104
tindakan pengawasan dan pengamanan telah dilakukan agar hutan rimba tersebut bebas dari kepemilikan manusia. Karakteristik politik represi yang dilakukan
Pemerintah Kolonial sejak era Culturstelsel sampai era liberal telah membuat sebagian petani kopi Gunung Ciremai
mengerti untuk ‗pasrah‘ meninggalkan kebun kopi mereka dan lebih fokus mengurusi tanah pertanian di desanya dan beberapa
tanaman kopi yang ditanam di tanah desa.
5.2 Ciremai dan Legitimasi Perhutani
Perhutani sebagai Badan Usaha Milik Negara, dalam pendiriannya memiliki rentetan sejarah yang panjang. Meskipun secara resmi Perhutani adalah milik Negara
Indonesia namun tidak dapat dipungkiri bahwa Perhutani adalah perusahaan negara hasil dari manajemen Jawatan Kehutanan Hindia Belanda terutama dalam hal
pengelolaan jati, sedikit banyak area pengelolaannya adalah area yang dikelola oleh Jawatan Hindia Belanda sejak zaman VOC sampai dengan menjelang kemerdekaan
Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan, dengan disahkannya ketetapan MPRS No. IIM.P.R.S.1960 , pada waktu itu direncanakan untuk mengubah status Jawatan
Kehutanan menjadi Perusahaan Negara yang bersifat komersial. Tujuannya, agar Kehutanan dapat menghasilkan keuntungan bagi kas Negara. Kemudian diterbitkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 19 tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang ini, Pemerintah
dibidang ekonomi, dan sekaligus mengadakan reorganisasi dalam alat-alat produksi dan distribusinya. Untuk mewujudkan perubahan status Jawatan Kehutanan menjadi
Perusahaan Negara dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 17 sampai dengan No 30 tahun 1961 tentang Pembentukan Perusahaan-Perusahaan Kehutanan Negara
Perhutani 1986:76. Pada awal peraturan ini ditetapkan, Perhutani merupakan BUMN yang memiliki daerah kawasan pengelolaan dari Jawa, Madura hingga Luar
Jawa yang kemudian dipisahkan hanya mengelola Jawa saja sedangkan luar Jawa dikelola oleh Inhutani. Pengelolaan dan pembangunan hutan Gunung Ciremai oleh
Perhutani dimulai sejak disahkannya perluasan perluasan hutan Perhutani di Jawa Barat tahun 1978. Dengan ditambahkannya Jawa Barat di tahun 1978, wilayah yang
105
dikuasai Perhutani hampir sama dengan wilayah Dinas Kehutanan Belanda di Jawa
69
. Riwayat singkat keorganisasian sejak tegaknya kekuasaan Orde Baru tahun 1967
adalah sebagai berikut : pada 1969 didirikan Kementerian Pertanian Orde Baru, yang antara lain membawahi Direktorat Jenderal Kehutanan. Kemudian tahun 1972
Perhutani Jawa Tengah dan Timur secara hukum digabung sebagai unit-unit produksi tersendiri yang menginduk ke Perum Perhutani. Bentuk usaha negara yang berupa
perum perusahaan umum ini bekerja sebagai perusahaan non pemerintah, dengan anggarannya sendiri dan dengan persetujuan kementerian
70
. Hingga 1983, Perum Perhutani bertanggung jawab kepada Menteri Pertanian; pada tahun tersebut
kehutanan menjadi kementerian tersendiri
71
. Dinas Kehutanan Jawa Barat dijadikan bagian dari Perum Perhutani pada 1978 sedangkan hutan di Daerah Istimewa
Yogyakarta bukanlah bagian dari Perum Perhutani, tetapi tetap berstatus Dinas Kehutanan
72
. Sejak tahun 1967, ada empat perubahan yang telah dilakukan untuk lebih mengefisienkan manajemen Perhutani disamping memudahkan pengendalian
hutan. Pertama, banyak distrik hutan diciutkan wilayahnya dan diupayakan terbentuknya distrik-distrik hutan spesies jati dan spesies bukan jati secara eksklusif.
Kedua, jati masih tetap dipentingkan, tetapi rimbawan menyadari perlunya meluaskan produksi bukan jati dan menganekaragamkan sumber penghasilan Perum Pehutani.
69
Nancy Lee Peluso, 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat. Komphalindo. Jakarta Selatan. Hal 180
70
Ada tiga macam perusahaan negara : Perum, Perjan dan Persero. Pengertian Perum yang meskipun akronim dari ―Perusahaan Umum‖ dimiliki sepenuhnya oleh negara telah disebut dalam teks. Perjan
ialah akronim dari ―Perusahaan Jawatan‖, merupakan badan pemerintah dan perusahaan nonstick dalam anggaran pemerintah. Persero adalah kependekan dari ―Perseroan‖ perusahaan saham, tetapi
kementerian keuangan lah, mewakili pemerintah, satu-satunya pemegang saham dalam perusahaan yang berupa perseroan Junus, 1984:174; Peluso, 2006:180-181
71
Junus Kartasubrata, 1985. Forest policy, legislation and administration in Indonesia. Nederlands Bosbouw Tijdschrift. Hal 173-174; Nancy Lee Peluso, 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat.
Komphalindo. Jakarta Selatan. Hal 181
72
Jawa Barat semula tidak dimasukan dalam Perum Perhutani karena Provinsi ini kurang menunjukan potensi besar untuk eksploitasi hutan yang melaba dibandingkan Jawa Tengah dan Timur dimana
terdapat 84 persen dari lahan yang diperuntukan bagi produksi jati. Kayu jati yang dihasilkan di Jawa Tengah dan Timur adalah yang terbaik di Jawa. Karena perbedaan tanah dan iklim, jati yang ditanam
di Jawa Barat kebanyakan dipanen setelah empat puluh tahun dan harganya jauh dibawah jati yang tumbuh di Jawa Tengah dan Timur. Setelah empat uluh tahun, pohon jati di Jawa Barat rentan terkena
penyakit Sumitro, 1985:11; Peluso, 2006:181. Jawa Barat ikut dimasukan dalam Perum PErhutani pada 1978 karena pengoperasiannya di bawah Dinas Kehutanan menyedot pajak dari Anggaran
Pembangunan alih-alih menyumbang. Dengan keberhasilan Perum Perhutani, antara lain berkat iklim
politik usaha yang ―lebih kondusif‖, kementerian memandang hutan Jawa Barat akan dapat dikelola dengan lebih baik oleh Perum Perhutani Peluso, 2006:181
106
Ketiga, prosedur pengelolaan fiskal telah berubah. Pemasukan tidak lagi dikelola pada tingkat distrik hutan KPH melainkan dikelola secara lebih terpusat oleh unit-
unit dan kantor pusat. Pendapatan ekspor dikelola di Jakarta. Pendapatan dari lelang, kontrak dan penjualan kayu oleh swasta perseorangan tetap dikelola dalam unit
73
. Distrik penghasil kayu yang kaya menyubsidi pengelolaan distrik bukan jati, hutan
lindung dan distrik jati yang produktivitasnya rendah. Selain itu, Unit I Jawa Tengah dan Unit II Jawa Timur yang merupakan wilayah jati yang kaya
menyubsidi Jawa Barat yang miskin jati
74
. Karena kuasa dan kendalinya atas tanah hutan terkodifikasi dan terlegitimasi dalam perundangan, Perum Perhutani menguasai
semua kegiatan di tanah hutan. Penambangan, pengumpulan batu, kapur atau kayu bakar, juga pelaksanaan segala macam penelitian dalam wilayah hutan memerlukan
izin resmi Perum Perhutani. Kegiatan polisi keamanan di dalam hutan atau keamanan hutan menurut Peraturan Pemerintah no 28 tahun 1985 dimaksudkan untuk
mengamankan dan menjaga hak-hak negara atas tanah hutan dan hasil hutan
75
. Budaya penguasaan hutan pada masa orde baru lebih ketat daripada di masa tujuh
belas tahun setelah kemerdekaan Indonesia atau masa Belanda. Perhutani menjalankan kendali yang lebih ketat dan keras dengan tiga cara : militarisasi sistem
perlindungan hutan; memadukan pancasila dengan kehutanan ilmiah; dan meluncurkan program kehutanan masyarakat. Akan tetapi ―perubahan-perubahan‖
tersebut kurang lebih hanyalah bentuk baru dari mekanisme penguasaan dan
pengendalian yang lama. Kenyataannya, yang berubah sejak penjajahan Belanda ialah kondisi hutan, jumlah penduduk yang tinggal di wilayah hutan dan hidupnya
tergantung pada hutan, serta strategi lokal untuk memperoleh akses lahan dan berbagai sumberdaya desa lain Peluso, 2006:179
76
.
73
Lihat Perum Perhutani, 1981. Memori Serah Terima Perum Perhutani. Jakarta. Perum Perhutani. Hal 28; Peluso, 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat. Komphalindo. Jakarta Selatan. Hal 181-182.
74
Peluso, 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat. Komphalindo. Jakarta Selatan. Hal 181-182.
75
Djokonomo, 1986. Penguasaan Teritorial oleh jajaran Perum Perhutani. PHT 50- seri umum 23. Jakarta. Perum Perhutani; Peluso, 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat. Komphalindo. Jakarta Selatan.
Hal 189
76
Lihat Peluso, 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat. Komphalindo. Jakarta Selatan. Hal 179
107
Pembangunan hutan di Kuningan dan Gunung Ciremai oleh Perhutani pada tahun 1978 dilakukan dengan mengubah sebagain lansekap hutan menjadi hutan
tanaman dengan jenis terutama Pinus. Gunung Ciremai termasuk dalam pengubahan lansekap ini. Namun Perhutani menyadari bahwa beberapa hutan yang dikategorikan
sebagai hutan lindung di Gunung Ciremai tidak dilakukan proses penanaman pinus dan dikelola sebagai hutan produksi terbatas. Meskipun hutan produksi terbatas
dikelola dengan sedikit mungkin intervensi pembangunan, namun pada kenyataannya hutan produksi terbatas pengelolaannya mirip dengan hutan produksi biasanya
ditanami dan dipanen kemudian. Pelibatan tenaga rakyat dalam proses pembangunan hutan tanaman ini tidak dapat dielakan. Peran pemimpin lokal dan desa
menjadi penting dalam mengorganisasikan pekerjaan ini. Pada tahap pembangunan ini, mekanisme penanaman sama dengan mekanisme reforestasi pada hutan jati di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Metode tumpang sari dengan tanaman pertanian rakyat mulai dilakukan dengan pemberian hak garap pada sekelompok petani yang juga
memiliki kewajiban dalam menanam pinus, merawat dan memeliharanya dalam tempo 2 tahun. Tumpang sari dan pemberian hak garap diatur sedemikian rupa
sehingga sesedikit mungkin dilakukan tanpa menimbulkan konflik di tingkat masyarakat. Dengan peran pemimpin lokal desa, Perhutani berhasil membuat proses
ini berjalan lancar tanpa menimbulkan gesekan antar masyarakat penerima hak garap dengan masyarakat yang tidak menerima. Namun, faktanya gesekan itu senantiasa
ada karena proses pemilihan pelibatan pembangunan hutan ini sepenuhnya menjadi kuasa pemimpin lokal.
Reforestasi di Jawa yang diperkenalkan dalam tahun-tahun akhir abad kesembilan belas terutama menggunakan sistem tumpang sari. Jenis kehutanan
tanaman agroforestry untuk pembuatan perkebunan ini awalnya didominasi oleh komponen-komponen pertanian satu hingga tiga tahun tetapi lalu diambil alih oleh
komponen-komponen pohon kehutanan untuk jangka lebih panjang dua puluh tahun atau lebih untuk pinus, empat puluh tahun atau lebih untuk agathis, tujuh puluh
delapan tahun atau lebih untuk jati. Di hutan jati, ini berarti bahwa banyak lahan hutan dalam kelompok usia 1 tahun diisi dengan campuran antara tanaman pertanian
108
dan pohon muda, sedangkan kelompok usia 2 sampai 12 tahun pada pokoknya merupakan tanaman monokultur jati. Dalam kurun pertama, petani hutan
mengendalikan lahan itu dan kegiatan sehari-hari merekalah yang banyak menentukan kesehatan pohon-pohon yang ada di situ. Setelah kurun waktu tumpang
sari yang panjangnya dua tahun, penguasaan dan kendali kembali kepada rimbawan. Padatnya penduduk di sekitar kebanyakan wilayah hutan membuat kebanyakan petani
tumpang sari tidak mau pindah ke blok-blok yang baru saja dibalak setelah mereka berhasil melakukan reforestasi blok-blok lain. Hal tersebut di karenakan penduduk
lain akan mencoba mengakses situs-situs tumpang sari yang berdekatan dengan mereka. Maka petani berkepentingan menjaga agar lahan tetap berada dalam tahap
pertama tumpang sari Peluso, 2006:211
77
. Begitu juga pada proses pembangunan hutan Gunung Ciremai pada sekitar tahun 1980-an, karena pertimbangan hamparan
hutan yang luas disepanjang dan sekitar desa maka Perhutani memberikan pengawasan khusus agar pemberian hak garap tidak terjadi pada masyarakat lintas
desa atau menghindari penerimaan hak garap rangkap
78
. Kontrol ini pun dilakukan oleh pemimpin lokal desa uuntuk menghindari kecemburuan sosial yang terjadi
akibat proses penentuan hak garap.
Maman Mantan Kepala Desa Cisantana era 1980-an : ―…..seueur nu hoyongeun gaduh garapan dina lahan Perhutani.
kapungkur oge osok aya wae nu protes naha manehna petani teu meunang hak garap. da kumaha deui da taneuh na ngan saemet kecil
pasti aya wae nu teu gabagian. kapungkur kusabab loba patani nu teu meunang jatah garap, eta taneuh garap 0,25 ha digarap ku dua jalmi
padahal kudu na ngan hiji…..‖ Kebijakan Perhutani mengenai tanaman yang diperbolehkan pada lahan
reforestasi secara khusus ditujukan untuk mencegah terganggunya pertumbuhan spesies utama pohon hutan sebagai aset Perhutani. Tanaman yang dipandang
77
Ibid, Hal 211
78
Hak garap rangkap adalah mereka yang telah memiliki hak garap di desa setempat namun juga menguasai hak garap ditempat lainnya.
109
menyedot nutrient tanah misalnya singkong, merusak struktur tanah, atau meningkatkan potensi erosi, tidak boleh ditanam. Tetapi singkong, yang menurut para
rimbawan mendatangkan semua akibat buruk tersebut, bagi petani dibanyak daerah adalah tanaman yang input maupun resikonya rendah. Kebanyakan rimbawan
mengerti bahwa melarang penanaman singkong di lahan reforestasi adalah tindakan sia-sia. Maka mereka memperbolehkan petani menanam singkong di sekitar tepian
lahan hutan dan berusaha mengatur pola tanam mereka. Jika petani memperlihatkan kepatuhan mengikuti pengarahan ini, rimbawan cenderung lebih lunak dalam soal-
soal lain Peluso, 2006:217
79
. Lahan tumpang sari sebetulnya untuk dialokasikan pada warga miskin di desa hutan agar mereka memiliki akses lahan untuk sementara
waktu, sehingga ada pendapatan. Tetapi di banyak desa hutan di Jawa warga desa hutan mengeluh bahwa tampak ada tindakan pilih kasih favoritism dalam memilih
petani; bahwa akses lahan hutan ―dijual‖, disewakan‖ atau ―digadaikan‖; bahwa lahan paling subur atau paling berharga diserahkan untuk digarap warga kaya atau orang
luar. Selain itu, orang tidak akan diberi izin mengakses lahan tumpang sari kalau menolak bekerja tanpa upah untuk jenis-jenis pekerjaan yang biasanya diupah seperti
membersihkan lahan untuk penanaman cemplongan
80
, mengangkut bibit ke hutan, membangun gardu untuk mandor, atau membantu membuat jalan di dalam hutan.
Orang yang mau bekerja tanpa upah dikatakan lebih ―kooperatif‖ dibandingkan yang lain, lebih setia kepada Perhutani
– sebagaimana klien seharusnya rela bekerja bagi patronnya dalam keadaan apapun Peluso, 2006:217
81
. Dalam teori, warga desa yang berada dibawah garis kemiskinan yang adalah ―para pekerja keras‖ harus diberi
79
Peluso, 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat. Komphalindo. Jakarta Selatan. Hal 217
80
Cemplongan adalah penanaman sebagai kerja upahan, yang disitu buruh tanam tidak kemudian diberi akses lahan hutan untuk mereka Tanami dengan tanaman penyeling : melainkan buruh tanam
diupah untuk setiap pekerjaan yang dilakukannya. Jenis-jenis kerja itu antara lain adalah membersihkan semak, menggali lubang, mengangkut, dan menanam benih. Karena tidak adanya
tanaman pertanian diantara pohon, gulma menjadi masalah pokok di wilayah reforestasi cemplongan. Buruh dibayar setahun atau dua tahun sekali untuk menyiangi semak itu, tetapi banyak benih yang
pertumbuhannya terhambat Peluso, 2006
81
Ibid, Hal 217
110
priortas menggarap lahan tumpang sari Perhutani, 1982
82
. Tetapi di hutan-hutan yang disitu permintaan akan tanah dan kesempatan kerja tinggi, rimbawan lokal
mengubah kualifikasi dalam menentukan siapa petani hutan yang boleh mengakses hutan Peluso, 2006:249
83
. Dalam penentuan penggarap pesanggem, penelitian Nainggolan 1991
84
di Desa Kedung Kumpul mengungkapkan bahwa menurut KRPH Kepala Resort Polisi Hutan Mantri Hutan, penduduk Desa kurang tertarik
dengan lahan ―perhutanan sosial‖ karena sebagian tanahnya kurang subur. Sedangkan versi lain dari pengakuan masyarakat, mereka pada umumnya sangat tertarik dan
sangat membutuhkan lahan terutama pada musim penghujan, tetapi banyak anggota masyarakat yang tidak mengetahui adanya pembukaan lahan tersebut. Dalam
penelitian tersebut, Nainggolan mengklaim bahwa calon penggarap pesanggem dipilih oleh KRPH beserta pembantu-pembantunya mandor tanam, mandor tebang,
polisi hutan, satgasdamkar satuan petugas pemadam kebakaran berdasarkan hubungan kekeluargaan kenalan dekat atau yang dianggap dapat memelihara
tanaman pokok dengan baik Nainggolan, 1991:53. Selain hubungan baik dengan rimbawan, modal merupakan kualifikasi akses yang penting untuk menggarap lebih
dari satu bidang lahan hutan. Keluarga petani yang memiliki modal dapat mempekerjakan buruh untuk melakukan sebagian kerja di satu lahan hutan atau lebih,
sementara itu rumah tangga petani miskin terbatas pada tenaga kerja warganya sendiri Peluso, 2006:251
85
. Seperti halnya temuan penelitian Peluso pada era tahun 90-an di Desa Kalianjat,
Penguasaan tanah dan hubungan kerja di wilayah hutan di beberapa desa sekitar Gunung Ciremai mulai mencerminkan penguasaan tanah dan hubungan kerja diluar
konteks idealnya. Hak garap tanah dijual, disewakan atau disakapkan oleh petani hutan yang memperoleh lahan dengan satu atau lain cara. Akan tetapi tidak
82
Perum Perhutani, 1982. Proceeding Lokakarya Pembangunan Masyarakat Desa Sekitar Hutan PMDH, Yogyakarta, 29-31 Maret 1982. Jakarta. Hal 6 ; Peluso, 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat.
Komphalindo. Jakarta Selatan. Hal 249
83
Peluso, 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat. Komphalindo. Jakarta Selatan. Hal 249
84
Nainggolan Tombang., 1991, Pengaruh Program Perhutanan Sosial Terhadap Kesempatan Kerja dan Berusaha Studi Kasus di RPH Kedung Kumpul BKPH Ploso Barat KPH Jombang Perum PErhutani
Unit II Jawa Timur. Institut Pertanian Bogor
85
Ibid, Hal 251
111
dilaporkan adanya lahan hutan yang digadaikan. Bila hak mengakses lahan hutan dialihkan secara tak resmi dari petani satu ke petani lain, tanaman yang masih ada
harus dibeli lebih dulu dan barulah hak mengolah tanah yang ditumbuhi tanaman itu beralih ke pembeli. Sebagaimana pada tanah milik pribadi, mempekerjakan buruh
harian secara berkala bagi petani hutan resmi merupakan sarana paling menguntungkan dalam mengolah lahan. Mereka yang mampu menjangkau hal itu
menerapkan sistem demikian sebelum menyakapkan atau mengalihkan hak menggarap lahan yang bersangkutan kepada orang lain. Terutama di Desa Cisantana,
praktek-praktek penyewaan lahan garap telah dilakukan beberapa tahun setelah pembangunan hutan pinus dilakukan. Lansekap pertanian hortilkultura dengan
keadaan iklim yang mendukung serta jaringan pasar yang telah mapan menjadikan alih fungsi lahan terjadi di lahan garapan sekitar Desa Cisantana. Proses perubahan
penguasaan lahan di de sa ini terjadi juga atas ―kontrol‖ dari oknum Perhutani.
―Kongkalikong‖ antara petani pemilik modal dan oknum Perhutani terjadi diluar sepengetahuan para pejabat teras di KPH Kuningan. di Desa Cisantana, petani
penggarap yang asli adalah mereka-mereka yang tidak memiliki modal dalam menggarap lahan hutan menjadi komoditas hortikultura yang tinggi modal. Ongkos
produksi, sekalipun hanya untuk seperempat hektar lahan, begitu tingginya sehingga sebagian dari petani paling miskin terpaksa menjual haknya atas tanah yang
bersangkutan. Keluarga-keluarga seperti itu tidak punya modal maupun tenaga kerja dalam keluarga untuk mempersiapkan dan menanami tanah itu pada saat yang tepat
agar mendapatkan cukup hujan. Kaidah pembatasan akses tanah hutan oleh khalayak umum membutuhkan
pejabat kewilayahan hutan uuntuk mengendalikan lalu lintas orang dan barang dari, ke, dan di lahan hutan. Langkah-
langkah yang disebut ―preventif‖ untuk mengendalikan wilayah dan melindungi hak milik negara antara lain adalah patroli
hutan karena lahan hutan letaknya dekat dengan siapapun yang tidak punya keperluan untuk berada di hutan. Sarana-sarana pengontrolan akses hutan untuk
mengendalikan lalu lintas orang termasuk juga terjadi pada orang luar terutama para peneliti, mahasiswa dan siapapun yang berkepentingan pada kawasan hutan. Pola
112
pengontrolan ini dilakukan dengan cara memeriksa izin mahasiswa, pramuka, wisatawan dan peneliti yang menggunakan fasilitas Perum Perhutani untuk rekreasi
atau penelitian. Pemeriksaan keamanan lainnya antara lain adalah memeriksa surat jalan angkutan hasil hutan dan mengawasi orang-orang yang mempunyai hubungan
tradisional dengan hutan untuk menjamin bahwa mereka mematuhi peraturan. Jika kegiatan preventif gagal melindungi wilayah Perum Perhutani secara efektif, maka
tindakan represif diperbolehkan. Untuk melaksanakan penguasaan dan pengendalian kewilayahan, Perum Perhutani memiliki dan lembaga kepolisian : Polisi Hutan
Polhut yang beroperasi pada tingkat mandor, Polisi Khusus Kehutanan, dan PJJ Patroli Jarak jauh yang juga disebut Brimob, seperti Brigade mobil polisi dan
militer yang ditirunya. PJJ beroperasi sebagai semacam tim SWAT di dalam hutan. Polisi hutan mempunyai padanan dalam masa Belanda, Polisi Khusus Kehutanan
lahir di masa Soekarno sedangkan PJJ adalah ciptaan Perum Perhutani. Dengan demikian, yang berubah dalam pengawasan dan pengendalian territorial adalah
intensitas kegiatan pemolisian, tegasnya militerisasi proses pengawasan dan pengendalian itu Peluso, 2006:190
86
. Polisi berpatroli di lahan-lahan hutan, mengawasi jika ada pengumpulan kayu bakar secara ilegal misalnya, dari bibit atau
pohon yang hidup, perusakan bibit baru, perumputan ilegal, pembuatan arang ilegal, atau tanda-tanda pencurian dan perusakan pohon. Patroli dilakukan baik secara
serempak maupun tugas dari polhut dalam kegiatan rutin. Polhut di lapangan memiliki kuasa dan dihormati oleh para petani penggarap. Dalam bertugas untuk
mengawasi hutan, polhut tidak segan-segan untuk meminta hasil pertanian pada petani-petani yang memiliki hak garap. Sehingga, mengunjungi hutan dan lahan
garap hutan menjadi bias apakah memang ingin melaksanakan pengawasan hutan atau ingin meminta ―jatah‖. Meskipun tidak meminta, para petani umumnya akan
senantiasa menyerahkan beberapa hasil pertaniannya untuk memberi rasa senang
patron mereka. Dalam kontrol akses hutan, Perum Perhutani berusaha mempertahankan
pengendalian vital atas penebangan kayu. Misalnya jika yang ditanam adalah
86
Peluso, 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat. Komphalindo. Jakarta Selatan. Hal 190
113
leucaena, maka rimbawanlah
–bukan petani- yang menentukan kapan pohon itu ditebang untuk pakan ternak atau kayu bakar. Pohon-pohon dalam jarak 10 meter
harus tetap berdiri untuk kepentingan bibit dan sebagai penanda batas. Perum Perhutani juga mengendalikan spesies pertanian yang boleh ditanam petani diantara
dua deret spesies hutan. Tanaman pohon tidak diperkenankan karena pertumbuhannya hingga dewasa memakan waktu lama, menghalangi sinar matahari
pada tanaman utama dan dapat berbuntut klaim petani hutan atas tanah. Bahkan pohon yang pertumbuhannya cepat pun, seperti pepaya atau tanaman pangan mirip
pohon misalnya pisang tidak diizinkan. Pisang tidak dianjurkan karena daunnya yang lebar menutupi spesies hutan. Singkong cassava sebetulnya dilarang karena
dipandang menyerap habis nutrient tanah dan merusak struktur tanah. Akan tetapi kerena kedudukannya yang penting sebagai tanaman pangan darurat untuk petani,
banyak rimbawan lapangan memperbolehkan petani menanam singkong di sekitar batas luar petak lahan mereka. Yang dianjurkan ialah padi lahan kering, jagung,
kacang dan tanaman ladang lainnya, atau sayuran jika keadaan agroklimatnya memungkinkan, karena tidak menyaingi atau mengancam pohon. Tanaman-tanaman
itu juga paling mudah dibersihkan ketika tahap pertama pertanian tumpang sari sudah berlalu : jika pohon telah tumbuh mapan selama dua atau tiga tahun, ia akan
menghalang sinar matahari ke tanah diantara dua larik pohon sehingga tanaman para petani disitu tidak mungkin lagi mendatangkan hasil ekonomis. Namun pada
kenyataannya, regulasi ini tidak sepenuhnya berjalan efektif di lapangan. Para oknum Perhutani yang telah ―terbeli‖ tidak terlalu menekankan aturan main yang ketat
kepada petani jika memang mereka telah mendapatkan keuntungan dari para petani
baik keuntungan hasil penyewaan lahan, hasil pertanian atau tindakan bungkam petani pada oknum-oknum yang menyeleweng
87
. Seperti halnya di beberapa desa Gunung Ciremai, aturan bahwa mereka tidak dianjurkan untuk menanam jenis
tanaman yang dapat mengganggu tanaman pinus namun di lapangan banyak juga pinus-pinus yang memiliki keadaan kritis akibat tindakan petani memangkas cabang-
cabang pinus agar cahaya matahari dapat tetap masuk ke tanaman pertaniannya.
87
Menyeleweng dalam arti masuk pada jaringan perdagangan kayu illegal
114
Kondisi-kondisi ini adalah para petani yang tetap bisa menggarap meskipun pohon pinus telah berumur lebih dari 3 tahun padahal secara regulasi formal mereka tidak
diijinkan menggarap ketika pohon pinus telah berusia lebih dari 3 tahun. Para petani yang dapat menyediakan uang sewalah yang memungkinkan pemanfaatan lahan
garapan lebih dari 3 tahun dapat terjadi. Petani golongan menengah umumnya melakukan startegi ini namun petani golongan miskin tidak mampu melakukan ini.
Petani golongan miskin biasanya melakukan kesepakatan melalui jalan lain seperti penggarapan lahan dengan sistem bagi hasil yang sebagian hasilnya untuk oknum
Perhutani. Petani golongan miskin sejatinya tidak pandai melobi akan ini, kesepakatan ini akhirnya diperoleh ketika mereka terdesak oleh pengawasan pegawai
Perhutani dan tidak dapat berbuat apa-apa ketika mereka kepergok masih menggarap lahan meskipun telah melebihi jatah seharusnya. Solusi pemberian garapan dengan
kesepakatan bagi hasil biasanya tercetus dari oknum Perhutani dengan alasan keberpihakan pada golongan kecil dan memperhatikan nasib petani namun dibalik itu
mereka mendapatkan keuntungan darinya. Tumpang sari dipandang oleh sebagian besar petani miskin sebagai sebuah
mekanisme patronase ―gaya baru‖. Dari sana diharapkan bisa didapat beberapa hal yang menjadi hak sosial dasar orang-orang miskin yakni perlindungan dan jaminan
pendapatan subsistensi, suatu indikator keadilan dan pemerataan di pedesaan agraris. Tapi sayangnya tidak selamanya mekanisme tumpang sari bisa memenuhi harapan itu.
Pada beberapa kasus, mungkin mekanisme ini bisa berperan sebagai asuransi sosial orang-orang miskin sekitar hutan, sebagaimana dulu pernah diperankan oleh
mekanisme patronase, tapi hampir sebagian besar kasus justru mengindikasikan hal yang sebaliknya. Neraca pertukaran barang dan jasa dalam tumpang sari mengalami
ketimpangan sedemikian rupa, cenderung bergerak ke atas, menguntungkan pihak kehutanan dan merugikan petani penggarap. Ketika tingkat kerugian melampaui
ambang batas subsistensi, maka tumpang sari akan dipandang sebagai sebuah relasi ekonomi yang tidak mencerminkan keadilan, eksploitatif dan merugikan. Suasananya
menjadi semakin keruh ketika petugas kehutanan yang selama ini dipandang sebagai patron diketahui mempunyai andil besar dalam menciptakan ketidakadilan itu,
115
dengan melakukan penyelewengan-penyelewengan, seperti sengaja memotong uang kontak tanaman, sengaja tidak membayar sejumlah uang yang menjadi hak petani
penggarap, lebih mementingkan pesanggem kerabatnya dan lain sebagainya Santoso, 2004:161.
Penanganan pembangunan hutan Perhutani di wilayah Gunung Ciremai khususnya masuk bersamaan paradigma pengelolaan Perhutani yang sedikit berubah.
Pada era 70-an, Perhutani memahami kewajiban-kewajiban mereka dalam bagian dari perusahaan negara untuk memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat lokal
terutama mendukung masyarakat lokal pada peningkatan pendapatan. Pengelolaan dengan memperhatikan kepedulian pada masyarakat lokal sekitar hutan dikenal
dengan sosial forestry kehutanan sosial. Kehutanan sosial sosial forestry, yang dikenal pada 1970-an dan awal 1980-an sebagai kehutanan komunitas community
forestry , dimulai pada tahun 1970-an oleh Perum Perhutani. Hal baru dalam
program-programnya, Perhutani setiap tahun menginvestasikan 5 persen dari pendapatan bersihnya untuk proyek kehutanan komunitas Peluso, 2006:219-220
88
. Tujuan dasar kegiatan kehutanan komunitas Perum Perhutani adalah mengendalikan
akses hutan dengan mengurangi ketergantungan rakyat pada hutan. Ini bagian dari aspek ―preventif‖ dari keamanan hutan dan dengan demikian cocok dengan mandat
Perhutani untuk memberikan layanan pada kepentingan umum yang diwujudkan
dalam pelaksanaan tugas pengendalian teritorial termasuk tugas pembangunan wilayah dan pembangunan masyarakatnya Djokonomo, 1986
89
. Pendekatan kehutanan sosial pada pengelolaan ini menghasilkan berbagai program-program
diluar mekanisme penggarapan lahan tumpang sari. PMDH dan MaLu menjadi terkenal sebagai alat preventif Perhutani untuk meningkatkan perannya dalam
pengentasan kemiskinan masyarakat sekitar hutan namun sejatinya Perhutani merancang berbagai program kehutanan sosial terutama untuk menangani masalah-
masalah manajemen yang dihadapi di lapangan. Sedangkan program MaLu yang
88
Ibid, Hal 219-220
89
Lihat Djokonomo, 1986. Penguasaan Teritorial oleh Jajaran Perum Perhutani. PHT 50- seri umum 23. Jakarta : Perum Perhutani; Peluso, 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat. Komphalindo. Jakarta
Selatan. Hal 220.
116
merupakan akronim dari Mantri jagawana pegawai kehutanan dan Lurah kepala desa dimaksudkan untuk menggantikan fungsi layanan penyuluhan hutan yang tidak
ada di Jawa pada era 80-an Pendekatan MaLu ini problematik karena lebih merupakan sarana mengendalikan akses hutan ketimbang menjadi mekanisme
pembangunan. Program ini ditetapkan demi pencapaian tujuan dan sasaran Perhutani dalam melaksanakan otoritasnya atas lahan hutan. MaLu disusun untuk kampanye
kerjasama antara Perhutani dan pemuka desa, dan bertujuan mengurangi tegangan yang kadang-kadang mewarnai hubungan antara kedua pihak itu dimasa lalu. Dengan
menautkan pemuka desa dan Perum Perhutani berharap meningkatkan kuasa dan kendali terhadap penduduk desa yang secara teknis berada diluar Juridiksi Perhutani.
Era baru pengelolaan hutan Perhutani adalah ketika mulai diterapkannya konsep dan program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PHBM atau beberapa
lokasi di Jawa ada yang menyebutnya dengan Pengelolaan Hutan Bersama masyarakat. Konsep dan program ini lahir dari inisiasi KPH Kuningan dalam
membuat proyek percontohan PHBM sebelum menjadi kebijakan Perum Perhutani diseluruh wilayah kekuasaannya.
Meskipun dipandang inovatif dan merupakan ―obat mujarab‖ dalam mempertemukan dua kepentingan Perhutani dan masyarakat namun
beberapa peneliti dan pemerhati perhutanan sosial mengklaim bahwa program ini
tidak dapat menjawab permasalahan kemiskinan masyarakat hutan. Banyak kalangan berpendapat bahwa PHBM adalah upaya Perhutani untuk tetap mengendalikan akses
hutan dengan melibatkan peran rakyat pada keamanan hutan. Ini juga bagian dari aspek ―preventif‖ untuk mengurangi kerugian Perhutani dari pencurian kayu hutan
serta sengketa lahan hutan perambahan. Konsep dari Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PHBM adalah ―berbagi‖, yang meliputi berbagi dalam pemanfaatan
lahan dan atau ruang, pemanfaatan waktu, pemanfaatan hasil dalam pengelolaan
sumberdaya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling mendukung. PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan
sumberdaya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi dan sosial
117
secara proporsional
90
. Tujuan normatifnya
91
adalah meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas ekonomi dan sosial masyarakat;
meningkatkan peran dan tanggung jawab Perum Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumber daya hutan;
meningkatkan mutu sumber daya hutan, produktifitas dan keamanan hutan; mendorong dan menyelaraskan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan
dinamika sosial masyarakat desa hutan. PHBM muncul ketika terjadinya pergolakan politik nasional masa
penggulingan Orde Baru ya ng menimbulkan tindakan ‗perebutan‘ aset hutan
Perhutani oleh masyarakat dihampir seluruh wilayah kekuasaan Perhutani tak terkecuali di KPH Kuningan. Ketika pergolakan politik ini tidak dapat ditanggulangi
dengan tindakan ―represif‖ melalui Polhut dan kewenangan regulasi formal, maka jalan ―preventif‖ kembali diambil oleh Perhutani sebagai alternatif penyelesaian
masalah Perhutani pasca penggulingan Orde Baru. Sejalan dengan perubahan paradigma pengelolaan hutan dari ―Timber Management‖ menjadi ―Forest Resources
Management ‖ dan ―State Based Forest Management‖ dan kemudian menjadi
―Community Based Management‖ serta sejalan dengan visi dan misi perusahaan, Perum Perhutani kemudian mensosialisasikan Program
―Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PHBM
‖ pada semua lapisan masyarakat dan instansi terkait. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat diartikan sebagai Community Based
Forest Management CBFM atau sistem hutan kerakyatan yang merupakan sistem
pengelolaan sumber daya alam hutan yang dikembangkan oleh masyarakat di lingkungannya bagi kesejahteraannya. Dimana hutan bukan sekedar tegakan pohon
melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan wilayah hukum adat yang elemennya terdiri atas hutan alam, hutan sekunder, sungai, danau, ladang, kebun, pemukiman,
tanah keramat dan komunitas serta sistem ekologinya. Sistem ini memberikan syarat
90
Triyogo Widodo, 2006. Pemberdayaan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Melalui Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Studi Kasus di Desa Tonjong Kecamatan
Tonjong Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
91
Seperti yang tertuang dalam dokumen-dokumen sosialisasi program Pengelolaan Hutan bersama masyarakat
118
bagi berlangsungnya kehidupan. Misalnya sebagai penyedia air, menjaga kesuburan tanah, penyedia bahan makanan, papan, sandang, obat-obatan dan religi
92
. Penerapan PHBM di Perum Perhutani dilandasi dan didukung oleh aturan-aturan, yaitu Surat
Keputusan Nomor : 136KptsDir2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat; Surat Keputusan Nomor : 001KptsDir2002 tentang Pedoman
Berbagi Hasil Hutan Kayu serta Peraturan-peraturan lainnya yang dibuat di tingkat PropinsiUnit serta KabupatenKPH. Azas yang melandasi program ini adalah
―bersama dan berbagi‖ care and share, yaitu kesediaan pihak-pihak terkait untuk berbagi dalam pengelolaan sumberdaya hutan sesuai kaidah keseimbangan,
keberlanjutan, keserasian dan keselarasan. Adapun prinsip-prinsip dasar PHBM meliputi keadilan dan demokratis; keterbukaan dan kebersamaan; pembelajaran
bersama dan saling memahami; kejelasan hak dan kewajiban; pemberdayaan ekonomi kerakyatan; kerjasama kelembagaan; perencanaan Partisipatif; kesederhanaan sistem
dan prosedur; perusahaan sebagai fasilitator; kesesuaian pengelolaan dengan karakteristik wilayah.
Dalam sistem PHBM ini, masyarakat sekitar hutan tidak lagi menjadi sebatas pelaksana semata, melainkan posisinya sebagai mitra yang sejajar yang mampu
bekerja sama membangun, melindungi, dan memanfaatkan sumberdaya hutan, bersama-sama dengan stakeholder lain untuk menumbuhkembangkan budaya dan
tradisi pengelolaan sumberdaya hutan di lahan-lahan desa yang berada di sekitar kawasan hutan. Sehingga budaya ―memiliki‖ dan ―bertanggungjawab‖ terhadap
pengelolaan hutan dan pelestarian sumberdaya hutan oleh masyarakat dapat
terbangun dan pada akhirnya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat itu sendiri
93
. Pemanfaatan kawasan hutan Perum Perhutani pasca diterapkannya kebijakan PHBM
serupa dengan kebijakan tumpang sari program pesanggem dimana para petani dapat menanam berbagai pilihan komoditas tanaman pertanian pada sela-sela tegakan
92
Triyogo Widodo, 2006. Pemberdayaan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Melalui Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Studi Kasus di Desa Tonjong Kecamatan
Tonjong Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
93
Pratiwi Ramayati, 2007. Peranan Pengelolaan sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat PHBM Dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.
Institut Pertanian Bogor
119
tanaman hutan. Seperti yang diteliti oleh Nainggolan di kawasan Perhutani Unit II Jawa Timur, pada era program perhutanan sosial tahun 80-an, pola tanam yang
dilakukan petani di lahan perhutanan sosial adalah padi gogo biasanya diselingi ketela pohon pada bulan basah musim hujan antar November-April, sedangkan
pada bulan kering musim kemarau Mei-Oktober ditanami jagung umumnya diselingi dengan tanaman cabe atau tembakau Nainggolan, 1991:52. Dari aspek
pengaturan pemanfaatan lahan hutan, yang membedakan antara PHBM dan program pesanggem perhutanan sosial PMDH adalah mereka tidak perlu menunggu
melakukan penanaman pasca penebangan daur awal penanaman tegakan hutan. Ketika PHBM diterapkan maka anggota LMDH dapat memanfaatkan penanaman
tanaman mereka meskipun pohon Perhutani belum masuk siklus panen. Disamping itu, pemilihan tanaman petani mengalami ‗kelonggaran‘ dimana petani tidak hanya
diijinkan untuk menanam tanaman musiman siklus pendek namun mereka juga
dapat menanam tanaman buah-buahan dengan lebih leluasa tidak seperti pembatasan penanaman tanaman buah-buahan yang terjadi di era program perhutanan sosial.
Seperti pada Desa Pajambon dan desa lainnya di Gunung Ciremai yang memanfaatkan tanaman kopi dan alpukat untuk ditanam di hutan Perhutani pasca
penerapan PHBM. Seperti program PHBM di daerah Jawa lainnya, jenis tanaman yang ditanam di lahan PHBM merupakan tanaman buah-buahan dan palawija
94
. Jenis-jenis tersebut antara lain durian, manggis, kaweni, petai, jengkol, rambutan,
bambu, singkong, kacang panjang, nanas, menteng, dukuh, alpukat dan kopi. Meskipun program PHBM telah menunjukan keberpihakan pada masyarakat
sekitar hutan, namun sejatinya konsep tersebut adalah strategi Perum Perhutani dalam menyikapi tuntutan sosial politik lokal alih-alih Perhutani menerapkan program
PHBM untuk dapat meredam kerugian yang lebih parah akibat penyerobotan lahan hutan, pencurian kayu dan kerusakan hutan lainnya. Di KPH Kuningan terutama
beberapa lokasi PHBM yang dijalankan di desa-desa sekitar Gunung Ciremai, program PHBM belum membuahkan dampak yang optimal pada masyarakat lokal
94
Lihat Restiana Leti Tri, 2004. Tinjauan Penyelenggaraan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PHBM Studi Kasus di RPH Leuwiliang, BKPH Leuwiliang, KPH Bogor Perhutani Unit
III Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor
120
akibat dari terjadinya perubahan kebijakan dan status kawasan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional hanya 2 tahun pasca rintisan implementasi PHBM.
5.3 Era Konservasi dan Pengelolaannya