibid, Hal 48 17 Ada dua nama Geusan Ulun pada masa itu, yaitu Prabu Geusan Ulun Sumedang yang memerintah Kerajaan Sumedanglarang yang memiliki nama asli Angkawijaya dan Geusan Ulun Kuningan yang memiliki nama asli Kusumajaya. L ihat ―Pemerintahan Setelah Sang Adipati Kuningan‖, diunduh dari http:aditya69.wordpress.comtagsejarah-kuninganpage2. Diunduh pada tanggal 24 Juni 2012 Pukul 12.18 18 Ibid, Hal 62-63 19 Kecilnya kawasan kekuasaan kemungkinan besar sebagai akibat dari pembagian kekuasaan dengan anak-anak Geusan Ulun yang lainnya. Lihat Edi. S. Ekadjati, 2003. Sejarah Kuningan : Dari Masa Prasejarah hingga Terbentuknya Kabupaten. PT Kiblat Buku Utama, Hal 66 68 Mengenai wilayah administrasi Keadipatian Kuningan, secara tak lengkap dan samar-samar telah dicatat oleh Belanda pada awal abad ke-18 bahwa ada daerah disebut Wates yang diidentifikasi sebagai daerah Kuningan pada awal abad ke-18. Daerah ini diserahkan oleh Mataram kepada para Pangeran Cirebon. Beberapa tempat desa yang dapat diidentifikasi dengan nama Ciawi, Kalimanggis, Subang, Rancah, Ciceuri, Patala yang jumlah penduduknya sebanyak sekitar 5.800 keluarga atau kira- kira 25.000 – 30.000 jiwa. Penduduk desa Kuningan sendiri berjumlah 100 keluarga atau sekitar 400 – 500 jiwa. Pada waktu itu ada jalan umum yang bisa ditempuh dengan jalan kaki dan naik kuda yang menghubungkan Kawali Ciamis dengan Cirebon melalui Dayeuhluhur, Darma, Cigugur dan Sangkanhurip Ekadjati, 2003:72 20 .Sejak tahun 1690 secara garis besar Kuningan terbagi atas dua wilayah administrasi pemerintahan. Bagian barat daerah Kuningan masuk ke dalam wilayah Kesultanan Cirebon Kasepuhan dan bagian timurnya masuk ke dalam wilayah Gebang yang sudah berdiri sendiri terlepas dari Cirebon. Kedua wilayah administrasi pemerintahan tersebut dibatasi oleh Sungai Japura dan Sungai Cisande Ekadjati, 2003:72 21 . Masa kolonial diawali dengan munculnya pengaruh politik dan militer dari Belanda yang melakukan ekspansi ke wilayah Indonesia. Dalam masa kolonial ini, kepemimpinan pemerintahan lokal-pribumi tetap dipertahankan dengan diposisikan di bawah kendali pemerintahan kolonial. Ketika Belanda masuk dan menjajah Indonesia, terjadi perubahan sistem pemerintahan, pada tahun 1809 pemerintah kolonial Belanda menghapus sistem raja sultan. Abdi kerajaan dijadikan pegawai raja Belanda dengan pangkat bupati dan di bawah bupati ada Wedana yang tunduk pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Perubahan ini menandai berakhirnya masa pemerintahan Kerajaan Kuningan dari tahun 1650-1800. Hal ini terkait dengan dimulainya periode kejayaan VOC di Pulau Jawa termasuk daerah Cirebon dan sekitarnya. Daerah Kuningan dipecah menjadi beberapa kewedanan yang meliputi beberapa Kecamatan Dading, 2008:28 22 . Setelah pemerintahan berpindah dari 20 Ibid, Hal 72 21 Ibid, hal 72 22 Dading Abiding Anwar, Kuningan dalam Kenangan Remaja-Pemuda dari Masa ke Masa Jakarta: Pustaka Nawaitu 2008, hlm. 28. 69 tangan VOC ke tangan Pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-19, terjadi lagi re-organisasi wilayah pemerintahan. Gubernur Jenderal H.W Daendles pada tahun 1808 membagi Pulau Jawa atas Sembilan prefectuur. Setiap prefectuur dipimpin oleh seorang prefect. Sistem pemerintahan di wilayah Cirebon dan sekitarnya termasuk Kuningan tampak jelas setelah keluarnya peraturan pemerintah yang terbit tanggal 2 Febuari 1809 atas prakasa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendles 1808-1811 yang disebut Reglementt op het Beheer van de Cheribonsche Landen Peraturan Pemerintahan di Tanah Cirebon. Menurut peraturan ini wilayah Cirebon dibagi atas dua prefecture yaitu 1 Prefektur Cirebon dan 2 Prefektur Priangan-Cirebon. Prefektur Cirebon meliputi tanah milik para sultan Cirebon dan Pangeran Gebang. Prefektur Priangan-Cirebon meliputi kabupaten-kabupaten Limbangan, Sukapura dan Galuh.Ketika Daendles meletakan jabatannya, wilayah Priangan yang sebenarnya terdiri dari kabupaten-kabupaten meliputi Cianjur, Bandung, Sumedang, Parakanmuncang dan Karawang. Wilayah ini dikenal juga sebagai Prefectuur Preanger-Regentschappen. Kemudian pada masa pemerintahan Inggris 23 1811-1816, Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggris, memperkenalkan istilah keresidenan sebagai pengganti landdrost-ambt. Sejak saat itu dikenal istilah residen sebagai pemimpin keresidenan yang berkedudukan di ibu kota keresidenan. Pada akhir masa pemerintahan Inggris, pulau Jawa terbagi atas 16 keresidenan, salah satu diantaranya adalah keresidenan Cirebon Lubis, 2004:33 24 . Pada masa ini istilah pemerintahan dibedakan atas pemerintahan kolonial dan pemerintahan pribumi. Dalam lingkup pemerintahan pribumi di keresidenan Cirebon dibentuk tiga kabupaten yang dipimpin oleh tiga orang sultan di Cirebon dengan jabatan bupati- wedana bupati kepala. Setiap kabupaten terdiri atas empat distrik 25 dan tiap distrik dikepalai oleh seorang berpangkat tumenggung. Tumenggung berkedudukan di 23 Pemerintahan Inggris dapat disebut sebagai Pemerintahan Penyelang karena tidak berlangsung lama 24 Lihat Nina H. Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Pusat Informasi Kebudayaan Sunda. 2004, hlm 33. 25 Pemerintahan distrik seperti Kecamatan pada saat ini. Setiap distrik diperbantukan 1 orang bupati luar wakil bupati, 1 orang bupati dalam, 2 orang demang, 6 orang mantra, 1 orang jaksa, 1 orang penghulu kepala dan 1 orang khatib. Jaksa dibantu oleh 8 orang jogobela, 1 orang sipeir kepala, 1 orang wakil sipir, dan 4 orang upas opas. Khatib dibantu oleh 2 orang pembantu 70 sebuah desa yang lokasinya terletak di tengah-tengah daerah distrik yang bersangkutan dan tempat kedudukan tumenggung menjadi ibukota distrik tersebut Ekadjati, 2003:72-73 26 .Dari 12 distrik di keresidenan Cirebon, ada 2 distrik yang masuk ke dalam wilayah Kuningan sekarang yaitu distrik Cikaso dan distrik Kuningan. Kedua distrik tersebut berada di bawah pemerintahan Sultan Sepuh Kasepuhan. Distrik Cikaso memiliki 547 jung sawah dan 9.488 cacah penduduk, sedangkan distrik Kuningan memiliki 430 jung sawah dan 12.277 cacah penduduk. Sesungguhnya 300 jung sawah di dalam distrik Gebang bagian selatan tanah pegunungan termasuk daerah Kuningan sekarang Ekadjati, 2003:73-74 27 . Dengan demikian, kawasan Kuningan pada saat itu merupakan bagian dari kekuasaan politik keresidenan Cirebon dan tidak berdiri sebagai keresidenan atau pun pemerintahan kabupaten melainkan hanya bagian distrik dari salah satu kabupaten di keresidenan Cirebon.Pada tahun 1819 sistem pemerintahan di Keresidenan Cirebon mengalami perubahan lagi dengan keluarnya peraturan nomor 23 tahun 1819. Peraturan ini menetapkan pembagian wilayah Keresidenan Cirebon atas 5 kabupaten yaitu meliputi Cirebon, Bengawan Wetan, Maja, Kuningan, dan Galuh dengan batas-batas daerah yang jelas. Adapun batas-batas daerah Kabupaten Kuningan adalah sejak muara Sungai Cisande dan Sungai Cilosari ke udik Sungai Cisande sampai Desa Susukan kemudian ke hulu Sungai Cilengkrang Sungai Cisande ke barat sampai puncak Gunung Ciremai sebagai batas sebelah utara, dari puncak Gunung Ciremai kea rah selatan sampai ke Sungai Cijolang sebagai batas di sebelah barat, aliran Sungai Cijolang sampai ke daerah Kabupaten Cilacap sebagai batas di sebelah selatan, serta dari titik hilir Sungai Cijolang tersebut ditarik ke utara sampai ke pertemuan Sungai Cilosari Sungai Cisanggarung dengan Sungai Cisande sebagai batas sebelah timur. Sejak itulah sesungguhnya bentuk administrasi pemerintahan kabupaten di daerah Kuningan mulai berlaku Ekadjati, 2003:74-75 28 . Pada masa penjajahan Belanda, Kepemimpinan Kuningan telah dikepalai oleh beberapa Bupati dimana Bupati-bupati yang telah memimpin Kuningan pada era Kolonial Belanda ini meliputi R. Brata 26 Ibid, Hal 72-73 27 Ibid, Hal 73-74 28 Ibid, Hal 74-75 71 Adiningrat, Doejeh Brata Amijaya, R. Dali Surjana Atmadja, R. Moch. Ahmad dan R. Umar Said. Kemudian beralih ke zaman Jepang, dipimpin oleh R. Asikin Niti Atmadja. Setelah itu, pada kedudukan NICA recomba, Kuningan dinakodai R. Asikin Djoedadibrata, R. Hollan Sukmadiningrat dan R. Abdul Rifa‘i 29 . Dalam masa kolonial ini, kepemimpinan pemerintahan lokal-pribumi tetap dipertahankan dengan diposisikan dibawah kendali atau dalam subordinasi pemerintahan kolonial. Pada masa ini, pelaksanaan pemerintahan lokal diwarnai dengan pola-pola administrasi pemerintahan modern yang diterapkan oleh pemerintahan kolonial. Oleh karena itu, dari sisi manajemen pemerintahan pelaksanaan administrasi pemerintahan yang teratur dan sistematis baru mulai dilaksanakan pada masa ini. Istilah pemerintahan yang diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial yang tetap digunakan hingga dewasa ini adalah kabupaten. Pada masa itu, istilah ini menunjuk pada suatu unit wilayah pemerintahan yang di dalamnya terbagi atas distrik-distrik. Dari sisi peran terhadap wilayah di sekitarnya, sejarah sejak masa kerajaan hingga masa kolonial menunjukan bahwa Kuningan lebih banyak memainkan peran sebagai penyangga atau penyokong dari wilayah disekitarnya, khususnya wilayah Cirebon. Pada masa tersebut, sokongan tersebut terutama berupa dukungan pertahanan militer dari ancaman ekspansi dari pemerintahan wilayah lain. Selain itu, sokongan yang diberikan juga berupa dukungan ekonomi terhadap wilayah induknya, meskipun sangat sedikit catatan sejarah yang mengulas hal tersebut secara eksplisit. Petunjuk yang cukup kuat mengenai hal ini terutama diperoleh pada masa kolonial. Pada masa tersebut Kuningan merupakan wilayah yang difungsikan sebagai penyedia sumberdaya air untuk budidaya pertanian di wilayah utara dan sebagai penyedia jasa kenyamanan lingkungan untuk peristirahatan. Peran tersebut terus berjalan pada masa pembangunan pasca kemerdekaan, bahkan dewasa ini lebih dipastikan lagi melalui kebijakan-kebijakan yang eksplisit baik di tingkat Provinsi Jawa Barat maupun Nasional. Berlangsungnya peran tersebut secara kontinyu terutama disebabkan oleh letak geografis relatif Kuningan terhadap daerah sekitarnya, khususnya Cirebon. 29 Lihat http:wartadesa2007.wordpress.com200809page4, diunduh tanggal 24 Juni 2012 Pukul 9.34 72 Karena posisinya yang terlalui dengan mudah dari berbagai arah strategic baik melalui darat maupun laut, secara administratif, sosial, dan ekonomi Cirebon tumbuh menjadi pusat kegiatan yang memenuhi berbagai kebutuhan daerah di sekitarnya. Oleh karena itu, daerah sekitarnya, termasuk Kuningan, sejak dahulu berkembang sebagai daerah pelayanan dan pendukung kebutuhan sumberdaya Cirebon hinterland 30 . Pada masa penjajahan tentara Jepang, struktur pemerintahan telah dirubah meskipun hanya pada istilah pembahasaan semata. Pemerintahan Tentara Jepang memiliki kebijakan dalam membentuk struktur pemerintahan militer di Jawa dan Madura yang terdiri atas Gunsyireikan yang membawahi syucokan residen dan dua kotico kepala daerah istimewa. Di bawah syucokan adalah kenco bupati dan syico walikota. Di bawah kenco adalah gunco wedana; di bawah gunco adalah sonco camat, dan di bawah sonco adalah kunco kepala desa. Pada saat itu, wilayah Jawa Barat memiliki lima syucokan, yaitu Syucokan Banten, Jakarta, Bogor, Priangan, dan Cirebon dan jabatan syucokan residen dipegang oleh orang Jepang. Beberapa di antaranya adalah Onokuchi, Matsui, Ichibangase, masing-masing sebagai residen untuk Banten, Priangan, dan Cirebon. Cirebonsyu dikepalai oleh Syucokan Ichibangase; wilayahnya meliputi kabupaten-kabupaten Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan Majalengka. Namun ketika terjadi kelemahan pemerintahan tentara Jepang akibat dinamika politik Internasional maupun Nasional berlaku kepemimpinan pribumi sebagai kepala . Pada saat itu tepatnya sejak 1 Desember 1944 kepala Cirebonsyu Ichibangase diganti oleh R.M.A.A. Suriatanubrata. Adapun para bupati Kuningan pada waktu itu adalah R. Umar Said 1940 – 1942 dan Rifai 1942 – 1945. Setelah kemerdekaan dan awal Pemerintahan Orde Lama, Kuningan ditetapkan sebagai salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat melalui Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Barat. Sejak masa awal keberadaannya Kuningan merupakan sebuah 30 http:bappeda.kuningankab.go.idappsfiles934274-bab-irpjp.pdf. Diunduh tanggal 12 Juli 2012 Pukul 6.10 73 daerah yang secara fisik geografis dan perkembangan kultural memiliki ciri-ciri keserbasamaan yang memungkinnya dipandang sebagai suatu wilayah yang utuh. Selain itu, secara fungsional sosial ekonomi, antar bagian-bagian daerahnya telah berkembang jalinan hubungan yang padu dan saling menunjang sehingga dari sisi ini tepat pula untuk diposisikan sebagai daerah yang utuh. Oleh karena itu, penetapan secara administrasi-politis yang memastikan Kuningan sebagai sebuah kabupaten pada dasarnya merupakan pengakuan dan pengukuhan atas kondisi kewilayahan yang secara objektif dimiliki Kuningan 31 .Pada masa setelah kemerdekaan sejak 1950, Kuningan telah beberapa kali berganti Pemimpin dari R. Noer Armadibrata; R. Moch. Hafail; R. Tikok Moch. Ichlas; R. Sumitra; TB. Amin Abdullah; Saleh Alibasyah; Usman Jatikusuma; Rd. K. Surjana Atmadija; S. Suminta Atmadja; Aruman Wirananggapati; Karli Akbar; RH. Unang Sunardjo; Moch. Djufri Pringadi; Subandi; Y. DS. Partawinata; Arifin Setiamiharja dan saat ini Kuningan dipimpin oleh Aang Hamid Suganda.

4.2 Hutan Gunung Ciremai dan Dinamikanya