Petani, Transisi Agraria dan Kuasa Eksklusi

44 dilakukan oleh pemerintah tanpa menerapkan prinsip-prinsip good governance tata pemerintahan yang baik. Oleh karena itu tidak dapat dihindari pada masa Orde Baru telah terjadi bahwa birokrasi negara berkolusi dengan berbagai konglomerat untuk menghasilkan pendapatan dalam sektor kehutanan dengan mengorbankan masyarakat lokal Atje dkk, 2001:130. Munculnya pemikiran ekonomi politik seperti di atas dimulai sejak dikeluarkannya UU penanaman Modal Asing PMA tahun 1967. UU ini memang dirancang sedemikian rupa sampai tidak banyak publik mengetahui bahwa kelak kemudian hari UU ini merupakan pintu masuk kapitalisme internasional, sistemik dan terstruktur rapih. UU PMA inilah yang menjadi titik awal masuknya modal asing dan investor dalam pengusahaan hutan alam tropis di Indonesia. Konsepsi pengusahaan hutan alam tropis oleh HPH hak pengusahaan hutan merupakan pendekatan ekonomi politik yang dipilih oleh Pemerintah Orde Baru Awang, 2003:5. Sasaran utama eksploitasi hutan adalah menciptakan sumber fiskal dan devisa, pengembangan industri kehutanan, penciptaan lapangan kerja dan untuk pembangunan regional. Dalam praktiknya, sasaran-sasaran tersebut berubah menjadi peningkatan produksi dan ekspor kayu gelondongan Ramli dan Ahmad, 1993:4. Alam hutan dikonstruksi oleh manusia sebagai lingkungan yang selayaknya dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, hal ini sejalan dengan paham modernitas yang bertumpu pada eksploitasi sumberdaya alam guna pengembangan industri. Pada kasus HPH dan kasus-kasus pemanfaatan kawasan hutan lindung dan konservasi di Indonesia lebih dapat dijelaskan melalui teori konstruksi sosial.

2.3 Petani, Transisi Agraria dan Kuasa Eksklusi

Bagi para petani, sumberdaya agraria lahan selain merupakan elemen kekuatan produksi dan titik tolak berlangsungnya hubungan sosial produksi juga menjadi basis kesejahteraan Kautsky dalam Hasyim, 1998. Sayogyo 1983 berpendapat bahwa sumberdaya agraria merupakan sumber nafkah yang akan menentukan seberapa jauh jangkauan para petani dalam memenuhi kebutuhan pangan, perumahan, pendidikan dan unsur kesejahteraan lainnya. Oleh sebab itu, ketimpangan 45 dalam penguasaan sumberdaya agrarian akan menimbulkan kemiskinan di pedesaan Soemarjan, 1980 dalam Fadjar, 2000. Melalui kegiatan usaha produktif di atas sumberdaya lahan yang dikuasai para petani, mereka berpotensi memperoleh penghasilan yang memadai dan berkelanjutan sehingga tujuan utama petani untuk ―memenuhi kelangsungan hidup‖ dan ―membuat kehidupan yang l ebih baik‖ dapat dicapai. Selain itu, menurut Scott 1989, secara sosiologis penghasilan minimum sebuah rumah tangga masyarakat non-kapitalis tidak hanya ditunjukan untuk menyediakan makanan anggota keluarga secara memadai tetapi juga untuk memenuhi kewajiban sosial, misalnya untuk membiayayi kegiatan seremonial. Terkait sumberdaya agraria sebagai basis kesejahteraan petani, seberapa jauh sumberdaya tersebut dapat berperan akan ditentukan oleh : 1 karakteristik sumberdaya lahan; 2 keadaan hubungan sosial dalam komunitas petani baik diantara sesame komunitas lokal maupun antara komunitas lokal dengan pendatang. Dalam konteks land tenure, kesejahteraan mencakup tiga hal berikut Fremerey dan Aminy, 2002 : 1 jalan untuk menguasai lahan; 2 pengakuan tanah miliki dan; 3 tipe penggunaan lahan. Kemudian sejalan dengan pendapat Sitorus 2002 basis kesejahteraan petani yang bersumber dari lahan yang dikuasai petani berlangsung melalui : 1 pengaturan sosial ―penguasaan tetap‖, dalam hal ini lahan yang diusah akan petani berperan sebagai ―modal ekonomi‖ atau 2 pengaturan sosial ―penguasaan sementara‖ sistem sewa, sistem bagi hasil dalam hal ini lahan yang diusahakan petani berperan sebagai ―modal sosial‖. Secara ringkas, uraian-uraian tersebut menunjukan bahwa peta kesejahteraan petani yang berbasis pada sumberdaya agrarian lahan sangat tergantung dari seberapa jauh para petani memiliki kontrol terhadap penguasaan sumberdaya agraria tersebut. Kemudian, mengingat kontrol petani terhadap sumberdaya agraria tersebut ditentukan oleh bentuk struktur agrarian maka akan berimplikasi pada perubahan peta sistem kesejahteraan keluarga komunitas petani. Scott 1989 menjelaskan bahwa berlangsungnya komersialisasi pertanian menyebabkan terjadinya perubahan struktur agraria sehingga terjadi perubahan tata 46 hubungan antara ―pemilik lahan‖ dengan ―bukan pemilik lahan‖. Secara umum berkembangnya komersialisasi pertanian pertanian telah memperlemah posisi para petani yang tidak memiliki lahan petani penggarap dan atau buruh tani dan kemudian akan berdampak pada berkurangnya jaminan subsistensi mereka. Dengan kata lain, hierarki dalam penguasaan lahan berimplikasi pada hierarki jaminan subsistensi atau hierarki kesejahteraan petani yang berbasis pada sumberdaya lahan. Oleh s ebab itu, dalam konteks kesejahteraan petani, petani ―pemilik lahan sempit‖ sangat mungkin lebih tinggi statusnya dari pada ―penyewa lahan luas‖ karena petani pemilik lahan sempit memiliki sendiri sarana subsistensi yang mereka perlukan. Bila kontrol petani terhadap penguasaan sumberdaya agraria semakin menurun sehingga luas sumberdaya agraria yang mereka kuasai dan mereka usahakan bertambah sempit atau bahkan petani tersebut terlepas dari penguasaan sumberdaya agraria dan hanya menjadi buruh tani, maka potensi penghasilan yang diperoleh petani dari sumberdaya agraria tersebut semakin kecil dan atau semakin tidak pasti. Bila kedua keadaan tersebut kemudian menyebabkan penghasilan petani dari sumberdaya agraria hanya cukup untuk memenuhi persediaan pangan yang berada dekat garis kemiskinan atau tingkat minimum fisiologi maka mereka berada pada situasi ―problema kesejahteraan‖ karena pengurangan lebih lanjut akan menyebabkan malnutrisi kematian dini Scott,1989. Sebagai gambaran umum, Scott 1989 juga menjelaskan bahwa problema kesejahteraan petani seringkali muncul pada situasi dimana para petani menghadapi hal-hal berikut : 1 kekurangan tanah untuk usaha pertanian; 2 jumlah anggota komunitas terus bertambah; kekurangan modal untuk menjalankan usahatani secara intensif dan 3 kegiatan non-pertanian tidak dapat dijadikan alternatif sumber penghasilan keluarga. sementara itu, menurut Ponsioen 1969 problema kesejahteraan petani juga akan muncul manakala institusi berubah sangat cepat. Dengan penguasaan lahan yang sempit maka upaya petani memenuhi kesejahteraan keluarga sulit dipenuhi. Dalam kondisi luas sumberdaya agraria yang dikuasai petani semakin terbatas sebenarnya mereka dapat meningkatkan produktivitas sumberdaya tersebut melalui 47 strategi ―intensifikasi‖ sehingga penghasilan mereka meningkat. Akan tetapi, implementasi strategi tersebut sangat tergantung pada sejauhmana penguasaan petani atas faktor produksi lain, terutama tenaga kerja, bahan dan alat, serta modal financial Wolf, 1985. Upaya yang paling sulit dilakukan petani kecil adalah akumulasi modal finansial karena harus bersaing dengan pemenuhan biaya kebutuhan sehari-hari keluarga dan pemenuhan biaya lainnya terutama biaya seremonial yang berperan menopang ikatan sosial tradisional dengan sesamanya. Oleh sebab itu, Scott 1989 menyangsikan dapat berlangsungnya intensifikasi oleh para petani subsisten karena perhatian utama mereka adalah bagaimana memenuhi kepentingan hari ini, bukan bagaimana mencapai cita-cita masa depan. Bahkan dalam situasi ini, upaya yang dilakukan petani cenderung menghindari kegagalan risk oversion atau memilih ―dahulukan selamat‖ safety first. Dengan kata lain, petani tidak dapat berjiwa wiraswasta. Namun demikian, berbeda dengan pendapat Scott, Popkin 1986 berpendapat bahwa para petani di pedesaan sebenarnya merupakan petani pemecah masalah yang rasional. Para petani terus menerus berupaya keras selain melindungi diri juga untuk menaikan tingkat subsistensi mereka. Walaupun para petani pedesaan sangat miskin dan sangat dekat dengan garis bahaya, namun mereka masih memiliki sedikit kelebihan untuk melakukan tindakan investasi yang beresiko, baik melalui investasi jangka panjang maupun jangka pendek. Logika investasi tersebut mereka aplikasikan dalam pertukaran pasar maupun bukan pasar.

2.4 Rumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran Penelitian