Ciremai Sebagai Bagian dari Tuntutan Perluasan Kawasan Konservasi Indonesia

121 Pemerintah juga mempunyai keberatan untuk menyerahkan hak pakai atas lahan sekian banyak dan sekian luas seperti misalnya semenanjung Ujung Kulon yang luasnya sampai 37.500 ha kepada sebuah perkumpulan. Meskipun usulan pencagaran beberapa kawasan di pulau Jawa mendapat hambatan, namun Pada tahun 1913 Perkumpulan mendirikan cagar alam pertama di luar Jawa Residen Ambon yaitu sebidang kawasan hutan di atas Gunung Batu Gajah dekat ibukota Ambon. Daerah itu diberi nama Cagar Alam Rumphius 97 . Kemudian pada tahun 1915 Perkumpulan juga berhasil melindungii tempat tumbuh habitat tanaman Rafflesia arnoldi di Bengkulu. Pada waktu yang bersamaan oleh Gubernur Aceh diambil juga tindakan melindungi tempat tumbuh tanaman yang serupa di Tanah Gayo. Atas dorongan dari Perkumpulan dan proyek percontohan perlindungan alam dan tanaman di luar Jawa maka pada bulan Maret 1916 terdapat respon positif dan dukungan dari Pemerintah Hindia-Belanda untuk melindungi alam dengan menerbitkan Staatsblad No. 278 yang memuat ketentuan untuk melindungi alam Hindia Belanda sehingga dimungkinkan untuk menunjuk daerah tertentu sebagai cagar alam. Sepanjang cagar alam itu terletak di hutan negara, ia berada di bawah pengawasan pegawai kehutanan, yang memangku distrik hutan atau memangku KPH. Cagar Alam lainnya berada di bawah pengawasan Kepala Pemerintah Daerah dimana kebijakan pada waktu itu adalah dilarang melakukan tindakan yang merubah keadaan alami yang ada di Cagar Alam tersebut 98 . Sejak itu, tugas perlindungan alam merupakan kewajiban Pemerintah dengan pertimbangan bahwa Perkumpulan Swasta tidak mungkin dapat mengawasi daerah luas yang diusulkannya sendiri untuk dicagar, apalagi untuk mengelolanya 99 .

5.3.1 Ciremai Sebagai Bagian dari Tuntutan Perluasan Kawasan Konservasi Indonesia

Jika di Indonesia perkembngan wacana dan gerakan pencagaran preservasi alam dimulai tahun 1900-an, hal ini berbeda di belahan dunia lain Amerika yang 97 Nama Rumphius diambil dari nama seorang peneliti George Everhard Rumphius yang hidup dari tahun 1628-1702. 98 Ibid, Hlm 189 99 Ibid, Hlm 189 122 mulai mewacanakan konsep Taman Nasional sebagai format perlindungan alam. Munculnya Taman Nasional pertama kali dilatarbelakangi oleh ide perlindungan lahan hidupan liar di Amerika Serikat yang saat itu mengalami ancaman berupa kepunahan satwa liar, hutan yang lenyap, polusi sungai dan kerusakan pemandangan akibat kegiatan manusia. Pada tahun 1872 Kongres Amerika menyetujui sebuah undang-undang yang menjamin agar kawasan yang dikenal dengan kawasan Yellowstone dijadikan sebuah taman milik publik 100 Miller, 1978 dalam Wiratno dkk, 2001. Sejak munculnya momen Yellowstone pada 1872 ini kemudian merebak pembentukan kawasan-kawasan lindung di beberapa negara, seperti Banff National Park di Kanada tahun 1885, Tongarero National Park di Selandia Baru tahun 1887, dan taman-Taman Nasional lain di Australia, Afrika Selatan serta Amerika LATIN sekitar tahun 1898. Taman Nasional pada masa itu hanya dimaksudkan untuk membentengi kawasan dari ancaman aktivitas manusia yang ―merusak‖, misalnya menghindari atau meniadakan pemukiman di dalam kawasan, memelihara sumber- sumber daya alam dan situs-situs sejarah, dan mengelola dengan prinsip preservasi. Taman Nasional pada awalnya tidak dibuat untuk tujuan-tujuan ilmu pengetahuan tetapi hanya untuk melindungi kawasan-kawasan hidupan liar dan suatu kesatuan kebudayaan dimana kemanfaatannya hanya didedikasikan untuk kesenangan publik 101 . Di Indonesia sendiri, konsep perlindungan alam memang sepenuhnya hasil dari proses sejarah Pemerintahan Hindia-Belanda. Indonesia pada awal kemerdekaannya memandang perlindungan alam sebagai tindakan pencagaran alam yang sejak Hindia Belanda dikenal dengan cagar alam bukan Taman Nasional seperti yang terjadi di beberapa belahan dunia lain. Dalam konteks sejarah perlindungan hutan Indonesia pasca kemerdekaan, pada periode tahun 1950-1959 tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat ditertibkan secara represif oleh Jawatan Kehutanan yang bernaung dibawah Kementerian Pertanian dan Agraria dengan bantuan polisi dan tentara. Selain itu, polisi hutan mulai dilengkapi dengan senjata api. Tetapi upaya ini tidak menghasilkan sesuatu 100 Selanjutnya pada tahun 1916 Kongres Amerika memutuskan untuk membuat bagian Urusan Taman Nasional dibawah Departemen Interior 101 Robi Royana, 2009. Masterplan Penanganan Perambah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 123 yang berarti, bahkan sebaliknya, penduduk sekitar hutan melakukan tindakan perlawanan dan pendudukan tanah hutan semakin marak dimana-mana. Meskipun terjadi pertentangan di tingkat lapang yang dapat menunjukan ‗tidak jelasnya‘ pengelolaan kawasan Cagar Alam di Indonesia namun dari segi organisasi, perlindungan alam pada periode ini sebenarnya mengalami beberapa peningkatan. Jawatan Kehutanan pada waktu itu telah membentuk seksi perlindungan alam yang bertugas untuk penyelarasan upaya perlindungan alam dengan standar perlindungan di negara-negara maju. Pada tahun 1963, Jawatan Kehutanan mengikuti Sidang Umum Ikatan Pengawetan Alam Internasional dan sekaligus melakukan studi banding ke beberapa suaka alam dan Taman Nasional di Uganda, Kenya, dan Tanzania. Sepanjang tahun 1961-1964 sebenarnya telah dilakukan ekspedisi ke beberapa Suaka Alam terpenting di Indonesia, yang kemudian menjadi cikal-bakal empat dari lima Taman Nasional pertama di Indonesia, yaitu: Pulau Komodo, Pegunungan Leuser, Baluran, Gunung Pangrango dan Ujung Kulon. Minat Pemerntahan Indonesia terhadap perlindungan alam semakin meningkat pada tahun- tahun berikutnya. Hal ini dipicu oleh dorongan lembaga-lembaga Internasional, salah satu yang paling dominan adalah FAOUNDP yang mulai bergerak sejak awal 1970- an. Dorongan FAOUNDP kemudian mengarah kepada kaji ulang kebijakan perlindungan alam Indonesia, memperluas kawasan perlindungan alam di Indonesia, serta pengusulan untuk mengembangkan Taman Nasional 102 . Dari proses ini kemudian penetapan kawasan perlindungan alam dikaji secara ilmiah – hingga akhirnya luas kawasan konservasi menjadi lebih luas dikarenakan pertimbangan ilmiah tentang home range satwa yang luas terutama mamalia besar seperti Gajah, Badak, dan Harimau. Pada tahun 1977 Direktorat PPA mengusulkan lima lokasi untuk ditetapkan sebagai Taman Nasional. Saat itu, Direktorat PPA mengajukan usulan batasan bagi suatu Taman Nasional Sumarja, 1977, yaitu kawasan pelestarian yang luas baik darat maupun laut yang didalamnya terdapat: a satu atau lebih ekosistem alam yang utuh tak terganggu; b jenis-jenis tumbuhan atau satwa beserta habitatnya, juga 102 Robi Royana . 2009. Masterplan Penanganan Perambah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 124 tempat-tempat yang secara geomorfologis bernilai bagi tujuan-tujuan ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, dan rekreasi; c panorama alam yang menonjol; d disini masyarakat diperbolehkan masuk ke dalam kawasan dengan pengertian bahwa kunjungan tersebut bertujuan untuk ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, rekreasi, dan kepariwisataan. Pada tahun yang sama, Efendi Sumarja menulis beberapa gagasan pemikiran mengenai persiapan penerapan Taman Nasional di Indonesia 103 . Tulisan tersebut banyak dipengaruhi seorang pakar IUCN Dr. Kenton Miller yang pada saat bersamaan sedang melakukan penyusunan panduan sistem perencanaan Taman Nasional untuk Amerika LATIN. Sumarja menyarankan setidaknya ada tujuh kawasan yang dapat dibina menjadi Taman Nasional, yaitu: Ujung Kulon, Baluran, Gunung Leuser, Meru Betiri, Kutai, Pulau Komodo ditambah Pulau Padar dan Pulau Rinca, dan Gunung Lorenz. Pada akhir 1970-an ini Indonesia mulai mengikuti negara-negara lain dengan mengambil langkah-langkah untuk mengembangkan perlindungan dan pelestarian alam dalam bentuk yang relatif baru yaitu bentuk Taman Nasional. Konsep acuan yang dipakai pada waktu itu adalah prinsip-prinsip dasar dari Taman Nasional pertama di dunia, Taman Nasional Yellowstone di Amerika Serikat, dan prinsip-prinsip pokok yang sudah diterima di Persidangan Umum IUCN tahun 1969. Lima Taman Nasional pertama dideklarasikan di Indonesia pada tahun 1978, yakni Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara dan Aceh, Ujung Kulon dan Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat, Baluran di Jawa Timur, dan Pulau Komodo di Nusa Tenggara. Pada bulan Maret 1980, Indonesia secara resmi mulai mengembangkan Taman Nasional dengan luas kawasan yang cukup besar. Sejak saat itu, kebijakan konservasi telah berorientasi pada perlindungan kawasan – tidak semata-mata perlindungan jenis saja. Pada kurun 1980, perubahan gerakan konservasi Indonesia yang dipengaruhi McKinnon melalui studi lintas Indonesia yang fenomenal menghasilkan 8 jilid buku tentang metode dan usulan kawasan-kawasan hutan yang layak dikonservasi. Hasil studi ini menjadi dasar bagi penyusunan Rencana Konservasi Nasional dan penunjukan kawasan konservasi, 103 Robi Royana . 2009. Masterplan Penanganan Perambah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 125 termasuk TN di seluruh Indonesia 104 . Karya Mckinnon inilah yang menjadi bahan laporan PBB yang kontroversial itu 105 . Rencana Konservasi Nasional ini terkesan terlalu terburu-buru karena berpacu dengan penyusunan Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK. Logika konservasi yang secara gencar dimasukan dalam konstruksi kebijakan di Indonesia era ini secara bersamaan melemahkan posisi masyarakat dan suku-suku adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Penetapan kawasan terkesan ―main tunjuk‖ hanya dilandasi oleh pertimbangan keberdaan satwa yang dianggap unik dan langka serta luas daerah jelajahnya. Sementara keberdaan masyarakat dengan segenap pengetahuannya dinapikan, bahkan diusahakan untuk keluar dari kawasan. Wiratno dkk, 2001. Meskipun begitu, beberapa organisasi Internasional terus menghimbau ekspansi jaringan Taman Nasional pada tahun 1990- an. Taman Nasional dipandang sebagai instrumen sentral bagi konservasi keanekaan biologi. Pada Kongres Taman Nasional dan Kawasan Lindung Dunia ke-4 di Caracas tahun 1992, setiap negara dihimbau untuk menetapkan minimal 10 persen dari setiap bioma dalam kawasan yurisdiksinya sebagai kawasan lindung CNPPA, 1993. Sampai dengan tahun 1992 terdapat sekitar 8.500 kawasan lindung utama di seluruh dunia yang terdapat yang meliputi sekitar 7.734.900 Km 2 , atau sekitar 5,2 persen kawasan darat bumi. Kawasan-kawasan yang dilindungi dengan keras termasuk didalamnya adalah Taman Nasional – meliputi tiga persen dari permukaan bumi. Sebanyak 1.508 diantaranya adalah Taman Nasional dengan model Yellowstone WCMC, 1992. Indonesia sendiri mengalami peningkatan jumlah Taman Nasionalnya dari 10 Taman Nasional pada tahun 1980 menjadi 29 Taman Nasional tahun 1990-an dan 50 Taman Nasional pada tahun 2000-an. 104 Wiratno. Seperempat Abad Taman Nasional di Indonesia: Beberapa Catatan Pemikiran. Paper disampaikan dalam Sarasehan Nasional Membangun Kemitraan Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia. 2005.Bogor 105 Robi Royana.. 2009. Masterplan Penanganan Perambah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 126 Gambar 5.2 Perkembangan konservasi di Indonesia Sumber: Adiwibowo 2005 Saat ini terdapat 50 Taman Nasional di Indonesia yang meliputi wilayah seluas 16,384,194.14 hektar atau hampir 60 dari total kawasan alam yang dilindungi atau mencakup lebih dari 10 dari luas total hutan Indonesia yang disebutkan dalam Rencana Strategis Kementerian NegaraLembaga Departemen Kehutanan tahun 2005-2009. Dari ke-50 Taman Nasional tersebut, delapan diantaranya merupakan Taman Nasional Laut, dan yang lainnya merupakan Taman Nasional yang melidungi wilayah ekosistem daratan dan ada pula beberapa unit kawasan Taman Nasional yang melingkupi ekosistem daratan hingga perairan laut termasuk diantarannya Taman Nasional Gunung Ciremai yang dideklarasikan pada tahun 2004 bersamaan dengan 10 Taman Nasional lainnya.

5.3.2 Zonasi Taman Nasional : Akses dan Kontrol Baru Terhadap Gunung Ciremai