Zonasi Taman Nasional : Akses dan Kontrol Baru Terhadap Gunung Ciremai

126 Gambar 5.2 Perkembangan konservasi di Indonesia Sumber: Adiwibowo 2005 Saat ini terdapat 50 Taman Nasional di Indonesia yang meliputi wilayah seluas 16,384,194.14 hektar atau hampir 60 dari total kawasan alam yang dilindungi atau mencakup lebih dari 10 dari luas total hutan Indonesia yang disebutkan dalam Rencana Strategis Kementerian NegaraLembaga Departemen Kehutanan tahun 2005-2009. Dari ke-50 Taman Nasional tersebut, delapan diantaranya merupakan Taman Nasional Laut, dan yang lainnya merupakan Taman Nasional yang melidungi wilayah ekosistem daratan dan ada pula beberapa unit kawasan Taman Nasional yang melingkupi ekosistem daratan hingga perairan laut termasuk diantarannya Taman Nasional Gunung Ciremai yang dideklarasikan pada tahun 2004 bersamaan dengan 10 Taman Nasional lainnya.

5.3.2 Zonasi Taman Nasional : Akses dan Kontrol Baru Terhadap Gunung Ciremai

Dalam konteks pengelolaan Taman Nasional dilakukan penekanan pada tiga fungsi pokok yaitu 106 perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengawetan 106 Undang-Undang No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 30. Orde Reformasi Orde Baru Periode Kolonial 1980an 1990an 16 TN 2000an Diskusrsus Pengawetan Alam nature preservation Diskursus Konservasi Alam nature conservation Diskursus konservasi Kehati biodiversity conservation Politik Pengawetan Alam  Dutch Staatsblad 2781916  Dutch Ordinance 1941  Politik Konservasi Alam  Politik Konservasi Kehati  UU No 51990  UU No 51994  UU N0 51967   Juridical Power: Pemerintah  Juridical Power: Pemerintah  Juridical Power: Pemerintah  Discourseknowledge Power: Intenational NGOs 10 TN 29 TN 50 TN 40TN 127 keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa; dan pemanfatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Menurut Miller 1970, perencanaan bagi sebuah Taman Nasional mempunyai dua tujuan 107 , yakni: 1 untuk menyediakan garis besar fundamental untuk merencanakan sistem pegelolaan dan pengembangan sumberdaya spesifik pada beberapa lokasi yang khusus; dan 2 untuk menyediakan garis besar fundamental yang akan mengarahkan proses perencanaan agar bisa berfungsi secara normal di dalam organisasi sebuah Taman Nasional. Bagian penting dalam tahap ini adalah zonasi. Sistem zonasi dalam pengelolaan Taman Nasional tidak saja sebagai acuan dalam menentukan gerak langkah pengelolaan dan pengembangan konservasi di Taman Nasional, tetapi sekaligus juga merupakan ―penumpahruahan‖ konsep-konsep dan tujuan-tujuan sistem perlindungan dan pelestarian yang akan mengendalikan kegiatan-kegiatan di dalamnya 108 . Tujuan- tujuan zonasi Taman Nasional adalah untuk; mengklasifikasikan zona konservasi dan pemanfataan lestari pada suatu kawasan Taman Nasional berdasarkan data ilmiah; menunjukan prioritas dari suatu area yang difokuskan untuk pengelolaan rencana aksi; dan mendapatkan konsensus masyarakat untuk rencana pengelolaan 109 . Dalam Permenhut No.P.56Menhut-II2005 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional disebutkan bahwa Zonasi Taman Nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam Taman Nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan-rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Sementara Zona Taman Nasional adalah wilayah di dalam kawasan Taman Nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. 107 Lihat Sumardja 1977 108 Srianto, Agus. 1998. Penataan Batas dan Sistem Zonasi Taman Nasional. Paper Pada Lokakarya Kepala Unit dan Kepala Balai Taman Nasional se-Indonesia. Dephut dan USAID-NRMP. Jakarta 109 Robi Royana. 2009. Masterplan Penanganan Perambah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 128 Kotak 5.1 Zona-zona dalam Pengelolaan Taman Nasional 110 Zona inti adalah bagian Taman Nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. Zona rimba , untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian Taman Nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. Zona pemanfaatan adalah bagian Taman Nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dinamfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisijasa lingkungan lainnya. Zona tradisional adalah bagian dari Taman Nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. Zona rehabilitasi adalah bagian dari Taman Nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan. Zona religi , budaya dan sejarah adalah bagian Taman Nasional yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. Zona khusus adalah bagian dari Taman Nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai Taman Nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Keistimewaan ekologis menjadi faktor terpenting dalam proses zonasi yang biasanya dilakukan dengan pendekatan jenis dan pendekatan keanekaragaman atau komunitas. Pada pendekatan jenis, unsur-unsur pertimbangannya adalah endemisitas, kelangkaan, status konservasi suatu jenis, fungsinya dalam ekosistem, dan simbolisme atau jenis flagship. Sementara pada pendekatan keanekaragaman atau komunitas unsur-unsur yang dipertimbangkannya adalah kekayaan jenis, 110 Peraturan Menteri Kehutanan No.P.56Menhut-II2006 tentang Panduan Zonasi Taman Nasional, Pasal 1. 129 keterancaman komunitas, dan fragmentasi habitat 111 . Proses zonasi juga mempertimbangkan faktor ketinggian dengan unsur-unsur berupa landscape pegunungan, air terjun, dan pemandangan, igir sungai termasuk persebaran penduduk yang tergantung pada aliran sungainya, dan kemiringan. Faktor sosial, ekonomi, dan budaya dikonsepkan dalam zona pemanfaatan dan zona lain, yaitu zona tradisional, zona religi, dan zona khusus yang ditelaah dari sejarah masyarakat kaitannya dengan ketergantungannya terhadap kawasan. Aspek pemanfaatan yang didesain dalam sistem Taman Nasional secara formal adalah wisata alam, sehingga berbagai sumberdaya wisata alam juga menjadi prioritas dalam proses zonasi, misalnya area yang memiliki pemandangan indah, air terjun, jalur observasi hidupan liar, dan lain-lain. Konsep zonasi diterapkan juga pada pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai. Penataan kawasaan hutan Gunung Ciremai pasca menjadi kawasan hutan Taman Nasional tahun 2004, tidak serta merta dapat segera melakukan penataan zonasi kawasan. Namun meskipun penataan zonasi belum dilakukan, Taman Nasional Gunung Ciremai telah melakukan tindakan represif untuk menurunkan masyarakat meskipun sampai dengan saat ini tindakan tersebut belum efektif sepenuhnya. pada tahun 2010 setelah melalui proses konsultasi publik, zonasi Taman Nasional Gunung Ciremai memiliki beberapa bagian meliputi zona inti, zona rimba, zona rehabilitasi, zona pemanfaatan, zona budaya serta zona khusus. Zona inti pada Taman Nasional Gunung Ciremai merupakan kawasan-kawasan yang memiliki tutupan hutan asli sedangkan zona rimba merupakan kawasan hutan yang dperuntukan untuk pengembangan daerah jelajah satwa serta peningkatan pemulihan kawasan zona inti. Zona rehabilitasi pada Taman Nasional Gunung Ciremai merupakat zona yang diperuntukan sebagai kawasan pemulihan hutan dengan pendekatan restorasi hutan. Zona rehabilitasi setelah dipulihkan berfungsi sebagai perluasan zona rimba. Zona rehabilitasi pada kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai meliputi daerah-daerah penggarapan hutan oleh petani PHBM serta lansekap hutan produksi terdahulu dengan struktur vegetasi dominan pinus. Zona pemanfaatan pada kawasan Taman 111 Robi Royana. 2009. Masterplan Penanganan Perambah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 130 Nasional Gunung Ciremai meliputi kawasan-kawasan yang telah memiliki potensi wisata alam. kawasan ini kenyataannya adalah daerah-daerah obyek wisata yang dikelola baik Perhutani maupun masyarakat lokal sebelum berubah statusnya menjadi Taman Nasional. Zona budaya pada kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai ditunjuk karena lokasi tersebut memiliki kekhasan sebagai lokasi ritual keagamaan dan spritual. Dalam lokasi studi Seda, Pajambon, Cisantana, Puncak, zonasi Taman Nasional beragam sesuai dengan potensi dan keadaan aktual lansekap yang dimiliki kawasan tersebut. Namun lokasi pada lahan garapan eks PHBM secara keseluruhan pada empat desa tersebut ditetapkan sebagai zona rehabilitasi oleh Taman Nasional Gunung Ciremai. Zona pemanfaatan pada lokasi studi hanya ada di Desa Pajambon. Hal ini mengingat potensi keindahan alam yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata tidak semua merata di seluruh desa sekitar Taman Nasional. Tabel 5.1 Zonasi pada Lokasi Studi Pasca Perubahan Status Menjadi Taman Nasional No Desa Status Zonasi Lahan Eks PHBM Zona Rehabilitas Zona Pemanfaatan 1 Desa Seda √ 2 Desa Pajambon √ √ 3 Desa Cisantana √ √ 4 Desa Puncak √ Keterangan : Zona Rehabilitasi = Pada zona rehabilitasi, petani eks PHBM tidak dapat mengakses lahan hutan eks PHBM. Tanaman-tanaman pertanian yang telah mereka tanam sebelum status kawasan berubah, tidak boleh digarap dan dipelihara Zona Pemanfaatan = Pada zona pemanfaatan yang merupakan kawasan yang memiliki obyek wisata alam, masyarakat lokal diberi akses untuk mengelola aset keindahan alam tersebut. Namun dalam peraturan pemerintah bahwa mereka diwajibkan membayarkan PNBP Pendapatan Negara Bukan Pajak dari hasil penjualan tiket sebesar Rp 2500,- per tiket masuk per orang yang disetorkan melalui Taman Nasional Gunung Ciremai. 131 Gambar 5.3 Peta Zonasi Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai 132 Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa pengelolaan Taman Nasional mengacu pada sistem zonasi. Namun pada kenyataannya hampir di seluruh kawasan Taman Nasional di Indonesia belum ada penerapan zonasi yang efektif. Para pengelola mengakui bahwa belum adanya zonasi yang stabil disebabkan oleh lemahnya basis data yang relevan terhadap tujuan, fungsiperuntukan, dan kriteria suatu zona. Selain itu, pengembangan aspek pemanfaatan yang dapat memberikan nilai langsung dan tidak langsung untuk kesejahteraan masyarakat sangat lemah sehingga dukungan masyarakat terhadap pengelolaan juga kurang, bahkan di beberapa tempat malah terjadi penentangan. Tumpang tindih zona-zona Taman Nasional dengan klaim hak pemilikan dan ruang jelajah kehidupan masyarakat setempat tidak bisa dihindarkan. Zonasi Taman Nasional pada satu sisi merupakan hal terpenting untuk memandu gerak langkah pengelolaan Taman Nasional dan penjamin efektivitas tujuan perlindungan dan pengawetan, namun pada kenyataannya proses ini sangat berkaitan langsung dengan ruang spasial kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat lokal. Pada konteks ini, kawasan hutan sebagai ruang spasial kehidupan – pemukiman, perladangan, ekspresi budaya dan keyakinan, dan lain-lain – adalah hal terpenting dan menjadi sumber utama untuk menginterpretasi atau memahami sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal, atau lebih luas lagi adalah sistem kehidupan masyarakat lokal atau adat. Dengan demikian, upaya pembangunan dukungan masyarakat tidak bisa hanya sebatas untuk membangun kesadaran sosial terhadap tujuan-tujuan konservasi Taman Nasional, tetapi lebih jauh dari itu harus diarahkan pada pembentukan konsensus dengan masyarakat lokal dengan orientasi penggunaan sistem pengetahuan lokal untuk tujuan konservasi sekaligus mengakomodasi nilai dan kepentingan masyarakat lokal. Dinamika akses dan kontrol hutan Gunung Ciremai terjadi sejak Era Koloniala sampai dengan saat ini sebagai status hutan Taman Nasional. Perjalanan pengaturan akses dan kontrol hutan Gunung Ciremai ini digambarkan pada gambar 5.4 dimana bentuk akses dan kontrol memiliki perbedaan pada tiap Era pengelolaan lihat gambar 5.4. 107 Gambar 5.4 Sejarah Perubahan Akses dan Kontrol Gunung Ciremai di Lokasi Studi Penggunaan Lahan Hutan untuk Perkebunan Kopi Penanaman Kopi 1840 Pengusiran untuk Reforestasi Hutan Metode Tumpang Sari di Lahan Hutan Metode Tumpang Sari dan Pembagian Hasil Panen Kayu Pengusiran untuk Restorasi Hutan Konservasi Reglementt Hutan Pembangunan Hutan Perhutani 1978 Program PHBM Perhutani 2001 Perubahan Fungsi Taman Nasional 2004 Akses lahan dalam yuridiksi formal Akses Lahan ada tapi hasil tidak dapat Tidak ada akses lahan Ada akses lahan selama 2 tahun tanaman pertanian Ada akses lahan 2 tahun tanaman pertanian perkebunan dan pembagian hasil kayu Tidak ada akses lahan. Akses diberikan pada zona pemanfaatan melalui pengelolaan wisata alam Akses pada intervensi pengembangan masyarakat Tidak ada Tidak ada Program PMDH dan berbagai pelatihan mata pencaharian sampingan Program penguatan kelembagaan Pemberdayaan Model Desa Konservasi dan bantuan mata pencaharian alternatif Era Kolonial Era Perhutani Era Taman Nasional 108

5.4 Ikhtisar Akses dan kontrol atas sumberdaya hutan Gunung Ciremai secara dinamis