Akses dan Kontrol Sumberdaya Hutan Gunung Ciremai
1
AKSES DAN KONTROL
SUMBERDAYA HUTAN GUNUNG CIREMAI
D E N I
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
(2)
(3)
3
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya berjudul ―Akses dan Kontrol Sumberdaya Hutan Gunung Ciremai‖ adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan di cantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2014
D e n i I353100091
(4)
(5)
5
ABSTRACT
DENI. Access and Control of Mt. Ciremai Forest. Under direction of SOERYO ADIWIBOWO AND ARIF SATRIA
The obejectives of the research are, first, to understand the historical access and control to forest resource of Mount Ciremai. Second, to understand the feature of power relations and web of power that mobilizied, framed and shaped by actors due to changingforest policy of Mount Ciremai. Third, analyzing the impact of changing forest policy of Mount Ciremai to the farmers. A constructivism paradigm and qualitative approach are applied. In-depth interviews were conducted along with snowball techniques. Secondary data are also collected. The results showed that, first, access and control over forest resource of Mount Ciremai are dynamically changing since Colonial era following actor that hold political power for allocating and distributing forest resource. Secondly, the latest policy for Mount Ciremai‘s forest that change the state enterprise‘s production forest to National Park creates unequal power relations between local university and the government (central and local government) on the one hand, and local NGOs and the farmers on the other hand. The government and local university is proponent for national park initiative, whereas the farmers and local NGOs strongly opposed the initiative. Thirdly, the latest forest policy that appointed Mount Ciremai‘s forest as National Park, exclude the tenurial pattern that formerly established between forest state enterprise and the farmers, which then further significantly affect the income of the farmers.
(6)
(7)
7
RINGKASAN
DENI. Akses dan Kontrol Sumberdaya Hutan Gunung Ciremai. Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO dan ARIF SATRIA
Studi tentang akses dan kontrol dalam perspektive ekologi politik berupaya menerangkan proses-proses ―kemampuan‖ seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Dibalik dari ―kemampuan‖ seseorang dalam memanfaatkan sumber daya alam, terjadi serangkaian berbagai bentuk jaringan kerja yang terjalin dari berbagai kepentingan dan kekuasaan. Akses sebagai ―kemampuan‖ selain dipengaruhi oleh sumber kekuasaan (network) juga dipengaruhi dimensi wacana yang menyelimuti para aktor. Jejaring kerja para aktor berkontestasi memperebutkan hak pada pengelolaan sumberdaya hutan yang mempengaruhi aspek penggunaan hutan serta aspek penghidupan seseorang. Meskipun akses dan kontrol dapat dibatasi dalam hukum formal namun pada berbagai studi yang telah dilakukan oleh peneliti ekologi politik mengungkapkan sebuah kenyataan bahwa ―kemampuan‖ dalam memanfaatkan sumberdaya tidak dibatasi oleh hukum formal sehingga meskipun hukum formal membentuk sebuah aturan pembatasan penggunaan sumberdaya namun di tingkat tapak dapat saja terjadi bentuk-bentuk pemanfaatan sumberdaya oleh para aktor. Gunung Ciremai sebagai objek studi menarik untuk diungkap terutama pada aspek akses dan kontrol sumberdaya hutan terutama karena Gunung Ciremai telah mengalami perubahan berbagai bentuk hukum formal dalam pengaturan dan pengelolaannya dari sejak era Kolonial sampai dengan era hutan konservasi. Sumber-sumber jaringan kekuasaan yang mempengaruhi kebijakan formal pengaturan hutan Gunung Ciremai dan yang mempengaruhi bentuk-bentuk ―kemampuan‖ seorang petani perlu diungkap terutama untuk melihat fenomena ekologi politik.
Tujuan dari penelitian ini adalah, pertama, untuk memahami sejarah akses dan kontrol sumber daya hutan Gunung Ciremai. Kedua, untuk memahami fitur relasi kekuasaan dan jaringan kekuasaan yang dimobilisasi, dibingkai dan dibentuk oleh pelaku karena perubahan kebijakan pemanfaatan sumberdaya hutan Gunung Ciremai. Ketiga, menganalisis dampak perubahan kebijakan hutan Gunung Ciremai pada petani. Penelitian ini mengambil studi kasus di kawasan hutan Gunung Ciremai namun hanya dibatasi daerah administrasi Kabupaten Kuningan Penelaahan kasus lokal tersebut akan ditelusuri dari desa-desa yang berada di sekitar kawasan hutan Gunung Ciremai. Namun, dalam pengambilan data hanya dilakukan di empat desa yang berada pada status pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai. Paradigma konstruktivisme dan pendekatan kualitatif diterapkan dalam penelitian ini. Wawancara mendalam dilakukan dengan teknik snowball . Data sekunder juga dikumpulkan.
Gunung Ciremai telah mengalami serangkaian perubahan kebijakan yang mempengaruhi bentuk-bentuk pengelolaan termasuk akses hutan yang dapat diberikan untuk masyarakat lokal. Bentuk-bentuk pengelolaan hutan Gunung Ciremai
(8)
8
telah dimulai sejak Era Pemerintahan Kolonial Belanda (pemberlakuan perlindungan hutan), Era Pemerintahan Orde Baru (penetapan sebagai kaasan hutan produksi Perhutani), Era Reformasi (pemberlakuan PHBM serta penetapan sebagai kawasan Taman Nasional). Setiap kebijakan pengelolaan ini memiliki implikasi pada bentuk-bentuk akses dan kontrolnya. Perubahan kebijakan pada pengelolaan Gunung Ciremai merupakan hasil konstruksi relasi aktor dan kekuasaan berbagai dimensi baik lokal, nasional bahkan internasional. Jaringan relasi dengan proporsi kekuasaan yang ada pada tiap relasi kekuasaan dapat membentuk dominasi kontruksi kebijakan.
Hasil studi mengungkapkan bentuk-bentuk pemanfaatan sumberdaya alam sebagai bentuk akses yang berbeda di 2 desa pembanding (Desa Pajambon dan Desa Seda). Saat ini petani Desa Pajambon masih dapat memanen hasil tanaman eks PHBM meskipun tindakan tersebut diketahui oleh petugas TNGC sedangkan petani Desa Seda memiliki perlakuan represif dari petugas TNGC. Masyarakat petani Desa Pajambon telah membanguan jejaring kuasa dengan LSM lokal (KANOPI) serta telah menggunakan laporan administrasi pengelolaan kawasan wisata Lembah Cilengkrang sebagai alat posisi tawar agar mereka tetap memiliki akses pada lahan hutan eks PHBM. Disamping itu, setoran PNBP dari masyarakat petani pengelola wisata Lembah Cilengkrang telah membangun hubungan saling ketergantungan antara Petani Pajambon dengan TNGC. Sedangkan petani Desa Seda memiliki perlakuan yang berbeda dengan tindakan represif ketika petani Seda mengolah dan memanen tanaman eks PHBM di taman nasional. Fenomena akses dan kontrol dalam kedua kasus ini dipengaruhi oleh bundle of power yang melekat pada aktor sehingga pada kenyataannya bagi mereka yang memiliki jejaring kuasa tetap dapat memiliki akses pada sumberdaya hutan Gunung Ciremai meskipun secara hukum formal tidak, sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki bundle of power maka mereka tidak dapat mengakses. Kasus ini terjadi pada petani Desa Pajambon dan Desa Seda.
Fakta di lapangan untuk studi kasus 4 desa ini menemukan adanya keragaman aspek sosial ekonomi pada anggota petani eks PHBM Gunung Ciremai. Keragaman aspek sosial ekonomi ini terutama sekali disebabkan oleh keragaman jumlah kepemilikan lahan milik (pribadi). Sejak diberlakukannya status kawasan menjadi taman nasional, para petani Gunung Ciremai tidak lagi dapat menggarap lahan hutan eks PHBM secara optimal. Secara peraturan formal, mereka dilarang untuk mengolah lahan eks PHBM tersebut. Namun beberapa petani masih melakukannya baik dengan cara terbuka maupun tersembunyi. Berdasarkan hasil survey pendapatan rumah tangga petani eks PHBM, pendapatan dari sektor buruh tani saat ini berkurang menjadi rata-rata Rp 2.000.066,- dari semula (ketika program PHBM masih berjalan) memiliki rata-rata Rp. 6.951.662,- untuk pendapatan tahunan. Saat ini, jam kerja sektor pertanian hanya diandalkan dari pertanian lahan milik. Secara umum dapat disimpulkan perbedaan penghidupan petani pasca diberlakukannya perubahan status menjadi taman nasional yaitu : 1) petani kehilangan pendapatan tambahan dari komoditas yang mereka tanam di lahan PHBM terlebih jika mereka tidak memiliki lahan pertanian milik sendiri; 2) tidak tersedianya jam kerja tambahan (upah buruh) yang semula PHBM menyediakan lapangan kerja buruh baik untuk buruh tanam, buruh ngolah, buruh ―ngoyos‖, serta buruh angkut. Pendapatan petani dari sektor
(9)
9
wisata alam yang merupakan bentuk “conservation alternative livelihood” belum memberikan hasil yang siginifikan untuk membantu ekonomi rumah tangga petani pengelola wisata. Hasil studi mengungkapkan bahwa tambahan pendapatan rumah tangga petani sebagai pengelola hanya sebesar Rp 1.351.725,- (tahun 2011) per rumah tangga per tahun sedangkan aset wisat tersebut memiliki nilai dari penjualan tiket sebesar Rp. 72.090.000,- (tahun 2011). Perbedaan antara nilai kawasan wisata dengan pendapatan rumah tangga petani pengelola yang besar ini dikarenakan adanya iuran-iuran wajib yang perlu dikeluarkan oleh petani pengelola wisata sebagai bentuk sharing hasil seperti (setoran PNBP, dana konservasi, iuran desa serta iuran kelompok PHBM dan potongan biaya operasional pengelola).
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa, pertama, akses dan kontrol atas sumber daya hutan Gunung Ciremai secara dinamis berubah sejak era Kolonial berikut aktor yang memegang kekuasaan politik untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya hutan. Kedua, kebijakan hutan Gunung Ciremai yang mengubah hutan produksi perusahaan Negara (Perhutani) ke Taman Nasional tercipta dari hubungan kekuasaan yang tidak setara antara universitas lokal dan pemerintah (pemerintah pusat dan daerah) di satu sisi, dan LSM lokal dan petani di sisi lain. Pemerintah dan universitas lokal pendukung untuk inisiatif Taman Nasional, sedangkan petani dan LSM lokal sangat menentang inisiatif. Ketiga, kebijakan kehutanan yang menunjuk hutan Gunung Ciremai sebagai Taman Nasional, telah mengeluarkan pola tenurial yang sebelumnya didirikan antara perusahaan hutan negara (Perhutani) dan petani yang kemudian memberikan pengaruh signifikan terhadap pendapatan petani. Penelitian ini memberikan implikasi dan rekomendasi diantaranya : 1) Ketika kekuatan relasi aktor menjadi kunci penting dalam mempengaruhi penerapan pemberian akses kepada masyarakat kecil maka jejaring kuasa dan relasi aktor untuk kepentingan masyarakat kecil perlu diperkuat; 2) Perubahan kebijakan yang dapat mendorong pemberian akses petani hutan untuk dapat memanfaatkan hutan Gunung Ciremai pasca statusnya sebagai Taman Nasional perlu didukung melalui jaringan kerja aktor populis. Kekuatan aktor populis perlu ditingkatkan dengan rasionalisasi yang dapat diterima oleh aktor pro lingkungan. Besarnya jaringan aktor pro lingkungan menyebabkan sulitnya kebijakan pemberian akses pemanfaatan lahan hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai. Aktor akademisi sebagai pemroduksi kebenaran perlu mengungkapkan hasil-hasil penelitian kemiskinan petani hutan serta keamanan ekologi pemanfaatan lahan hutan. Peran aktor akademisi sebagai aktor populis menjadi kontribusi penting dalam membentuk rasionalisasi pemanfaatan dan pemberian akses lahan hutan di kawasan Taman Nasional; 3) Penting untuk melihat pengaruh wacana (diskursus) dalam kontestasi kebijakan kehutanan sehingga perlu dilakukan studi diskursus untuk melihat seberapa besar wacana mempengaruhi aktor dan mempengaruhi relasi kekuasaan.
(10)
10 .
(11)
11
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
(12)
(13)
13
AKSES DAN KONTROL
SUMBERDAYA HUTAN GUNUNG CIREMAI
D E N I
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
(14)
14
(15)
15
Judul Tesis : Akses dan Kontrol Sumberdaya Hutan Gunung Ciremai
Nama : Deni
NRP : I353100091
Disetujui: Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Dr. Arif Satria, SP., M.Si Ketua Anggota
Diketahui:
Koordinator Program Studi Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
(16)
(17)
17
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Januari 2012 ini adalah Akses dan Kontrol Sumberdaya Hutan Gunung Ciremai. Karya ilmiah ini dibuat guna penyelesaian studi Program Magister (S2) pada Program Studi Sosiologi Pedesaan. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada:
1. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS dan Dr. Arif Satria SP., M.Si. selaku pembimbing tesis yang memberikan arahan dan bimbingan guna menyempurnakan karya ilmiah ini.
2. Dr. Satyawan Sunito, selaku penguji luar tesis, yang telah memberikan kritik, masukan dan saran untuk menyempurnakan karya ilmiah ini.
3. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. selaku Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan dan Dr. Ir. Rilus A. Kinseng MA selaku wakil Program Studi Sosiologi Pedesaan, yang selalu memberi motivasi dan mendukung penyelesaian studi ini.
4. Dosen-dosen yang mengajar selama kuliah di Sosiologi Pedesaan.
5. Kedua orang tua, Bapak Andi Nurdin (Almarhum). dan Ibu Idah Hamidah. yang telah memberikan dukungan baik moral dan material selama menempuh studi dan penelitian, sehingga saya bisa menyelesaikan belajar S2 di IPB. 6. Istri Annisa dan adinda Aisya Putri, terima kasih atas dorongan dan dukungan
selama ini.
7. Masyarakat Desa Seda, Pajambon, Cisantana, Puncak serta Kompepar Lembah Cilengkrang atas bantuan dan informasi yang diberikan
(18)
18
9. Terima kasih kepada Rahmat (LSM KANOPI) yang telah membantu memberikan informasi detil sehingga penelitian ini dapat terwujud.
10.Terima kasih kepada kawan-kawan Sosiologi Pedesaan Angkatan 2010, Mas Yanu, Bu Sukma, Bu Sri, Mas Aldi, Mas Rinto, Mas Deni Kusuma, Mas Ali, Mas Tarmidji dan Bu Susi atas diskusi dan pembelajaran selama kuliah di Sosiologi Pedesaan.
Bogor, Maret 2014
(19)
19
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cirebon, 2 Febuari 1980 sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Andi Nurdin (Almarhum) dan Ibu Idah Hamidah. Pada Tahun 1998, penulis menempuh pendidikan sarjana melalui jalur UMPTN pada Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada Tahun 2007 penulis lulus pendidikan sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Kemudian pada Tahun 2010, penulis melanjutkan studi ke program magister pada Program Studi Sosiologi Pedesaan sebagian biaya Beasiswa On Going BPPS Kementarian Pendidikan. Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan dan membantu Kementerian Kehutanan dalam implementasi dana hibah GEF-ADB untuk program pelestarian Daerah Aliran Sungai Citarum dan ditempatkan di Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
(20)
(21)
21
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI... xiv
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR KOTAK ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah Penelitian ... 5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
BAB II. PENDEKATAN TEORI ... 8
2.1 Teori Akses dan Properti ... 8
2.2 Negara dan Penguasaan Sumberdaya Alam... 11
2.3 Petani, Transisi Agraria dan Kuasa Eksklusi ... 18
2.4 Rumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran Penelitian ... 21
BAB III. METODOLOGI ... 27
3.1 Paradigma dan Strategi Penelitian ... ... 27
3.2 Lokasi Penelitian ... 28
3.3 Metode dan Strategi Pengumpulan Data ... 28
3.4 Analisis Data ... 32
3.5 Definisi Operasional ... 34
BAB IV. KUNINGAN DAN HUTAN GUNUNG CIREMAI DALAM KONTEKS STUDI ... 37
4.1 Sejarah Kuningan Sebagai Tata Pemerintahan ... 37
4.2 Hutan Gunung Ciremai dan Dinamikanya ... 47
4.3 Studi Kasus Penelitian : Desa Seda, Pajambon, Cisantana, Puncak Kabupaten Kuningan ... 55
BAB V. PERJALANAN PENGATURAN AKSES DAN KONTROL GUNUNG CIREMAI ... 63
5.1 Kayu dan Tanah Hutan sebagai Alat Kontrol ... ... 63
5.1.1 Penerapan Culturstelsel di Gunung Ciremai ... 66
5.1.2 Pemberlakuan Perlindungan Hutan Gunung Ciremai ... 71
5.2 Ciremai dan Legitimasi Perhutani ... 78
5.3 Era Konservasi dan Pengelolaannya ... 94
(22)
22
5.3.2 Zonasi Taman Nasional : Akses dan Kontrol Baru Terhadap Gunung Ciremai ... 100 5.4 Ikhtisar ... 108
BAB VI. PROSES POLITIK PERUBAHAN KEBIJAKAN... 110 6.1 Era Pra Kemerdekaan ... ... 110 6.2 Era Perum Perhutani... 119 6.3 Era Taman Nasional ... 123 6.4 Ikhtisar ... 130
BAB VII. KEHIDUPAN PETANI GUNUNG CIREMAI : DINAMIKA ATAS
IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 134 7.1 Era Pra Kemerdekaan ... ... 134 7.2 Era Perhutani ... 136 7.3 Era Taman Nasional ... 146 7.3.1 Sektor Pertanian Pasca Perubahan Status ... 146 7.3.2 Sumber Pencaharian dari Wisata Alam : Studi Kasus Desa Pajambon ... 158 7.3.3 Penggarapan Lahan Eks PHBM : Studi Kasus Desa Pajambon dan
Desa Seda ... 167 7.4 Ikhtisar ... 168
BAB VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 170
8.1 Simpulan ... ... 176 8.2 Implikasi ... 177
(23)
23
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Strategi Pengumpulan Data ... 29 Tabel 3.2 Variabel dan Indikator dalam Pendapatan Rumah Tangga Petani ... 30 Tabel 3.3 Definisi Operasional Penelitian ... 35 Tabel 4.1 Catatan Kegiatan Gunung Ciremai dan Fenomena Geologi Gunung Api yang
Teramati... 49 Tabel 4.2 Perbandingan Jumlah Jenis Pohon di Beberapa Hutan Pegunungan Jawa Barat ... 51 Tabel 4.3 Gambaran Kependudukan di Lokasi Studi ... 59 Tabel 4.4 Sarana Pendidikan di Lokasi Studi ... 60 Tabel 4.5 Pola Penggunaan Lahan di Lokasi Studi ... 61 Tabel 5.1 Zonasi pada Lokasi Studi Pasca Perubahan Status Menjadi Taman Nasional ... 104 Tabel 6.1 Relasi Kekuasaan Perubahan Kebijakan yang Mempengaruhi Pengelolaan
Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan ... 132 Tabel 7.1 Model Sharing Hasil pada Nota Perjanjian Kerjasama Program PHBM (Studi
Kasus NPK Desa Padabeunghar Gunung Ciremai ... 142 Tabel 7.2 Komoditas dan Siklus Panen Tanaman pada Lahan Milik Petani di Empat
Desa (Desa Seda, Pajambon, Cisantana, Puncak) ... 148
Tabel 7.3 Komoditas dan Siklus Panen Tanaman pada Lahan Eks-PHBM Gunung
Ciremai di Empat Desa ... 150 Tabel 7.4 Pendapatan Petani per Tahun yang Memiliki Lahan > 100 bata ... 153 Tabel 7.5 Pendapatan Petani per Tahun yang Memiliki Lahan < 100 bata ... 154 Tabel 7.6 Perbedaan Pendapatan Sektor Buruh Tani ... 157 Tabel 7.7 Data Pengunjung Obyek Wisata Lembah Cilengkrang Periode
2002-2009
... 162
Tabel 7.8 Rincian Swadaya Berupa Tenaga dan Uang Anggota Kompepar ... 163 Tabel 7.9 Kontribusi Kompepar Lembah Cilengkrang dari Tiket Masuk Kepada
(24)
24
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 25 Gambar 3.1 Metode dan Strategi Pengumpulan Data terkait Pendapatan Petani ... 31 Gambar 3.2 Metode dan Strategi Pengumpulan Data terkait Akses dan Kontrol
Pemanfaatan Hutan Negara ... 32 Gambar 3.3 Analisis Sintesis antara Makna Akses dan Kontrol SDH dengan Pendapatan
Petani ... 33 Gambar 4.1 Pengolahan Citra Sateliet dan Intepretasi Tutupan Hutan Gunung Ciremai ... 55 Gambar 4.2 Lokasi Studi ... 58 Gambar 5.1 Titik Koordinat Perkebunan Kopi Era Culturestelsel di Gunung Ciremai ... 67 Gambar 5.2 Perkembangan Konservasi di Indonesia ... 100 Gambar 5.3 Peta Zonasi Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai ... 105 Gambar 5.4 Sejarah Perubahan Akses dan Kontrol Gunung Ciremai di Lokasi Studi ... 107 Gambar 6.1 Jejaring Kuasa Perubahan Kebijakan Gunung Ciremai ... 130 Gambar 7.1 Pendapatan Rumah Tangga Petani Selama Satu Tahun ... 155 Gambar 7.2 Peta Kawasan Wisata di Desa Pajambon dan Cisantana ... 159 Gambar 7.3 Perbandingan Nilai Pendapatan Kotor Penjualan Tiket dengan Nilai Swadaya
Tenaga dan Swadaya Uang Anggota Kompepar ... 164 Gambar 7.4 Perbandingan Nilai Kawasan Wisata Cilengkrang dengan Pendapatan Bersih
(25)
25
DAFTAR KOTAK
Kotak 5.1 Zona-zona dalam Pengelolaan Taman Nasional ... 102 Kotak 6.1 Berita Kompas tentang Penjarahan Hutan Perhutani Pasca Reformasi ... 122 Kotak 6.2 Berita Kompas tentang Pro-Kontra Taman Nasional Gunung Ciremai ... 127
(26)
26
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Lokasi Studi ... 185 Lampiran 2. Peta Zonasi Taman Nasional Gunung Ciremai ... 186 Lampiran 3. Kuisioner Pendapatan Rumah Tangga Petani ... 187
(27)
27
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah pemanfaatan hutan di Indonesia dapat dikatakan setua dengan sejarah manusia Indonesia itu sendiri. Dikatakan seperti itu karena secara fungsinya hutan memiliki manfaat yang dibutuhkan manusia pra sejarah yaitu fungsi sebagai sumberdaya agraria dan sebagai sumberdaya livelihood baik untuk pemenuhan material maupun non material (budaya/ sesembahan). Pemukiman komunitas dan perburuan/ peramuan sumberdaya hayati pada saat itu memang diperoleh sebagian besar dari hutan. Namun seiring berjalannya waktu serta perubahan orientasi nilai/ norma masyarakat dan ekonomi politik, hutan mengalami penekanan pemanfaatan, terutama pemanfaatan untuk lahan budidaya (pertanian, perkebunan, kehutanan), pemukiman serta pemanfaatan sebagai penyangga ekosistem dan keanekaragaman hayati spesifik dimana hal ini tentu menyebabkan perubahan komposisi tutupan hutan dan tujuan pengelolaannya.
Hutan pada masa kerajaan penggunaannya masih terbatas pada kebutuhan subsisten masyarakat (kayu bakar, sumber bahan obat, sumber makanan, dll) meskipun kayu pada waktu itu telah digunakan oleh masyarakat sebagai bahan baku utama kapal dan pemukiman namun tetap dalam jumlah terbatas. Pada masa Kolonial, hutan telah menjadi kebutuhan utama sebagai ‗ruang‘ untuk budidaya komoditas perkebunan. Tauchid (2009) menyebutkan bahwa pada masa Kolonial telah terjadi transaksi sewa antara raja dan VOC untuk menggunakan kawasan hutan dan tanah masyarakat sebagai sumberdaya agraria untuk dijadikan perkebunan dimana pada saat itu terjadi istilah yang sangat terkenal yaitu Culturstelsel (tanam paksa). Pada masa Kolonial ini, dimulailah era penggunaan kawasan hutan yang dialih fungsikan sebagai kawasan perkebunan terutama di Jawa dan Sumatera. Pada saat kekuasaan VOC
(28)
28
diambil alih oleh Pemerintahan Belanda, wajah penguasaan kawasan hutan mulai menunjukan bentuk dominasi Negara Kolonial terutama setelah munculnya Undang-Undang Agraria Pemerintah Kolonial pada tahun 1870 yang disebut Agrarische Wet.
Meskipun latar belakang diberlakukannya Undang-Undang ini memiliki maksud yang positif yaitu memberi kepastian hak kepemilikan lahan pribadi bagi masyarakat sebagai akibat berlakunya politik etis bagi Pemerintahan Kolonial yang sebelumnya hak tersebut ―terampas‖ oleh elite kerajaan dan pengusaha VOC pada masa Kolonial. Undang-Undang Agraria yang dikeluarkan Belanda ini adalah tonggak awal yang menjadi penataan kawasan hutan pada era berikutnya (orde lama, orde baru bahkan sampai dengan saat ini).Dalam Undang-Undang ini menyebutkan bahwa tanah/ lahan yang tidak ―bertuan‖ secara otomatis dimiliki dan dikuasai oleh Negara Kolonial dimana secara umum tanah-tanah yang dimaksud tersebut merupakan kawasan hutan dan diduga pada waktu itu memiliki luas ± > 80% dari luas keseluruhan daratan Indonesia. Pada era tersebut, meskipun masih terjadi ketimpangan penguasaan, namun kebijakan Negara Kolonial ini telah menghasilkan bentuk baru penguasaan tanah dan tenaga kerja.
Perjalanan permasalahan penguasaan lahan tidak berhenti pada zaman Kolonial saja. Pada awal Kemerdekaan banyak bermunculan gerakan kaum tani yang memperjuangkan hak mereka dalam mendapatkan kepastian lahan terutama pada lahan-lahan eks-perkebunan pengusaha asing. Situasi politik yang rumit pada era ini (awal Kemerdekaan) menjadikan tarik menarik penguasaan lahan mulai diperdebatkan baik itu tuntutan dari Belanda maupun perdebatan dari elite politik di Indonesia. Diskursus ‗status‘ penguasaan lahan oleh elite politik Nasional pun terpecah menjadi beberapa kelompok. Ada yang pro kepada liberalism dan yang menolak liberalism dimana kedua ideologi ini memiliki perbedaan teknis dalam kebijakan pendistribusian lahan Negara. Pro dan kontra ini pada akhirnya disikapi secara tegas dengan munculnya Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 dimana isi dari Undang-Undang ini lebih bernuansa populis. Namun Undang-Undang tersebut tetap menjadi pembahasan dalam implementasinya dan belum sempat dilaksanakan kebijakannya secara serius sampai rezim Soekarno jatuh digantikan oleh
(29)
29
Rezim Orde Baru. Pada masa Rezim Orde Baru dengan perspektif peta politik yang bertolak belakang dengan era Soekarno telah merubah wajah berbagai kebijakan termasuk kebijakan penguasaan hutan Negara. Era Orde Baru pada akhirnya mengeluarkan kebijakan penataan lahan yang lebih mirip dengan kebijakan Agraria pada zaman Pemerintahan Kolonial tahun 1870 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Kehutanan tahun 1967 dimana pada Undang-Undang-Undang-Undang tersebut penguasaan hutan sepenuhnya diatur oleh Negara.
Ada tiga komponen dalam penguasaan akses hutan (terutama hutan produksi) yaitu penguasaan tanah; penguasaan/ pengendalian spesies dan penguasaan tenaga kerja hutan. Ketiga komponen masing-masing dapat dipikirkan sebagai jenis sumberdaya kekuasaan atau sebagai perwujuadan kekuasaan negara atau perusahaan (Weber 1978:991; Peluso, 2006:24). Penguasaan ideologis yang diwujudkan dalam undang-undang kehutanan yang mengesahkan kewenangan negara atas hutan, bergabung dengan ketiga komponen itu untuk membentuk penguasaan akses hutan. Setiap komponen pun memiliki signifikansi tersebut (Peluso, 2006:24).
Secara keseluruhan, degradasi hutan dan kemiskinan pedesaan bukanlah keadaan yang berdiri sendiri dan bukan pula sesuatu yang bertahan karena yang berdiri sendiri dan bukan pula sesuatu yang bertahan karena dirinya sendiri. Degradasi mutu hutan dan kemiskinan masyarakat pedesaan adalah gejala kelangkaan sumberdaya akibat perubahan agraria dan petunjuk tentang adanya konflik sosial yang luas dan rumit. Tegangan yang menyebabkan degradasi mutu hutan dan kemiskinan muncul dari konflik mengenai wilayah, redefinisi hak dan kendala atas akses sumberdaya, peraupan keuntungan dari pengambilan hasil hutan, dan distribusi keuntungan yang diperoleh. Cara dan alasan terjadinya degradasi hutan, penggundulan hutan, dan pemiskinan secara berlahan bergantung pada bagaimana berbagai kepentingan yang tak sejalan dirundingkan dan diungkapkan. Bentuk pengungkapan klaim atas hutan bergantung pada berbagai kendala politis dan sosiokultural. Dengan demikian, proses tersebut membutuhkan analisis tak hanya dalam konteks politik-ekonomi hubungan internasional, nasional, regional dan lokal
(30)
30
melainkan juga dari perspektif para aktornya yang di bawah maupun di atas (Peluso,2006:29).
Pemenang dari pergulatan kekuasaan ini mungkin saja kalah dalam pertarungan lain yang lebih serius. Seandainya struktur penguasaan pusat terlalu kaku, ada resiko struktur itu akan menerjang garis urat kehidupan ―lawannya‖. Jika ini sampai terjadi, para warga pengguna hutan mungkin tiba-tiba memilih mengabaikan seluruh aturan dan mengguncang landasan sistem penguasaan itu sekuat tenaga. Bila petani kelihatan sudah di atas angin dalam perimbangan kekuasaan, para pengelola hutan mungkin saja memperbesar pengusaan mereka melalui pemaksaan. Pemaksaan, koersi dan kekerasan bukan hanya penyimpangan dari pola permainan manajemen. Itu semua merupakan alternative yang ancaman maupun kenyataan pemberlakuannya menentukan sikap kedua belah pihak (Peluso, 2006:29).
Studi tentang akses dan kontrol dalam perspektive ekologi politik berupaya menerangkan proses-proses ―kemampuan‖ seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Dibalik dari ―kemampuan‖ seseorang dalam memanfaatkan sumber daya alam, terjadi serangkaian berbagai bentuk jaringan kerja yang terjalin dari berbagai kepentingan dan kekuasaan. Akses sebagai ―kemampuan‖ selain dipengaruhi oleh sumber kekuasaan (network) juga dipengaruhi dimensi wacana yang menyelimuti para aktor. Jejaring kerja para aktor berkontestasi memperebutkan hak pada pengelolaan sumberdaya hutan yang mempengaruhi aspek penggunaan hutan serta aspek pendapatan seseorang. Meskipun akses dan kontrol dapat dibatasi dalam hukum formal namun pada berbagai studi yang telah dilakukan oleh peneliti ekologi politik mengungkapkan sebuah kenyataan bahwa ―kemampuan‖ dalam memanfaatkan sumberdaya tidak dibatasi oleh hukum formal sehingga meskipun hukum formal membentuk sebuah aturan pembatasan penggunaan sumberdaya namun di tingkat tapak dapat saja terjadi bentuk-bentuk pemanfaatan sumberdaya oleh para aktor. Gunung Ciremai sebagai objek studi menarik untuk diungkap terutama pada aspek akses dan kontrol sumberdaya hutan terutama karena Gunung Ciremai telah mengalami perubahan berbagai bentuk hukum formal dalam pengaturan dan pengelolaannya dari sejak era Kolonial sampai dengan era hutan
(31)
31
konservasi. Sumber-sumber jaringan kekuasaan yang mempengaruhi kebijakan formal pengaturan hutan Gunung Ciremai dan yang mempengaruhi bentuk-bentuk ―kemampuan‖ seorang petani perlu diungkap terutama untuk melihat fenomena ekologi politik. Disamping itu, dinamika pendapatan petani atas perubahan pengaturan hutan Gunung Ciremai perlu diungkap untuk menjelaskan implikasi-implikasi dari proses ekologi politik pengaturan dan pemanfaatan hutan Gunung Ciremai.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Penelitian ini, akan memberikan gambaran perjalanan kebijakan pemanfaatan hutan negara yang berimplikasi pada pola dan penguasaan terhadap akses sumberdaya hutan dengan menggunakan studi kasus kawasan hutan Gunung Ciremai dimana dalam penelitian ini, selain akan merekonstruksi relasi aktor pada proses perubahan kebijakan, peneliti juga akan mengamati dampak yang dihasilkan dari perubahan kebijakan tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengamati petani sebagai objek hasil perubahan kebijakan sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat menjelaskan hubungan kebijakan akses dan kontrol sumberdaya hutan terhadap pendapatan petani. Penelitian ini akan menggunakan studi kasus kawasan hutan Gunung Ciremai untuk menemukan makna dari sebuah perubahan kebijakan pengelolaan hutan yang berimplikasi pada akses dan kontrol sumberdaya hutan dengan beberapa panduan pertanyaan dalam penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk akses dan kontrol sumberdaya hutan pada setiap periode pengelolaan di kawasan hutan Gunung Ciremai (dari statusnya sebagai kawasan hutan kolonial, kawasan hutan produksi maupun kawasan hutan konservasi)?
2. Bagaimana jejaring kuasa aktor pada perubahan kebijakan baik jejaring kuasa pada kontruksi kebijakan maupun relasi kekuasaan dalam pemanfaatan akses di kawasan hutan Gunung Ciremai?
3. Bagaimana hubungan pendapatan petani terhadap perubahan akses dan kontrol sumberdaya kawasan hutan Gunung Ciremai?
(32)
32
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memaparkan periodisasi pengelolaan hutan yang mengalami berbagai perubahan kebijakan. Secara sederhana berbagai perubahan kebijakan akan berimplikasi pada pola pengendaliannya yang disesuaikan dengan tujuan pengelolaan dan siapa yang memiliki kekuasaan atas pengendalian tersebut. Kendali dan pola akses yang terjadi selama periodesisasi tersebut tentu berdampak pada pendapatan petani yang berada di sekitar kawasan hutan Gunung Ciremai khususnya yang memiliki ketergantungan pada sumberdaya hutan baik dari aspek sumberdaya maupun agrarianya. Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Memahami sejarah akses dan kontrol sumber daya hutan Gunung Ciremai. Mengetahui bentuk akses dan kontrol sumberdaya hutan pada setiap pengelolaan di kawasan huta Gunung Ciremai baik saat statusnya sebagai kawasan hutan Pemerintah Kolonial, kawasan hutan produksi maupun statusnya sebagai kawasan Taman Nasional.
2. Memahami fitur relasi kekuasaan dan jaringan kekuasaan yang dimobilisasi, dibingkai dan dibentuk oleh pelaku karena perubahan kebijakan pemanfaatan sumberdaya hutan Gunung Ciremai.
3. Memahami dampak perubahan kebijakan hutan Gunung Ciremai pada petani khususnya aspek pendapatan rumah tangga pasca perubahan status menjadi Taman Nasional.
Penelitian ekologi politik berupaya untuk menjelaskan hubungan relasi dan jaringan kekuasaan sebagai implikasi perubahan lingkungan dan atau lansekap dari sebuah sumberdaya alam. Perubahan sumberdaya hutan Gunung Ciremai berdasarkan konteks penelitian ekologi politik berusaha menelaah gambaran relasi kuasa dan jaringan kekuasaan yang membentuk dinamika kebijakan pengelolaan Gunung Ciremai yang memiliki implikasi pada perubahan lansekap hutan Gunung Ciremai. Disamping itu juga, perubahan kebijakan sedikit banyak akan berdampak pada aspek sosial ekonomi aktor pemanfaat Gunung Ciremai (petani). Dinamika kebijakan
(33)
33
Gunung Ciremai mengakibatkan terjadinya dinamika akses dan kontrol Gunung Ciremai sehingga akan mempengaruhi segi sosial ekonomi petani. Penelitian ini sedikitnya akan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Memberikan informasi ilmiah tentang faktor relasi dan jejaring kekuasaan sebagai pengaruh perubahan akses dan kontrol sumberdaya hutan Gunung Ciremai.
2. Memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh perubahan kebijakan serta dinamika akses dan kontrol sumberdaya hutan Gunung Ciremai terhadap pendapatan rumah tangga petani.
3. Memberikan justifikasi ilmiah untuk menentukan rekomendasi yang tepat dalam rangka pelestarian hutan dan penanggulangan kemiskinan petani sekitar hutan.
(34)
34
BAB II
PENDEKATAN TEORI
2.1Teori Akses dan Properti
Peluso dan Ribot (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan menghasilkan keuntungan dari sesuatu, termasuk diantaranya objek material, perorangan, institusi, dan simbol. Dengan menfokuskan pada kemampuan dibandingkan dengan kepemilikan yang ada dalam teori properti. Formulasi ini memberikan perhatian pada wilayah yang lebih luas pada hubungan sosial yang mendesak dan memungkinkan orang untuk menguntungkan dari sumber daya tanpa menfoukuskan diri pada hubungan properti semata.
We define access as "the ability to derive benefits from things," broadening from property's classical definition as "the right to benefit from things." Access, following this definition, is more akin to "a bundle of powers" than to property's notion of a "bundle of rights." This formulation includes a wider range of sosial relationships that constrain or enable benefits from resource use than property relations alone. (Lee Peluso and Jesse C. Ribot, 2003)
Peluso dan ribot (2003) melihat bahwa ada semacam susunan jaringan akses. Perhatian mereka memungkinkan seseorang memetakan proses hubungan akses dengan sumber daya. Konsep akses disini ditempatkan pada analisa siapa yang sebenarnya diuntungkan dari sesuatu dan melalui proses apa mereka melakukannya. Akses secara empiris menfokuskan diri pada siapa yang mendapatkan apa, dalam cara apa, dan kapan.
Memfokuskan sumber daya alam sebagai sesuatu dalam pertanyaan, telah mengeksplor kekuatan yang berefek pada kemampuan orang-orang untuk mendapatkan keuntugan dari sumber daya. Kekuatan ini terdiri atas material,
(35)
35
kebudayaan, dan ekonomi-politik dengan ikatan dan jaringan kekuasaan yang menyususun akses sumber daya.
Beberapa orang dan institusi yang mengontrol sumber daya sementara yang lain mempertahankan akses mereka. Analisa akses juga membantu dalam memahami mengapa beberapa orang atau institusi mendapatkan keuntungan dari sumber daya, apakah mereka mempunyai kepemilikan barang ataupun tidak. Macpherson (1978) menambahkan studi akses yang membantu memahami keanekaragaman jalan orang untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya termasuk diantaranya hubungan properti.
Peluso dan Ribot (2003) membedakan teori akses dan teori properti. Akses lebih kepada kemampuan sedangkan kepemilikan ada pada properti. Banyak dimensi akses termasuk diantaranya mengitari definisi yang digunakan dalam studi properti. Properti berhubungan dengan literatur dalam penggunaan sehari-hari terhadap kepemilikan sendiri yang dibatasi oleh hukum adat atau konvensi. Walaupun dengan konsep hubungan properti bisa dilihat dalam hubungan kepemilikan sumber daya dan sanksi pengendalian dalam institusi. Oleh karena itu, analisa akses membutuhkan perhatian pada properti sebagaimana tindakan terlarang, hubungan produksi, hubungan pemberian dan sejarah dari semua itu.
Peluso melihat akses seperti halnya properti selalu berubah, tergantung pada posisi individu dan kelompok serta kekuasaan dengan variasi hubungan sosial. Peluso mengutip pendapat para ahli mengenai properti, seperti Ghani (1995:2) yang berpendapat bahwa properti seharusnya direpresentasikan sebagai ikatan kekuasaan. Pendapat tersebut merupakan sebuah fakta yang merepresentasikan konsep baru yang bisa menggabungkan semua ide ke dalam akses. Analisa ekonomi-politik akan membantu untuk memahami identifikasi awal beberapa orang yang bisa mengambil keuntungan dari sebagian suumber daya sementara yang lain tidak. Aspek ekonomi-politik dalam konsep menjadi nyata ketika memisahkan tindakan sosial ke dalam pengendalian akses dan mempertahankan akses. Pengendalian akses adalah kemampuan untuk memediasi akses lainnya. Pengendalian mengarah pada pemeriksaan dan pengawasan tindakan, fungsi atau kekuatan yang mengawasi dan
(36)
36
mengatur tindakan bebas. Mempertahankan akses memerlukan kuasa untuk menjaga sebagian sumber daya akses yang terbuka. Baik pengendalian dan pengontrolan merupakan dua hal yang saling melengkapi. Keduanya membentuk hubungan diantara aktor dalam hubungan terhadap sumber daya, manajemen, dan penggunaan. Disaat yang sama, makna dan nilai sumber daya menyangga antara siapa yang mengontrol dan siapa yang mempertahankan akses. Seperti akses pengendalian dan mempertahankan mempunyai kesamaan dengan ide Marx mengenai hubungan buruh dan pemilik modal. Hubungan antara aktor yang mempunyai modal dan yang berperan sebagai buruh secara paralel berhubungan dengan aktor yang mengontrol akses dan aktor yang mempertahankan akses mereka. Penempatan akses pada bingkai kerja ekonomi-politik telah melengkapi model teori perubahan sosial. Hubungan sosial timbul dari kerjasama dan konflik yang mengelilingi keuntungan dengan sebagian momen ekonomi-politik. Maka dari itu, pendekatan proses menjadi pendekatan yang baik dalam menangkap perubahan tersebut. Analisa proses juga merupakan identifikasi dalam pemetaan mekanisme akses yaitu penambahan, mempertahankan, dan pengendalian. Analisa akses melibatkan 1) Identifikasi dan pemetaan aliran kepentingan sebagai keuntungan, 2) Identifikasi mekanisme oleh perbedaan aktor yang melatarbelakangi penambahan, pengendalian dan mempertahankan aliran keuntungan dan distribusinya. Dan 3) analisa hubungan kekuaaan yang menegaskan mekanisme akses yang melibatkan darimana keuntungan didapatkan (Peluso dan Ribot, 2003).
Akses legal Merupakan kemampuan mendapatkan keuntungan dari sesuatu yang berasal dari kepemilikan atribut oleh hukum, adat istiadat, atau konvensi. Arti kepemilikan berdasarkan akses menyatakan secara tidak langsung keterlibatan masyarakat, negara, atau pemerintah yang mengklaim suatu.hukum, adat istiadat atau konvensi menyebabkan suatu legitimasi atas kepemilikan sesuatu. Namun disisi lain ada sebuah ambigunitas yang terjadi antara hukum, adat istiadat dan konvensi. Ambigunitas ini terjadi manakala ketiga perangkat legal tersebut sama-sama melegitimasi suatu barang yang sama sehingga yang terjadi adalah saling mengklaim. Akses illegal secara langsung merupakan bentuk langsung akses yang diberikan
(37)
37
berdasarkan sanksi hukum, adat istiadat, dan konvensi. Label kejahatan bisa dikenakan pada aktor tergantung pada hubungan aktor sebagai lawan atau bentuk lainnya. Bisa dikatakan akses illegal mengarah pada kesenangan keuntungan dari sesuatu dengan cara tidak mendapatkan sanksi sosial oleh negara atau masyarakat. Akses illegal beroperasi melalui koersif dan secara diam-diam, Pembentukan hubungan antara mereka berusaha untuk mendapatkan penambahan, pengendalian, dan mempertahankan akses (Peluso dan Ribot, 2003).
Blaikie menjelaskan bahwa modal dan identitas sosial mempengaruhi kepemilikan prioritas akses sumber daya. Akses teknologi merupakan suatu cara dalam memediasikan akses sumber daya dengan sejumlah cara. Penggunaan teknologi atau peralatan digunakan untuk mendapatkan sumber daya dengan cara mengeskstrak-nya. Akses modal merupakan suatu faktor yang bisa digunakan untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya dengan pengendalian dan mempertahankan akses mereka. Modal digunakan untuk mengakses pengendalian sumber daya melalui pembelian kepemilikan. Itu juga bisa digunakan untuk mempertahankan dengan cara membayar sewa, biaya formal akses, atau membeli pengaruh orang yamg mengendalikan sumber daya. Akses pasar merupakan kemampuan untuk mengkomersilkan keuntungan dari sumber daya. Akses pasar adalah pengendalian melalui proses dan sejumlah besar struktur. Hal ini berarti akses modal, struktur monopsoni, praktik tertutup, dan bentuk persekongkolan antara aktor pasar atau pedukung kebijakan negara. Akses buruh dan kesempatan buruh juga mengambil peranan penting dalam keuntungan dari dumber daya. Selain itu, bagi yang mengendalikan kesempatan buruh bisa mengalokasikan mereka ke dalam bagian hubungan patron-klien. Begitu juga dengan akses pengetahuan yang berguna dalam pengendalian ideologi dan kepercayaan.
2.2 Negara dan Penguasaan Sumberdaya Hutan
Negara dapat dilihat dari banyak sisi dan aspek, tergantung dari apa yang menjadi latar belakang kepentingan untuk memposisikan negara tersebut dan karena itu topik pembicaraan tentang negara sangat lebar dan luas. Mahasiswa Afrika,
(38)
38
Amerika LATIN dan Asia memiliki penilaian bahwa negara berperan dalam melembagakan perubahan politik secara komprehensif, membantu mempertajam pembangunan ekonomi nasional dan melakukan tawar-menawar dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Ahli sejarah ekonomi dan ekonomi politik telah berteori tentang negara sebagai pembuat lembaga hak-hak kepemilikan dan sebagai pengatur dan pengubah pasar. Dari sisi antropologi budaya, telah mengeksplorasi arti khusus dan kegiatan negara dalam pandangan non-western. Negara sebagai aktor penting
dan memahami bagaimana negara mempengaruhi politik dan proses sosial melalui kebijakan negara dan pola hubungan negara dengan kelompok-kelompok sosial (Skocpol, 1989; Awang, 2004)
Menurut Max Weber negara merupakan gabungan kewajiban pengawasan hak teritorial dan penduduk didalamnya, jika diperlukan menerapkan kebijakan yang dibuat oleh negara dengan kekuatan /paksaan (Skocpol, 1989:47). Administrasi, hukum, organisasi-organisasi ekstraktif dan yang bersifat memaksa adalah inti dari negara. Organisasi-organisasi pelaksana negara tersebut bervariasi strukturnya antar negara-negara, dan mereka mungkin melekat dalam beberapa macam peraturan perundangan dan konstitusi. Alfred Stepan memformulasikan perspektif Weberian tentang negara sebagai berikut:
―Negara harus dipertimbangkan sebagai lebih dari pemerintah. Hal ini merupakan kelanjutan dari sistem-sistem administrasi, peraturan, birokrasi dan pemaksaan yang mencoba tidak hanya menata struktur hubungan antara masyarakat civil dan kewenangan publik di dalam satu kemasan politik tetapi juga menata struktur banyak hubungan krusial dalam masyarakat civil‖ (Alfred Stepan dalam Skocpol 1989:7).
Menurut Skocpol, membahas peran-peran negara di dalam pengertian bring the state back in tidak harus membacanya dari sistem grand system theories
struktural-fungsional atau neo-marxian. Negara hendaknya dilihat dalam kontek penjelasan perubahan sosial dan politik. Penekanan diberikan kepada penghormatan pada kesejarahan struktur sosial politik dan tidak dapat dihindarkan bahwa selalu ada keterhubungan dengan pembangunan tingkat nasional dengan kontek sejarah
(39)
39
perubahan dunia. Kedepan diperlukan secara solid pemahaman mendasar dan ketajaman analisis tentang sebab musabab yang beraturan yang mendasari sejarah negara, struktur sosial dan hubungan transnasional dalam dunia modern (Skocpol, 1989:28). Perbedaan konstruksi daerah di luar pusat-pusat pertumbuhan negara dan komponen manusianya dan alamnya menghasilkan perbedaan versi sejarah juga. Penjelasan tentang alam dan lingkungan tidak bebas terhadap ideologi, idealisme atau penilaian moral dan semuanya itu mempunyai konsekuensi politik. Penyisihan manusia dari sejarah alam merubah cara-cara sumberdaya alam dirasakan, diartikan, dinilai, dialokasikan dan digunakan dan pada akhirnya dapat merusak konservasi. Aktor manusia, khususnya berkaitan dengan investasi tenaga kerja, didalam penciptaan alam sering kali memberikan hak-hak kepemilikan atau akses. Ratusan tahun sudah penduduk asli (indigenous people) melakukan pemanfaatan dan pengawasan terhadap sumber daya alam yang mereka kuasai sebelum ada claim dari negara terhadap sumberdaya alam tersebut. Kurangnya penghargaan atas peran manusia dalam menciptakan lingkungan alam merupakan satu pernyataan politik, ---termasuk keputusan untuk mengakui hak-hak dan tanggung jawab rakyat dan akses serta kontrol mereka (masyarakat) terhadap sumberdaya alam (Peluso, 1996:136).
Dalam kaitannya dengan konservasi, maka pertanyaan kritis perlu diajukan seperti bagaimana kelompok-kelompok pejuang konservasi internasional (perspektif barat) dapat dengan sengaja mempromosikan strategi konservasi dalam pembangunan hingga merugikan atau berlawanan dengan pengguna-pengguna sumberdaya lokal. Kelompok konservasi Internasional mungkin menyumbang pada kekerasan negara atas nama konservasi dan konservasi dapat menjadi bagian dari strategi negara untuk mengontrol masyarakat dan teritorial.
Pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat untuk kegiatan penggembalaan dan usahatani disebut pengrusakan dan penghancuran ketika mereka lakukan hal tersebut pada lahan-lahan marginal atau daerah yang tekanan penduduknya tinggi. Kesalahan yang sama untuk deforestasi hutan tropis sering diselaraskan dengan kegiatan petani dan penebang kayu , walaupun tingkat kerusakan dan dampak serta manfaat yang disebabkan keduanya berbeda. Negara, dengan monopolinya pada
(40)
40
penggunaan legitimasi kekerasan, mungkin menggunakan kekerasan melawan penggunaan sumberdaya atas nama konservasi, baik kepentingan lingkungan maupun ekonomi dan hal tersebut sebagai satu cara perlindungan kedaulatan politiknya (Peluso, 1992). Masyarakat lokal sangat memiliki kepentingan pada sumberdaya mereka, oleh karena itu jika ada intervensi dari negara sangat dimungkinkan membawa masyarakat kembali ke suasana pertentangan dengan kekerasan (Peluso, 1996:138).
Kepentingan negara dalam pengawasan penggunaan sumberdaya terutama sekali ada 2 hal yaitu terkait dengan : (1) Power (kekuasaan)--- yang mencakup
pengawasan dan kemampuan untuk mengatur; (2) ekonomi. Perjuangan kekuasaan dilakukan secara terus menerus di dalam hal alokasi , kontrol dan akses sumberdaya. Kontrol terhadap sumberdaya meningkatkan kontrol sosial oleh negara (Barber, 1989; Peluso, 1996:138; Poffenberger, 1990). Sementara itu kekuasaan ekonomi memberi negara legitimasi lebih besar dimata komunitas internasional, sekarang kontrol ekonomi seperti inilah yang berlaku, walaupun sering terjadi kompetisi atau persaingan dengan para pemilih sendiri. Kompetisi pada arena legitimasi dilakukan dalam banyak dimensi dengan skala yang berbeda: dalam negara sendiri (antara lembaga, antar menteri dan antar faksi politik); dalam berbagai arena internasional (antar kelompok yang berbeda kepentingan dalam sumberdaya alam, komoditi perdagangan, produksi dan konservasi); dan pada daerah luar kota (non perkotaan, dimana ada lokasi sumberdaya dan dimana pengguna lokal mungkin berkompetisi dengan orang luar dan antar masyarakat sendiri dalam rangka akses pada sumberdaya lokal) (Peluso, 1996:139-140).
Pengelola sumberdaya alam milik negara mungkin menggunakan paksaan / kekerasan untuk memantapkan pengawasan kepada masyarakat dan sering dengan alasan konservasi dan ekonomi, dengan maksud argumen tersebut digunakan untuk menjauhi masyarakat dari sumberdaya yang bernilai tinggi. Ketika aktor-aktor negara menggunakan kekerasan untuk mendapatkan kontrol pada sumberdaya alam, maka pengawasan mereka terhadap sumberdaya tersebut dipertanyakan oleh pengguna sumberdaya lainnya. Militer sering digunakan sebagai alat untuk melaksanakan
(41)
41
kekerasan negara tersebut ditingkat lapangan. Padahal militer tidak pernah memainkan posisi ―netral‖ dan umumnya peran mereka digerakkan oleh sasaran, metoda dan ideologi yang berasal dari kekuasaan pemerintah pusat. Hal tersebut bertolak belakang dengan kebutuhan kelompok masyarakat marginal seperti penggembala ternak dan peladang berpindah, serta kelompok masyarakat pengguna sumberdaya hutan. Kelompok masyarakat marginal ini memang sangat sulit di kontrol keberadaannya oleh pemerintah.. Oleh karena itu pemerintah seringkali menggunakan kekuatan militer untuk memantapkan pengawasan daerah hutan yang di klaim oleh masyarakat, untuk tujuan politik dan perlindungan lingkungan. Seringkali kelompok konservasi di negara dunia ketiga memperbesar dana dan kapasitas fisik untuk melindungi sumberdaya dengan nilai-nilai yang bersifat global. Beberapa organisasi lingkungan internasional melakukan tindakan perlindungan secara paksa sesuai dengan outcome mereka sendiri yaitu pengawetan kekayaan warisan biologi tanpa ada kejelasan penggunaannya untuk mencapai sasaran apa (Duedney, 1990:461-476). Perdebatan paling sering muncul terkait dengan kelompok konservasionis adalah terkait dengan perlindungan atas spesies langka, bahaya lingkungan dan ekosistem secara keseluruhan. Para konservasionis paling sering menggambarkan agenda-agenda mereka sebagai hal yang seolah-olah menjadi persoalan masyarakat dan kepentingan setiap orang secara merata, mengkonstruksikan citra pada tingkatan komunitas global. Pernyataan Peluso tentang pengawasan negara atas sumberdaya alam dapat disimak pada uraian di bawah ini.
However, violence in the name of resource control also helps states to control people, especially recalcitrant regional groups, marginal groups, or minority groups who contest state resource claims or otherwise challenge the state‘s authority (Peluso. 1996:139)
Intervensi atau dukungan internasional tidak menjamin realisasi dari tujuan konservasi. Penilaian dan peningkatan kemampuan negara untuk mengontrol sumberdaya mungkin meningkatkan penolakan masyarakat tingkat lokal atau melakukan pemberontakan melawan kontrol negara atau pihak internasional terhadap sumberdaya lokal yang ada di sekitar masyarakat. Namun demikian, negara seringkali
(42)
42
tidak perduli dengan perlawanan dan pemberontakan masyarakat lokal tersebut. Bahkan dengan menggunakan retorika konservasi untuk memperoleh legitimasi dari kelompok-kelompok lingkungan yang berasal dari luar negeri, negara mungkin berhasil dalam penguatan kapasitasnya untuk mengatur sasaran konservasi melalui penggunaan kekuatan (Migdal, 1988).
Sumberdaya hutan (SDH) menurut pengaturan hukum masuk ke dalam domein publik. Diskursus tentang domein publik sudah berlangsung lama, dimulai oleh seorang ahli hukum dari Prancis yang bernama Proudhon yang membicarakan hak-hak negara atas benda-benda milik publik. Seperti diketahui dalam melaksanakan tugasnya pemerintah (yang menjadi personifikasi negara) memiliki fasilitas-fasilitas seperti gedung-gedung, benda-benda inventaris serta mempunyai hak mengelola benda-benda milik publik seperti terminal, sungai, laut, Gunung dan hutan. Karena itu wajar jika muncul pertanyaan bagaimana sesungguhnya hubungan hukum antara negara dan benda-benda publik tersebut.
Menurut Proudhon (Mahfud, 2001:108) publik domein itu harus dibedakan atas dasar kepunyaan publik dan kepunyaan individu (private). Kepunyaan publik adalah benda-benda milik publik yang pemanfaatannya dapat dinikmati oleh masyarakat seperti jalan, laut, terminal, stadion, bandara, hutan dan sebagainya. Kepunyaan individu adalah publik domein yang pemanfaatannya secara langsung menjadi monopoli pejabat atau pegawai pemerintah tersebut seperti kantor, benda inventaris, asrama dan sebagainya. Dalam pengertian seperti ini, pengertian domein publik tidak menimbulkan masalah dari para ahli hukum. Domein publik kemudian menimbulkan perdebatan antara setuju dan tidak setuju dikalangan ahli hukum ketika memasuki wilayah hukum administrasi negara. Perdebatan ini dimunculkan oleh Verting, Marecel Waline, Barkhausen, Thorbecke dan von Reeken (Mahfud, 2001:108-109). Dengan membaca silang pendapat dari para ahli tentang domein publik tersebut, lalu bagaimana pilihan hukum administrasi negara tentang publik domein di Indonesia?
Berdasarkan pada pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 hubungan antara negara dengan publik domein itu adalah hubungan kepemilikan, selama belum ada hukum baru yang dibuat sendiri oleh bangsa Indonesia (yang ada merupakan warisan
(43)
43
penjajah kolonial belanda). Para penyusun UUD 1945 di BPUPKI dan PPKI sama sependapat bahwa negara bukanlah pemilik atas publik domein melainkan merupakan pihak yang menguasai (Mahfud, 2001:110). Hubungan ini jelas sekali dicantumkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menggariskan bahwa ―bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat‖. Kemudian ―hak menguasai‖ diformulasikan lagi ke dalam UU No.5/ 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.. Menurut pasal 2 ayat (2) UU ini yang dimaksud dengan ―hak menguasai‖ oleh negara adalah kewenangan negara untuk: Pertama, mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; Kedua, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum, air dan ruang angkasa; Ketiga, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Logika yang dipakai adalah bahwa sumberdaya hutan (SDH) merupakan domein publik yang dikuasai oleh negara dan SDH merupakan bagian dari agraria yang dikuasai oleh negara.
Teori konstruksi sosial untuk alam dan lingkungan oleh Barry didekati dari perspektif marxian dan ekonomi neo klasik yang menitik beratkan pada mekanisme pasar sebagai tempat transaksi. Negara/pemerintah tidak ikut menentukan mekanisme pasar tersebut karena pasar telah memiliki mekanisme alamiahnya sendiri. Negara/pemerintah yang memiliki hak kuasa atas sumberdaya hutan, pada praktiknya memunculkan sikap nyaris sekehendak mereka saja dalam mendominasi peruntukan dan pemanfaatan hutan di Indonesia.
Implikasi dari hak menguasai negara atas sumberdaya hutan tersebut secara empirik dapat dilihat dari penerapan ekonomi politik kehutanan sejak tahun 1960-an. Secara politik, hutan diusahakan dan dikelola atas dasar pemberian hak oleh pemerintah Indonesia kepada lembaga pemerintah dan lembaga swasta dan penetapan ini dilakukan tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip good governance (partisipatif,
transparan dan demokratis). Model penetapan peruntukan dan pemanfaatan seperti ini disebut dengan istilah corporatism negara. Interpretasi korporatis tersebut hanya
(44)
44
dilakukan oleh pemerintah tanpa menerapkan prinsip-prinsip good governance (tata
pemerintahan yang baik). Oleh karena itu tidak dapat dihindari pada masa Orde Baru telah terjadi bahwa birokrasi negara berkolusi dengan berbagai konglomerat untuk menghasilkan pendapatan dalam sektor kehutanan dengan mengorbankan masyarakat lokal (Atje dkk, 2001:130).
Munculnya pemikiran ekonomi politik seperti di atas dimulai sejak dikeluarkannya UU penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967. UU ini memang dirancang sedemikian rupa sampai tidak banyak publik mengetahui bahwa kelak kemudian hari UU ini merupakan pintu masuk kapitalisme internasional, sistemik dan terstruktur rapih. UU PMA inilah yang menjadi titik awal masuknya modal asing dan investor dalam pengusahaan hutan alam tropis di Indonesia. Konsepsi pengusahaan hutan alam tropis oleh HPH (hak pengusahaan hutan) merupakan pendekatan ekonomi politik yang dipilih oleh Pemerintah Orde Baru (Awang, 2003:5). Sasaran utama eksploitasi hutan adalah menciptakan sumber fiskal dan devisa, pengembangan industri kehutanan, penciptaan lapangan kerja dan untuk pembangunan regional. Dalam praktiknya, sasaran-sasaran tersebut berubah menjadi peningkatan produksi dan ekspor kayu gelondongan (Ramli dan Ahmad, 1993:4).
Alam (hutan) dikonstruksi oleh manusia sebagai lingkungan yang selayaknya dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, hal ini sejalan dengan paham modernitas yang bertumpu pada eksploitasi sumberdaya alam guna pengembangan industri. Pada kasus HPH dan kasus-kasus pemanfaatan kawasan hutan lindung dan konservasi di Indonesia lebih dapat dijelaskan melalui teori konstruksi sosial.
2.3 Petani, Transisi Agraria dan Kuasa Eksklusi
Bagi para petani, sumberdaya agraria (lahan) selain merupakan elemen kekuatan produksi dan titik tolak berlangsungnya hubungan sosial produksi juga menjadi basis kesejahteraan (Kautsky dalam Hasyim, 1998). Sayogyo (1983) berpendapat bahwa sumberdaya agraria merupakan sumber nafkah yang akan menentukan seberapa jauh jangkauan para petani dalam memenuhi kebutuhan pangan, perumahan, pendidikan dan unsur kesejahteraan lainnya. Oleh sebab itu, ketimpangan
(45)
45
dalam penguasaan sumberdaya agrarian akan menimbulkan kemiskinan di pedesaan (Soemarjan, 1980 dalam Fadjar, 2000).
Melalui kegiatan/ usaha produktif di atas sumberdaya lahan yang dikuasai para petani, mereka berpotensi memperoleh penghasilan yang memadai dan berkelanjutan sehingga tujuan utama petani untuk ―memenuhi kelangsungan hidup‖ dan ―membuat kehidupan yang lebih baik‖ dapat dicapai. Selain itu, menurut Scott (1989), secara sosiologis penghasilan minimum sebuah rumah tangga masyarakat non-kapitalis tidak hanya ditunjukan untuk menyediakan makanan anggota keluarga secara memadai tetapi juga untuk memenuhi kewajiban sosial, misalnya untuk membiayayi kegiatan seremonial.
Terkait sumberdaya agraria sebagai basis kesejahteraan petani, seberapa jauh sumberdaya tersebut dapat berperan akan ditentukan oleh : 1) karakteristik sumberdaya lahan; 2) keadaan hubungan sosial dalam komunitas petani (baik diantara sesame komunitas lokal maupun antara komunitas lokal dengan pendatang). Dalam konteks land tenure, kesejahteraan mencakup tiga hal berikut (Fremerey dan Aminy, 2002) : 1) jalan untuk menguasai lahan; 2) pengakuan tanah miliki dan; 3) tipe penggunaan lahan. Kemudian sejalan dengan pendapat Sitorus (2002) basis kesejahteraan petani yang bersumber dari lahan yang dikuasai petani berlangsung melalui : 1) pengaturan sosial ―penguasaan tetap‖, dalam hal ini lahan yang diusahakan petani berperan sebagai ―modal ekonomi‖ atau 2) pengaturan sosial ―penguasaan sementara‖ (sistem sewa, sistem bagi hasil) dalam hal ini lahan yang diusahakan petani berperan sebagai ―modal sosial‖. Secara ringkas, uraian-uraian tersebut menunjukan bahwa peta kesejahteraan petani yang berbasis pada sumberdaya agrarian (lahan) sangat tergantung dari seberapa jauh para petani memiliki kontrol terhadap penguasaan sumberdaya agraria tersebut. Kemudian, mengingat kontrol petani terhadap sumberdaya agraria tersebut ditentukan oleh bentuk struktur agrarian maka akan berimplikasi pada perubahan peta sistem kesejahteraan keluarga/ komunitas petani.
Scott (1989) menjelaskan bahwa berlangsungnya komersialisasi pertanian menyebabkan terjadinya perubahan struktur agraria sehingga terjadi perubahan tata
(46)
46
hubungan antara ―pemilik lahan‖ dengan ―bukan pemilik lahan‖. Secara umum berkembangnya komersialisasi pertanian pertanian telah memperlemah posisi para petani yang tidak memiliki lahan (petani penggarap dan/ atau buruh tani) dan kemudian akan berdampak pada berkurangnya jaminan subsistensi mereka. Dengan kata lain, hierarki dalam penguasaan lahan berimplikasi pada hierarki jaminan subsistensi atau hierarki kesejahteraan petani yang berbasis pada sumberdaya lahan. Oleh sebab itu, dalam konteks kesejahteraan petani, petani ―pemilik lahan sempit‖ sangat mungkin lebih tinggi statusnya dari pada ―penyewa lahan luas‖ karena petani pemilik lahan sempit memiliki sendiri sarana subsistensi yang mereka perlukan.
Bila kontrol petani terhadap penguasaan sumberdaya agraria semakin menurun sehingga luas sumberdaya agraria yang mereka kuasai dan mereka usahakan bertambah sempit atau bahkan petani tersebut terlepas dari penguasaan sumberdaya agraria dan hanya menjadi buruh tani, maka potensi penghasilan yang diperoleh petani dari sumberdaya agraria tersebut semakin kecil dan/ atau semakin tidak pasti. Bila kedua keadaan tersebut kemudian menyebabkan penghasilan petani (dari sumberdaya agraria) hanya cukup untuk memenuhi persediaan pangan yang berada dekat garis kemiskinan atau tingkat minimum fisiologi maka mereka berada pada situasi ―problema kesejahteraan‖ karena pengurangan lebih lanjut akan menyebabkan malnutrisi/ kematian dini (Scott,1989).
Sebagai gambaran umum, Scott (1989) juga menjelaskan bahwa problema kesejahteraan petani seringkali muncul pada situasi dimana para petani menghadapi hal-hal berikut : 1) kekurangan tanah untuk usaha pertanian; 2) jumlah anggota komunitas terus bertambah; kekurangan modal untuk menjalankan usahatani (secara intensif) dan 3) kegiatan non-pertanian tidak dapat dijadikan alternatif sumber penghasilan keluarga. sementara itu, menurut Ponsioen (1969) problema kesejahteraan petani juga akan muncul manakala institusi berubah sangat cepat. Dengan penguasaan lahan yang sempit maka upaya petani memenuhi kesejahteraan keluarga sulit dipenuhi.
Dalam kondisi luas sumberdaya agraria yang dikuasai petani semakin terbatas sebenarnya mereka dapat meningkatkan produktivitas sumberdaya tersebut melalui
(47)
47
strategi ―intensifikasi‖ sehingga penghasilan mereka meningkat. Akan tetapi, implementasi strategi tersebut sangat tergantung pada sejauhmana penguasaan petani atas faktor produksi lain, terutama tenaga kerja, bahan dan alat, serta modal financial (Wolf, 1985). Upaya yang paling sulit dilakukan petani kecil adalah akumulasi modal finansial karena harus bersaing dengan pemenuhan biaya kebutuhan sehari-hari keluarga dan pemenuhan biaya lainnya terutama biaya seremonial yang berperan menopang ikatan sosial tradisional dengan sesamanya. Oleh sebab itu, Scott (1989) menyangsikan dapat berlangsungnya intensifikasi oleh para petani subsisten karena perhatian utama mereka adalah bagaimana memenuhi kepentingan hari ini, bukan bagaimana mencapai cita-cita masa depan. Bahkan dalam situasi ini, upaya yang dilakukan petani cenderung menghindari kegagalan (risk oversion) atau memilih ―dahulukan selamat‖ (safety first). Dengan kata lain, petani tidak dapat berjiwa wiraswasta. Namun demikian, berbeda dengan pendapat Scott, Popkin (1986) berpendapat bahwa para petani di pedesaan sebenarnya merupakan petani pemecah masalah yang rasional. Para petani terus menerus berupaya keras selain melindungi diri juga untuk menaikan tingkat subsistensi mereka. Walaupun para petani pedesaan sangat miskin dan sangat dekat dengan garis bahaya, namun mereka masih memiliki sedikit kelebihan untuk melakukan tindakan investasi yang beresiko, baik melalui investasi jangka panjang maupun jangka pendek. Logika investasi tersebut mereka aplikasikan dalam pertukaran pasar maupun bukan pasar.
2.4 Rumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran Penelitian
Akses yang didefinisikan oleh Peluso dan Ribot (2003) adalah kemampuan menghasilkan keuntungan dari sesuatu, termasuk diantaranya objek material, perorangan, institusi, dan simbol. Dalam teoritisasi ini, akses dibentuk dalam jaringan sosial-politik yang dapat memberikan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Peluso dan ribot (2003) melihat bahwa ada semacam susunan jaringan akses. Perhatian Peluso memungkinkan ahli dan lainnya memetakan perubahan proses dan hubungan akses dengan sumberdaya. Konsep akses disini ditempatkan pada analisa siapa yang sebenarnya beruntung dari sesuatu dan melalui proses apa yang mereka
(48)
48
lakukan. Selanjutnya, pengendalian akses menurut Peluso (2003) adalah kemampuan untuk memediasi akses lainnya. Pengendalian mengarah pada pemeriksaan dan pengawasan tindakan, fungsi atau kekuatan yang mengawasi dan mengatur tindakan bebas. Mempertahankan akses memerlukan kekuasaan untuk menjaga sebagian sumber daya akses yang terbuka. Baik pengendalian dan pengontrolan merupakan dua hal yang saling melengkapi. Keduanya membentuk hubungan diantara aktor dalam hubungan terhadap sumberdaya, manajemen, dan penggunaan (Peluso dan Ribot, 2003). Pengertian akses dan control dalam konteks penelitian ini mengikuti pandangan yang diberikan oleh Peluso dan Ribot tersebut.
Dalam catatan sejarahnya, kawasan hutan Gunung Ciremai memiliki periodesasi pengelolaan yang berbeda-beda pada tiap era rezim. Perubahan status kawasan hutan Gunung Ciremai dalam tiap periode merupakan hasil dari konstruksi politik dari aktor-aktor yang memiliki kepentingan atas sumberdaya hutan Gunung Ciremai baik aktor pada aras lokal dan nasional atau perpaduan dari keduanya yang berkontribusi pada perubahan kebijakan pada status pengelolaan hutan Gunung Ciremai. Pada awal tahun 70-an, Kawasan hutan negara di wilayah Jawa Barat telah dilimpahkan pengelolaannya pada Perusahaan Negara Perum Perhutani dimana Jawa Barat merupakan daerah yang benar-benar baru diolah oleh Perum Perhutani tidak seperti kawasan hutan Perum Perhutani di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang merupakan warisan dari perusahaan Pemeritah Kolonial Belanda. Begitu juga pada kawasan hutan Gunung Ciremai, dimana pada tahun 70-an telah berubah status pengeloaannya menjadi hutan produksi dan hutan produksi terbatas yang dikelola oleh Perum Perhutani. Namun pada tahun 2004, status hutan Gunung Ciremai sebagai hutan produksi telah berubah menjadi kawasan konservasi Taman Nasional. Perubahan ini bukan tanpa perjuangan bahkan perubahan tersebut merupakan hasil kontestasi politik antara aktor yang pro petani dan pro konservasi karena pada saat itu terjadi pertentangan-pertentangan di level petani bersama ‗kolega politik‘ nya yang
(49)
49
menolak keras perubahan status karena akan berdampak pada program PHBM1 mereka.
Berbagai perubahan status pengelolaan yang terjadi di kawasan hutan Gunung Ciremai memiliki implikasi tersendiri pada pola akses dan control sumberdayanya, terutama bagi petani yang sangat tergantung dengan sumberdaya hutan. Berdasarkan definisi akses dari Peluso bahwa akses merupakan kemampuan bukan kepemilikan hak yang dibentuk dari hubungan ekonomi-politik aktornya maka kejadian-kejadian pemanfaatan sumberdaya hutan Gunung Ciremai dalam konteks akses ini bukan hanya dilihat dari kacamata status formal penguasaannya saja. Dalam studi awal yang dilakukan peneliti, yang terjadi pada kawasan hutan Gunung Ciremai adalah ‗penyimpangan-penympangan‘ dari hokum formal atas pemanfaatan sumbedaya hutan . Satu contoh yang baru ditelusuri peneliti adalah penyimpanagan pemanfaatan akses PHBM yang dikuasasi oleh pelaku agribisnis dan bukan pada kelompok tani kecil dengan luasan yang telah ditentukan. Kenyataan dari penyimpangan berikutnya adalah pada perubahan statusnya sebagai Taman Nasional (TNGC), dimana secara hokum formal hak kepemilikan dan penguasaan pengelolaan sumberdaya hutan ditentukan oleh Balai Taman Nasional yang merupakan UPT dari Departemen Kehutanan, namun pada kenyataannya masih saja ada penggarapan lahan hutan untuk praktek pertanian bekas kerja PHBM para petani. ‗Penyimpanan-penyimpangan‘ ini membuktikan kebenaran tentang akses yang dikonsepsikan oleh Peluso bahwa kepemilikan hak bukan semata-mata praksis riil yang terjadi di lapangan namun ada konteks hubungan politik dan kekuatan para aktor pemanfaat sumberdaya hutan yang membentuk pemanfaat ‗bayangan‘ yang nota bene tidak memiliki kekuatan hokum formal.
Untuk kerja penelitian ini, mengungkap relasi aktor dan relasi kekuasaan serta kekuatan politik menjadi salah satu tujuan dalam memahami pemanfaatan sumberdaya hutan. Bahwasannya dinamika yang cepat menyebabkan terjadinya pola
1
PHBM singkatan dari Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat yang merupakan program dari Perum Perhutani. Program ini telah diterapkan di kawasan hutan produksi Gunung Ciremai bersama dengan Kelompok Tani hutan sekitar kawasan hutan Gunung Ciremai yang dibentuk dan dibina oleh Perum Perhutani sejak tahun 2001.
(50)
50
yang cepat pula dalam struktur pemanfaatan sumberdaya hutan. Strategi dan upaya para aktor dalam membuat relasi politik dan intervensi-intevensi baru menjadikan dinamika pemanfaatan dan akses sumberdaya hutan terus berkembang dan berubah. Ini yang memerlukan penelusuran yang lebih mendalam pada konteks kerja penelitian. Sehingga mengamati akses sumberdaya hutan seperti mengamati kontestasi para aktor yang bersaing memperebutkan penguasaan sumberdaya hutan.
Disatu sisi, pendapatan petani dalam kaitannya sebagai aktor yang berkontestasi tentu mengalami pasang surut ketidakpastian. Diluar dari itu semua, sebenarnya ada golongan petani miskin yang sama sekali luput dan seolah-olah tidak masuk pada relasi aktor yang berkontestasi dalam memperebutkan pendapatan. Ini menarik untuk menjadi perhatian penelitian ini terutama untuk mengungkap sebab-sebab tindakan mereka dalam konteks akses sumberdaya hutan. Seperti yang dijelaskan oleh Peluso bahwaseseorang mungkin memiliki hak untuk mendapatkan keuntungan dari tanah tetapi mungkin tidak dapat melakukannya tanpa akses ke tenaga kerja atau modal. Ini akan menjadicontoh dari memiliki properti (hak untuk memperoleh manfaat) tanpa akses (kemampuan untukmanfaat). Mungkin saja petani miskin yang luput dari kontestasi tersebut merupakan gambaran petani yang dijelaskan Peluso tersebut. Ketika mereka (petani miskin) memiliki partisipasi program PHBM dan secara formal dapat menguasai sebidang lahan yang dapat mereka garap namun pada kenyataannya lahan garapan tersebut tidak digarap, digarap olehnya sebagai buruh, atau dipersewakan kepada para pengusaha agribisnis.
Selain relasi aktor dan pendapatan petani, yang menjadi perhatian utama dalam sintesis penelitian ini adalah negara. Terutama konteksnya sebagai pengendali akses sumberdaya hutan. Kepentingan negara dalam pengawasan penggunaan sumberdaya terutama sekali ada 2 hal yaitu terkait dengan : (1) Power (kekuasaan)--- yang
mencakup pengawasan dan kemampuan untuk mengatur; (2) ekonomi. Perjuangan kekuasaan dilakukan secara terus menerus di dalam hal alokasi, kontrol dan akses sumberdaya. Kontrol terhadap sumberdaya meningkatkan kontrol sosial oleh negara (Barber, 1989; Peluso, 1996:138; Poffenberger, 1990).
(1)
179
Chambers, R and Conway, G. 1991, Sustainable Rural Livelihoods : Practical Concept For the 21st Century. IDS Discussion Paper 296, Desember 1991 Cline-Cole, Reginald. 2007. Woodfuel Discourses and the reframing of wood-energy.
Forum for Development Studies 34(1): 121–153
De Jong, A. 1892. De Ontwouding van Java: Een Nagelaten Geschrift van Wijlen den Houtvester. Tijdschrift voor Nijverheid en Landbouw in Nederlandsch-Indie 43: 208-221; Ham, S.P. 1909. Beginselen en Regels voor de Plaatselijke Vaststelling van Boschreserveterreinen. Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur 39: 165-217; Galudra and Sirait, 2006., The Unfinished Debate : Socio-Legal and Science Discourse on Forest Land-Use and Tenure Policy in 20th Century Indonesia
Deni. 2011. Menyimak Perambahan Hutan Taman Nasional Bukit barisan Selatan. Edukati Press
Denzin. Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. 2000. Handbook of Qualitative Research. Sage Publication, Inc. London. United Kingdom
Djokonomo, 1986. Penguasaan Teritorial oleh jajaran Perum Perhutani. PHT 50- seri umum 23. Jakarta. Perum Perhutani
Elands, B., Wiersum, F., 2001. Forestry and rural development in Europe: an exploration of socio-political discourses. Forest Policy and Economics 3 (1–2), 5–16
Elson, Robert, 1994, Village Java under the Cultivation System 1830-1870, Sydney: Allen & Unwin
Farrell, Edward P., Erwin Führer, Dermot Ryan, Folke Andersson, Reinhard Hüttl, and Pietro Piussi. 2000. European Forest ecosystems: building the future on the legacy of the past. Forest Ecology and Management 132(1): 5–20
Foucault, 2002. Wacana Kuasa Pengetahuan. Wawancara Pilihan dan Tulisan-tulisan lain 1972-1977. Bentang Budaya. Jakarta
Fremerey, M. dan S. Amini. 2002. Socoal Organization and Processes of Ecological Stabilization and Destabilization : Comparative Analysis
Galudra and Sirait, 2006., The Unfinished Debate : Socio-Legal and Science Discourse on Forest Land-Use and Tenure Policy in 20th Century Indonesia. The 11th Biennial Congress of the International Association for the Study of
(2)
180
Common Property, Bali, Indonesia, 19-23 June 2006. Panel on Resurgent Commons within Public or Private Property of Working Group Tenure, Centre of Agrarian Studies (PKA)-IPB and ICRAF-SEA
Glasbergen, P., Biermann, F., Mol, A., 2007. Partnerships, governance and sustainable development. Reflections on Theory and Practice. Edward Elgar, Cheltenham
Hajer, Maarten. 1995. The Politics of Environmental Disocurse, Ecological Modernization and the Policy Process. Oxford: Clarendon Press;
Ham, S.P. 1909. Beginselen en Regels voor de Plaatselijke Vaststelling van Boschreserveterreinen. Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur 39: 165-217 Hardjodarsono et al 1986, Sejarah Kehutanan Indonesia Jilid I-III. Departemen
Pertanian Republik Indonesia
Hasyim, Wan. 1988. Peasant under Peripheral Capitalism. Penerbit Universiti. Kebangsaan Malaysia
Helen S. 2009. Traditional knowledge in international forest policy: contested meanings and discourses. Journal of Integrative Environmental Sciences 6(3): 175–187
Hidayat Herman, 2007, National Park Management in Local Autonomy from Viewpoint of Political Ecology : A Case Study of Tanjung Puting (Central Kalimantan). ―In Search of New Paradigm on Sustainable Humanosphere‖, in The 1st Kyoto University-LIPI Southeast Asian Forum, in LIPI, Jakarta on November 26-27, 2007
Hinrichsen, Don. 1987. The forest decline enigma. BioScience 37(8): 542–546. Humphreys, David. 2004. Redefining the Issues: NGO Influence on International
Forest Negotiations. Global Environmental Politics 4(2): 51–74.
Humphreys, David. 1996. Forest Politics. The Evolution of International Cooperation. London: Earthscan Publication
Jeffries, M., 2005. Biodiversity and Conservation, 2nd ed. Routledge, New York Johnson, S., (1993). The Earth Summit – The United Nations Conference on
Environment and Development. London, etc.: Graham & Trotman/Martinus Nijhoff
(3)
181
Jong, A. 1892. De Ontwouding van Java: Een Nagelaten Geschrift van Wijlen den Houtvester. Tijdschrift voor Nijverheid en Landbouw in Nederlandsch-Indie 43: 208-221
Kickert,W., Klijn, E., Koppejan, J. (Eds.), 1997. Strategies for the Public Sector. SAGE, London.
Kolk, A., 1996. Forests in International Environmental Politics. International Books, Utrecht
Krumland, Daniela. 2004. Beitrag der Meiden zum politischen Erfolg. Frankfurt a.m: Peter Lang Verlag
Meidinger, E., 2002. Law making by Global Civil Society: the Forest Certification Prototype. Paper Prepared for the International Conference on Sosial and Political Dimensions of Forest Certification, University of Freiburg, Germany, June 2001
Miranda, Temi Indriati. 2007, The impact of changing nature management upon the people in three villages at the Ciremai Mountain in Java, Indonesia. Master Thesis. Norwegian University of Life Science. Norwegia.
Nainggolan Tombang., 1991, Pengaruh Program Perhutanan Sosial Terhadap Kesempatan Kerja dan Berusaha (Studi Kasus di RPH Kedung Kumpul BKPH Ploso Barat KPH Jombang Perum PErhutani Unit II Jawa Timur. Institut Pertanian Bogor
Nygren, Anja. 1999. Local knowledge in the environment-development discourse: From dichotomies to situated knowledges. Critique of Anthropology 19(3): 267–288.
Peluso, Nancy., 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat. Komphalindo. Indonesia Peluso dan Ribot, (2003). A Theory of Access. Rural Sociology 68 (2) : Pp 153-181 Perum Perhutani, 1982. Proceeding Lokakarya Pembangunan Masyarakat Desa
Sekitar Hutan (PMDH), Yogyakarta, 29-31 Maret 1982. Jakarta. Hal 6
Pierre, J. (Ed.), 2000. Debating Governance: Authority, Steering and Democracy. Oxford University Press, Oxford.
Pip Jones, 2009, Pengantar Teori-Teori Sosial; dari Teori Fungsionalism hingga Post-modernism, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
(4)
182
Ponsioen, J.A. 1969. The Analysis of Sosial Change Reconsidered. A Sociological Study. Mouton & Co. Netherlands
Popkin, Samuel L. 1986. Petani Rasional. Lembaga Penerbit Yayasan Padamu Negeri. Jakarta.
Pratiwi Ramayati, 2007. Peranan Pengelolaan sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Institut Pertanian Bogor
Pratomo, Indro. 2008. Kegiatan Gunung Ciremai Jawa Barat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan Sekitarnya. Jurnal Biologi Indonesia. Pp 261-278 Purnomo Agustina. M, 2006. Strategi Nafkah Rumah Tangga Desa Sekitar Hutan :
Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Master Thesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor
Purnomo, Agustina, et al., 2007. Transformasi Struktur Nafkah Pedesaan : Pertumbuhan “Modal Sosial Bentukan” dalam Skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Kabupaten Kuningan. Jurnal Sodality. Departemen KPM-IPB. Bogor
Purwanto, Bambang. 2002. Peasant Economy and Institutional Changes in Late Colonial Indonesia. ―International Conference on Economic Growth and Institutional Change in Indonesia in the 19th and 20th Centuries‖, Amsterdam 25-26 February 2002.
Purwaningsing dan Yusuf R. 2008. Analisis Vegetasi Hutan Pegunungan di Taman Nasional Gunung Ciremai, majalengka, Jawa Barat. Jurnal Biologi Indonesia. 4(5) : Pp 385-399
Restiana Leti Tri, 2004. Tinjauan Penyelenggaraan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Studi Kasus di RPH Leuwiliang, BKPH Leuwiliang, KPH Bogor Perhutani Unit III Jawa Barat. Institut Pertanian Bogor
Ritzer, George. 1996. Modern Sociological Theory. The Mc Graw Hill Companies Robi Royana, 2009. Masterplan Penanganan Perambah Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan. Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan.
(5)
183
Rosendal, Kristin G. 2001. Overlapping International Regimes: The Case of the Intergovernmental Forum on Forests (IFF) between Climate Change and Biodiversity. International Environmental Agreements: Politics, Law and Economics 1(4): 447–468
Sajogyo. 1985. Penduduk dan Pola Penggunaan Tanah dalam S.M.P. Tjondronegoro, S. Rusli, dan U. Tuanaya (Penyunting) Ilmu Kependudukan : Suatu Kumpulan Bacaan. Erlangga. Jakarta.
Sanderson, K.S., 1993. Sosiologi Makro, Rajawali Press. Jakarta
Scott, James C. 1989. Moral Ekonomi Petani. Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES. Jakarta.
Selby, A., Koskela, T., PetäJistö, L., 2007. Evidence of lay and professional forest-based development discourses in three contrasting regions of Finland. Forest Policy and Economics 9 (6)
Simon, Hasanu, 1993, Hutan Jati dan Kemakmuran, Problematika dan Strategi Pemecahannya, Aditya Media, Yogyakarta
Singer, Benjamin. 2008. Putting the National back into Forest- Related Policies: the International Forests Regime and National Policies in Brazil and Indonesia. International Forestry Review 10(3): 523–537.
Sitorus, MT. Felix. 2002. “Revolusi Coklat” : Sosial Formation, Agrarian Structure, and Forest Margins in Upland Sulawesi, Indonesia. Storma Discussion Paper Series. Sub Program A Sosial and Economic Dynamics in Rain Forest Margin. Sinaga, Alusdin S.MT., 1990. Dampak Proyek Perhutanan Sosial Terhadap Tingkat
Pendapatan dan Distribusi Serta Tingkat Kemiskinan Petani Peserta Proyek (Laporan Praktek Lapang). Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Skelly, John M., and Innes, John L. 1994. Waldsterben in the Forests of central Europe and eastern North America: Fantasy or Reality? Plant Disease 78(11): 1021–1032.
Soemardjan, S. 1980. Kemiskinan Struktural dan Pembangunan dalam Alfian, et. al. (Eds.). Kemiskinan Struktural: Suatu Bunga Rampai. Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta.
(6)
184
Stott, Philip. 1999. Tropical Rain Forest: A Political Ecology of Hegemonic myth making. IEA Studies on the Environment No. 15.
Suhardjito, 2000., Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Pustaka Kehutanan Masyarakat, Yogyakarta.
Srianto, Agus. 1998. Penataan Batas dan Sistem Zonasi Taman Nasional. Paper Pada Lokakarya Kepala Unit dan Kepala Balai Taman Nasional se-Indonesia. Departemen Kehutanan dan USAID-NRMP. Jakarta.
Tauchid, Mochammad, 2009., Masalah Agraria Sebagai Masalah Pendapatan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. STPN Press. Yogyakarta
Triyogo Widodo, 2006. Pemberdayaan Masyarakat Miskin Sekitar Hutan Melalui Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Studi Kasus di Desa Tonjong Kecamatan Tonjong Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor
Umans, Laurent. 1993. A Discourse on Forest Science. Agriculture and Human Values 10(4): 26–40
WCED (World Commission on Environment and Development), 1987. Our Common Future. Oxford University Press, Oxford
Wiersum, F., 1999. Sosial forestry: changing perspectives in forestry science or practice? Diss. Wageningen University.
Wilson, E., 2006. Nature Revealed – Selected Writings 1949–2006. The Johns Hopkins University Press, Baltimore
Wiratno. Seperempat Abad Taman Nasional di Indonesia: Beberapa Catatan Pemikiran. Paper disampaikan dalam Sarasehan Nasional Membangun Kemitraan Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia. 2005.Bogor
Wolf, Eric. R. 1985. Petani : Suatu Tinjauan Antropologis. C.V. Rajawali. Jakarta Zhouri, Andrea. 2004. Global-local Amazon politics – conflicting paradigms in the